Senin, 20 April 2009

KETAHANAN PANGAN DAN REFORMA AGRARIA


Jakarta - Sebuah publikasi dari Badan PBB untuk Urusan Pangan dan Pertanian (FAO) menyebut bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang terancam rawan pangan. Ini adalah peringatan dan pemerintah harus mengambil kebijakan-kebijakan strategis di bidang pangan dan pertanian. Ironisnya, sektor pertanian di Indonesia seperti anak tiri. Petani tidak lagi menjadi salah satu pilar dalam pemberdayaan ekonomi. Sektor tersebut mulai ditinggalkan karena kemampuan produksinya yang menurun.

Pada saat ini, pangan dan energi semakin menjadi komoditas strategis dunia. Jumlah penduduk yang besar dan usaha meningkatkan gizi yang maksimal di setiap negara semakin tinggi. Saat yang sama, kegiatan ekonomi semakin intensif sehingga memerlukan energi yang banyak.

Celakanya, pangan dan energi bukan bersifat komplementer, melainkan saling substitusi. Karena sifatnya yang saling bersubstitusi itu, permintaan konsumen energi dan konsumen pangan menyebabkan tekanan terhadap harga.

Dalam beberapa tahun terakhir, masalah ketahanan pangan menjadi isu penting di Indonesia, lebih-lebih bila dikaitkan dengan bencana alam. Bencana alam merupakan salah satu sumber kerentanan pangan. Ancaman ketahanan pangan inilah yang kembali menyeruak saat persawahan petani diramalkan puso akibat banjir Bengawan Solo.

Malasah pangan, kekeringan, masalah konversi minyak tanah ke gas, dan berbagai bencana yang melanda tanah air seolah melengkapi penderitaan masyarakat miskin yang jumlahnya relatif stagnan, sekitar 37 juta orang menurut versi Badan Pusat Statistik (BPS) atau lebih dari 90 juta orang versi Bank Dunia.

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki banyak jumlah penduduk miskin sekaligus dihadapkan dengan dua masalah ketahanan pangan, yaitu ketahanan pangan wilayah dan ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan wilayah digambarkan dari aspek produksi, sedangkan aspek ketahanan pangan rumah tangga diwujudkan oleh kemampuan penduduknya mengakses dan mengonsumsi makanan sesuai syarat gizi untuk mencapai derajat hidup sehat.

Bencana Bengawan Solo adalah bencana alam masif yang terjadi secara serentak di beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Secara langsung, bencana ini berdampak pada ketahanan pangan wilayah, yang ujungnya menurunkan kualitas hidup masyarakat. Dalam pada itu, pemerintah dipandang gagal dengan membiarkan petani tradisional berhadapan langsung dengan pemain dan pasar global. Akibat sistem kebijakan liberal itu, pertahanan produksi pertanian nasional terjungkal dan hancur.

Ini memilukan, karena potensi Indonesia sebagai negara agraris sangat besar. Namun, kebutuhan bahan baku pangan, seperti beras dan kedelai, sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari importir.

Tanah/lahan merupakan aset terpenting bagi kegiatan pertanian. Sayangnya, pemerintah lalai dalam hal ini. Kepemilikan tanah sebagai pilar terpenting kegiatan produksi semakin lama kian tidak ramah dengan kebutuhan sektor pertanian. Rata-rata lahan kepemilikan rumah tangga petani semakin menciut, bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan itu hanya 0,25 hektar. Penciutan kepemilikan lahan itu bisa bersumber dari pola warisan yang membuat lahan terfragmentasi, infiltrasi sektor industri atau jasa yang lapar lahan, dan kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian.

Menurut BPS dan BPN (Badan Pertanahan Nasional), setiap lima tahun konversi lahan pertanian untuk pemanfaatan lain (industri, jasa, permukiman) mencapai 106 ribu hektar. Akumulasi atas soal itu mengakibatkan produksi komoditas pertanian merosot. Lebih payah lagi, infrastruktur yang difungsikan untuk mendistribusikan produk-produk pertanian jauh dari memadai. Di salah satu kabupaten di Jawa ditemukan, 60 persen saluran irigasi dibangun pada zaman Belanda. Malang nian nasib petani di Indonesia.

Tak jauh berbeda, menurut Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, ancaman kekurangan air juga bakal terjadi di Pulau Jawa. Sekarang ini, jumlah penduduk di Jawa adalah 65 persen penduduk Indonesia. Sementara, cadangan air di Jawa hanya 4 persen cadangan stok nasional akibat wilayah tangkapan air yang kian menyempit.

WALHI mencatat, kecamatan yang terkena banjir pun semakin meluas. Tahun 2006 ada 124 kecamatan, sedangkan tahun 2007 menjadi 260 kecamatan. Lima tahun belakangan ini banjir di Pulau Jawa pun meningkat tiga kali lipat.

Menilik fakta-fakta di atas, WALHI mendesak pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengaturan perdagangan dengan jalan melindungi petani lokal melalui kebijakan tarif dan non-tarif yang dinamis. Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah untuk memperkuat keterampilan petani lokal dalam teknik bercocok tanam, teknologi, benih, pengairan, penyuluhan, kredit, dan sistem keuangan yang memihak petani.

Kedua, dibutuhkan kesiapan infrastruktur yang mumpuni guna pemerataan hasil-hasil pertanian ke seluruh wilayah di Indonesia. Olehnya, WALHI meminta pemerintah untuk segera membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian. Pembangunan infrastruktur pertanian menjadi syarat penting guna mendukung pertanian yang maju. Di Jepang, survei infrastruktur selalu dilakukan untuk menjamin kelancaran distribusi produk pertanian. Perbaikan infrastruktur terus dilakukan sehingga tidak menjadi kendala dalam menyalurkan produk-produk pertanian.

Ancaman rawan pangan akan terus mendera negeri agraris ini, jika pemerintah tak kunjung bekerja cerdas. Lalai atau menganggap remeh, sama halnya dengan menurunkan derajat hidup sehat kebanyakan penduduk Indonesia. Indonesia butuh lebih dari sekadar respons, melainkan reforma agraria di sektor pertanian dan pangan. Dengan reformasi agraria ini, petani memiliki akses perseorangan, memiliki lebih banyak pilihan dan kebebasan. Hal ini mendorong gairah bekerja, iklim kompetisi, dan memacu produktivitas.

Sumber: http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/080225_kthnan_pangan_cu/
25 Februari 2009

REFORMA AGRARIA DAN PEMBELAAN TERHADAP PETANI KECIL



Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sebagian besar mata pencaharian rakyat adalah bertani. Jumlah petani Indonesia saat itu bahkan mencapai kurang lebih 70% penduduk. Jumlah petani yang demikian besar ini tentu saja menggantungkan hidupnya dari proses pengolahan tanah untuk berproduksi. Tetapi ternyata banyak dari para petani itu harus menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan tanah sebagai sumber penghidupan mereka. Permasalahan itu bukan hanya timbul dari hubungannya dengan tanah itu, melainkan juga dari hubungannya dengan orang-orang kaya pemilik tanah luas.
Sekelompok kecil rakyat Indonesia menguasai sejumlah besar tanah, sementara para petani yang hidupnya bergangung pada penggarapan tanah justru hanya menguasai sejumlah kecil prosentase tanah di Indonesia. Situasi inilah yang antara lain mendorong Presiden Soekarno untuk mengamanatkan disusunnya Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang di dalamnya termasuk Reforma Agraria.

Hal itu dikatakan oleh Darwin Awat dalam diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) USD Sabtu, 14 Februari 2009. Hadir dalam diskusi itu Dr. Ronnie Hatley, salah seorang anggota staff PUSdEP dari Amerika Serikat, serta sejumlah mahasiswa USD.

Selanjutnya Darwin mengatakan bahwa bagi Presiden Soekarno, Reforma Agraria merupakan landasan bagi pembangunan semesta di Indonesia yang sedang menyusun masyarakat sosialis yang berdasarkan Pancasila. Selain itu, Soekarno yakin bahwa Reforma Agraria akan memberikan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia yang mayoritas adalah petani. Pada tanggal 24 Septermber 1960 ditetapkanlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Meskipun demikian, hal itu tidak banyak mengubah nasib para petani Indonesia. Di pedesaan kaum tani berkembang dan terbagi-bagi dalam golongan-golongan di mana sejumlah kecil tuan tanah dan petani kaya menguasai tanah secara monopoli dan menjalankan berbagai bentuk penghisapan dan penindasan feodal seperti rendahnya upah buruh tani, bagi hasil yang timpang karena hanya menguntungkan pemilik tanah, serta perampasan tanah karena manipulasi surat-surat kepemilikan tanah yang sah dengan memanfaatkan rendahnya pendidikan para petani sedang, petani miskin dan buruh tani. Berbagai upayapun terus dilakukan agar terjadi land reform sebagaimana dicita-citakan oleh UUPA tersebut.

Sayang sekali krisis yang terjadi tahun 1965 berujung pada tumbangnya sebuah rezim populis di bawah kepemimpinan Soekarno yang pro rakyat dan digantikan oleh rezim otoriter di bawah Soeharto yang anti rakyat tetapi pro modal. Perubahan rezim ini secara mendadak membawa akibat pada terjadinya perubahan sistem politik Indonesia selama 32 tahun kemudian. Soeharto mengubah strategi Agraria Soekarno yang populis menjadi politik agraria yang kapitalis melalui ideologi pembangunan yang terkait erat dengan kapitalisme dunia.
Dengan tumbangnya Soekarno harapan petani dan rakyat kecil akan adanya Reforma Agraria ikut terkubur bersama mayat ratusan ribu rakyat Indonesia yang menjadi korban pembantaian massal tahun 1965. Sampai saat inipun masalah agraria masih belum mendapatkan titik terang. Pemerintah seakan-akan tidak berpihak kepada rakyat (petani) kecil, melainkan justru menggunakan hak rakyat untuk melayani kepentingan penguasa dan para pemilik modal. Yang menjadi pertanyaan adalah: sampai kapan rakyat (petani) kecil menanggung penderiataan ini? (PUSdEP)

Sumber: http://www.usd.ac.id/06/news.php?v=w&a=570&fp=l
23 Februari 2009

Haruskah Rakyat Tergusur dari "Kebun Warisan Leluhur


Tragedi Kontu:
Haruskah Rakyat Tergusur dari "Kebun Warisan Leluhur"?


Sejarah Kontu

Menurut sejarah Kontu adalah nama sebuah kawasan pemberian Raja Muna kepada seorang panglima perang bernama La Kundofani si Kino Watuputih di Sulawesi Tenggara yang berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Konon kawasan/lahan ini merupakan pengganti dari tahta raja yang berhak disandangnya, namun demi kesejahteraan rakyatnya si panglima perang ini memilih kawasan sebagai sumber penghidupan rakyatnya. Di sinilah Kontu, Patu-patu, Lasukura, dan Wawesa kemudian menjadi tempat hidup dan berladang komunitas warga Watuputih secara turun temurun.

Bukti bukti sejarah keberadaan kawasan Kontu, Patu-patu, Lasukara dan Wawesa sebagai sebuah kampung adat Watoputeh adalah adanya kuburan tua yang tersebar diberbagai tempat dalam kawasan tersebut, serta tanaman perkebunan seperti mangga, bambu, bulu, dan lain-lain. Keberadaan makam di puncak bukit yang dinamakan La Mendo juga memperkuat sejarah, dimana makam tersebut adalah makam seorang warga masyarakat Watoputih yang berkebun di kawasan tersebut dan meninggal sebelum Belanda masuk di Pulau Muna.

Saat ini Kontu berada di pinggiran Kota Raha, ibukota Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, terdapat sekitar 1.300 KK bermukim di areal ini dan tidak hanya berasal dari komunitas warga Watoputih. Kontu mencuat ke permukaan melalui media masa, baik media cetak maupun elektronik yang mengekspose terjadinya aksi-aksi kekerasan dalam kasus konflik lahan antara warga masyarakat Kontu dengan Pemerintah kabupaten Muna.


Awal Konflik
Konflik berawal ketika pada tahun 1999 diterbitkan SK Menhutbun No. 454/Kpts-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Sulawesi Tenggara, dimana salah satu poin dalam Surat Keputusan tersebut adalah Penunjukan hutan lindung Jompi. Penggusuran dan pengusiran paksa terhadap masyarakat dari tempat hidupnya sehari-hari dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Muna dengan alasan kawasan tersebut adalah hutan lindung. Aksi ini telah dimulai sejak tahun 2003. Masyarakat yang merasa berada dalam areal yang menjadi hak mereka secara turun temurun-pun melakukan perlawanan dalam menghadapi penggusuran.

