Selasa, 31 Maret 2009

PENDAFTARAN PERTAMA KALI KONVERSI SISTEMATIK


Dasar Hukum:

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 

2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 

3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 

4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 

5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. 
 

Persyaratan:

1. Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. 

2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang). 

3. Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yaitu:

a. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau 

b. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, atau 

c. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau  

d. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961, atau 

e. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau 

f. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau 

g. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau 

h. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau 

i. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau 

j. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau 

k. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. 

l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum berlakunya UUPA. 

4. Surat Pernyataan Tdk Dalam Sengketa diketahui Kades/Lurah dan 2 Saksi dari tetua adat / penduduk setempat. 

5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan. 

Biaya dan Waktu:

1. Sesuai PP 46/2002 dan SE Ka. BPN No.600-1900 tanggal 31 Juli 2003 (Diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk Sporadik) 

2. Waktu: 90 hari/100 bidang. 

3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.


PROSES SERTIFIKASI TANAH GIRIK



Sebelum mengupas mengenai tata cara pensertifikatan tanah girik, saya merasa perlu untuk menjelaskan, apa itu tanah girik. Tanah girik adalah istilah populer dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum di konversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (Hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak guna usaha) dan belum didaftarkan atau di sertifikat kan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam2, antara lain: girik, petok D, rincik, ketitir, dll

Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi2 atau dipecah2 menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusui kepemilikannya.

Pensertifikatan tanah girik tersebut dalam istilah Hukum tanah disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali . Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk TANAH GARAPAN, dalam prakteknya prosesnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang bersangkutan
2. Pembuatan surat tidak sengketa dari RT/RW/LURAH
3. Dilakukan tinjau lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan
4. Penerbitan Gambar Situasi baru
5. Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan bangunan sesuai dengan luas yang tercantum dalam Gambar Situasi
6. Proses pertimbangan pada panitia A
7. Penerbitan SK Pemilikan tanah (SKPT)
8. Pembayaran Uang pemasukan ke negara (SPS)
9. Penerbitan Sertifikat tanah.

Untuk proses pensertifikatan tanah tersebut hanya dapat dilakukan jika pada waktu pengecekan di Kantor Kelurahan setempat dan Kantor Pertanahan terbukti bahwa tanah tersebut memang belum pernah disertifikatkan dan selama proses tersebut tidak ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan (perihal pemilikan tanah tersebut). Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka proses pensertifikatan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6 bulan sampai dengan 1 tahun.

PENDAFTARAN PERTAMA KALI KONVERSI SISTEMATIK 
Sumber dari : http://www.bpn.go.id/layanan/257 

Dasar Hukum:

1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 
2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 
3) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 
4) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 
5) Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. 
 

Persyaratan:

1. Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. 

2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang). 

3. Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yaitu:

a. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau 

b. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, atau 

c. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau  

d. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961, atau 

e. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau 

f. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau 

g. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau 

h. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau 

i. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau 

j. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau 

k. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. 

l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum berlakunya UUPA. 

4. Surat Pernyataan Tdk Dalam Sengketa diketahui Kades/Lurah dan 2 Saksi dari tetua adat / penduduk setempat. 

5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan. 

Biaya dan Waktu:

1. Sesuai PP 46/2002 dan SE Ka. BPN No.600-1900 tanggal 31 Juli 2003 (Diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk Sporadik) 

2. Waktu: 90 hari/100 bidang. 

3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. 


PROSEDUR DATA YANG DIPERLUKAN dan SYARAT-SYARAT PENANDATANGANAN AKTA JUAL BELI (AJB)



Jual beli merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu, dan biasanya diatur dalam hukum Adat, dengan prinsip: Terang dan Tunai. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, dan Tunai artinya di bayarkan secara tunai. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari:

1.PPAT sementara –> adalah Camat yang diangkat sebagai PPAT untuk daerah –daerah terpencil

2.PPAT –> Notaris yang diangkat berdasarkan SK Kepala BPN untuk wilayah kerja tertentu

Data-data apa saja yang harus dilengkapi untuk proses Jual Beli & balik nama tersebut?
Dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tersebut, biasanya PPAT yang bersangkutan akan meminta data-data standar, yang meliputi:
I. Data tanah, meliputi:
a.asli PBB 5 tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti bayarnya)
b.Asli sertifikat tanah (untuk pengecekan dan balik nama)
c.asli IMB (bila ada, dan untuk diserahkan pada Pembeli setelah selesai proses AJB)
d.bukti pembayaran rekening listrik, telpon, air (bila ada)
e. Jika masih dibebani Hak Tanggungan (Hipotik), harus ada Surat Roya dari Bank yang bersangkutan

Catatan: point a & b mutlak harus ada, tapi yang selanjutnya optional

II. Data Penjual & Pembeli (masing-masing) dengan criteria sebagai berikut:
a.Perorangan:
a.1. Copy KTP suami isteri
a.2. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah
a.3. Copy Keterangan WNI atau ganti nama (bila ada, untuk WNI keturunan)

b.Perusahaan:
b.1. Copy KTP Direksi & komisaris yang mewakili
b.2. Copy Anggaran dasar lengkap berikut pengesahannya dari Menteri kehakiman dan HAM RI
b.3. Rapat Umum Pemegang Saham PT untuk menjual atau Surat Pernyataan Sebagian kecil asset

c.Dalam hal Suami/isteri atau kedua-duanya yang namanya tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia, maka yang melakukan jual beli tersebut adalah Ahli Warisnya. Jadi, data-data yang diperlukan adalah:

c.1. Surat Keterangan Waris
-Untuk pribumi: Surat Keterangan waris yang disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah yang dikuatkan oleh Camat
-Untuk WNI keturunan: Surat keterangan Waris dari Notaris
c.2. Copy KTP seluruh ahli waris
c.3. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah
c.4. Seluruh ahli waris harus hadir untuk tanda-tangan AJB, atau Surat Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris kepada salah seorang di antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris (dalam hal tidak bisa hadir)
c.5. bukti pembayaran BPHTB Waris (Pajak Ahli Waris), dimana besarnya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi dengan Nilai tidak kena pajaknya.

 
Nilai tidak kena pajaknya tergantung dari lokasi tanah yang bersangkutan.
Contoh Perhitungannya:
-NJOP Tanah sebesar Rp. 300juta, berlokasi di wilayah bekasi:
Nilai tidak kena pajaknya wilayah Bekasi adalah sebesar Rp. 250jt. Jadi pajak yang harus di bayar =
{(Rp. 300jt – Rp. 250jt) X 5%} X 50%.
Jadi, apabila NJOP tanah tersebut di bawah Rp. 250jt, maka penerima waris tidak dikenakan BPHTB Waris (Pajak Waris)

Sebelum dilaksanakan jual beli, harus dilakukan:
1. Pengecekan keaslian dan keabsahan sertifikat tanah pada Kantor Pertanahan yang berwenang
2. Para pihak harus melunasi pajak jual beli atas tanah dan bangunan tersebut.
Dimana penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut:
-Pajak Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 %
-Pajak Pembeli (BPHTB) =
{NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%

SYARAT PEMBUATAN AKTA HIBAH (Ke PPAT)

1. KTP Pemberi hibah (Ibu dan Bapak) 

2. Surat Nikah Pemberi hibah 

3. Sertipikat Asli

 4. SPPT dan STTS PBB 10 tahun terakhir 

5. KTP Penerima hibah

6. Persetujuan ahli waris lainnya (KTP)

PROSES SERTIFIKASI DAN GANTI NAMA

Dasar Hukum:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 
Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2000. 
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 
Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. 

Persyaratan:
• Surat Pengantar dari PPAT. 
• Surat Permohonan. 
• Sertipikat Asli. 
• Akta Hibah. 
• Identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat berwenang).
• Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. 
• Bukti pelunasan SSB BPHTB. 
• Bukti pelunasan SSP Pph Final (untuk Pph apabila hibah vertikal tidak diperlukan). 
• SPPT PBB tahun berjalan 
• Ijin Pemindahan Hak, jika:
-Pemindahan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Rumah Susun yang di dalam sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang berwenang; 
-Pemindahan hak pakai atas tanah negara. 

-Surat Pernyataan calon penerima hak, yang menyatakan:
Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 
-Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku 
-Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 11a dan 11b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform 
-Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 11a dan 11b tidak benar 

BPHTB 

Pengertian
1.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
2.Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
3.Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

II. Objek PajakYang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:

a. Pemindahan hak karena

1. jual beli;

2. tukar-menukar;

3. hibah;

4. hibah wasiat;

5. waris;

6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8. penunjukan pembeli dalam lelang;

9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10.penggabungan usaha;

11.peleburan usaha;

12.pemekaran usaha;

13.hadiah.

b. Pemberian hak baru karena: 

1. kelanjutan pelepasan hak;

2. di luar pelepasan hak.

Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.

III. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:a.Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;b.Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;c.Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;d.Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;e.Orang pribadi atau badan karena wakaf;f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

IV. Subjek PajakYang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

V. Tarif PajakTarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

VI. Dasar Pengenaan BPHTBDasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;
a.Jual beli adalah harga transaksi;
b.Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.Hibah adalah nilai pasar;
d.Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.Pemekaran usaha adalah nilai pasar
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;

Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.


