tag:blogger.com,1999:blog-59193142541633855872024-03-08T00:56:41.982-08:00Kuliah-NotariatUnknownnoreply@blogger.comBlogger48125tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-86484186873640200522009-04-20T09:18:00.000-07:002009-04-20T09:19:34.986-07:00KETAHANAN PANGAN DAN REFORMA AGRARIA<div align="justify"><br />Jakarta - Sebuah publikasi dari Badan PBB untuk Urusan Pangan dan Pertanian (FAO) menyebut bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang terancam rawan pangan. Ini adalah peringatan dan pemerintah harus mengambil kebijakan-kebijakan strategis di bidang pangan dan pertanian. Ironisnya, sektor pertanian di Indonesia seperti anak tiri. Petani tidak lagi menjadi salah satu pilar dalam pemberdayaan ekonomi. Sektor tersebut mulai ditinggalkan karena kemampuan produksinya yang menurun.<br /><br />Pada saat ini, pangan dan energi semakin menjadi komoditas strategis dunia. Jumlah penduduk yang besar dan usaha meningkatkan gizi yang maksimal di setiap negara semakin tinggi. Saat yang sama, kegiatan ekonomi semakin intensif sehingga memerlukan energi yang banyak.<br /><br />Celakanya, pangan dan energi bukan bersifat komplementer, melainkan saling substitusi. Karena sifatnya yang saling bersubstitusi itu, permintaan konsumen energi dan konsumen pangan menyebabkan tekanan terhadap harga.<br /><br />Dalam beberapa tahun terakhir, masalah ketahanan pangan menjadi isu penting di Indonesia, lebih-lebih bila dikaitkan dengan bencana alam. Bencana alam merupakan salah satu sumber kerentanan pangan. Ancaman ketahanan pangan inilah yang kembali menyeruak saat persawahan petani diramalkan puso akibat banjir Bengawan Solo.<br /><br />Malasah pangan, kekeringan, masalah konversi minyak tanah ke gas, dan berbagai bencana yang melanda tanah air seolah melengkapi penderitaan masyarakat miskin yang jumlahnya relatif stagnan, sekitar 37 juta orang menurut versi Badan Pusat Statistik (BPS) atau lebih dari 90 juta orang versi Bank Dunia.<br /><br />Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki banyak jumlah penduduk miskin sekaligus dihadapkan dengan dua masalah ketahanan pangan, yaitu ketahanan pangan wilayah dan ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan wilayah digambarkan dari aspek produksi, sedangkan aspek ketahanan pangan rumah tangga diwujudkan oleh kemampuan penduduknya mengakses dan mengonsumsi makanan sesuai syarat gizi untuk mencapai derajat hidup sehat.<br /><br />Bencana Bengawan Solo adalah bencana alam masif yang terjadi secara serentak di beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Secara langsung, bencana ini berdampak pada ketahanan pangan wilayah, yang ujungnya menurunkan kualitas hidup masyarakat. Dalam pada itu, pemerintah dipandang gagal dengan membiarkan petani tradisional berhadapan langsung dengan pemain dan pasar global. Akibat sistem kebijakan liberal itu, pertahanan produksi pertanian nasional terjungkal dan hancur.<br /><br />Ini memilukan, karena potensi Indonesia sebagai negara agraris sangat besar. Namun, kebutuhan bahan baku pangan, seperti beras dan kedelai, sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari importir.<br /><br />Tanah/lahan merupakan aset terpenting bagi kegiatan pertanian. Sayangnya, pemerintah lalai dalam hal ini. Kepemilikan tanah sebagai pilar terpenting kegiatan produksi semakin lama kian tidak ramah dengan kebutuhan sektor pertanian. Rata-rata lahan kepemilikan rumah tangga petani semakin menciut, bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan itu hanya 0,25 hektar. Penciutan kepemilikan lahan itu bisa bersumber dari pola warisan yang membuat lahan terfragmentasi, infiltrasi sektor industri atau jasa yang lapar lahan, dan kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian.<br /><br />Menurut BPS dan BPN (Badan Pertanahan Nasional), setiap lima tahun konversi lahan pertanian untuk pemanfaatan lain (industri, jasa, permukiman) mencapai 106 ribu hektar. Akumulasi atas soal itu mengakibatkan produksi komoditas pertanian merosot. Lebih payah lagi, infrastruktur yang difungsikan untuk mendistribusikan produk-produk pertanian jauh dari memadai. Di salah satu kabupaten di Jawa ditemukan, 60 persen saluran irigasi dibangun pada zaman Belanda. Malang nian nasib petani di Indonesia.