Penetapan status kawasan hutan negara kembali menjadi sumber konflik di lapangan. Ketika masyarakat merasa berhak untuk kembali bercocok tanam di atas tanah mereka (karena sudah tidak ada lagi pohon jati yang mereka tanam, petani kembali berkebun di lahan bekas kebun mereka pada jaman dulu), masyarakat dihadapkan pada satu kenyataan bahwa tanah mereka berada dalam kawasan hutan negara.

Sedikit kembali menengok sejarah, bahwa rakyat telah dipaksa menanam pohon jati di lahannya pada jaman pemerintahan Swapraja, namun setelah pohon jati itu tumbuh besar kemudian mereka diusir dari lahannya yang diklaim sebagai milik pemerintah. Lalu masyarakat kembali menduduki lahan ini setelah tegakan jati habis ditebang oleh pengusaha kayu yang mendapatkan ijin dari Bupati Muna sejak awal tahun 90-an dan juga setelah adanya kewenangan Bupati memberikan ijin pemanfaataan kayu (IPK) pasca terbitnya UU Kehutanan No.41 Tahun 1999.

Penggusuran disertai dengan penangkapan terhadap beberapa warga masyarakat dilakukan dengan tuduhan perambahan lahan hutan negara. Fenomena menarik muncul pada saat persidangan di Pengadilan Negeri Raha Kabupaten Muna pada tahun 2003 terhadap masyarakat sebagai terdakwa yang dituduh melakukan perambahan hutan. Saksi mantan Kepala BPN Kabupaten Muna menegaskan, bahwa kawasan Kontu dan sekitarnya bukan hutan lindung. Dan pada persidangan ini masyarakat (terdakwa) kemudian dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menduduki kawasan hutan lindung.

Rupanya di penghujung tahun 2005 penggusuran dan pengusiran masyarakat Kontu terjadi kembali, dan seperti pada kejadian sebelumnya masyarakat pun tidak menyerah serta memberikan perlawanan atas tindakan aparat pemerintah daerah. Kemudian pada Februari 2006, terjadi penangkapan sejumlah warga Kontu dengan tuduhan yang sama yaitu perusakan atau perambahan hutan. Kasus ini pun dimeja hijaukan oleh Pemerintah Daerah yang menghasilkan keputusan bahwa warga Kontu sebagai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah "mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah", yang kemudian diganjar dengan hukuman penjara.

WG Tenure mulai terlibat dan "memantau" kasus Kontu ini pada awal tahun 2007 atas prakarsa dari HUMA, anggota WG-Tenure yang sekaligus aktif memberikan layanan advokasi bagi masyarakat korban. Sebagai langkah awal, WG-Tenure mengkomunikasikan permasalahan ini kepada PUSDALBANGHUT Regional IV, Departemen Kehutanan RI. Ir. Banjar Julianto Laban, MM., sebagai Kepala Pusdalbanghut Regional IV yang wilayah tugasnya meliputi Sulawesi, Maluku dan Papua menanggapi secara positif untuk peluang mediasi penanganan kasus ini. Bahkan Pak Banjar Yulianto Laban telah bersedia menyempatkan diri berdialog langsung dengan masyarakat korban pada sebuah panel diskusi di Jakarta yang digagas oleh HuMa dan WG-Tenure bersama mitra kerja lainnya.

Disamping itu, WG-Tenure bersama HUMA juga mengkomunikasikan kasus ini kepada Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Langkah awal yang dilakukan oleh DKN untuk "meredam" kasus konflik ini melalui pengiriman Surat Himbauan yang ditujukan kepada para pihak, yaitu Kepala Kepolisian RI, Pemerintah Daerah Kabupaten Muna dan Organisasi Rakyat Kontu. Surat DKN bernomor: 41/DKN/OM/03/07 tanggal 12 Maret 2007 tersebut menghimbau agar;
(1) Penyelesaian kasus ini hendaknya merujuk pada perspektif, semangat dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Tap MPR nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;
(2) Hindari penyelesaian konflik sepihak dengan cara kekerasan dan penggusuran masyarakat dari kawasan hutan. Konon kabarnya Surat DKN ini telah berhasil "meredam" konflik, minimal tidak terjadi lagi aksi-aksi kekerasan. Bahkan DKN juga telah melakukan langkah-langkah lanjutan dalam penanganan kasus tersebut bersama-sama dengan para pihak terkait.

Mengakhiri tulisan singkat ini, patut kita simak satu ungkapan dari Warga Kontu yang menggambarkan kegundahan dan keresahan hati mereka atas ketidakadilan yang dihadapinya. Ungkapan ini terlontar pada saat WG-Tenure mengundang Organisasi Rakyat Kontu sebagai salah satu narasumber dalam Roundtable discussion pada Bulan November 2007 yang lalu. Ibu Aisyah, Ketua Organisasi Rakyat Kontu menuturkan;
"Jika perusahaan-perusahaan besar itu diberikan konsesi pertambangan di kawasan hutan lindung, kenapa kami tidak bisa mencari hidup (bertani) di kawasan hutan, padahal hutan itu adalah warisan leluhur kami........mana keadilan bagi kami?" ***

__________
Sumber Tulisan:
1. Firdaus AY. 2007. Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia. Jakarta: HuMa
2. Aisyah. 2007. Makalah Organisasi Rakyat Kontu, disampaikan pada Roundtable Discussion Working Group Tenure. Bogor, 29 November 2007.


*) Oleh: Emila dan Suwito

PEMBARUAN AGRARIA DAN HAK ASASI PETANI


Setiap 24 September diperingati sebagai Hari Pertanahan (Agraria) atau Hari Petani. Hal yang perlu mendapat perhatian di sini adalah keterkaitan antara pembaruan agraria dan hak asasi petani, sejauh ini kurang mendapat perhatian para pemerhati hak asasi manusia (HAM). Bahkan, keduanya sering dipahami sebagai dua hal yang terpisah. Dalam rangka pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi petani, cara pandang demikian perlu direvisi.

Upaya ke arah itu mulai dirintis beberapa organisasi nonpemerintah bersama Komnas HAM dengan menggelar konferensi nasional. Setidaknya, ada tiga permasalahan hubungan HAM dengan pembaruan agraria. Pertama, kebijakan agraria, program agraria, dan praktik sosial di bidang agraria, apa saja yang mengakibatkan pelanggaran HAM.

Dalam hal yang pertama ini dicermati, antara lain produk perundang-undangan di bidang agraris yang tidak mendukung upaya perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan HAM. Dapat dilihat beberapa produk perundang-undangan yang bertentangan dengan upaya perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi petani, yaitu UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU Penanaman Modal Dalam Negeri/Asing,UU Tata Ruang atau UU Transmigrasi.

Sayangnya, hingga kini undang-undang itu belum diteliti secara komprehensif untuk menguji apakah berhasil meningkatkan hak asasi petani. Meski UU No 22/1999 misalnya, telah direvisi menjadi UU No 32/2004, gejala konflik pertanahan tidak kunjung terpecahkan. Hal itu karena undang-undang yang baru tidak mengatur secara tegas siapa yang berwenang ''mengurus" pertanahan, apakah pusat atau daerah, sehingga yang muncul adalah keragu-raguan kedua pihak menangani masalah pertanahan.

Di samping itu, dicermati sejauh mana program agraria mampu menangani ribuan kasus sengketa tanah, kasus absentee land, kasus konversi lahan pertanian ke nonpertanian, dan kasus reclaiming versus ''penjarahan" sebagai warisan Orde Baru. Kedua, pelanggaran HAM apa saja yang mengakibatkan memburuknya kondisi agraria petani. Dalam hal ini perlu dicermati pola pelanggaran hak asasi petani, termasuk terampasnya hak-hak petani, antara lain hak milik, hak untuk memperoleh pekerjaan dan taraf hidup yang layak, hak untuk mengelola lingkungan hidupnya sendiri yang baik dan sehat.

Selain itu, hak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, hingga pada haknya untuk mendapatkan pemulihan guna mengompensasi kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran hak-haknya yang paling asasi. Hak-hak tersebut dijamin dalam instrumen HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang sampai sekarang belum diratifikasi pemerintah Indonesia.

Padahal, Kovenan tersebut merupakan salah satu hukum dasar hukum HAM mendasar. Jika petani berhasil meningkatkan produksi pertaniannya (dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi), peningkatan itu tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan petani. Banyak faktor yang ikut menentukan persentase yang dapat dinikmati petani.

Bahkan, sering sebagian besar persentase ini malah dinikmati petani lain yang posisinya lebih kuat. Ketiga, pembaruan agraria macam apa yang menjamin perlindungan dan pemajuan HAM dan sebaliknya agenda perlindungan dan pemajuan HAM yang melancarkan pembaruan agraria. Setidaknya, agenda itu mencakup agenda legislasi, penguatan organisasi, dan kampanye.

Merujuk pada tiga permasalahan di atas, masalah terbesar agraria saat ini dapat diringkaskan sebagai berikut:
1) Ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alamnya antarkelompok sosial ekonomi yang menggantungkan hidup atasnya.
2) Ketidakadilan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan di atas tanah.
3) ketidakadilan dalam pengambilan putusan perkara dengan penguasa, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta kekayaan alam.

Ketidakadilan itu merupakan faktor penyebab konflik sosial dan atau pelanggaran HAM di berbagai daerah konflik sosial di beberapa daerah. Seharusnya, hak petani diakui sebagai HAM, baik oleh pemerintah maupun pemerhati HAM. Sayangnya, hal itu sama sekali belum tercermin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan sedang disusun Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5/1960 yang kini genap berusia 47 tahun.

Upaya BPN merevisi UUPA 1960 itu diperkirakan hanya melanggengkan ketidakadilan sosial di atas. Bukan saja karena BPN cenderung tidak mengefektifkan hukum agraria nasional sebagai landasan pelaksanaan pembaruan agraria secara komprehensif, lebih dari itu BPN cenderung menyederhanakan tiga masalah ketidakadilan sosial itu sebagai masalah pertanahan semata, bukan sebagai masalah agraria (yang cakupan telaahnya jauh lebih luas).

Ada beberapa kelemahan dalam UUPA yang meliputi:
a) Hak menguasai sumber daya alam (SDA) yang berada di tangan negara harus direvisi agar tidak ditafsirkan bersifat mutlak, tapi lebih ditafsirkan sebagai ''negara mempunyai wewenang untuk mengatur" kepentingan dan pengabdian pada masyarakat.
b) Masyarakat adat atau komunitas desa mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah agraria.

Di samping itu, disadari pula ada perubahan peta masalah tanah sejalan dinamika pembangunan. Perubahan itu dapat dilihat pada permasalahan dan pihak-pihak yang terlibat dalam permasalahan tanah. Dari segi masalahnya, konflik pertanahan pada 1960-an berbeda dengan yang terjadi beberapa tahun terakhir. (*)

Joko Riyanto SH
Alumnus Fakultas Hukum UNS-Solo


http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=49298&Itemid=57

HANTU LIBERALISME PERTANAHAN



Menyusul kesepakatan pemerintah dan parlemen (29 Januari 2007) untuk mempertahankan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), kini pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI sedang menggodok RUU tentang Pertanahan. Inisiatif penyusunan RUU Pertanahan perlu dicermati dalam dua konteks yang paradoksal.

Pertama, sebagai upaya lebih lanjut pemerintah dalam menyiapkan dasar hukum baru bagi pelaksanaan reforma agraria, sebagaimana dijanjikan Presiden Yudhoyono mulai tahun 2007. Yang kedua, bagian dari grand design liberalisasi pertanahan lewat produk legislasi yang justru menghambat realisasi reforma agraria. Keduanya seperti air dan minyak, namun keduanya potensial.

Di koran ini, penulis pernah mengingatkan jika pemerintah konsisten ingin melaksanakan reforma agraria, memang dibutuhkan legislasi (setingkat UU) yang secara operasional mengatur apa dan bagaimana reforma agraria dijalankan (Sinar Harapan, 15/02/07). Eksistensi UUPA, terutama menyangkut pasal-pasal prinsipilnya tetap relevan dijadikan rambu-rambu dasar bagi reforma agraria (Sinar Harapan, 15/06/04).