VII. Pengenaan BPHTBa.pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.b.pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:-0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);-50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.

VIII. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling banyak;a.Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah);b.Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami.

IX. Saat, Tempat, dan Cara Pembayaran Pajak Terutang.Saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:
a.jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b.tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c.hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d.waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
e.pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 
f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g.lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
h.putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k.pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; 
l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m.peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

Tempat Pajak Terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.

Cara Pembayaran Pajak adalah wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).

 
I. Cara Penghitungan BPHTB
Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;

BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)
Contoh;1. 
Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp.50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp. 40.000.000,00. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya sebesar Rp. 50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp. 60 juta)= 5 % x (0)= Rp. 0 (nihil).

Contoh 2. 
Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun 2006 adalah Rp. 100.000.000,00. Sehingga besarnya NPOP adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 5 % x (Rp. 100 – Rp. 60) juta= 5 % x ( Rp. 40) juta= Rp. 2 juta .

Contoh 3. 
Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan“S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta= 50% x 5 % x ( Rp. 100) juta= Rp. 2,5 juta.

Contoh 4. 
Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 – Rp. 300) juta= 50% x 5 % x (0)= Rp. 0 (nihil).


II. Pembayaran BPHTB
Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB).


III. Penetapan
1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.


IV. Penagihan
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :
1.pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2.dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3.wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

I. Keberatan

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

(3)Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

(4)Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka (2) dan angka (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

(5)Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.

(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.

(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(8) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(9) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

(10) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.

(11) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (8) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.


II. Banding
(1)Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai kebertannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(2)Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

(3)Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(4)Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.


III. Pengurangan
Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena:

1. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, 

contoh;

a. Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan; 
b. Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.

2. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, 

contoh;

a. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;

b. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;

c. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

3.tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnya; Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat.


IV. Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTBWajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, c.q. Kantor Pelayanan Pratama atau Kantor Pelayanan PBB setempat.

Ketentuan Bagi Pejabat
1.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

2.Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

4.Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/ Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.”

5. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

Sanksi Bagi Pejabat

a.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dan angka 2 dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

b.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

c.Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d.Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e.Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

 



Senin, 30 Maret 2009

LANDREFORM DALAM PEMBARUAN HUKUM AGRARIA



OLEH : MAFERDY YULIUS   

  Dalam usianya yang ke 45 tahun ini, UUPA telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan tanah. Namun, UUPA juga menunjukan kelemahan dalam kelengkapan isi dan rumusannnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah dimanfaatkan dengan memberikan tafsiran yang menyimpang dari azas dan tujuan ketentuan yang bersangkutan. Pada masa orde baru, orientasi kerakyatan ditinggalkan, orientasi agraria lebih ditekankan pada pemberian kesempatan investor-investor dan pemodal-pemodal besar untuk dapat memiliki tanah guna kepentingan pembangunan.  

  Akibatnya adalah berupa warisan konflik pertanahan yang tampak sekarang ini. Oleh sebab itu perangkat-perangkat hukum yang ada dalam UUPA perlu di perbaiki, bila perlu dengan melakukan perobahan ketentuan dan rumusan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturannya, agar tersedia perangkat hukum yang lengkap dan jelas, untuk menghindari penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Dengan demikian akan tercipta kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari.  

  Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu adalah sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan agraria itu hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

  Mengapa harus petani?, sebab sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington, jika syarat-syarat penguasaan tanah itu adil, hingga memungkinkan para petani hidup layak, kecil kemungkinannya akan terjadi suatu revolusi. Sebaliknya, apabila tidak demikian dimana para petani hidup miskin dan menderita, revolusi mungkin akan terjadi, kalau tidak dapat dikatakan revolusi tidak akan dapat dihindarkan, kecuali jika pemerintah segera mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki keadaan itu. Tidak ada kelompok masyarakat yang lebih konservatif dari pada para petani pemilik tanah dan tidak ada pula kelompok yang lebih revolusioner dari pada mereka, jika memiliki tanah yang terlalu sempit, dengan pembayaran sewa yang terlalu tinggi.

  Untuk mencegah terjadinya peringatan tersebut, salah satunya adalah dengan program landreform. Landreform dapat dipergunakan sebagai konsep dasar, baik untuk memenuhi beberapa langkah menuju kearah keadilan sosial maupun untuk mengatasi rintangan dalam rangka pembangunan ekonomi. 

  Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, landreform pernah menjadi primadona dipanggung politik negara, namun kemudian landreform menghilang dari panggung politik, dan digantikan oleh kepentingan-kepentingan pemodal besar.

  Secara harfiah, perkataan landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya Tanah dan Reform artinya Perubahan, perombakan. Namun menurut Prof. Arie Sukanti Hutagalung, bila kita mencoba menerjemahkan definisi landreform secara harfiah, kita akan menghadapi suatu hal yang membingungkan, karena istilah Land itu sendiri mempunyai arti yang berbagai macam. Sedangkan istilah Reform berarti mengubah dan terutama mengubah kearah yang lebih baik. Jadi landreform berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan tanah.

  Jika dilihat dari pengertian tersebut, pada dasarnya landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Jadi landreform lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi, selain merupakan manifestasi dari tujuan politik, kebebasan dan kemerdekaan suatu bangsa.

  Dalam kasus-kasus tanah, landreform dikenal sebagai agrarian reform sekedar untuk memberikan pengertian perubahan dalam gambaran menyeluruh. Sebaliknya, beberapa pihak menerjemahkan landreform secara sempit dan tradisionil, yaitu sebagai alat untuk mengadakan penyediaan tanah bagi para penggarap, yang biasanya dikenal sebagai redistribusi tanah atau dianggap sebagai landreform in practice.  

  Prof. Boedi Harsono, memberikan perbedaan landreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria, melainkan memuat juga lain-lain pokok persoalan agraria serta penyelesaiannya. Penyelesaian persoalan-persoalan tersebut pada waktu terbentuknya UUPA, merupakan program revolusi dibidang agraria, yang disebut Agrarian Reform Indonesia.  

  Agrarian reform Indonesia itu meliputi 5 program (Panca Program), yaitu:

1. Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;

2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;

3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;

4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;

5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaanya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Program yang ke-empat, lazim disebut program landreform. Bahkan keseluruhan program landreform tersebut seringkali disebut program landreform. Maka ada sebutan lendreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit.

  Landreform dalam arti sempit, adalah merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dalam tulisan ini, yang dipergunakan adalah pengertian landreform dalam arti sempit, yaitu meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaanya.

  Sejak awal diperkenalkannya program landreform di Indonesia, telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat mengenai tujuan landreform tersebut. Salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Kuntowijoyo, yaitu landreform menurut Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu landreform telah dipakai oleh PKI untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu Tuan Tanah Setan Desa dan Petani. Masyarakat dan birokrasi desa memang tidak siap untuk melaksanakan landreform. Perangkat desa bukanlah alat yang efektif untuk tujuan itu.

  Latar belakang dan tujuan landreform tergantung kepada faktor-faktor yang memungkin adanya suatu landreform, termasuk didalamnya adalah tekanan demografi penduduk, system-sistem sosial yang tidak seimbang, tekanan nasionalisme, kegelisahan masyarakat desa dan kekerasan dari luar. Beberapa negara mempergunakan landreform untuk mencapai atau mempertahankan kekuatan dan lainnya menganggap ini sebagai gerakan politik untuk menghindari revolusi yang akan terjadi melawan suatu rezim.

  Dalam prakteknya, landreform dijalankan untuk menunjukan reaksi terhadap tekanan politik dari perubahan social ekonomi, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor seperti tekanan pertambahan penduduk disuatu daerah, baik distribusi tanah maupun pendapatan.

  Dengan demikian tujuan landreform itu sesungguhnya adalah untuk melakukan perubahan terhadap taraf hidup rakyat, khususnya petani, agar menjadi lebih baik, dengan meningkatkan hasil produksi dan memberikan kepemilikan terhadap tanah bagi petani kecil dan penggarap, yang pada akhirnya akan menuju masyarakat adil dan makmur.

  Dalam hal-hal tertentu, istilah landreform dipakai dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai perubahan dalam pemilikan dan penguasaan tanah, khususnya redistribusi tanah. Tetapi, menurut Erich Jacoby, redistribusi tanah tidaklah sama dengan landreform. Namun redistribusi tanah melalui landreform khususnya, telah mencapai target selama 20 tahun terakhir, pada saat prioritas perubahan social ekonomi telah diberikan terhadap daerah-daerah yang masyarakatnya sangat peka terhadap perubahan-perubahan.

  Pada dasarnya hal yang menimbulkan perlunya redistribusi tanah adalah ketidak seimbangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Disatu pihak ada sedikit petani yang mempunyai sejumlah besar atau sangat besar tanah pertanian, pada sisi lainnya sejumlah besar petani hanya mempunyai tanah yang sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tanah pertanian untuk digarap.

  Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagikan kepada petani yang membutuhkan itu tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian. Hal ini merupakan perwujudan dari azas yang terkandung dalam hukum agraria Indonesia, yang mengakui adanya hak perorangan atas tanah. Pemberian ganti kerugian itu, juga merupakan ciri pokok landreform Indonesia.

  Jadi yang dimaksud dengan redistribusi tanah yang menjadi objek landreform, adalah pembagian tanah-tanah pertanian yang telah diambil alih oleh Pemerintah karena terkena ketentuan larangan pemilikan tanah secara maksimum, absentee, tanah swapraja atau bekas swapraja, kepada para petani yang memenuhi syarat untuk menerima distribusi tanah tersebut.

  Ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah yang menjadi objek landreform tersebut dimulai pada tanggal 24 September 1963. Pelunasan Surat Hutang Landreform akan dilakukan dalam waktu 12 tahun, terhitung sejak diterimakan kepada bekas pemilik tanah yang bersangkutan, yaitu untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1965. Tetapi dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) PKI pada tahun 1965 itu, dan diikuti dengan perubahan-perubahan moneter kemudian, pengeluaran Surat Hutang Landreform yang sudah selesai disiapkan, terpaksa ditangguhkan dan bahkan kemudian ditiadakan.

  Sehubungan dengan apa yang dikemukakan diatas, kiranya dapat dipahami betapa pentingnya program landreform tersebut dimasukan sebagai salah satu agenda dalam pembaruan hukum agraria nasional kita, agar program landreform yang telah lama hilang dan bahkan hampir dilupakan itu, kembali dilaksanakan. Pentingnya program landreform tersebut antara lain dapat dilihat dari pidato Soekarno, dalam amanatnya pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1960, yang berjudul “Laksana Malaikat Yang Menyerbu Dari Langit! Jalannya Revolusi Kita” menyatakan; “Tanah, untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!. Tanah, tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk, gendut, karena mengisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanah itu………….!. 

  Dengan demikiakn keberhasilan pembaruan hukum agraria itu, hanya akan berhasil apabila pembaruan hukum agraria itu benar-benar mengutamakan kepentingan petani sebagai golongan terbanyak dari bangsa ini yang antara lain adalah melalui program landreform, tentunya dengan tidak mengabaikan peranan investor-investor dan pemodal besar.

  Pemikiran ini sengaja menggunakan pengertian dan sebutan pembaruan hukum agraria dan bukan penyempurnaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Boedi Harsono. Penyempurnaan menurutnya, mengandung pengertian membikin sesuatu yang sudah baik, menjadi lebih baik. Pembaruan mengandung arti perubahan atau penggantian sesuatu yang dinilai kurang atau tidak baik. Beliau berkeyakinan bahwa hukum tanah nasional kita sekarang ini sudah baik, sehingga penyempurnaan akan dilaksanakan dengan melengkapi isi UUPA, yang merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional kita dan memperbaiki rumusan ketentuan-ketentuannya dengan suatu peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.

  Penulis, berpemikiran bahwa sebutan yang tepat adalah pembaruan hukum agraria, sesuai dengan Ketetapan MPR RI IX/MPR/2001 bukan penyempurnaan hukum agraria, karena kita tidak boleh takut untuk mengakui bahwa hukum tanah nasional kita masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Untuk itu perlu dilakukan revisi yang tidak hanya berupa penyempurnaan, tetapi jika perlu dengan melakukan perubahan-perubahan atau pengantian terhadap beberapa ketentuan UUPA yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini.

  Namun demikian, dengan pembaruan hukum tanah nasional itu, diharapkan tidaklah menghapuskan keberadaan hukum adat sebagai sumber utama hukum tanah nasional kita, karena pembaruan yang dimaksud bukan berarti merubah secara total, melainkan memperbaiki dengan melakukan perubahan atau penggantian isi UUPA yang dianggap kurang atau tidak baik, dengan tetap berpedoman kepada hukum adat sebagai sumber utaman

POSISI NOTARIS DITENGAH KONTROVERSI PAYUNG HUKUM



Oleh : Maferdy Yulius



Disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, telah memunculkan berbagai macam tanggapan, baik yang datang dari kalangan Notaris sendiri, maupun dari pihak lain yang merasa Undang-Undang tersebut telah “memangkas” kewenangan yang selama ini merupakan kewenangannya.

  Seperti biasa, setiap diberlakukannya Undang-Undang baru, tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Untuk Undang-Undang Jabatan Notaris ini, polemik terus bergulir, khususnya mengenai beberapa pasal yang dapat menjadi sumber keragu-raguan dalam pelaksanaannnya, pada hal seperti dinyatakan dalam pembukaannya, Undang-Undang ini dibuat untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan.

  Didalam Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa, Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, sementara itu, menurut Pasal 1 (14) Menteri yang dimaksud adalah “Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan”. Penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang tersebut, menyatakan kedua pasal tersebut, cukup jelas.

  Pasal ini tidak langsung menyebutkan bahwa Menteri yang dimaksud adalah Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, sehingga ada kesan pembuat Undang-Undang, “malu-malu” untuk mengakui bahwa pada akhirnya, Notaris harus diangkat “hanya” oleh Menteri, seperti yang selama ini sudah berlangsung. Pengangkatan Notaris oleh Menteri Kehakiman dimulai sesudah tahun 1954, namun apa yang menjadi dasar kewenangan Menteri Kehakiman untuk dapat mengangkat para Notaris, tidak pernah jelas (GHS. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hal. 58).

  Lebih lanjut dikatakannya, bahwa menurut ketentuan pasal 3 PJN, para Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Didalam pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan dengan tegas, bahwa segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Pasal 3 PJN Stbl. 1860 Nomor 3 masih tetap berlaku,karena belum pernah dirubah atau dicabut. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara, hanya Pasal 2 ayat 3, pasal 62,62a dan Pasal 63, yang dicabut. Dengan demikian, pengangkatan Notaris seharusnya tetap dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara, sebagaimana halnya dilakukan sebelumnya, sampai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004.  

  Pengangkatan para Notaris oleh Gubernur Jenderal(baca: Kepala Negara)adalah dengan alasan; inti dari tugas Notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak, yang secara mufakat meminta jasa-jasa Notaris, yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas Hakim yang memberi putusan tentang keadilan antara para pihak yang bersengketa. Baik Hakim maupun Notaris dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, harus bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutif, oleh karena itu seyogyanya pengangkatan Notaris itu tidak dilakukan oleh Badan Eksekutif, melainkan oleh Kepala Negara (Ibid).

  Dengan melihat alasan tersebut diatas, tentunya menimbulkan pertanyaan, apa yang melatarbelakangi pembuat Undang-Undang mengajukan pengangkatan Notaris harus dilakukan oleh Menteri, mengapa ketentuan Pasal 3 PJN yang menentukan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Kepala Negara tidak dipertahankan ?, sementara di beberapa Negara lain, seperti, Belanda, Belgia, Italia para Notaris diangkat oleh Kepala Negara. Mengapa pembuat Undang-Undang justru “menurunkan derajat” Notaris? atau apabila tidak mungkin dilakukan oleh Kepala Negara, mengapa tidak dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, yang sekaligus bertindak selaku pengawas dan pembina para Notaris.

  Didalam Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN dinyatakan bahwa; Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan. Selama ini, pembuatan akta Pertanahan, adalah wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)yang penangkatan, pengawasan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Munculnya ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut, tentu saja menimbulkan interprestasi yang berbeda diantara pihak-pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan Notaris sendiri, DPR, Departemen Hukum Dan HAM, serta Badan Pertanahan Nasional. 

  Departemen Hukum dan HAM melalui Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan menafsirkan, dengan adanya Ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut, maka seorang Notaris tidak perlu lagi mengikuti ujian khusus untuk dapat diangkat sebagai PPAT, karena sudah inheren didalam diri Notaris, maka pembinaan, mengangkat Notaris itu otomatis mengangkat PPAT. Lebih lanjut menurutnya, UUJN mengesampingkan produk hukum lain dibawah Undang-Undang yang mengatur soal PPAT.(Jurnal Renvoi, Ed.No.7, 13-12-2004,hal.21). Demikian pula halnya menurut Akhil Muchtar, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, yang menyatakan bahwa; dari sudut pandang Legislatif, Pasal 15 (f) ini sudah jelas, jadi tidak perlu dijelaskan. Kesimpulannya Notaris diberi wewenang untuk membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan itu didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh undang-undang (Jurnal Renvoi, Ed.No.8, 3-01-2005, hal.8).

  Bagaimana dengan Badan Pertanahan Nasional(BPN)?, sebagai pihak yang “hajat dan kewenangannya” dipangkas, tentu saja BPN tidak bisa menerima hal itu, karena keberadaan PPAT tersebut menurut Achmad Rony, juga merupakan perintah undang-undang, yaitu sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUPA, yang kemudian dijabarkan oleh Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961. Lebih lanjut, mengenai PPAT juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1998 tentang Rumah Susun, Undang-Undnag Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Dengan demikian keberadaan PPAT seperti yang dikenal selama ini masih relevan, sementara ketentuan UUJN tidak memberikan ketegasan batas wilayah kerja Notaris selaku Pejabat Umum yang memiliki kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan(Jurnal Renvoi, ibid, hal. 14).