<br /><br />Tak jauh berbeda, menurut Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, ancaman kekurangan air juga bakal terjadi di Pulau Jawa. Sekarang ini, jumlah penduduk di Jawa adalah 65 persen penduduk Indonesia. Sementara, cadangan air di Jawa hanya 4 persen cadangan stok nasional akibat wilayah tangkapan air yang kian menyempit.<br /><br />WALHI mencatat, kecamatan yang terkena banjir pun semakin meluas. Tahun 2006 ada 124 kecamatan, sedangkan tahun 2007 menjadi 260 kecamatan. Lima tahun belakangan ini banjir di Pulau Jawa pun meningkat tiga kali lipat.<br /><br />Menilik fakta-fakta di atas, WALHI mendesak pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengaturan perdagangan dengan jalan melindungi petani lokal melalui kebijakan tarif dan non-tarif yang dinamis. Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah untuk memperkuat keterampilan petani lokal dalam teknik bercocok tanam, teknologi, benih, pengairan, penyuluhan, kredit, dan sistem keuangan yang memihak petani.<br /><br />Kedua, dibutuhkan kesiapan infrastruktur yang mumpuni guna pemerataan hasil-hasil pertanian ke seluruh wilayah di Indonesia. Olehnya, WALHI meminta pemerintah untuk segera membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian. Pembangunan infrastruktur pertanian menjadi syarat penting guna mendukung pertanian yang maju. Di Jepang, survei infrastruktur selalu dilakukan untuk menjamin kelancaran distribusi produk pertanian. Perbaikan infrastruktur terus dilakukan sehingga tidak menjadi kendala dalam menyalurkan produk-produk pertanian.<br /><br />Ancaman rawan pangan akan terus mendera negeri agraris ini, jika pemerintah tak kunjung bekerja cerdas. Lalai atau menganggap remeh, sama halnya dengan menurunkan derajat hidup sehat kebanyakan penduduk Indonesia. Indonesia butuh lebih dari sekadar respons, melainkan reforma agraria di sektor pertanian dan pangan. Dengan reformasi agraria ini, petani memiliki akses perseorangan, memiliki lebih banyak pilihan dan kebebasan. Hal ini mendorong gairah bekerja, iklim kompetisi, dan memacu produktivitas.<br /><br />Sumber: http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/080225_kthnan_pangan_cu/<br />25 Februari 2009</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-39638673442735457932009-04-20T09:15:00.000-07:002009-04-20T09:18:51.600-07:00REFORMA AGRARIA DAN PEMBELAAN TERHADAP PETANI KECIL<div align="justify"><br /><br />Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sebagian besar mata pencaharian rakyat adalah bertani. Jumlah petani Indonesia saat itu bahkan mencapai kurang lebih 70% penduduk. Jumlah petani yang demikian besar ini tentu saja menggantungkan hidupnya dari proses pengolahan tanah untuk berproduksi. Tetapi ternyata banyak dari para petani itu harus menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan tanah sebagai sumber penghidupan mereka. Permasalahan itu bukan hanya timbul dari hubungannya dengan tanah itu, melainkan juga dari hubungannya dengan orang-orang kaya pemilik tanah luas. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Sekelompok kecil rakyat Indonesia menguasai sejumlah besar tanah, sementara para petani yang hidupnya bergangung pada penggarapan tanah justru hanya menguasai sejumlah kecil prosentase tanah di Indonesia. Situasi inilah yang antara lain mendorong Presiden Soekarno untuk mengamanatkan disusunnya Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang di dalamnya termasuk Reforma Agraria.<br /><br />Hal itu dikatakan oleh Darwin Awat dalam diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) USD Sabtu, 14 Februari 2009. Hadir dalam diskusi itu Dr. Ronnie Hatley, salah seorang anggota staff PUSdEP dari Amerika Serikat, serta sejumlah mahasiswa USD.<br /><br />Selanjutnya Darwin mengatakan bahwa bagi Presiden Soekarno, Reforma Agraria merupakan landasan bagi pembangunan semesta di Indonesia yang sedang menyusun masyarakat sosialis yang berdasarkan Pancasila. Selain itu, Soekarno yakin bahwa Reforma Agraria akan memberikan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia yang mayoritas adalah petani. Pada tanggal 24 Septermber 1960 ditetapkanlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Meskipun demikian, hal itu tidak banyak mengubah nasib para petani Indonesia. Di pedesaan kaum tani berkembang dan terbagi-bagi dalam golongan-golongan di mana sejumlah kecil tuan tanah dan petani kaya menguasai tanah secara monopoli dan menjalankan berbagai bentuk penghisapan dan penindasan feodal seperti rendahnya upah buruh tani, bagi hasil yang timpang karena hanya menguntungkan pemilik tanah, serta perampasan tanah karena manipulasi surat-surat kepemilikan tanah yang sah dengan memanfaatkan rendahnya pendidikan para petani sedang, petani miskin dan buruh tani. Berbagai upayapun terus dilakukan agar terjadi land reform sebagaimana dicita-citakan oleh UUPA tersebut.