Yang patut diwaspadai ialah substansi legislasi pertanahan jangan sampai jadi produk politik yang mengganjal reforma agraria. Harus dicegah, pertanahan jadi urusan sektoral yang lepas konteks dari keagrariaan utuh yang menyangkut semua bidang kehidupan, dan hindari pengarusutamaan kepentingan invetasi skala besar melalui liberalisasi pertanahan yang selama ini memicu massifnya konflik agraria yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Harapan akan lahirnya produk-produk legislasi pertanahan/keagrariaan yang holistik dan populistik, kini bertarung dalam arus deras neo-liberalisme. Arus ini dengan hebatnya merambah ke relung pikiran elit politik sehingga mengarahkan kebijakan publik ke arah neo-imperialisme alias penjajahan baru yang membiaskan makna kemerdekaan republik ini.

Perlu Diwaspadai
Untuk itu, sektoralisme dan liberalisme yang menghantui politik agraria nasional selama ini, dan mungkin kelak menjangkiti RUU Pertanahan perlu dicegah sedini mungkin. Ini penting, jika pemerintah serius mau reforma agraria, dengan meletakkan UU Pertanahan sebagai dasar hukum efektif bagi reforma agraria, bukan sebaliknya.

Lebih jauh, RUU Pertanahan hendaknya mengandung semangat dan substansi yang menjadikan pertanahan sebagai urusan mendasar yang menuntut perhatian dan tanggungjawab semua pihak di pemerintahan maupun publik luas. Kepentingan pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah bagi rakyat yang termasuk golongan ekonomi lemah/miskin haruslah diprioritaskan.
Dalam pidato memperingati Hari Agraria Nasional 24 September 2007, Joyo Winoto (Kepala BPN RI) menggariskan: "Reforma agraria membutuhkan proses politik dan hukum. Jalan membangun konsensus. Jalan untuk menata politik dan hukum pertanahan dan keagrariaan kita -untuk tujuan ke depan, secara taat asas kepada Pancasila, UUD 1945, dan UUPA. Itu komitmen awal yang didapat. Itulah langkah awal yang tersepakati dengan DPR-RI. Kita berproses menyusun undang-undang pertanahan di bawah payung UUPA".

Jika disimak, tampak jelas arah penyusunan RUU Pertanahan akan konsisten dan konsekuen dengan UUPA sebagai payung politik-hukum agraria nasional. Namun pertanyaannya, ke arah mana arus utama kecenderungan ideologis elit politik dan konstalasi kekuatan politik penyusun legislasi yang kini duduk di eksekutif maupun di legislatif saat ini?

Kalau kita cermati sejumlah undang-undang baru terkait agraria yang dihasilkan eksekutif-legislatif periode 2004-2009, tampak kita tak bisa terlalu berharap akan lahirnya produk legislasi yang memenuhi dua semangat dasar sebagaimana penulis singgung di atas -anti-sektoralisme dan anti-liberalisme, sehingga lebih pro-integralisme agraria dan pro-populisme kerakyatan.

Sekadar contoh, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal telah secara telanjang menunjukkan komitmen ideologis-politik elite di eksekutif/legislatif yang mengutamakan kepentingan modal besar tanpa membedakan asing atau domestik. Hak atas penggunaan dan pemakaian tanah untuk investor diberikan nyaris setengah abad.

Inkonsistensi UU Penanaman Modal dengan UUPA, dan bahkan UUD 1945, telah menyeret UU ini ke meja Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi-kini sedang menunggu putusan.

Konteks Politik
Belum lagi kita lihat UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, dan UU Sumberdaya Air juga kontroversial karena sektoralisme dan liberalismenya yang begitu ketal. Liberalisme yang membuka ruang lebar bagi berkuasanya kekuatan kapital akan menggerogoti kewibawaan dan kewenangan negara dalam mengatur urusan agraria kita.

Berbagai produk legislasi yang liberalistik ini disimpulkan bukan solusi atas akar soal agraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentingan lintas tataran yang menempatkan rakyat/bangsa sebagai korban.

Mumpung masih cukup waktu, agar legislasi pertanahan melalui RUU Pertanahan terhindar dari jebakan sektoralisme dan liberalisme, disarankan beberapa langkah strategis.
Pertama, perlu dibentuk Panitia Negara yang terdiri dari unsur pemerintah, parlemen, akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat yang bertugas khusus;
(a) mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria atau tanah dan kekayaan alam lainnya (hutan, tambang, kebun, pertanian, kelautan, dlsb), dan
(b) Merekomendasikan grand desain rancangan pembaruan hukum agraria secara menyeluruh agar konsisten dengan semangat dan isi UUD 1945 dan UUPA 1960.

Kedua, mendesak dilakukan konsultasi publik secara luas, sehingga aspek partisipasi publik terakomodir dalam proses penyusunan RUU Pertanahan. Konsultasi bukan hanya terhadap "kalangan atas" di hotel-hotel berbintang, tapi juga dilakukan di kampus-kampus yang melibatkan cerdik cendekia, hingga kampung-kampung yang merangkul rakyat kecil yang tergantung pada tanah.

Ketiga, dari segi waktu, periode 2008-2009 tampaknya terlalu sempit untuk melahirkan produk legislasi sestrategis UU Pertanahan. Untuk itu, RUU Pertanahan yang tengah digodok pemerintah, pembahasan dan pengesahannya lebih tepat dilakukan setelah Pemilu 2009. Pemerintah dan legislatif baru produk Pemilu 2009 akan memiliki legitimasi politik lebih kuat untuk mengarahkan politik-hukum agraria nasional melalui berbagai produk legislasinya.

Agar dongkrak politik reforma agraria kian kuat, maka partai-partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 kita dorong untuk mengadopsi agenda reforma agraria ke dalam plattform dan program politiknya. Peran partai politik dalam sistem demokrasi amat vital, sehingga memungkinkan reforma agraria dapat digiring ke jantung kekuasaan negara untuk kemudian dilaksanakan secara teguh.

Sinar Harapan, 19 Feb 2008

Oleh Usep Setiawan
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

KERANGKA KEBIJAKAN PERTANAHAN NASIONAL

Proses Penyusunan dan Materi Pokoknya

Latar Belakang
Pemerintah menyadari bahwa masalah pertanahan yang dari hari ke hari semakin mencuat dalam kehidupan masyarakat perlu segera diatasi. Diidentifikasi beberapa kondisi dalam masyarakat yang menggambarkan masalah utama bidang pertanahan dewasa ini, diantaranya: semakin maraknya konflik dan sengketa tanah; semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat, dan lemahnya jaminan kepastian hukum atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah.

Dalam upaya mengatasi masalah tersebut Pemerintah memandang perlu untuk membangun suatu kerangka kebijakan pertanahan nasional untuk dipergunakan sebagai pedoman oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta, dalam menangani masalah-masalah pertanahan sesuai dengan bidang tugas dan kepentingannya masing-masing. Tujuan akhir dari kebijakan pertanahan nasional ini adalah terwujudnya kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUDRI, UUPA dan TAP MPR IX/2001 sebagai akibat pengelolaan pertanahan dan sumberdaya alam lainnya secara berkeadilan, transparan, partisipatif dan akuntabel.

Proses Penyusunan
Penyusunan Kerangka Kebijakan Nasional Pertanahan (KKPN) dimulai pada tahun 2002 dalam rangka pelaksanaan Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan. Program tersebut dilakukan melalui kajian-kajian yang difokuskan pada 4 aspek, yaitu hukum dan konflik pertanahan; administrasi pertanahan; penguasaan dan penggunaan tanah; serta institusi pertanahan dan desentralisasi.

Kajian ini dilakukan oleh Kelompok-kelompok Kerja yang beranggotakan wakil-wakil dari semua instansi yang berkaitan dengan pengelolaan pertanahan, dengan diarahkan oleh Tim Koordinasi dan Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan,
a. Selanjutnya suatu Naskah Rancangan KKPN disusun dengan bahan dasar rekomendasi yang dihasilkan oleh Kelompok-kelompok Kerja di atas. Naskah Rancangan tersebut selesai disusun dalam bulan Januari 2004.
b. Untuk menampung aspirasi publik Naskah Rancangan KKPN dikonsultasikan dengan berbagai kalangan dengan melaksanakan diskusi-diskusi terbatas dan lokakarya daerah dan nasional.
c. Konsultasi publik tahap pertama dilakukan dalam bulan Juni 2004, yaitu untuk Wilayah I Jawa dan Wilayah II Bali, NTB dan NTT.
d. Konsultasi tahap kedua dilaksanakan Februari dan Maret 2005 untuk Wilayah III Kalimantan Timur, Sulawesi dan Maluku dan Wilayah IV Sumatera dan Kalimantan.
e. Konsultasi Tahap Kedua ditindak lanjuti dengan Focus Group Discussion (FGD) mengenai 3 isu yang menonjol dalam Lokakarya Daerah, yaitu (1) Landreform (2) Hak ulayat dan (3) Jaminan hukum penguasaan tanah.
f. Penyempurnaan-demi penyempurnaan dilakukan atas Naskah Rancangan KKPN oleh staf Bappenas dengan selalu berkonsultasi dengan Tim Penyusun semula.
g. Konsultasi publik terakhir dilakukan dengan melaksanakan Lokakarya Nasional KKPN pada tanggal 6 November 2006.
h. Hasil rumusan terakhir akan diimplementasikan dalam 2 bentuk:
i. sebagian dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah;
ii. sebagian di elaborasi sebagai rencana kerja yang lebih implementatif.


2. Materi Pokok KKPN
Materi pokok Naskah Rancangan KKPN tergambar dalam nama Bab dan uraian di bawah ini :
Bab I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang diperlukannya KKPN dan rumusan yang lebih jelas mengenai kondisi yang dikehendaki untuk diwujudkan dengan adanya KKPN, yaitu bahwa dalam pengelolaan pertanahan setiap kebijakan, program, dan proses pengelolaan pertanahan di seluruh tanah air harus dapat menginternalisasikan jiwa dan semangat 4 (empat) prinsip utama yaitu (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber kemakmuran baru, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, (3) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat - tanah, dan (4) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.


Bab II. MASALAH PERTANAHAN DEWASA INI

Bab ini memuat
1. Gambaran masalah pertanahan yang perlu diatasi dengan pembentukan KKPN, antara lain:
a. Maraknya konflik
b. Terkonsentrasinya pemilikan
c. Lemahnya jaminan kepastian hukum
2. Faktor Penyebab dari terjadinya masalah di atas, yaitu:
Pertama, Peraturan Perundang-undangan yang tidak kondusif
Kedua, Terbatasnya akses masyarakat terhadap pemilikan dan penguasaan tanah secara adil
Ketiga, Belum terwujudnya kelembagaan pertanahan yang efektif dan efisien
Keempat, Pelaksanaan pendaftaran tanah belum optimal
Kelima, Belum optimalnya penatagunaan tanah
Keenam, Lemahnya sistem informasi berbasis tanah
Ketujuh, Pemecahan konflik dan sengketa pertanahan belum memadai
Kedelapan, Lemahnya sistem perpajakan tanah
Kesembilan, Belum memadainya perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah


Bab III. KERANGKA UMUM KEBIJAKAN PERTANAHAN

Bab ini memuat uraian mengenai :
1. Prinsip dasar kebijakan pertanahan yang menguraikan dasar hukum dan kebijakan bagi penentuan kebijakan pertanahan.
2. Tujuan umum KKPN, yaitu terwujudnya suatu kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 45, TAP MPR IX/2001 dan UUPA 1960 melalui pengelolaan pertanahan secara berkeadilan, transparan, partisipatif dan akuntabel serta berkesinambungan.
3. Tujuan khusus KKPN, yang berhubungan langsung dengan permasalahan pertanahan yang diharapkan terselesaikan dengan pelaksanaan kebijakan pertanahan dalam KKPN, misalnya terselesaikannya konflik dan sengketa pertanahan, terbangunnya sistem informasi pertanahan yang akurat, transparan mudah diakses dan komprehensif, dsb.