  Apabila kita menelaah UUJN itu sendiri, maka sesungguhnya Pasal 15 ayat 1 UUJN dengan tegas telah menyebutkan, bahwa,Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan , perjanjian, dan Ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 

  Dengan demikian sepanjang pembuatan akta itu telah ditugaskan kepada kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang(yang dalam hal ini adalah PPAT), maka Notaris, seharusnya tidak lagi berwenang untuk membuatnya. Namun demikian, ketentuan tersebut justru dimentahkan oleh ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f, yang memperbolehkan Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan.

  Pada sisi lain, Pasal 17 huruf g UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak secara otomatis juga menjadi PPAT, karena pasal ini mengakui adanya pemisahan kewenangan Notaris dengan PPAT, dimana pasal 17 huruf g tersebut berbunyi; Notaris dilarang; merangkap jabatan sebagai PPAT. 

  Akibat yang ditimbulkan oleh ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut, ditambah dengan pernyataan-pernyataan dari Pejabat Depertemen Hukum Dan HAM, para Notaris serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, menimbulkan reaksi balik yang keras dari Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Arie Sukanti Hutagalung(Guru Besar Pertanahan FHUI), Badan Pertanahan Nasional sudah sepakat kalau ada Notaris yang membuat akta itu tidak dalam jabatan sebagai PPAT, tidak akan dilakukan balik nama dan tidak akan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan (Ibid, hal: 27).

  Bila hal ini benar, maka yang akan dirugikan tidak hanya Notaris yang bersangkutan, melainkan juga masyarakat banyak yang justru menginginkan adanya kepastian hukum. Adalah tepat apa yang dikatakannya, bahwa subtansi UUJN tersebut, bertentangan dengan 3 Undan-Undang dibidang pertanahan, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 dan Undang-Undang No. 4 tahun 1996. Dua undang-Undang terakhir dengan tegas menyebutkan adanya Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jadi UUJN tidak saja menabrak ketiga Undang-Undang tersebut diats, melainkan telah “membypass” ketiga Udang-Undang tersebut.

  Pasal lain yang patut dicermati dalam UUJN ini adalah Pasal 20 ayat 1, yang memperbolehkan Notaris untuk membentuk Persekutuan Perdata dalam menjalankan jabatannya. Menurut penjelasannya, yang dimaksud dengan Perserikatan Perdata dalam ketentuan Pasal 20 tersebut, adalah “kantor bersama Notaris”. Di dalam Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 Nomor 3, Pasal 12, Notaris dilarang keras untuk mengadakan persekutuan dalam menjalankan jabatannya, dengan ancaman akan kehilangan jabatannya apabila ketentuan tersebut dilanggar.

  Persekutuan, menurut ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata, adalah bermaksud untuk membagi keuntungan yang didapat karenanya. Melihat maksudnya, maka tujuan persekutuan tentunya adalah mencari keuntungan secara bersama-sama. Dengan demikian, apabila kita bandingkan dengan kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana akta otentik itu ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindunagn hukum, seperti yang dijelaskan dalam penjelasan umum UUJN, maka keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut menjadi kontradiktif, karena dengan keberadaan Notaris secara bersama-sama dalam satu kantor bersama, akan sangat sulit untuk menjalankan ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf e UUJN, yang mewajibakan Notaris untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal itu, menurut pasal 85 UUJN, mulai dengan teguran lisan sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat.  

  Perlu diingat bahwa, bahwa bidang keahlian para Notaris adalah sama. Hal ini berbeda dengan dokter misalnya, yang membuka praktek bersama, namun dengan bidang keahlian dan spesialisasi yang berbeda-beda, karena ada dokter spesialis kandungan, spesialis anak atau spesialis THT, yang sepakat untuk membuka praktek bersama, berupa klinik kesehatan, agar masyarakat mudah mencari dokter yang dibutuhkan, sesuai dengan penyakit yang diidapnya. Demikian pula halnya dengan Advokat, karena Advokat ada yang spesialisasinya adalah pidana dan ada pula yang spesialisasinya dalam bidang hukum perdata ataupun Tana Negara, sehingga untuk memudahkan penanganan perkara, meraka sepakat untuk membuka kantor bersama.

  Oleh karena itu, mengingat sifat dan bidang pekerjaan Notaris seperti diuraikan diatas, serta kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, maka seharusnya ketentuan Pasal 12 Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 No. 3 tetap dipertahankan. 

  Pada sisi lain, keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut, akan sangat menguntungkan bagi Notaris-Notaris yang telah mempunyai “nama” (baca; senior) dan Klien/langganan yang banyak, karena dengan keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut, mereka tetap dapat mempertahankan dominasinya, tanpa perlu khawatir akan diambil alih oleh Notaris lain, terutama Notaris pemula (baca; yunior ), sebab sudah dapat diperkirakan, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, baik dari jumlah klien/langganan maupun modal dalam kerjasama itu, mereka akan tampil sebagai pimpinan dari kantor bersama tersebut, bahkan mungkin setelah pensiun sebagai Notarispun, mereka akan tetap menjadi pengatur laku dari belakang layar. Maka yang akan terjadi kemudian adalah dominasi yang tidak terputus.

  Ketentuan lainnya dalam UUJN ini yang dapat menimbulkan masalah adalah ketentuan Pasal 82 ayat 1, yang menentukan bahwa, Notaris berhimpun dalam wadah Organisasi Notaris. Penjelasan Pasal 82 ayat 1 menyatakan, “cukup jelas”. Namun bernarkah demikian?. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan, Organisasi Notaris satu-satunya yang diakui oleh Pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI). 

  Ketentuan Pasal 82 ayat 1 UUJN tersebut adalah bersifat memaksa, yang mengharuskan Notaris untuk berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris. Akan tetapi, walaupun berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003, INI adalah satu-satunya Organisasi Notaris yang diakui oleh Pemerintah, tidak satu katapun dalam UUJN , baik dalam pasal-pasal maupun dalam penjelasannya yang menyebutkan bahwa wadah Organisasi Notaris yang dimaksud oleh UUJN itu adalah INI. 

  Pengakuan dari Departemen Hukum dan HAM, bahwa INI adalah sebagai “wadah tunggal” Notaris, akhirnya kembali ditegaskan melalui, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004, tertanggal 7 Desember 2004, tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Pengakuan tersebut, ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 1 huruf b dan diulangi dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b.  

  Tidak bisa dipungkiri, bahwa selain INI masih terdapat beberapa organisasi Notaris lain, yang suka atau tidak suka, hingga saat ini ada, yaitu antara lain adalah Himpunan Notaris Indonesia (HNI) dan Asosiasi Notaris Indonesia (ANI), serta Persatuan Notaris Reformasi Indonesia (Pernori). Sebagai sebuah organisasi profesi jabatan yang berbentuk perkumpulan, HNI telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri, seperti juga halnya dengan INI. Paling tidak, ia telah memenuhi unsur untuk dapat dianggap sebagai organisasi profesi jabatan sebagaimana dinyatakan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 (2) Peraturan Meneteri Hukum dan HAM tersebut diatas. 

  Dengan adanya kenyataan tersebut, ketentuan Pasal 82 ayat 1 UUJN, ternyata belum menyelesaikan masalah organisasi Notaris. Bahkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM tertanggal 7 Desember 2004, mengenai pembentukan Majelis Pengawas Notaris, yang menyatakan bahwa unsur dari organisasi Notaris adalah dari Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, akan semakin menimbulkan ketidak jelasan, karena bagaimana melakukan pengawasan terhadap para Notaris yang tidak bernaung dibawah INI? Apakah akan dilakukan langsung oleh Menteri atau seperti yang ditentukan oleh ketentuan peralihan Pasal 40 Peraturan Menteri tersebut, bahwa semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang berkaitan dengan pengawasan Notaris, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Meneteri ini. Artinya, sampai dengan selesainya masalah “wadah tunggal” organisasi Notaris, maka pengawasan terhadap Notaris-Notaris yang tidak bernaung dibawah INI, akan tetap dilakukan oleh Pengadilan Negeri diwilayah Jabatan Notaris yang bersangkutan. Apabila demikian halnya, jelas sekali bahwa Peraturan Menteri itu, dibuat secara tergesa-gesa, tanpa memperhatikan keadaan yang sesungguhnya, sekaligus menunjukan kembalinya Arogansi kekuasaan untuk memaksakan kehendak.  

  Menyikapi diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka kita semua perlu memiliki jiwa besar untuk dapat menerima perbaikan-perbaikan terhadap Undang-Undang tersebut, karena Undang-Undang yang semula diharapkan akan dapat menjadi pegangan untuk kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi para Notaris dalam menjalankan jabatannya, ternyata justru menjadi sumber keragu-raguan dan ketidak pastian. Oleh karena itu, Pemerintah, Organisasi-organisasi Notaris, Dewan Perwakilan Rakyat serta para Akademisi, perlu melakukan telaah ulang terhadap UUJN tersebut.