<br /><br />Sayang sekali krisis yang terjadi tahun 1965 berujung pada tumbangnya sebuah rezim populis di bawah kepemimpinan Soekarno yang pro rakyat dan digantikan oleh rezim otoriter di bawah Soeharto yang anti rakyat tetapi pro modal. Perubahan rezim ini secara mendadak membawa akibat pada terjadinya perubahan sistem politik Indonesia selama 32 tahun kemudian. Soeharto mengubah strategi Agraria Soekarno yang populis menjadi politik agraria yang kapitalis melalui ideologi pembangunan yang terkait erat dengan kapitalisme dunia. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Dengan tumbangnya Soekarno harapan petani dan rakyat kecil akan adanya Reforma Agraria ikut terkubur bersama mayat ratusan ribu rakyat Indonesia yang menjadi korban pembantaian massal tahun 1965. Sampai saat inipun masalah agraria masih belum mendapatkan titik terang. Pemerintah seakan-akan tidak berpihak kepada rakyat (petani) kecil, melainkan justru menggunakan hak rakyat untuk melayani kepentingan penguasa dan para pemilik modal. Yang menjadi pertanyaan adalah: sampai kapan rakyat (petani) kecil menanggung penderiataan ini? (PUSdEP)<br /><br />Sumber: http://www.usd.ac.id/06/news.php?v=w&a=570&fp=l<br />23 Februari 2009</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-13697530900991480282009-04-20T09:11:00.001-07:002009-04-20T09:12:48.328-07:00Haruskah Rakyat Tergusur dari "Kebun Warisan Leluhur<div align="justify"><br />Tragedi Kontu:<br />Haruskah Rakyat Tergusur dari "Kebun Warisan Leluhur"?<br /><br /><br />Sejarah Kontu<br /><br />Menurut sejarah Kontu adalah nama sebuah kawasan pemberian Raja Muna kepada seorang panglima perang bernama La Kundofani si Kino Watuputih di Sulawesi Tenggara yang berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Konon kawasan/lahan ini merupakan pengganti dari tahta raja yang berhak disandangnya, namun demi kesejahteraan rakyatnya si panglima perang ini memilih kawasan sebagai sumber penghidupan rakyatnya. Di sinilah Kontu, Patu-patu, Lasukura, dan Wawesa kemudian menjadi tempat hidup dan berladang komunitas warga Watuputih secara turun temurun.<br /><br />Bukti bukti sejarah keberadaan kawasan Kontu, Patu-patu, Lasukara dan Wawesa sebagai sebuah kampung adat Watoputeh adalah adanya kuburan tua yang tersebar diberbagai tempat dalam kawasan tersebut, serta tanaman perkebunan seperti mangga, bambu, bulu, dan lain-lain. Keberadaan makam di puncak bukit yang dinamakan La Mendo juga memperkuat sejarah, dimana makam tersebut adalah makam seorang warga masyarakat Watoputih yang berkebun di kawasan tersebut dan meninggal sebelum Belanda masuk di Pulau Muna.<br /><br />Saat ini Kontu berada di pinggiran Kota Raha, ibukota Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, terdapat sekitar 1.300 KK bermukim di areal ini dan tidak hanya berasal dari komunitas warga Watoputih. Kontu mencuat ke permukaan melalui media masa, baik media cetak maupun elektronik yang mengekspose terjadinya aksi-aksi kekerasan dalam kasus konflik lahan antara warga masyarakat Kontu dengan Pemerintah kabupaten Muna.<br /><br /><br />Awal Konflik<br />Konflik berawal ketika pada tahun 1999 diterbitkan SK Menhutbun No. 454/Kpts-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Sulawesi Tenggara, dimana salah satu poin dalam Surat Keputusan tersebut adalah Penunjukan hutan lindung Jompi. Penggusuran dan pengusiran paksa terhadap masyarakat dari tempat hidupnya sehari-hari dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Muna dengan alasan kawasan tersebut adalah hutan lindung. Aksi ini telah dimulai sejak tahun 2003. Masyarakat yang merasa berada dalam areal yang menjadi hak mereka secara turun temurun-pun melakukan perlawanan dalam menghadapi penggusuran.