Bab IV. ARAH KEBIJAKAN DAN RENCANA TINDAK
Bab ini memuat arah kebijakan beserta rencana tindak yang dianggap perlu dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah pertanahan seperti diuraikan di atas. Identifikasi rencana tindak merupakan rekomendasi dari pihak-pihak yang langsung berkaitan dengan upaya penyelesaian permasalahan pertanahan yang dihadapi. Arah kebijakan dan rencana tindak disusun sbb.:
Pertama: Reformasi Peraturan Perundang-undangan
Kedua. Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pemilikan dan Penguasaan Tanah Secara Adil
Ketiga: Pengembangan Kelembagaan Pertanahan
Keempat: Peningkatan Pendaftaran Tanah
Kelima. Pengembangan Penatagunaan Tanah
Keenam Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Tanah
Ketujuh: Penyelesaian Konflik dan Sengketa Tanah
Kedelapan. Pengembangan Sistem Perpajakan Tanah
Kesembilan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Atas Tanah

Bab V. PENUTUP

Bab VI. DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

KEBIJAKAN PEMANFAATAN LAHAN UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI

*)


A. PENDAHULUAN

Lahan adalah salah satu sub-faktor teknis dalam pertanian, yang bekerjanya tidak dapat dilepaskan dengan sub-sub faktor lainnya dalam agrarian untuk mencapai tujuan.

Kebijakan pemanfaatan lahan utntuk kesejahteraan petani adalah suatu das Sollen di Indonesia, karena dalam kenyataannya sampai sekarang kebijakan pemanfaatan lahan tidak jelas dan nasib petani masih jauh dari sejahtera (das Sein). Kebijakan pemanfaatan lahan adalah bagian dari kebijakan pertanahan, yang dapat berupa prinsip-prinsip, norma-norma, pedoman-pedoman mengenai pertanahan yang dituangkan kedalam peraturan-perundangan dan/ atau keputusan-keputusan aparat pemerintah. Pelaksanaannya dapat berbentuk program-progam, misal. transmigrasi, extensifikasi pertanian dengan membuka lahan gambut, program kemitraan dibidang pertanian seperti PIR-Bun maupun PIR-peternakan, dll.. Lebih jauh kebijakan pertanahan adalah bagian dari kebijakan agraria secara keseluruhan (pertanahan, perairan, udara dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya). Untuk itu kebijakan pemanfaatan lahan membutuhkan kebijakan yang komprehensif.


B. PASAR TANAH DAN PETANI

Pasar Tanah (Land Market) mensyaratkan a.l. adanya "kebebasan berkontrak", "subyek-subyek bebas keluar masuk pasar", serta "kepastian hukum". Model seperti ini pada dasarnya hanya dapat diterapkan di negara-negara maju, yang sudah mempunyai sistim agraria (pertanian) yang relatif stabil.

Maraknya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, lebih banyak disebabkan oleh desakan ekonomi akan tuntutan kebutuhan hidup petani yang hidup dalam masyarakat industri, misalnya tuntutan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, dll., seiring dengan nilai tukar hasil pertanian yang tidak menentu dan bahkan mempunyai resiko merugi. Sementara "pasar tanah" berjalan begitu saja tidak didukung oleh syarat-syarat yang layak yang harus dipenuhi, yang didesak oleh kebutuhan tanah untuk kegiatan industri dan jasa, infrastruktur, pemukiman, turisme, dll..

Di Indonesia subyek petani kebanyakan masih dalam posisi ekonomi lemah (bagian dari akibat kebijakan sistim pertanian yang tidak menjamin sustainibilitasnya), sementara kebebasan berkontrak pada dasarnya mensyaratkan adanya pihak-pihak dalam kedudukan yang "seimbang", disisi lain kepastian hukum di bidang pertanahan masih jauh (lihat uraian dibawah E).

Oleh karena itu, berjalannya "pasar tanah tak bersyarat" ini mendesak perlunya kerangka kebijakan pertanahan yang melindungi semua pihak, terutama pihak ekonomi lemah, mencegah cara-cara pemerasan, mencegah kerusakan lahan dan memelihara kesuburan lahan (jawaban untuk ini dapat dikaji uraian dibawah C, D,E,F,G).


C. TUJUAN POLITIK AGRARIA DALAM KERANGKA HUKUM

Sebagai Negara Hukum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menuntut politik agraria berpijak pada kerangka hukum, untuk menjamin kesejahteraan petani seimbang dengan mereka yang berkerja dibidang non-pertanian, menjamin pangan penduduk dengan harga yang pantas serta menjamin kelestarian lingkungan hidup dan pemeliharaan pemandangan.

Tujuan politik agraria Indonesia berdasarkan Penjelasan Umum I UUPA, yaitu untuk meletakkan dasar-dasar hukum agraria Nasional guna kesejahteraan rakyat, yang pertama dan utama untuk menjamin kesejahteraan rakyat tani, kedua untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan dan ketiga untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Dengan demikian pertanian merupakan bidang penting, bahkan inti, dalam hukum agrarian Nasional, dimana petani sebagai titik pusat tujuannya. Tujuan politik agraria yang stabil adalah modal awal, dasar untuk pembentukan konsep dan strategi kebijakan agrarian.

Namun pendidikan hukum maupun praktek politik selama ini cenderung mengidentikkan tujuan agraria sama dan sebangun dengan tujuan nasional, yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Pengertian itu sama seperti apa yang dicanangkan dalam visi BPN. Sedangkan Departemen Pertanian mempunyai visi meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Visi ini rawan kebijakan tambal sulam dan tidak menjamin kesejahteraan petani dan pangan penduduk. Dengan demikian konstruksi untuk pembuatan konsep kebijakan agraria secara khusus tidak terpikirkan.

Jaminan kesejahteraan "petani" tidak dapat lepas dari kebijakan untuk sistim "usaha pertanian", yang sustainable. Sedangkan politik pertanahan pada dasarnya sebagai sub-tujuan politik agraria (baca= pertanian).

Di dalam era globalisasi, dimana negara satu saling bergantung dengan negara lainnya, menuntut adanya pengaturan-pengaturan khusus untuk masing-masing bidang guna memenuhi tuntutan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang semakin komplek. Dengan ikutnya Indonesia dalam perjanjian pasar bebas WTO mau tidak mau bangsa Indonesia dituntut untuk dapat segera menata sistim agrarianya secara rasional, yang kewenangan dan tanggung-jawab utama di tangan Pemerintah.

D. STRUKTUR AGRARIA

Politik agraria berdasarkan hukum sebagai dasar pembentukan konsep strategi kebijakan pertanian yang stabil, melibatkan seluruh faktor teknis, faktor ekonomi dan faktor sosial (Agrarstruktur).

Penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur untuk produksi tanaman (produksi primer, a.l. pangan, bahan pakan, dll) dan produksi hewan (produksi sekunder) pada dasarnya inti dasar pertanian. Berdasarkan pengertian itu dan dikaitkan dengan tujuan politik agraria berdasarkan hukum, orang dapat membagi struktur pertanian ke dalam tiga faktor, yaitu faktor tehnik, faktor ekonomi, faktor sosial. Faktor teknis yaitu tanah dan/ atau lahan, tenaga kerja (petani, pekebun, peternak, dll. sejenisnya), peraturan-perundangan, aparat pemerintah dan organisasinya, organisasi petani dan koperasi-koperasi petani, organisasi pedagang pertanian, perjanjian-perjanjian dalam pertanian, sarana produksi pertanian mis. Bibit, pupuk, dll.. Faktor ekonomi banyak dipengaruhi oleh pasar, pajak pertanian, pembiayaan resiko pertanian, pengeluaran untuk jaminan sosial, dll.. Faktor Sosial, hal-hal yang berkaitan dengan jaminan kesejahteraan petani a.l. jaminan kesehatan petani, jaminan haritua petani, jaminan kecelakaan kerja, dll. Oleh karena itu kebijakan sector pertanian tidak dapat lepas dari sector-sektor lainnya, a.l. kependudukan, sistim sosial, sistim ketenaga kerjaan, dll. "Pertanian" dalam agraria ibarat pokok pohon, jika diangkat (permasalahannya), maka seluruh akar-akar (permasalahan) dapat atau harus ikut diangkat pula, supaya tidak mati.


E. PERENCANAAN UMUM DAN PEMANFAATAN TANAH

Dalam rangka sosialisme Indonesia pemerintah wajib membuat perencanaan umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Mengkaji amanat tersebut diatas adalah mutlak diadakan perencanaan umum, sebagai syarat, untuk keadilan sosial. Perencanaan umum terdiri dari perencanaan sector-sektor dan perencanaan tata ruang (ruang daratan, ruang per-airan dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah), termasuk peraturan zonasi (zoning regulation).

Dalam tata ruang antara perencanaan sektor-sektor, termasuk perencanaan sektor pertanian, rencana tata ruang, keuangan dan waktu menuntut diadakan dalam waktu bersamaan. Hal ini mempunyai kaitan erat dengan perlindungan lahan, yang dapat diklasifikasikan kedalam perlindungan tanah terhadap bahan yang merugikan (contoh karena bahan kimia, secara alami keadaan tanah berubah, sehingga mereduksi kesuburannya). dan perlindungan tanah terhadap penggunaan tanah/ perlindungan tanah secara fisik a.l. perlindungan terhadap pemandangan (penggunaan tanah quantitatif), perlindungan tanah dari beban struktur tanah atau penggunaan tanah qualitatif (perlindungan erosi, dll.). Perencanaan umum mutlak adanya sebagai syarat untuk perlindungan tanah dan dapat berjalannya sistim pengendalian dan pengawasan pemanfaatan lahan, yang dapat diselenggarakan melalui ijin mendirikan bangunan dan ijin-ijin lainnya.
Tiadanya kebijakan pertanian yang stabil dan terus-menerus, dapat diartikan tiadanya perencanaan sektor pertanian yang konstruktif, diikuti dengan permasalahan sektor-sektor lainnya, terutama sector public.

Hal ini dapat dilihat dalam bangunan organisasi Lembaga Administrasi Negara dan Struktur organiasi Kabinet), serta kompleksnya permasalahan data dan informasi sektor-sektor dalam Pemerintahan, misal. data kependudukan, data pertanian, data pertanahan, data perpetaan, dll. menyebabkan pertanyaan besar, apakah UU Tata Ruang yang kemungkinan "dipaksakan" dapat diimplementasikan dan tidak menimbulkan konflik dan permasalahan yang lebih besar antara pemerintah dengan pemerintah, pemerintah dengan rakyat serta rakyat dengan rakyat, terutama mengenai pemilikan dan/ atau penguasaan lahan .

Penggunaan lahan pertanian memerlukan kepastian hukum (Rechtsicherheit), baik mengenai subyek hak maupun obyeknya. Subyek berarti siapa saja yang boleh mempunyai dan/ atau menguasai (usaha) lahan pertanian, hal ini berkaitan dengan sistim peralihannya: jual-beli dan/ atau pewarisan usaha pertanian, sewa, dll. sedangkan obyek dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip luas lahan pertanian yang ekonomis, jangka waktu, hubungan lahan dengan benda-benda yang ada diatasnya, pemanfaatannya, dll.
Kebijakan pertanahan menghadapi berbagai masalah dasar antara lain:
- Politik agraria yang keluar dari kerangka hukum
- belum adanya peta dasar yang berprinsip "satu peta satu bumi".
- Belum adanya perencanaan umum Nasional: perencanaan sector-sektor dan rencana tata ruang serta zoning regulation (UUTR), yang secara rasional tidak dapat diimplementasikan karena dihadapkan pada permasalahan agraria, khususnya pertanahan a.l. multi peta dasar yang tidak menjamin kepastian hukum penguasaan dan/ atau kewenangan di bidang pertanahan, lemahnya data dan informasi.
- Tiadanya kepastian hukum akan Tanah Negara, Tanah Hak maupun Tanah Adat.
- Belum adanya konsep distribusi tanah negara yang bermasa depan
- Tiadanya perencanaan umum Nasional yang stabil menghambat dan/ atau tidak memungkinkan daerah membangun agraria daerahnya secara konstruktif.

Misal terdapatnya instansi vertikal yang ada didaerah a.l. BPN, Kantor Pajak, Notaris, dimana data-data dan informasi mengenai peralihan hak atas tanahnya tidak dipunyai daerah (dari desa sampai provinsi), karena belum ada mekanisme yang mengatur pemberian informasi data pertanahan kepada daerah.