  Dengan demikian, akan didapat suatu penyelesaian untuk melakukan perbaikan terhadap UUJN tersebut, paling tidak untuk menghilangkan kontroversi yang ditimbulkan setelah diberlakukannya UUJN. 

PPAT DI PERSIMPANGAN JALAN


 
Oleh: MAFERDY YULIUS

  Seperti pernah saya kemukakan dalam tulisan pada harian lain dikota ini, Undang-Undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) sejak awal lahirnya telah menimbulkan berbagai macam polemik karena adanya beberapa ketentuan dalam Pasal-pasal undang-undang tersebut yang bersifat kontroversial. Ternyata dugaan saya itu benar, terbukti dengan semakin ramainya polemik mengenai pasal-pasal yang telah saya bahas dalam tulisan tersebut. 

  Salah satu diantaranya adalah mengenai keberadaan Pasal 15 UUJN, terutama setelah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi No 009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Pengujian UUJN terhadap UUD 1945. Ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut ternyata hingga saat ini tetap tidak bisa dilaksanakan baik oleh Notaris maupun oleh Badan Pertanahan Nasional.  

  Masing-masing pihak tetap bertahan dengan argumennya sendiri-sendiri. BPN beranggapan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak bisa dipisahkan dengan BPN, keberadaan PPAT itu berdasarkan sejarahnya adalah untuk menjalankan sebagian pekerjaan BPN, karena keterbatasan waktu dan tempat yang jauh , karena negara kita luas, maka PPAT itu kita serahkan kepada Camat dan kita serahkan juga kepada Notaris. Demikian pernyataan seorang petinggi BPN dalam Majalah Berita Bulanan Notaris.  

  Benarkah demikian?, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak mengatur dan bahkan sama sekali tidak menyinggung mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Seperti halnya dengan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 juga tidak menyebut adanya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), apalagi mengaturnya. Pasal 19 PP 10 tahun 1961 hanya menyebutkan Pejabat saja.  

  Di dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No 4 tahun 1996 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) disebut sebagai Pejabat Umum, yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

  Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau yang disebut pejabat umum itu diangkat oleh Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja tertentu. Dengan dinyatakannya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) oleh Undang-Undang Hak Tanggungan itu sebagai Pejabat Umum, maka diakhiri keragu-raguan mengenai penamaan, status hukum, tugas dan kewenangan Pejabat tersebut.  

  Sesungguhnya didalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun juga telah disebutkan mengenai tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu sebagai Pejabat yang berwenang untuk membuat akta pemindahan hak milik atas satuan rumah susun dan akta pembebanan hak tanggungan atas satuan rumah susun, tetapi undang-undang ini juga tidak menyebutkan dengan jelas penamaan dan status PPAT. Baru di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UU No.4 tahun 1996) disebutkan dengan jelas mengenai penamaan, status dan kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu, sebagai Pejabat Umum.

  Dengan ditegaskannya nama, kedudukan dan status hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, maka selanjutnya ketentuan umum mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

  Ketentuan pasal 6 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 menyatakan, bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kata-kata dibantu telah menimbulkan salah pengertian pada sementara Pejabat Pembuat Akta Tanah maupun BPN. Pejabat Pembuat Akta Tanah seakan-akan adalah merupakan pembantu dalam arti bawahan Kepala Kantor Pertanahan. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah membantu Kepala Kantor Pertanahan, harus diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang menurut pasal 6 ayat 1 ditugaskan kepada Kepala Kantor Pertanahan.  

  Kepala Kantor Pertanahan, dalam melaksanakan tugasnya mendaftar hak tanggungan dan memelihara data yuridis yang sudah terkumpul dan disajikan dikantornya yang disebabkan karena pembebenan dan pemindahan hak– di luar lelang– kecuali dalam hal yang dimaksudkan dalam pasal 37 ayat 2, Kepala Kantor Pertanahan mutlak memerlukan data yang harus disajikan dalam bentuk akta yang hanya boleh dibuat oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah.

  Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kedudukan yang mandiri, bukan sebagai pembantu pejabat lain. Kepala Kantor Pertanahan, bahkan siapapun tidak berwenang memberikan perintah kepadanya atau melarangnya membuat akta. Pelaksanaan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah sudah ada ketentuannya dalam Undang-Undang 16 tahun 1985, Undang-Undang 4 tahun 1996, Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 dan peraturan-peraturan hukum materil yang bersangkutan. Dalam pengertian itulah ketentuan pasal 6 ayat 2 tersebut harus diartikan. 

  Menurut Jimly Asshiddiqie, harus dibedakan antara pertanggung jawaban fungsional PPAT dari pengertian pertanggung jawaban hukum dan pertanggung jawaban professional PPAT. Dalam menjalankan fungsinya, PPAT tidak bertanggung jawab secara fungsional kepada siapapun, termasuk kepada Pejabat Pemerintah yang mengangkatnya. PPAT hanya bertanggung jawab secara hukum kepada Hakim di Pengadilan apabila ia disangka dan dituduh melakukan tindak pidana atau jika ia diminta bertanggung jawab secara professional menurut norma-norma etika profesinya sendiri melalui Dewan Kehormatan atau Komisi Etika yang dibentuk oleh organisasi profesinya sendiri.

  Sedangkan mengenai surat keputusan pengangkatan dan pemberhentian seorang PPAT hanya mempunyai sifat administratif. Oleh karena itu secara administratif PPAT tetap bertanggung jawab kepada pemerintah yang mengangkatnya. Artinya jika ia tidak memenuhi syarat administratif, ia tidak dapat diangkat menjadi PPAT, sebaliknya jika ia gagal memenuhi bukti-bukti lain yang dapat dijadikan alasan pemberhentiannya dari jabatan PPAT, maka ia akan diberhentikan dari jabatan PPAT oleh pejabat Pemerintah yang mengangkatnya sebagai PPAT.  

  Dari uraian-uraian mengenai pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut diatas, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan tahun 1996, Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dimaksud adalah Notaris atau orang-orang yang diangkat menjadi Pejabat Umum oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah terlebih dahulu lulus dalam ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.

  Pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur dalam pasal 19 sampai dengan Pasal 32 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 37 Tahun 1998. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri, dimana semua jenis akta itu diberi satu nomor urut yang berulang pada permulaan tahun takwim.

  Kewenangan Menteri Agraria/Kepala BPN untuk menentukan bentuk akta Pejabat pembuat Akta Tanah tersebut adalah kewenangan yang diberikan oleh dirinya sendiri, dan hal itu bermula dari menentukan bentuk akta hipotik dan mengatur hukum acara serta kekuatan hukum dari sertifikat. Kesalahan dan kekeliruan tersebut terus berlanjut, terutama bertalian atau yang berkenaan dengan akta-akta perjanjian yang bertalian dengan hak atas tanah, demikian pula halnya yang bertalian dengan pejabat yang berwenang membuat akta tersebut, antara lain sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Rumah Susun Nomor 16 tahun 1985, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.  

  Permasalahan PPAT, semakin bertambah pula dengan belum bisa dilaksanakannya ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN pasca keputusan Mahkamah Konstitusi, sehingga akan semakin panjang pula polemik mengenai kedudukan PPAT. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebagai pembuat Undang-Undang bersama-sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, beranggapan bahwa PPAT itu sudah inheren didalam diri Notaris, sementara BPN beranggapan bahwa Notaris dan PPAT itu merupakan sesuatu yang terpisah dan harus dipisahkan.

  Sementara itu organisasi PPAT, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) melalui Ketua Umumnya menyatakan dan beranggapan bahwa masalah itu bukan merupakan kewenangan dari IPPAT, sehingga jika suatu hari nanti PPAT tidak ada lagi karena keberadaanya dihapuskan oleh undang-undang, maka hal itu harus diterima.

  Dengan terus berlanjutnya, bahkan belakangan semakin ramai polemik mengenai kedudukan dan keberadaan PPAT sebagai akibat ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut, maka akan berpengaruh pula terhadap kepercayaan masyarakat terhadap tugas dan kewenangan PPAT dan juga terhadap PPAT itu sendiri, sehingga PPAT benar-benar berada di persimpangan jalan.

  Oleh karena itu untuk menjamin adanya kepastian hukum dan untuk dipenuhinya rasa keadilan, serta pula demi tercapainya tertib hukum sesuai dengan system hukum yang dianut dan berlaku di Indonesia, maka dengan pendekatan yang objektif, ilmiah dan argumentatif, jika keberadaan PPAT itu akan tetap dipertahankan, perlu segera dibentuk atau dibuat undang-undang organik yang mengatur tentang jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 

  Ketentuan-ketentuan yang selama ini ada tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah dianggap belum cukup memadai, karena walaupun kedudukan, nama dan status Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut telah di sebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang tentang Rumah Susun maupun Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, tetapi ketentuan mengenai peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), yang dianggap masih belum memadai untuk tugas dan peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

  Disamping itu keberadaan Peraturan Pemerintah No.37 tahun tahun 1998 itu dianggap kurang tepat secara hukum. Keberadaan PP ini sama sekali tidak didasarkan atas perintah undang-undang. Penetapan PP tersebut oleh pemerintah dianggap perlu untuk mengisi kekosongan hukum. 

  Hal itu dapat dimaklumi, karena dalam teori hukum ada pendapat yang menyatakan bahwa apabila ada kebutuhan untuk mengatasi kekosongan hukum, kepala pemerintahan berwenang berdasarkan prinsip “Freisermessen” menetapkan peraturan yang dibutuhkan untuk kepentingan umum. Namun menurut Jimly Asshiddiqie bentuk hukumnya seharusnya bukan Peraturan Pemerintah, melainkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur.

  Atau jika keberadaan PPAT memang hendak dihapuskan karena dianggap telah inheren dalam diri Notaris, sebagaimana dikehendaki oleh DPR dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia seperti yang tersirat dalam ketentuan Pasal 15 UUJN, serta wacana yang berkembang belakangan ini, maka ketentuan itu harus pula dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang, sehingga tidak menimbulkan polemik karena adanya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya

KEDUDUKAN HUKUM NOTARIS/PPAT YANG TERPILIH SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF WAJIB MENGUNDURKAN DIRI SEBAGAI NOTARIS/PPAT



Ditulis Oleh Dr. Habib Adjie, SH., M.Hum 

(Notaris dan PPAT di Kota Surabaya)

 

Tahun 2009 akan dilakukan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden. Khusus untuk anggota legislatif (DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi dan DPR serta Dewan Perwakilan Daerah/DPD), banyak dari kalangan Notaris dan PPAT melalui partai politik tertentu yang “mengadu peruntungan” untuk turut serta merebut satu kursi legislatif tersebut. Saya sebutkan “mengadu peruntungan” mungkin untuk melakukan reposisi kedudukan dari Notaris/PPAT sebagai Pejabat Umum atau Pejabat Publik ke Pejabat Negara, ataupun memang terpanggil untuk berkiprah dalam dunia politik, sehingga bisa berbuat lebih banyak untuk rakyat, dibandingkan dengan Notaris yang seringkali mengedepankan ego pribadinya daripada melayani masyarakat. Apapun alasannya sah-sah saja, dan tidak perlu dipersoalkan, karena semuanya akan kembali kepada yang menjalaninya.

Dalam hal ini perlu mendapat perhatian kita semua, terutama para Notaris/PPAT yang akan duduk sebagai anggota legislatif tersebut kaitannya dengan jabatannya sebagai Notaris/PPAT.  

Sebagaimana kita ketahui bahwa berdasarkan Pasal 17 huruf d UUJN bahwa ”Notaris dilarang merangkap sebagai Pejabat Negara”. Bahwa anggota legislatif (DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi dan DPR serta Dewan Perwakilan Daerah/DPD) dikategorikan sebagai salah satu Pejabat Negara. Sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun Pokok-pokok Kepegawaian), dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 4, menyebutkan adanya Pejabat Negara, dan Pasal 11 ayat (1), bahwa Pejabat Negara terdiri atas :

a. Presiden dan Wakil Presiden.

b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan.

e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung.

f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

g. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri.

h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh.

i. Gubernur dan Wakil Gubernur.

j. Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan

k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.

Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, menyebutkan Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi dan tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. Sejak tanggal 10 Agustus 2002 yang merupakan perubahan ke IV terhadap UUD 1945, tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi atau tinggi negara, misalnya dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara.

Dalam aturan hukum tersebut menentukan mereka yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi negara/tertinggi negara sebagaimana tersebut di atas dikualifikasikan sebagai Pejabat Negara. Pengertian ini menunjuk kepada orang (subjek) hukum yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi/tertinggi negara.

Kedudukan sebagai Pejabat Negara tidak hanya dapat diisi atau dipangku oleh mereka yang berkarir dalam pemerintahan (sebagai pegawai negeri), kedudukan tersebut dapat diisi pula oleh mereka yang berjuang melalui sarana partai politik atau juga oleh mereka yang tidak merintis karir sebagai pegawai negeri atau melalui partai politik, tapi melalui cara lain, misalnya dalam pengangkatan Hakim Agung yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY), disamping menerima calon yang berasal hakim karir, juga menerima mereka yang bukan berasal dari hakim karir. Jabatan seperti itu dapat disebut sebagai Jabatan Politik. Disebut sebagai Jabatan Politik bukan saja dari cara meraihnya, tapi sebagai jabatan yang strategis dalam pengambilan kebijakan atau keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

UUJN juga mengatur untuk Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara. Jika seorang Notaris akan diangkat menjadi Pejabat Negara maka wajib mengambil cuti selama memangku jabatan sebagai pejabat negara (Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN), dan wajib mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN). Ketentuan semacam ini untuk tetap menjaga kesinambungan jabatan Notaris.

Dengan demikian serta merta seorang Notaris dilarang untuk merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara. Jika Notaris melanggar ketentuan tersebut (artinya tidak mengambil cuti) akan dijatuhi Sanksi Administratif sebagai diatur dalam Pasal 85 UUJN. Hal yang sama diatur pula dalam Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dalam ayat (1) huruf c berbunyi ”PPAT dilarang merangkap jabatan atua profesi lain-lain jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan”. Kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa PPAT yang merangkap jabatan tersebut wajib mengajukan permohonan berhenti kepada kepala BPN. Dan menurut ayat (3) jika masa jabatannya telah berakhir dapat mengajukan permohonan kembali sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Notaris/PPAT yang menjadi anggota legislatif tersebut lebih tegas lagi jika ditinjau atau dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk anggota DPD disebutkan dalam Pasal 12 huruf l disebutkan bahwa ”bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”. Untuk anggota DPRD Kota/Kabupaten/Propinsi dan Pusat dalam Pasal 50 ayat (1) huruf l disebutkan bahwa ”bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan”.

Aturan hukum yang mengatur kedudukan Notaris/PPAT yang menjadi anggota legislatif tersebut secara substansi sangat berbeda. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, Untuk Notaris wajib mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN), dan untuk PPAT berdasarkan Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 PPAT, bahwa yang bersangkutan wajib berhenti, dan jika masa jabatannya berakhir dapat mengajukan permohonan kembali sesuai aturan hukum yang berlaku, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris/PPAT. 

Jika menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, Untuk Notaris wajib mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN) maka dapat dikategorikan bahwa Notaris yang bersangkutan masih berpraktek, meskipun jabatannya dan namanya dipakai oleh Notaris Pengganti, artinya Papan Namanya sebagai Notaris tetap ada (dipasang) atau tidak diturunkan. Dan menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 wajib berhenti dan berdasarkan Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris/PPAT sama sekali, artinya kalaulah Notaris/PPAT yang menjadi anggota legislatif tersebut dengan memakai Notaris Penggganti masih dikategorikan ”praktek” atau menjalankan tugas jabatannya, maka menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 dilarang praktek, dengan kata lain Notaris/PPAT yang bersangkutan bukan lagi harus cuti, tapi harus mengundurkan diri atau berhenti tetap sebagai Notaris/PPAT dan menyerahkan protokolnya kepada Notaris/PPAT lain dan menurunkan papan namanya dan menutup kantornya. Karena mengundurkan diri, maka dengan konsekuensi hukum, jika setelah menjalankan tugas sebagai anggota legislatif, akan praktek kembali sebagai Notaris/PPAT, maka kepada yang bersangkutan akan dikategorikan sebagai Notaris/PPAT baru yang harus menempuh prosedur pengangkatan sebagai Notaris/PPAT baru, misalnya harus melihat formasi pengangkatan Notaris/PPAT, juga ikut ujian PPAT lagi, dengan kata lain tidak lain tidak diperlukan keistimewaan apapun pada dirinya atau perlakukan khusus kepada yang bersangkutan.

Secara normatif kedua aturan sebagaimana terurai di atas tidak sejalan, yaitu menurut menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) juncto ayat (3) – (6) UUJN) cukup cuti saja, dan setelah selesai cuti dapat mengambil kembali Surat Keputusan (SK-nya) untuk menjalani tugas jabatan sebagai Notaris, menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 wajib berhenti, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang berpraktek.

Dengan menggunakan Asas Preferensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 harus ditempatkan sebagai aturan hukum yang khusus (lex spesialis), yang mengatur secara khusus mengenai persyaratan sebagai anggota legislatif, maka Notaris/PPAT yang terpilih sebagai anggota legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri sebagai Notaris/PPAT. Jika ternyata ada Notaris yang terpilih sebagai anggota legislatif tersebut tidak mengundurkan diri sebagai Notaris/PPAT, tapi malah mengangkat Notaris/PPAT Pengganti, maka tindakan Notaris/PPAT tersebut dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan diluar wewenang atau sudah tidak mempunyai kewenangan lagi, sehingga akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapannya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan bukan lagi sebagai akta otentik. Jika ini terjadi siapa yang dirugikan ? Sudah tentu masyarakat, dan INI/IPPAT akan dinilai sebagai organisasai yang tidak mampu menegakkan aturan hukum tersebut kepada para anggotanya. Dan lebih jauh lagi, dengan demikian secara otomatis secara keorganisasian (INI/IPPAT), bukan lagi sebagai Anggota Biasa, tapi terdegradasi kedudukannya menjadi Anggota Luar Biasa saja.