- Kompleksnya permasalahan dasar agraria, menjadikan kebijakan pertanahan yang komprehensif terlupakan dan/ atau sulit dilaksanakan.
- Terdapat produk peraturan-perundangan yang sifatnya sektoral.
Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang seharusnya untuk melandasi kebijakan pemanfaatan lahan pertanian maka harapan untuk mencapai kesejahteraan petani masih jauh, khususnya tiadanya kepastian hukum (Rechtsicherheit) menjadikan terancamnya asas-asas hukum lainnya yaitu asas keadilan (Gerechtigkeit) dan asas kepatutan/ kelayakan (Gesetzmaessigkeit).
Permasalahan reforma agrarian dengan latar belakang peraturan-perundangan sudah menjadi ciri negara berkembang seperti Indonesia, ditambah lagi dituntut untuk menyesuaikan kebijakan pertanian dengan perkembangan ekonomi seperti yang dialami oleh Negara-negara maju.

Dengan demikian peraturan-perundangan agraria, seperti peraturan-perundangan Landreform (UUPA, Perpu no. 56 tahun 160 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, PP no. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi, Hak sementara penguasaan tanah pertanian seperti sewa, bagi hasil, gadai, dll.), UU no. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, recana UU kebijakan lahan abadi, dll., serta program-program kebijakan pertanian lainnya perlu mendapat pemikiran serius dan prioritas Pemerintah dalam menjalankan pelayanannya dan tugas memakmurkan rakyat.


F. PUSAT - DAERAH UNTUK AGRARIA

Kebijakan Pemerintah mempunyai peranan yang menentukan untuk strategis bidang agraria, sebagai salah satu cabang ekonomi nasional, yang mempunyai permasalahan utama pada aspek-aspek kelembagaan sebagai titik paling lemah.
Dengan tiadanya politik agraria berdasarkan hukum, tiadanya konsep perbaikan agraria yang sustainable, menjadikan organisasi administrasi agraria tidak mempunyai struktur yang jelas dan kewenangan yang tidak jelas di bidang pertanahan dan/ atau pemanfaatan lahan dan/ atau hasilnya terpecah-pecah ke dalam berbagai insansi, a.l. Departemen Kehutanan, BPN, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, dll., contoh: masalah produksi dan pasar beras ada ditangan antara lain Departemen Pertanian, Bulog serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan, yang mekanismenya tidak jelas untuk jaminan kesejahteraan petani dan jaminan pangan penduduk secara sustainable. Disamping itu sistim pembangunan proyek dan target dan penyakit kronis administrasi yaitu egoisme sektoral (dan intern sektoral) menjadikan pemerintah membuat kebijakan tambal sulam.

Adannya pengakuan otonomi daerah, belum mendorong adanya pemerintah daerah secara langsung berupaya untuk memperbaiki sistim agraria secara komprehensif, serta menganggarkan secara khusus. Keadaan data keagrariaan tidak lengkap dan yang bersifat kuantitatif sangat lemah, peta lengkap belum tersedia, yang ada tidak detail dan parsial. Misal data dan informasi mengenai peralihan pemilikan dan/ penguasaan tanah serta pembebanannya terdapat pada instansi vertikal didaerah seperti BPN, Notaris, Kantor Pajak, dll. instansi pemilik peta dasar yang sifatnya sektoral. Sampai sekarang belum ada kewajiban dan mekanisme mengenai sharing pemberian data dan informasi mengenai keagrariaan pada pemerintahan daerah. Untuk penegakan otonomi daerah, hal tersebut mutlak dibutuhkan, untuk pemberdayaan dan/ atau dukungan secara penuh terutama terhadap desa, sebagai organisasi pemerintahan otonom terendah. Desa membutuhkan semua data dan informasi mengani desanya dari supra desa, untuk dapat digunakan secara terus-menerus, sehingga desa yang bersangkutan dapat membangun desanya secara konstruktif dalam kerangka pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.

Dengan adanya seluruh data dan informasi secara terus-menerus pada setiap desa yang bersangkutan diseluruh Indonesia, Pemerintah dapat memanfaatkannya untuk dapat membuat Perencanaan Umum secara kontruktif (perencanaan sektor-sektor dan perencanaan tata ruang), yang sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa penting, besar dan mendesak untuk perbaikan Indonesia di masa kini dan dimasa depan.

Dalam era globalisasi dibutuhkan aparat pemerintah perdasarkan spesialisasi, sehingga dapat menciptakan aparat pemerintah yang berkarakter dan profesional, karena yang dituntut oleh rakyat yang utama adalah output, bukan proses. Untuk itu perlunya Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Menteri Aparatur Negara menata organisasinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, khususnya di bidang strategis agraria dan/ atau pertanian.


G. PENDIDIKAN PERTANIAN

Faktor-faktor dalam struktur pertanian menuntut konstruktif, sistimatis dan logis untuk mencapai tujuan, yang dapat digambarkan dalam suatu Sistim Kebijakan Pertanian Bermasa Depan. Bagaimana kita dapat menyuluh dan/ atau mentransfer data dan informasi dengan baik kepada petani sementara kita sendiri belum mengetahui benar sistemnya.

Pendidikan pertanian adalah hal pokok untuk mendukung kebijakan pertanian. Dengan permasalahan yang begitu komplek dan mendasar dan belum adanya Hukum Pertanian dalam Sistim Hukum Nasional Indonesia, mutlak diperlukan pembentukan sistim kebijakan pertanian Indonesia yang bertanggung-jawab. Sehubungan dengan itu Fakultas Hukum dan Fakultas Pertanian adalah dua institusi yang mempunyai tanggung jawab, yang bekerjanya tidak dapat dipisahkan.


PENUTUP
Kebijakan pertanian dimasa depan dibutuhkan re-orientasi politik pertanian dalam kerangka hukum, merekonstruksi organisasi administrasi pertanian dan/ atau agraria, berdasarkan konsep yang konstruktif, berdasarkan permasalahan yang ada, dan disusun secara sistimatis dan logis untuk dapat mencapai tujuan yang stabil.

Referensi
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cetakan ke 17, Edisi revisi, Djambatan, Jakarta, 2006
Didik J. Rachbini, Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia, cetakan ke-2, Yogyakarta, 2003
Henny Mayrowani/Tri Pranadji/Sumaryanto/Adang Agustian/Syahyuti/Roosgandha Elizabeth, Ringkasan Executif Laporan akhir Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2004
Hyun-Joon Kim, Bodenschutz Durch Bauplanungsrecht (Perlindungan tanah melalui hukum bangunan), Dissertasi, Universitas Goettingen, 1999.
Ja Noertjahyo, Dari Ladang Sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani, Kompas, Jakarta, 2005
Madekhan Ali, Orang Desa Anak Tiri Perubahan, Averoes press prakarsa, cetakan 1, Malang, 2007
Sujana Royat/Abdul Haris/Dadang Solihin/ Nana Apriyana (Editor), Rancangan Kebijakan Perpetaan Nasional untuk Mendukung Penataan Ruang, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2003
Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
Wolfgang Winkler, Agrarrecht (Hukum Agraria), diambil dari Volkmar Goetz/ Karl Kroeschell/ Wolfgang Winkler (Editor), Hand Worterbuch fuer Agrarrecht, Band I.
Peraturan-perundangan terkait


*) Oleh Any Andjarwati

REFORMA AGRARIA JALAN PALING TEPAT AKHIRI KONFLIK


Tanah adalah hak milik sampai mati. Namun, kondisi pertanahan di Indonesia karut-marut, masalah bertambah dari waktu ke waktu. Rakyat kecil semakin kehilangan akses pada penguasaan tanah. Di sisi lain, penguasaan aset oleh bangsa lain membuat kita menjadi kuli di negeri sendiri. Kabar gembira muncul ketika pemerintah menjanjikan akan melaksanakan program Reforma Agraria Nasional mulai tahun ini.

Lahan seluas 8,15 juta hektar akan dibagikan pemerintah mulai 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar untuk masyarakat miskin dan 2,15 juta hektar untuk pengusaha guna usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan.

Upaya yang layak diapresiasi sekalipun bagi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan semuanya harus ditunggu realisasinya di lapangan. Berikut kutipan wawancara Kompas dengan Usep yang dilakukan dalam berbagai kesempatan.

Bagaimana peta pertanahan di Indonesia?

Kondisi pertanahan di Indonesia kontemporer belum berubah dari zaman kolonialisme. Sengketa dan ketimpangan pemilikan serta penguasaan tanah adalah warisan penjajahan. Bung Karno dan kawan-kawan pada 1960-an sudah merintis usaha mengakhiri wujud nyata dari feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme itu melalui penataan ulang struktur penguasaan tanah (landreform). Sayangnya, keburu terhenti akibat jatuhnya Bung Karno. Jika Bung Karno dikenal sebagai pemimpin yang populistik dan Bapak Marhaen yang menganut politik agraria populistik, Pak Harto dipersonifikasikan sebagai Bapak Pembangunan yang boleh jadi merupakan penghalusan dari penganut setia politik agraria kapitalistik.

KPA pernah melansir data kasus pertanahan yang mencapai ribuan.

Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria yang sifatnya struktural-artinya disebabkan oleh penggunaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang dijalankan pemerintahan; bukan sengketa antarwarga yang sifatnya individual. Faktanya di lapangan bisa sepuluh kali lipat banyaknya. Konflik agraria ini terus terjadi tanpa ada upaya saksama pemerintah dalam menyelesaikannya. Rakyat terus berjatuhan sebagai korban, sementara aparat yang melakukan kekerasan selalu lolos dari jerat hukum.

Apa akar persoalan pertanahan itu?

Politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa. Sepanjang rezimnya menganut politik agraria yang kapitalistik, otoritarian, dan represif, sengketa agraria struktural akan terus terjadi. Kita mesti terlebih dahulu bersepakat untuk mengubah politik agraria kita, dari politik agraria yang progolongan ekonomi kuat (kapitalis) menjadi progolongan ekonomi lemah.

Adakah kaitannya dengan "tuan tanah"? Atau karena faktor pertambahan penduduk?

Jika ditelisik, telah terjadi pergeseran aktor dari tuan tanah di era Indonesia masa lampau dengan realitas sekarang. Dulu, tuan tanah itu perusahaan besar kolonial yang bergerak di berbagai sektor keagrariaan dan juga kaum feodal pribumi yang berwujud tuan tanah pribadi individual. Sedangkan di era "pembangunan" dewasa ini, para tuan tanah itu mengerucut menjadi perusahaan besar yang menanamkan modalnya di berbagai sektor. Persoalan agraria yang pokok tidak serta-merta disebabkan oleh pertambahan alamiah jumlah penduduk. Faktor demografis turut memengaruhi peta persoalan agraria, namun bukan faktor penentu. Yang menentukan, sekali lagi adalah politik agraria yang dianut rezim yang berkuasa.

Bagaimana konsep reforma agraria yang "benar"?

Reforma agraria adalah jawaban paling tepat. Inti dari reforma agraria adalah landreform, yakni penataan ulang struktur penguasaan tanah menjadi lebih berkeadilan sosial. Melalui landreform, rakyat miskin, terutama kaum tani yang hidupnya bergantung pada penggarapan tanah, dipastikan akan mendapatkan akses pemilikan tanah. Fobia atas istilah landreform hendaknya segera diakhiri. Pada masa lalu isu landreform menjadi momok menakutkan akibat stigma negatif dari rezim yang memang anti-landreform, namun saat ini landreform merupakan keharusan sejarah. Negara mesti mengerahkan segenap kemampuan membantu rakyat penerima manfaat reforma agraria itu dengan berbagai kemudahan dan akses. Ringkasnya, reforma agraria adalah program landreform yang disertai program-program penunjang berikutnya. Dalam bahasa (Kepala Badan Pertanahan Nasional) Joyo Winoto, reforma agraria adalah landreform plus acces reform. Mengutip (mantan Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria) Noer Fauzi, masih harus diperhitungkan kekuatan resistensi dari golongan yang antireforma agraria. Negara mana pun yang kini maju, selalu diawali dengan pelaksanaan reforma agraria dalam fase awal pembangunan bangsanya. Reforma agraria bukanlah isu ideologis "kiri" atau "kanan" atau "tengah".

Serba mungkin

Ketertarikan pada masalah pertanahan ibarat perjalanan tanpa jalan pulang, mesti lurus tanpa henti. Kehidupan di kampungnya di kawasan selatan Ciamis membuatnya sangat dekat dengan soal pertanian. Kehidupan petani miskin di sekitarnya mendidiknya tidak asing dengan isu pertanahan. "Tapi saya memang tidak pernah pegang cangkul," aku bapak dua anak ini.