Bahwa aturan hukum tersebut harus dijalankan sepahit apapun, sebagaimana apa adanya, oleh karena itu kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang ”menggawangi” para Notaris dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ”menggawangi” para PPAT para Pengurus Ikatan Notaris Indonesia dan Pengurus Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Daerah/Wilayah/Pusat), harus pasang mata dan telinga serta para anggaota INI/IPPAT untuk turut serta mengawal dan menjalankan ketentuan Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 dan mengambil tindakkan hukum yang jelas-tegas kepada yang bersangkutan, jangan sampai terjadi jabatan Notaris/PPAT hanya sebagai jabatan sampingan yang dapat dipermainkan oleh mereka yang menjadi anggota legislatif, yang suatu saat akan diambil kembali. Bukankah kita ingin jabatan Notaris/PPAT menjadi jabatan yang luhur, terhormat, bermartabat di negeri ini...! Bagaimana bisa luhur, terhormat dan bermartabat, jika aturan hukum sebagaimana tersebut di atas tidak ditaati oleh para Notaris/PPAT sendiri...? Kalau terjadi - Apa Kata Dunia.....!!??

DILEMMA : NOTARIS DAN PPAT YANG BERBEDA TEMPAT KEDUDUKAN/WILAYAH JABATAN


Habib Adjie

(Notaris & PPAT Kota Surabaya)

 

Paska dibukanya hasil Ujian Calon Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah menimbulkan persoalan baru, antara lain banyak peserta yang lulus tersebut, yang juga telah menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, ternyata ada yang berbeda tempat kedudukan (kota/kabupaten) dalam wilayah jabatan (propinsi) yang sama atau ada juga yang berbeda wilayah jabatan yang sudah pasti berbeda tempat kedudukan.

Khusus untuk mereka yang lulus sebagai PPAT dan ternyata dalam jabatan yang berbeda dengan Notaris, misalnya sebagai Notaris di salah satu kota/kabupaten di Propinsi Jawa Barat, dan lulus sebagai PPAT di Jakarta Selatan di DKI Jakarta, atau lulus sebagai PPAT yang berbeda kota/kabupaten dalam wilayah jabatan yang sama, misalnya lulus sebagai PPAT di Kota Kediri dan sebagai Notaris di Surabaya (keduanya Propinsi Jawa Timur) menimbulkan permasalahan yang sangat unik dan lucu, yang hanya ada di Indonesia, khususnya dalam dunia Notaris dan PPAT. Untuk melihat permasalahan tersebut akan menempatkan UUJN sebagai aturan hukum untuk menyelesaikannya. 

Bahwa dalam Pasal 17 huruf g UUJN, ditegaskan Notaris dilarang merangkap jabatan diluar wilayah jabatan Notaris. Jika larangan tersebut dilanggar maka berdasarkan Pasal 85 UUJN, dapat dikenai sanksi administratif dari Majelis Pengawas Notaris secara berjenjang Notaris terlebih dahulu diberi kesempatan untuk membela diri mulai dari MPD, MPW, MPP dan pada akhirnya atas usulan MPP akan dilakukan Pemberhentian tidak hormat oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Bahwa kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN, bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Maka dengan demikian Notaris yang berbeda wilayah jabatan sebagaimana tersebut telah melanggar Larangan jabatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 17 huruf g UUJN, maka kepada Notaris yang bersangkutan harus diberhentikan sementara dari Jabatannya selama 6 (enam) bulan (Pasal 9 ayat (4) UUJN). Dan sebelum pemberhentian tersebut dilakukan kepada Notaris yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri secara berjenjang di hadapan Majelis Pengawas (Daerah, Wilayah dan Pusat) lihat Pasal (Pasal 9 ayat (2) dan (3) UUJN.

Meskipun dalam hal ini berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UUJN Notaris yang diberhentikan sementara dari jabatannya tersebut dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa pemberhentian sementara berakhir. Dalam kaitan ini perlu dipahami bahwa diangkat sebagai PPAT yang berbeda wilayah jabatan dengan Notaris tidak bersifat sementara, tapi bersifat tetap, apakah mungkin, dengan tidak merubah (tidak pindah) Wilayah Jabatan, setelah masa 6 (enam) bulan masa pembehentian sementara sementara berakhir dapat diangkat kembali dalam wilayah jabatan yang sama pula ?

Bahwa agar sama wilayah jabatan Notaris dan PPAT, apakah bisa Notaris yang bersangkutan mengundurkan diri dari wilayah jabatan yang lama agar sama dengan PPAT ? Jawabannya bisa, tapi permasalahannya jika ternyata, pada wilayah jabatan tersebut (kota/kabupatennya) tidak ada formasi, sudah tentu tidak dapat diangkat juga, begitu juga sebaliknya, jika wilayah jabatan PPAT yang pindah untuk disesuaikan dengan wilayah jabatan Notaris, permasalahannya, apakah ada formasi pada daerah yang bersangkutan ? Jika tidak ada formasi, akhirnya tidak dapat diangkat juga.

Pada aturan hukum yang lain disebutkan, bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT, dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c, ditegaskan bahwa PPAT berhenti dari Jabatan sebagai PPAT karena melaksanakan tugas sebagai Notaris pada daerah kota/kabupaten yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT. Dengan demikian mereka yang lulus sebagai PPAT dan juga telah menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris berbeda tempat kedudukannya sebagai PPAT, maka PPAT yang bersangkutan secara otomatis berhenti sebagai PPAT.

Dengan kejadian sebagaimana tersebut di atas, sehingga pembelaan apapun yang akan dilakukan oleh Notaris di hadapan Majelis Pengawas atau di hadapan Badan Pertanahan Nasional, tidak ada gunanya karena sudah jelas kesalahannya dan pengaturannya sudah jelas, hanya dalam hal ini telah terjadi pemahaman yang tidak utuh oleh rekan-rekan Notaris ketika akan mengikuti ujian calon PPAT, baik terhadap UUJN maupun Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengenai wilayah jabatan dan tempat kedudukan, dalam arti yang penting lulus ujian PPAT.

Ketentuan sebagaimana tersebut, karena perintah undang-undang (UUJN) maka harus dilaksanakan seutuhnya oleh Majelis Pengawas, jika Majelis Pengawas tidak mau melakukannya, maka Majelis Pengawas telah melanggar UUJN. Permasalahan lain akan timbul pada satu sisi Majelis Pengawas akan menegakkan aturan hukum tersebut, pada sisi yang lain Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai organisasi Jabatan Notaris punya kewajiban untuk membela para anggotanya yang mengalami permasalahan seperti itu.

Jika ternyata pada kenyataannya, ada rekan-rekan Notaris dan PPAT tetap menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris dan PPAT meskipun telah jelas dan nyata melanggar ketentuan Pasal 17 huruf g dan Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN serta Pasal 8 aya (1) huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT, adakah akibat hukum terhadap akta dan Notaris/PPAT yang bersangkutan ? Pelanggaran seperti dapat dikembalikan kepada ketentuan Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata, yaitu dinilai Notaris/PPAT tersebut telah menjalankan tugas jabatannya di luar wewenang, artinya sudah tidak mempunyai wewenang lagi untuk membuat akta apapun, sehingga jika ternyata tetap membuat akta, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan. Kepada para pihak yang merasa dirugikan atas tindakan Notaris/PPAT seperti itu, maka maka dipersilahkan untuk mengajukan gugatan secara perdata kepada Notaris/PPAT yang bersangkutan, berupa ganti rugi secara materi dan immaterial. Jika Notaris/PPAT yang bersangkutan tidak mampu membayar ganti rugi tersebut, maka Notaris yang bersangkutan akan dinyatakan Pailit, dan kepailitan tersebut pada akhirnya Notaris yang bersangkutan akan diberhentikan secara tidak hormat dari Jabatannya sebagai Notaris (Pasal 12 huruf a UUJN).

Oleh karena itu diharapkan kepada rekan-rekan yang mengalami permasalahan sebagaimana tersebut di atas, disarankan dengan tegas jangan (dulu) membuat akta Notaris atau PPAT dalam permasalahan beda tempat kedudukan dan wilayah jabatan sebagaimana tersebut di atas, untuk menghindari sanksi dan tuntutan ganti rugi dari pihak tertentu sebagaimana tersebut di atas, untuk sementara pilih salah satu saja, menjalankan tugas jabatan Notaris atau PPAT saja.

Sekarang dipersilahkan kepada Menteri Hukum dan HAM RI, Badan Pertanahan Nasional, INI dan IPPAT serta Majelis Pengawas untuk duduk satu meja menyelesaikan permasalahan tersebut, hilangkan dan/atau kubur hidup-hidup ego sektoral masing-masing. Indonesia adalah Negara Kesatuan, tidak diatur berdasarkan isi kepala dan maunya para pihak tersebut di atas, tapi berdasarkan aturan hukum dengan tujuan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam hal ini perlu diingat UUJN sebagai suatu Undang-undang tidak dapat dieliminasi dengan bentuk aturan hukum di bawah undang-undang, sehingga bentuk penyelesaian yang paling elegant adalah mengganti atau merubah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT untuk mengikuti atau diharmonisasikan dengan pengaturan tempat kedudukan dan wilayah jabatan sebagai tersebut dalam UUJN, karena sudah pasti UUJN lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah tersebut.

Jika ternyata ternyata Menteri Hukum dan HAM RI, Badan Pertanahan Nasional, INI dan IPPAT serta Majelis Pengawas keras kepala dan tidak mau berunding menyelesaikan permasalahan tersebut, maka secara normatif pada dasarnya kepada rekan-rekan yang mengalami permasalahan sebagaimana tersebut di atas, harus memilih Notaris atau PPAT saja. 

Itulah dalam Hukum Indonesia selalu ada yang unik dan lucu. Karena keunikan dan kelucuan ini ada yang menjadi korban.

PENDAFTARAN TANAH



☻PENDAFTARAN TANAH OBYEKTIF.

  ( PP NO; 24Tahun 1997).

  Definisi : Rangkaian kegiatan yg dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan , pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bi dang-bidang tanah yg sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak- hak tertentu yg membebaninya. 

PROSES AJUDIKASI ( Pendaftaran awali):

  a. Sporadik.- Oleh Kepala Kantor Pertanahan.

  b. Sistematik- Oleh Panitia Ajudikasi 

   

☻PRINSIP: - Asas terbuka.

  - Aman.

  - Terjangkau

  - Mutakhir.

  - Terbuka.

☻TUJUAN: 1. Kepastian hukum perlindungan hukum.

  2. Penyediaan informasi untuk fihak –fihak/ Pemerintah.

  3.Tertib administrasi pertanahan.

☻PELAKSANAAN:

  . BPN-------- Kantor Pertanahan.

  a. pendaftaran tanah awali( ajudikasi)

  b. Pendaftaran berkelanjutan.

  Panitia Ajudikasi::Pendaftaran awali ( ajudikasi)

  MELIPUTI: 1. Data fisik

  2. Data yuridis.
 
 
☻OBYEK : 1. HM . HGU. HGB. HP..

  2. H. Pengelolaan.

  3. Tanah Wakaf

  4. HM Sarusun.

  5. H. Tanggungan.

  6. Tanah Negara. 

☻SATUAN WILAYAH: a. Desa/ kalurahan.

  b. Kabupaten/Kota

  HGU.HPL.HT.TN.

☻PEMBUKTIAN HAK LAMA

  ( KONVERSI): - Bukti tertulis.

  - Keterangan saksi

  - Pernyataan ( tertulis )ybs(diakui panitia Ajudikasi

  /kantor pertanahan.  

  - Penguasaan terus menerus 20 tahun.

   
☻PEMBUKTIAN HAK LAMA SEBELUM PP NO; 27 TAHUN 1997:  

-ex BW: Grose akta eigendom.
Ex Swapraja: tanda bukti hak yg diterbitkan oleh swapraja.
Ex Ketentuan P.M.A 9/1959: Surat pemindahan hak yg disaksikan

  Kepala desa/lurah

  Akta ikrar wakaf.

  Surat penunjukan kaveling oleh Pemerintah.

  Bukti- bukti petuk/ pajak bumi.

  Surat riwayat tanah yg diterbitkan oleh kantor Pelayanan pajak.
 
 

☻ DATA FISIK: Keterangan mengenai letak, batas luas bidang tanah.

   satuan rumah susun yg didaftar, termasuk keterangan 

  mengenai adanya bagian bangunan diatasnya  

  Surat ukur

☻Data yuridis: Keterangan mengenai status hukum bidang tanah

  satuan rusun yg didaftar,pemegang haknya dan fihak 

  lain serta beban-beban yang membebaninya. 

☻PEMINDAHAN HAK: 

  MUTASI HAK:

  -menyerahkan bukti sertifikat.

  -atau menyerahkan srt keterangan dari lurah ttg haknya

  - membayar kewajiban balik nama

  - menyerahkan sertifikat aseli

  - menandatangani akta PPAT
 
 
☻LELANG:

  - 7 (tujuh) hari kerja sebelum lelang harus meminta SKPT

  atas tanah tersebut,dan selambat-lambatnya 5 hari sudah

  diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.

  - Menyerahkan risalah lelang dan bukti pembayaran/pelu-
  nasan.

  - menyerahkan sertifikat asli.

  - membayar biaya balik nama. 

☻PEWARISAN:

  - surat kematian.

  - surat keterangan kewarisan.

  - menyerahkan sertifikat hak atas tanah

  - membayar biaya balik nama.
 
 
☻PPAT MENOLAK PEMBUATAN AKTA PPAT (Ps 39):  

  ► tidak menyerahkan sertifikat asli untuk tanah terdaftar, atau

  ► surat keterangan kepala desa bahwa yang bersangkutan 

  menguasai tanah tersebut( data fisik)

  ► salah satu pihak tidak berhak

  ► pemegang kuasa adalah kuasa mutlak atau tidak berhak

  ► belum ada ijin jika ada keharusan

  ► masih dalam sengketa fisik/data yuridis 

  ► belum membayar biaya balik nama( UU NO; 20 Th 1997)
 
 
 
Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT): 

♥ Definisi: Pejabat umum yang diberikan kewenangan membuat akta 

  otentik atas hak atas tanah dan satuan rumah susun. 

♥ MACAM PPAT:

  ► PPAT: . Notaris.

  PPAT.

  ► PPAT SEMENTARA: Camat ; Kepala Desa

  ►PPAT KHUSUS: PMDN Sk 13/1970

  PPAIW( PP 28/1978) 

  PPAT – PENGGANTI

  PPAT/CAMAT – PENGGANTI

  PPAT- Kepala Desa -- PENGGANTI 
 
 

♥ KEWENANGAN PPAT:

  HANYA BOLEH MEMBUAT AKTA PPAT DIWILAYAH KERJA

  KECUALI:

  - Tukar menukar

  -akta pemisahan dalam perseroan

  -akta pembagian hak bersama atas tanah hak dan atas Satuan

  rumah susun(yang tidak terletakdi satu wilayah kerja PPAT) 

♥ SYARAT PENGANGKATAN PPAT:

  - WNI

  - Usia 30 Tahun

  - Berkelakuan baik(surat keterangan dari Kepolisian)

  - Belum pernah dihukum penjara

  - Sehat jasmani rohani

  - Lulus program spesialis Notaris/PPAT

  - Lulus ujian PPAT (oleh Menagria) 

   
 
♥ SYARAT PENGANGKATAN PPAT PENGGANTI:

  - Atas usulan PPAT yang bersangkutan

  - Harus Sarjana Hukum dan telah bekerja 2 tahun di kantor 

  PPAT.

  - Sumpah jabatan. 

♥ DEED OF CONVEYANCE:

  ►Jual beli

  ►tukar menukar

  ►hibah

  ►pembagian hak bersama

  ►pemberian HGB/HP atas tanah HM

  ►pemberian hak tanggungan

  ►pemberian kuasa pembebanan Hak Tanggungan
 
 
 
☻DAERAH KERJA PPAT:
   

  - daerah kerja PPAT satu wilayah kerja kantor pertanahan 

  - satu wilayah kerja dalam satu tahun, kecuali tidak memilih ma-

  ka dimana kantor PPAT yg ada wilayah kerja kantor pertanahan se-

  bagai tempat yg dianggap dipilih(Pasal 13 ). 

☻ SUMPAH JABATAN:  

  PPAT , PPAT Sementara setelah melapor pengangkatan melaku-

  kan sumpah jabatan:

  (1) PPAT 

  (2) PPAT Sementara

  (3) PPAT Pengganti
  

☻KEWAJIBAN PPAT: 

  1. Sumpah Jabatan.

  2. Deed of conveyance.

  3. mengirimkan alamat kantor, contoh tanda tangan, contoh paraf dan

  teraan stempel.

  4. hanya berkantor didaerah tempat kerja.

  5. hanya menggunakan formulir yg baku.

  6. penjilidan akta tanah sebulan sekali yg terdiri atas 50 lembar akta.

  7. membuat buku daftar untuk semua akta yg dibuat dan yg ditutup

  tiap hari.

  8. mengirimkan laporan bulanan mengenai akta yg dibuatnya selam-

  batnya tanggal 10 bulan berikutnya.
 

☻BERHENTINYA PPAT:  

  a.Meninggal dunia.

  b.telah beruasia 65 tahun.

  c.Diangkat/ disumpah sebgai Notaris ditempat lain dari wilayah 

  PPAT nya. 
 
 
BERHENTI DENGAN HORMAT:

  a. Aatas permintaan sendiri.

  b. tidak lagi dapat bertugas karena kesehatan jasmani/ rohani.

  c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan / kewajiban 

  PPAT.
 
 
BERHENTI DENGAN TIDAK HORMAT:
 

  a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan / kewajiban 

  PPAT.

  b.di pidana dengan hukuman 5 tahun ( setelah PPAT didengar). 
 
BERHENTI UNTUK SEMENTARA:

  Dalam pemeriksaaan Pengadilan sebagai terdakwa suatu per-

  buatan pidana dengan ancaman hukuman selama 5 tahun.