Saat mulai kuliah di Universitas Padjadjaran pada awal 1990-an, saat itulah kasus sengketa tanah di Jawa Barat mulai mencuat. Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, aktivis pendamping kasus tanah sangat mudah dicap sebagai "kelompok kiri". Bermula dengan kelompok mahasiswa lintas kampus, Usep kemudian bergabung dengan KPA mulai dari relawan sampai kini dipercaya sebagai sekjen. Organisasi ini merupakan gerakan rakyat yang bersifat terbuka dan independen.

Bagaimana tanggapan soal program reforma agraria yang hendak dijalankan pemerintah?

Kita perlu mengapresiasi rencana pemerintah untuk memulai (kembali) pelaksanaan reforma agraria. Setelah Bung Karno, baru Presiden yang sekarang inilah yang berani berjanji untuk melaksanakan reforma agraria dan secara eksplisit menyatakan akan melaksanakannya mulai 2007 ini. Ini sinyal menguatnya komitmen pemerintah. Namun masih harus diuji, kita harus tetap kritis dan hati-hati. Jika Presiden serius, segera kerahkan aneka sumber daya. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria. Selain itu, reforma agraria juga akan ditentukan oleh sejauh mana rakyat siap. Strategi umum yang tepat adalah "matang atas" dan "matang bawah".

Mungkinkah program itu dijalankan?

Sepanjang pemerintah dan rakyatnya serius menyiapkan diri, program ini akan dapat dijalankan. Program ini mungkin dijalankan dan berhasil, tapi juga mungkin dijalankan tapi nyeleweng. Atau bahkan mungkin jika dijalankan akan gagal total. Keserbamungkinan ini hendaknya tidak menjadikan kita mundur lagi.

Kita menghargai apa yang sudah dan sedang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional- yang oleh Perpres No 10/2006 ditugaskan untuk melaksanakan reforma agraria, dalam merumuskan naskah awal konsep, strategi, dan model reforma agraria. Namun, reforma agraria itu agenda besar yang lintas sektor dan lintas kepentingan sehingga butuh kelembagaan yang juga bisa menjembatani beragam kepentingan dan sektor-sektor yang ada. Idealnya, reforma agraria itu dipimpin Presiden melalui suatu lembaga khusus yang melibatkan banyak pihak yang punya kapasitas dan kepentingan sejalan.

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/27/politikhukum/3944950.htm

HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH

Setiap instansi atau lembaga pemerintahan, dalam menjalankan tugas yang diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk pembangunan gedung kantor atau kegiatan operasionalnya. Bidang tanah tersebut ada yang diperoleh dari pemberian langsung oleh pemerintah atau dari hasil pembelian milik penduduk. Status bidang tanah itu tetap sebagai aset Pemerintah disebabkan oleh kareana sumber dananya berasal dari Pemerintah. Adapun masalah tertib administrasi yang perlu menjadi perhatian adalah tentang bagaimana tata cara penguasaan oleh instansi itu menjadi tertib dan teratur serta tertib pengawasannya.

Di zaman Pemerintaha Hindia Belanda dahulu sudah ada ketentuan yang berlaku walaupun belum menyentuh tertib penguasannnya. Pada waktu itu berlaku ketentuan yang terdapat dalam Staatsblad 1911 no 110 juncto Staatsblad 1940 no 430. Di dalam lembaran Negara ini disinggung mengenai harta benda, bangunan dan lapangan militer. Mengenai bidang tanah disebut atau dirangkum ke dalam kata is lands-onroerende goederen atau "harta benda tetap/harta benda tidak bergerak milik Negara" sedangkan tertib administrasi penguasaan oleh instansi itu dipergunakan oleh istilah in beheer atau "dalam penguasaan". Sebagai bukti bahwa bidang tanah itu ada dalam penguasaan suatu instansi tertentu, ialah bahwa instansi tersebut memiliki anggaran belanja dari pemerintahan untuk membiayai pemeliharaannya.

Istilah in beheer ini kemudian berkembang atau dikembangkan demikian luas pengertiannya sehingga menimbulkan adanya kerancuan di bidang tertib hukum antar instansi pemerintah dengan instansi pemegang hak dan pihak ketiga. Pokok permasalahan inilah yang menjadi fokus pengkajian dan perlu ada perhatian untuk menemukan jalan keluarnya.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara, telah diatur bahwa openguasaan atas tanah Negara terbagi dalam dua (2) subyek :
1. Penguasaan tanah negara berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan lain yang ada pada kementerian, jawatan atau daerah swatantra pada saat berlakunya peraturan ini.
2. Penguasaan atas tanah negara selebihnya ada pada Menteri Dalam Negeri.

Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 92 oleh karena materi hukumnya menjadi embrio lahirnya pengertian Hak Pengelolaan.

Pasal 9 tersebut antara lain mengatur bahwa kementerian, jawatan atau daerah swatantra sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasanya diserahkan kepadanya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah itu dalam waktu yang pendek, yang sifatnya sementara serta setiap waktu harus dapat dicabut kembali. Ketentuan ini terus berlaku sampai tahun 1965 walaupun undang-undang no 5 tahun 1960 tidak mengaturnya. Berdasarkan pasal peralihan yang ada, maka Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 masih tetap berlaku. Penguasaan bidang tanah oleh instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria no 9 tahun 1965.

Dalam peraturan Menteri Agraria ini diatur bahwa yang semula hanya menyebut kata "penguasaan" dibubuhi kata hak dan menjadi "hak penguasaan", juga terdapat ketentuan bahwa Hak Penguasaan ini dikonversi dan dipecah menjadi dua (2) jenis hak, ialah :
1. Sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dikonversi menjadi HAK PAKAI selama dipergunakan.
2. Tanah-tanah tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan itu dikonversi menjadi HAK PENGELOLAAN yang berlangsung selama tanah itu dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.

Diatur bahwa Hak Pengelolaan ini mengandung kewenangan kepada pemegang haknya untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan pengguanaan tanah tersebut.
b. Menggunakan tanah itu untuk kepentingan sendiri.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu enam (6) tahun.
d. Menerima uang pemasukan, ganti rugi dan atau uang wajib tahunan.

Rumusan pengertian Hak Pengelolaan menadi demikian luas dan berlaku sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1973.

Dengan terbitnya Peraturan Menteri tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, diaturlah kebijakan yang lebih luas lagi. Pasal 3 mengatur bahwa Hak Pengelolaan yang diberikan kepada perusahaan berisikan wewenang untuk:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan atau pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga dilakukan oleh pejabat yang berwenang.

Kecuali adanya kebijakan oleh tingkat menteri mengenai Hak Pengelolaan ini, masih ada kebijakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah no 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Materi hukum hak pengelolaan hanya disisipkan dalam pasal 1 ayat 2 yang intinya mengandung pengertian adanya delegasi wewenang hak menguasai dari Negara kepada pemegang hak pengelolaan. Tidak ada penjelasan apakah delegasi kewenangan ini bersumber atau mengacu pada pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria atau kepada Peraturan-Peraturan Menteri tersebut di atas. Hak Pengelolaan yang bersumber pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria kiranya belum pernah diberikan.

Rumusan dan pengertian mengenai Hak Pengelolaan yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 sampai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1974 berkembang sedemikian luasnya sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih antar kewenangan instansi, dan juga berdampak kepada aspek sosial, ekonomi dan yuridis.

Adapun permasalahan yang timbul sebagai akibat rumusan dan pengertian Hak Pengelolaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi hanya suatu kebijakan yang dilandasi oleh peraturan Menteri.
2. Instansi Pemerintah sebagai pemegang Hak Pengelolaan menjadi berfungsi ganda, ialah sebagai pengemban tugas pelayanan publik dan juga bertindak sebagai penguasa.
3. Batasan atau rumusan Hak Pengelolaan demikian luas sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar instansi. Sebagai contoh adalah kewenangan perencanaan dan pengguanaan tanah, tumpang tindih dengan kewenangan Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan mengenai perolehan keuangan dari pihak ketiga adalah tumpang tindih dengan kewenangan Departemen Keuangan, khususnya ketentuan dalam Undang-Undang no 20 tahun 1996 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
4. Bidang tanah sebagai aset Pemerintah apabila difungsikan untuk tujuan mendapatkan penghasilan, juga terkait dengan kewenangan Departemen Keuangan.
5. Persyaratan yang diminta oleh pemegang Hak Pengelolaan pada umumnya memberatkan beban pihak ketiga, sehingga dapat menimbulkan konflik secara diam-diam atau terbuka.

Sebagai jalan keluar atau pemecahannya ialah bahwa Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak perlu diadakan pembahasan kembali sehingga didukung oleh sumber hukum yang benar.

Kepada instansi Pemerintah cukuplah diberikan Hak Pakai selama bidang tanahnya dipergunakan dan kembali kepada tugas pokoknya.

Apabila suatu departemen tugas operasionalnya bersinggungan dengan unsur bisnis maka diwajibkan membertuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Bidang tanah yang dikuasai oleh Badan Usaha ini wajib tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundangan lainnya.

*)Oleh Drs. SoemardijonoPenulis adalah purna karyawan Badan Pertanahan Nasional

LAHAN ABADI PERTANIAN DAN REFORMA AGRARIA

Pendahuluan
Ketika kita hendak membedah persoalan pengelolaan lahan pertanian sekaitan dengan reforma agraria serta hak-hak petani, maka sangat penting untuk membongkar konsepsi politik agraria dan dinamika kebijakan agraria nasional secara keseluruhan. Inisiatif Departemen Pertanian RI menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi mesti diletakkan dalam konteks kemungkinan pelaksanaan reforma agraria sejati secara menyeluruh. Reforma agraria yang kita perjuangkan mestilah menjadi dasar bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan pertanian secara lebih kokoh.

Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan meningkatnya produktivitas pertanian memang suatu kebutuhan dan keharusan dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan nasional sekaligus dasar bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani kita. Namun, dalam semangat merevitalisasi pertanian kita, hendaknya dihindari jebakan hanya mengatasi penyakit-penyakit hilir tanpa keseriusan dalam menuntaskan akar soal yang ada di hulu.

Ada beberapa hal yang harus disepahami terlebih dahulu, sebelum kita sampai pada pokok bahasan mengenai perlu/tidaknya atau mendesak/tidaknya penyusunan legislasi "Lahan Pertanian Pangan Abadi". Pertanyaan kuncinya: Bagaimana politik agraria dan kondisi agraria terkini? Sejauhmana pemerintah menjawab problem pokok agraria tersebut? Apa agenda utama yang mendesak dilakukan bangsa ini?

Politik Agraria dan Kondisi Agraria
Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksplotasi dan akumulasi dari modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor agraria.

Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu. Sejak Soeharto dan rezim Orde Baru berkuasa (1966) pelanggaran terhadap UUPA mulai berlangsung. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan kekayaan alam kita. Misalnya undang-undangan yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.

Pantulan orientasi politik agraria Orde Baru jelas tergambar pada kenyataan banyaknya penyerahan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ke tangan pemilik modal besar melalui berbagai macam ijin usaha. Dengan memegang teguh prinsip Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat 2 UUPA 1960), dengan mengatasnamakan negara, pemerintah pusat atau daerah telah mengeluarkan hak-hak baru seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Kuasa Pertambangan, dan Kontrak Karya Pertambangan.

Karena proses pelanggaran yang berkepanjangan, maka posisi UUPA 1960 dengan sendirinya terpinggirkan secara berkelanjutan. Bahkan UUPA seakan-akan hanya mengatur soal administrasi pertanahan saja, yang kewenangannya hanya mencakup sekitar 30% saja dari luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya diatur lewat undang-undang UU Kehutanan (1967) yang diperbaharui menjadi UU No. 41/1999, dan undang-undang sektoral lainnya.

Mengerdilnya posisi UUPA dari yang seharusnya menjadi rujukan dalam pengaturan seluruh sumber agraria menjadi "hanya" mengatur soal tanah non-hutan ini merupakan awal dari era sektoralisme dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sejak UU Kehutanan diberlakukan dan dikawal oleh Departemen Kehutanan (hingga saat ini), sementara UUPA yang sebelumnya dikawal oleh Departemen Agraria namun belakangan dikerdilkan menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang lebih mengurus aspek administratif pertanahan, maka praktis sejak saat itulah terjadi pengaburan makna agraria dari yang sejatinya dimaksud UUPA menjadi hanya sekedar soal pertanahan saja.

Ini sekedar menunjukkan contoh bahwa UUPA bukan hanya mengurusi soal tanah saja. Lihat Pasal 1 (4) dan (5) yang berbunyi: "Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air", dan "Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia".

Sementara itu, politik sentralisme dan sektoralisme hukum serta kelembagaan pendukungnya telah memuluskan proses perampasan hak-hak rakyat atas tanah untuk kepentingan "pembangunan" ala Orde Baru. Kenyataan berikutnya yang segera mencuat adalah konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria di tangan segelintir orang saja.

Misalnya di sektor pertanian, berdasarkan perbandingan hasil empat kali Sensus Pertanian (SP) diketahui bahwa rata-rata penguasaan tanah oleh petani di Indonesia terus menurun, dari 1,05 hektar (1963) menjadi 0,99 hektar (1973), lalu turun menjadi 0,90 hektar (1983) dan menjadi 0,81 hektar (1993). Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa 21,2 juta rumah tangga di pedesaan, 70%-nya menggantungkan diri pada sektor pertanian. Dari jumlah itu, 3,8% atau sekitar 0,8 juta merupakan rumah tangga penyakap yang tidak punya tanah, 9,1 juta rumah tangga menjadi buruh tani, dan diperkirakan jumlah petani tak bertanah di Indonesia ada sekitar 9,9 juta atau sekitar 32,6% dari seluruh rumah tangga petani (lihat Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Lembaga Penerbit FE 1997).

Dalam catatan Khudori (Kompas, 16/3/07), hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar -milik sendiri maupun menyewa- meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta (82,7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin. Karena sebagian besar rumah tangga petani di Indonesia (73,4 persen) adalah petani padi/palawija, maka sebagian besar petani gurem adalah petani padi/palawija. Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), 63,41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan.

Di sektor kehutanan, hingga tahun 1998, menurut catatan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, ada sekitar 500 buah HPH yang beroperasi mengusahakan sekitar 55 juta hektar hutan produktif di Indonesia. Menurut catatan PDBI, sampai tahun 1994 ada 20 kelompok pengusaha yang menguasai 64.291.436 hektar (lebih dari 50%) jumlah hutan yang diberikan HPH-nya. Di sektor pertambangan tidak kalah spektakulernya, misalnya PT Freeport Indonesia yang mengeruk emas di Papua memiliki areal konsesi melalui Kontrak Karya seluas 2,9 juta hektar (1991).

Sementara sektor perkebunan melalui HGU menduduki peringkat tertinggi dalam konsentrasi penguasaan tanah di Indonesia. Menurut Sensus Perkebunan Besar (1990-1993) ada sekitar 3,80 juta hektar tanah perkebunan yang dikuasai oleh 1.206 perusahaan dan 21 koperasi, dengan rata-rata 3.096, 985 hektar dikuasai tiap perusahaan (Lihat Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi, Pembaruan Agraria (Agrarian Reform) adalah Agenda yang Inklusif dengan Reformasi Sosial secara Menyeluruh, dalam "Usulan Revisi Undang-undang Pokok Agraria: Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria", KRHN dan KPA, hal. 38-39, Oktober 1998). Kenyataan inilah yang menjauhkan rakyat, terutama buruh tani, petani kecil dan masyarakat adat di pedesaan dari keadilan dan kemakmuran.

Di sisi lain, konflik agraria menjadi realitas yang rutin kita hadapi. KPA merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" sektor bisnis dan/atau negara.

Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus).

Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai "lawan" rakyat pada berbagai jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana militer. Perusahaan swasta juga kerap menjadi lawan sengketa rakyat pada kasus perkebunan besar, perumahan dan kota-kota baru, kawasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik.

Reforma Agraria sebagai Solusi Pokok
Pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform) adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Agar memberikan hasil seperti yang diharapkan, landreform yang didahului dengan redistribusi tanah harus diikuti dengan sejumlah program pendukung yang intinya akan memberikan kesempatan bagi para penerima tanah untuk meraih keberhasilan pada tahap-tahap awal dijalankannya program.
Karena itu, program redistribusi tanah harus diikuti dengan dukungan modal produksi (kredit usaha) di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barang-barang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan di dalam sistem pemasaran dan perdagangan hasil-hasil pertanian, penyuluhan-penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk membantu para petani memecahkan masalah-masalah teknis yang dihadapinya, dan program lainnya yang pada intinya dapat mununjang keberhasilan para petani penerima tanah dalam berproduksi. (Pengertian ini mengacu pada Petisi Cisarua: "Kerangka Pelaksanaan Pembaruan Agraria: Rekomendasi untuk Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak M. Jusuf Kalla, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2004-2009", disusun Sediono MP Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Anton Poniman, Dianto Bachriadi, Syaiful Bahari, Usep Setiawan, Noer Fauzi, Dadang Juliantara, Erpan Faryadi, dan Agustiana, 20 Oktober 2004).

Pembaruan agraria yang kita maksud tidak hanya menyangkut landreform bagi kaum tani dan sebagai dasar pengembangan sektor pertanian semata, melainkan juga menyentuh upaya untuk menata ulang sistem penguasaan dan pengelolaan atas seluruh kekayaan alam secara mendasar dengan prinsip keadilan agraria. Sektor-sektor kekayaan alam yang dimaksud mencakup kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pesisir, pulau-pulau kecil dan kelautan.

Suatu perubahan agraria (agrarian changes) yang tidak didahului dengan upaya merombak tatanan atau struktur agraria yang timpang tidak memiliki makna apapun dari perspektif keadilan, kecuali yang terjadi hanyalah perubahan sosial itu sendiri. Padahal pembaruan agraria, orientasi utamanya adalah keadilan - yang sering diungkapkan dengan istilah keadilan agraria (agrarian justice), yaitu "suatu keadaan dimana relatif tidak ada konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak dan terjaminnya kepastian hak penguasaan masyarakat setempat, termasuk hak masyarakat adat, terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya."

Pembaruan agraria dapat dimaknai sebagai suatu perubahan mendasar di dalam hubungan-hubungan sosial dan politik yang berkait erat dengan sistem produksi, khususnya di pedesaan, yang dengan sendirinya meliputi perubahan-perubahan di dalam keseimbangan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam masyarakat. Dengan demikian, reforma agraria merupakan suatu dasar bagi perubahan sosial melalui penataan kembali tata kuasa terhadap tanah dan juga sumber daya alam lainnya dalam rangka pembangunan masyarakat. Pemaknaan ini sejalan dengan Putzell yang mengatakan bahwa reforma agraria adalah sebuah program yang multi dimensional yang melintasi rentang-rentang masalah ekonomi, politik, dan sosial. Bahkan menurutnya pembaruan agraria dapat juga memainkan peran dalam memerangi "kekalahan" wanita pedesaan (Christodoulou, The Unpromised Land, 1990, hal. 112).

Dalam kerangka politik hukum, sejak tahun 2001 sudah ada kemajuan yang cukup berarti yang ditandai dengan terbitnya Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok bagi upaya mengurangi ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan kekayaan alam lainnya, menyelesaikan konflik-konflik agraria dan sumberdaya alam, dan memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang rusak.

RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi: Menjawab Apa?
Apa yang dilakukan pemerintah dalam menjawab problem-problem agraria di atas? Dengan berat hati harus dinyatakan bahwa sejauh ini belum ada hasil signifikan dari apa yang dilakukan pemerintah. Pemerintah melakukan sejumlah penggalan rencana besar yang kesemuanya masih cenderung berupa wacana yang harus diuji dalam praktek. Pencanangan Progam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata belum dapat dikatakan sukses. Indikator pentingnya, program ini belum sanggup meningkatkan kesejahterakan kaum tani, nelayan dan masyarakat di sekitar hutan.
Di sektor pertanian, produktivitas dan ketersediaan lahan pertanian kita tampaknya masih memprihatinkan. Rendahnya produktivitas pertanian kita telah memaksa bangsa agraris ini mendatangankan bahan pangan (beras) dari negeri orang melalui mekanisme impor.

Hal inilah mendorong kita memikirkan masalah ketahanan pangan bangsa ini. Dalam menjaga ketahanan pangan, operasi pasar adalah salah satu langkah darurat yang harus dilakukan oleh pemerintah. Namun, ketika operasi pasar menjadi treatment rutin setiap tahun, tentu kita patut mempertanyakan langkah-langkah jangka menengah dan jangka panjang pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, murah dan bergizi bagi rakyat. Persoalan ini mesti kita ungkapkan kembali mengingat pada tahun 2006 yang lalu telah terjadi bencana kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Di tahun yang sama berjangkit berbagai penyakit dan kematian yang diakibatkan oleh kelaparan dan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia Timur. Pemerintah perlu memperbarui strategi ketahanan pangan nasional yang dijalankan selama ini. Agar lebih mendasar, sebaiknya pemerintah menggeser strategi "ketahanan" pangan menjadi "kedaulatan" pangan.

Kedaulatan pangan adalah sebuah alternatif yang diajukan oleh kalangan gerakan masyarakat sipil dunia dalam mengatasi persoalan kelaparan. Kedaulatan pangan juga sekaligus kritik terhadap isu ketahanan pangan (food security) yang dikampanyekan oleh badan pangan dunia (FAO). Pandangan badan tersebut selama ini memunculkan anggapan luas bahwa kebutuhan rakyat terhadap pangan dapat ditempuh dengan membuka pasar domestik pangan secara bebas dan luas. Fakta menunjukkan bahwa laju kemiskinan dan pengangguran di negara-negara yang sedang membangun semakin meninggi semenjak bergabung dengan rezim pasar bebas sehingga daya beli terhadap produk pangan semakin hilang.

Menurut Kaman Nainggolan (Sinar Harapan, 16/10/2006), kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara makro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupun secara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga.

Kedaulatan pangan adalah perjuangan mendorong alokasi tanah kepada para petani dan lahan bagi tanaman pangan. Sementara itu, rezim ketahanan pangan, akibat kepercayaannya pada pasar bebas, telah mendorong alokasi tanah kepada siapa yang mampu secara efektif dan efisien dalam hal permodalan dan teknologi memanfaatkan tanah. Sehingga, rezim ini secara langsung telah mendorong pengalokasian tanah untuk ditanami produk-produk komoditas ekspor non pangan. Sebagai misal, di Indonesia lahan-lahan lebih diutamakan untuk tanaman sawit, karet, dan kayu untuk menuai devisa dari ekspor ketimbang untuk tanaman pangan. Kalangan yang memperjuangkan terwujudnya kedaulatan pangan percaya bahwa jalan lapang menuju ke sana adalah dengan menjalankan pembaruan agraria (reforma agraria) yang sejati.

Kini diperlukan sistem ketahanan pangan yang secara filosofis harus menghindari ketergantungan terhadap situasi eksternal (pasar bebas) dan pola kebijakan pangan yang reaktif terhadap persoalan internal (operasi pasar). Dengan menyadari persoalan agraria yang bercirikan struktur agraria yang sangat timpang maka kebutuhan mendesak yang harus secepatnya dilakukan adalah menata kembali struktur agraria melalui pembaruan (reforma) agraria. Setelah penataan struktur agraria tuntas, barulah dimungkinkan untuk memasuki upaya sistematis lebih lanjut dalam meraih kedaulatan pangan. Tanpa struktur agraria baru yang lebih adil dan merata bagi kaum miskin, niscaya cita-cita meraih kedaulatan pangan akan tergelincir menjadi "makan roti dalam mimpi".

Di sisi lain, fenomena alih fungsi lahan (konversi) pertanian ke non-pertanian semakin mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Berbagai pihak memandang perlu dibuat kebijakan pengendalian laju konversi tersebut. Penyusunan RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi yang digarap Deptan RI juga dimaksudkan untuk itu. Martin Sihombing (Bisnis Indonesia, 03/4/07) melaporkan, dalam periode 1980-2005, sumber pertumbuhan produksi padi bertumpu pada peningkatan produktivitas. Pada 1980-1989, produktivitas padi tumbuh 3,53% dan periode 2000-2005 tumbuh 1,22%. Sedangkan pada periode 1980-1989, luas panen tumbuh 1,78% dan pada periode 2005 minus 0,17%. Peningkatan padi menunjukkan titik jenuh dimulai sejak swasembada beras 1984.

Peningkatan luas lahan areal, sudah mengalami penurunan nyata yang disebabkan luas laju konversi lahan sawah untuk penggunaan industri dan nonpertanian lainnya yang melebihi kemampuan negara mencetak sawah baru. Kalau pada periode 1981-1989 neraca sawah masih positif 1,6 juta hektare (ha), maka periode 1999-2002 neraca sudah negatif 400.000 ha. Ini menunjukkan laju konversi lahan sawah makin tinggi. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan, maka sangat mungkin dalam 10 tahun ke depan kemampuan negara dalam memproduksi padi akan sangat berkurang. Tahun ini pemerintah (Deptan) mencetak sawah baru 20.000 ha dan tahun depan 50.000 ha.

Wakil Ketua Badan Legislasi dan anggota komisi IV DPR Bomer Pasaribu menambahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) konversi lahan ke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (periode 1992-2002). Konversi lahan sawah di Jawa sebagian besar (58,3%) berupa alih guna menjadi kawasan permukiman. Di Sumatra dan pulau lainnya 50,6% beralih fungsi menjadi lahan pertanian nonsawah. Padahal, ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan conditio sine-quanon untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan secara nasional.

Mentan mengatakan untuk memperkuat kemampuan negara memproduksi beras, maka perlu dibuat kebijakan pengendalian laju konversi lahan sawah dan memperbesar kemampuan negara mencetak lahan pertanian baru. Bomer Pasaribu mengatakan dalam keputusan DPR No 07A/DPR-RI/I/2006-2007 tetang Program Legislasi Nasional (Proglegnas) Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2007, RUU Lahan Abadi Pertanian ini tercantum dalam Proglegnas Prioritas dengan nomor urut 29. "Inilah serangkaian upaya legislasi untuk memperjuangkan atau mendukung program RUU lahan itu".

Kritik dan masukan terhadap RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi dapat diberikan pada tataran substansi dan konteks. Secara substansi, dalam draft RUU ini ternyata tidak bersangkut paut dengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. RUU ini juga tidak merujuk kepada UUPA 1960 sebagai payung hukum atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan tidak terkaitnya substansi RUU ini dengan reforma agraria dan UUPA maka dapat disimpulkan (sementara) bahwa RUU ini dilatarbelakangi oleh politik agraria dan kebijakan pertanian yang belum mencerminkan kehendak untuk menuntaskan problem pokok agraria dengan mengacu kepada pemikiran dan cita-cita para pendiri republik.

Secara kontekstual, RUU ini hanya menjawab satu persoalan dari sejumlah masalah yang tengah melilit dunia pertanian kita: yakni penyediaan lahan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas pertanian guna mencapai ketahanan pangan. Dalam kajian KPA, dua problem utama agraria di Indonesia berupa ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan maraknya konflik dan sengketa pertanahan tidak tersentuh draft RUU ini. Padahal fakta ketimpangan dan konflik ini - termasuk dan terutama terjadi atas lahan pertanian, harus didahulukan untuk dilakukan, atau setidaknya dibuat secara terintegrasi dengan legislasi mengenai pengadaan dan pengelolaan lahan pertanian pangan abadi.

Penutup
Penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan operasional yang terkait pengadaan dan pengelolaan "Lahan Pertanian Pangan Abadi" hendaknya diletakkan dalam konteks pelaksanaan reforma agraria sejati secara menyeluruh. Yang tengah kita butuhkan bukan sekedar "UU" melainkan kemauan politik yang super kuat dari para penyelenggara negara untuk merombak total paradigma politik agraria (termasuk pertanian) dari sekedar pro-produktivitas atau pro-pertumbuhan, menjadi lebih pro-pembangunan pertanian rakyat yang mengutamakan kepentingan kaum buruh tani, petani penggarap, petani gurem dan masyarakat adat yang hidupnya tergantung pada lahan pertanian.

Legislasi untuk "Lahan Pertanian Pangan Abadi" akan relevan jika disusun secara integrated dengan legislasi yang ditujukan untuk menata struktur penguasaan/pemilikan lahan bagi golongan ekonomi lemah dan menyelesaikan konflik agraria/sengketa tanah yang selama ini menjadi dua problem pokok agraria kita. Integrasi legislasi bagi perombakan struktur agraria, penyelesaian konflik agraria dan pengadaan lahan pertanian pangan layak dipikirkan dan dikembangkan. Kenapa tidak, klausul pengaturan mengenai pengadaan dan pengelolaan "Lahan Pertanian Pangan Abadi" dimasukan saja ke dalam suatu UU yang secara utuh mengatur pertanahan kita dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria sejati.

Secara strategis, muara pelaksanaan reforma agraria ialah mengikis ketimpangan, mengurangi kemiskinan, menyediakan pekerjaan, memperkuat ekonomi rakyat, menuntaskan konflik/sengketa agraria, mengamankan ketersediaan pangan, sekaligus memulihkan lingkungan hidup. Tujuan strategis ini mutlak membutuhkan komitmen kuat dari segenap komponen bangsa, terutama dari seluruh jajaran pemerintahan bersama kaum tani pedesaan melalui kekuatan yang terorganisir secara sinergis. ***

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), alumnus Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.

Pengamanan Aset Tanah Negara Lewat MPBM


Aset negara perlu segera diinventarisasi agar dapat dicegah adanya tindakan korupsi, sebagaimana dinyatakan oleh Sekretaris Jendral Departemen Keuangan yang didampingi Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan bersama sejumlah sekjen, irjen instansi pemerintah ketika membahas penertiban aset negara (Kompas, Rabu 7/5 2008). Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan mengungkapkan bahwa sertifikat ganda menggerogoti aset negara dan menyebabkan ketidakjelasan status tanah yang berpengaruh terhadap investasi (Jawa Pos, Rabu 7/5 2008).

Sebagai pegawai yang telah mengabdi cukup lama di BPN, penulis tidak kaget mendengar kedua pernyataan di atas. Hampir semua instansi pemerintah hingga pemerintah desa belum tergerak untuk mendaftarkan asetnya. Kalaupun ada, masih bersifat sporadis dan keproyekan, serta belum sistematis dalam kerangka manajemen aset.

Penyertifikatan tanah, menurut UU No. 5 Tahun 1960, merupakan langkah yang tepat untuk menata aset negara dan sesungguhnya pendaftaran tanah di seluruh NKRI adalah kewajiban Pemerintah. Namun, karena keterbatasan keuangan negara, hingga saat ini diperkirakan 70-80 persen bidang tanah belum bersertifikat.

Sistem pensertifikatan tanah yang diberlakukan saat ini juga belum dapat mencegah sertifikat ganda. Ada sebidang tanah dilandasi oleh dua akta hibah pelepasan adat oleh dua marga/kelompok adat, memiliki dua sertifikat dan kebetulan sertifikat yang satu adalah tanah aset negara/pemerintah daerah. Marga tidak mengetahui batas wilayah ulayat yang jelas. Subjek yang mengatasnamakan marga juga tidak jelas.

Dobelnya surat keterangan adat atau kepala desa ini karena tidak tertibnya administrasi penguasaan tanah yang dibukukan di desa, sehingga menimbulkan sertifikat dobel. Reorganisasi instansi pemerintah menyebabkan dokumen pemilikan dan penguasaan aset banyak yang hilang, bahkan banyak tanah bengkok desa yang disertifikasi atas nama pribadi. Keterbatasan pemerintah menyediakan anggaran menyebabkan pendaftaran tanah dilakukan secara sporadis, sehingga 20-30 persen yang sudah besertifikat berpotensi memiliki sertifikat ganda. Sekalipun jumlahnya tidak banyak tapi akan membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak efektif, karena disibukkan oleh persengketaan dan konflik pertanahan.

Tanah yang sudah bersertifikat disebut aset negara, karena negara telah melakukan inventarisasi melalui penetapan hak berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1960, sedangkan aset bangsa meliputi aset negara dan tanah yang belum bersertifikat atau tidak perlu diberi sertifikat, karena tidak ada yang menguasai, selain negara, seperti pulau-pulau terluar NKRI memerlukan sistem terpadu dalam penataannya. Subjek hak, baik seseorang WNI atau WNA maupun badan hukum privat atau publik dan jenis hak yang dibukukan melalui manajemen pertanahan harus terkoneksi dengan administrasi kependudukan sehingga sertifikat dobel dapat dihindari.

Dengan kondisi abu-abu data tanah yang ada di tingkat desa saat ini, maka penertiban aset bangsa dan aset negara sebaiknya dilakukan secara sistematis dan menyeluruh pada akar persoalan pertanahan, yaitu mulai dari desa. Sebagai pegawai pertanahan yang puluhan tahun telah mengabdi di BPN, penulis merasa terpanggil untuk mengajukan terobosan yang sistematis, yaitu melalui manajemen pertanahan berbasis masyarakat (MPBM) yang meliputi manajemen aset, manajemen pertanahan, manajemen tata ruang, tata guna tanah, tata bangunan, dan manajemen alokasi tanah untuk pembangunan fisik atas konversi penggunaan tanah, dapat diselenggarakan secara serempak, karena dilaksanakan oleh masing-masing desa/kelurahan. Pemerintah hanya memberi bimbingan teknis dan administratif.

Uji coba MPBM di Jawa Tengah telah memberikan gambaran bahwa MPBM mampu dibangun oleh masyarakat desa. Tim Sembilan yang dipilih secara musyawarah di tingkat desa bertugas mewakili masyarakat sebagai pengelola MPBM, sekaligus penggerak masyarakat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah, yang dapat memberikan peningkatan nilai tambah. MPBM yang mengembangkan self finance dan multiguna serta pembangunan awalnya secara gotong royong, sangat menghemat keuangan negara dan dapat terselesaikan 5-10 tahun di seluruh Indonesia.

MPBM dapat mengeliminaasi mafia tanah yang bermain di kondisi abu-abu. Sertifikat dobel dapat dihindari karena surat keterangan tanah kepala desa dilampiri peta bidang tanah yang dibuat oleh masyarakat. Pemeliharaan data atas bidang tanah, baik subjek maupun objek dapat terlaksana secara tertib, karena dicatat pada buku MPBM. Buku aset dapat dengan mudah dikembangkan melalui MPBM di setiap desa dan dapat dikoneksikan dengan file aset yang dipusatkan di kabupaten/kota, karena setiap bidang tanah terkorelasi dengan pemilik tanahnya. Data MPBM sebelum diberlakukan sebagai landasan dalam pemberian surat keterangan tanah diverifikasi oleh Kantor Pertanahan, dimutakhirkan setiap akhir tahun atau dievaluasi setiap terjadi penggantian kepala desa/lurah, sehingga memiliki kecocokan data dengan data kantor pertanahan.

Membangun MPBM seluruh Indonesia tentu saja perlu ada koordinasi dan kerja sama antara Depdagri dan BPN RI. Pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Agraria/KaBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Inventarisasi Tanah Adat perlu didukung MoU antara Mendagri dan Ka BPN agar dapat terlaksana.

Rekruitmen Tim Sembilan MPBM melalui rembug/musyawarah desa sebagai upaya pendewasaan demokratisasi, penyadaran dan pemberdayaan melalui Tim Sembilan sebagai kelompok penggerak upaya membangun kemandirian dan martabat bangsa. MPBM mempercepat pembangunan sistem informasi pertanahan nasional (simtanas), sehingga berbagai kebijakan pertanahan dapat ditetapkan setiap saat untuk mempercepat realisasi pasal 1 s/d 15 UU PA, yaitu tanah untuk kesejahteraan dan keadilan, keutuhan NKRI, kehidupan harmonis Bhineka Tunggal Ika, dalam program 5-10 tahun. MPBM dapat mengefektifkan peran lembaga pertanahan dengan fungsi mengadministrasikan setiap kejadian dan perubahan menyangkut penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan atas sebidang tanah yang tidak mungkin dapat ditangani oleh lembaga yang hanya berpusat di kabupaten/ kota.
***
Penulis adalah penggagas MPBM, mantan Kapuslitbang BPN,kini Direktur Pengelolaan Tanah Kritis, Tanah Negara dan Tanah Terlantar BPN RI
Sumber: Suara Karya On-line. 24 Juni 2008