<br /><br />Penetapan status kawasan hutan negara kembali menjadi sumber konflik di lapangan. Ketika masyarakat merasa berhak untuk kembali bercocok tanam di atas tanah mereka (karena sudah tidak ada lagi pohon jati yang mereka tanam, petani kembali berkebun di lahan bekas kebun mereka pada jaman dulu), masyarakat dihadapkan pada satu kenyataan bahwa tanah mereka berada dalam kawasan hutan negara.<br /><br />Sedikit kembali menengok sejarah, bahwa rakyat telah dipaksa menanam pohon jati di lahannya pada jaman pemerintahan Swapraja, namun setelah pohon jati itu tumbuh besar kemudian mereka diusir dari lahannya yang diklaim sebagai milik pemerintah. Lalu masyarakat kembali menduduki lahan ini setelah tegakan jati habis ditebang oleh pengusaha kayu yang mendapatkan ijin dari Bupati Muna sejak awal tahun 90-an dan juga setelah adanya kewenangan Bupati memberikan ijin pemanfaataan kayu (IPK) pasca terbitnya UU Kehutanan No.41 Tahun 1999.<br /><br />Penggusuran disertai dengan penangkapan terhadap beberapa warga masyarakat dilakukan dengan tuduhan perambahan lahan hutan negara. Fenomena menarik muncul pada saat persidangan di Pengadilan Negeri Raha Kabupaten Muna pada tahun 2003 terhadap masyarakat sebagai terdakwa yang dituduh melakukan perambahan hutan. Saksi mantan Kepala BPN Kabupaten Muna menegaskan, bahwa kawasan Kontu dan sekitarnya bukan hutan lindung. Dan pada persidangan ini masyarakat (terdakwa) kemudian dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menduduki kawasan hutan lindung.<br /><br />Rupanya di penghujung tahun 2005 penggusuran dan pengusiran masyarakat Kontu terjadi kembali, dan seperti pada kejadian sebelumnya masyarakat pun tidak menyerah serta memberikan perlawanan atas tindakan aparat pemerintah daerah. Kemudian pada Februari 2006, terjadi penangkapan sejumlah warga Kontu dengan tuduhan yang sama yaitu perusakan atau perambahan hutan. Kasus ini pun dimeja hijaukan oleh Pemerintah Daerah yang menghasilkan keputusan bahwa warga Kontu sebagai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah "mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah", yang kemudian diganjar dengan hukuman penjara.<br /><br />WG Tenure mulai terlibat dan "memantau" kasus Kontu ini pada awal tahun 2007 atas prakarsa dari HUMA, anggota WG-Tenure yang sekaligus aktif memberikan layanan advokasi bagi masyarakat korban. Sebagai langkah awal, WG-Tenure mengkomunikasikan permasalahan ini kepada PUSDALBANGHUT Regional IV, Departemen Kehutanan RI. Ir. Banjar Julianto Laban, MM., sebagai Kepala Pusdalbanghut Regional IV yang wilayah tugasnya meliputi Sulawesi, Maluku dan Papua menanggapi secara positif untuk peluang mediasi penanganan kasus ini. Bahkan Pak Banjar Yulianto Laban telah bersedia menyempatkan diri berdialog langsung dengan masyarakat korban pada sebuah panel diskusi di Jakarta yang digagas oleh HuMa dan WG-Tenure bersama mitra kerja lainnya.<br /><br />Disamping itu, WG-Tenure bersama HUMA juga mengkomunikasikan kasus ini kepada Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Langkah awal yang dilakukan oleh DKN untuk "meredam" kasus konflik ini melalui pengiriman Surat Himbauan yang ditujukan kepada para pihak, yaitu Kepala Kepolisian RI, Pemerintah Daerah Kabupaten Muna dan Organisasi Rakyat Kontu. Surat DKN bernomor: 41/DKN/OM/03/07 tanggal 12 Maret 2007 tersebut menghimbau agar;<br />(1) Penyelesaian kasus ini hendaknya merujuk pada perspektif, semangat dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Tap MPR nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;<br />(2) Hindari penyelesaian konflik sepihak dengan cara kekerasan dan penggusuran masyarakat dari kawasan hutan. Konon kabarnya Surat DKN ini telah berhasil "meredam" konflik, minimal tidak terjadi lagi aksi-aksi kekerasan. Bahkan DKN juga telah melakukan langkah-langkah lanjutan dalam penanganan kasus tersebut bersama-sama dengan para pihak terkait.<br /><br />Mengakhiri tulisan singkat ini, patut kita simak satu ungkapan dari Warga Kontu yang menggambarkan kegundahan dan keresahan hati mereka atas ketidakadilan yang dihadapinya. Ungkapan ini terlontar pada saat WG-Tenure mengundang Organisasi Rakyat Kontu sebagai salah satu narasumber dalam Roundtable discussion pada Bulan November 2007 yang lalu. Ibu Aisyah, Ketua Organisasi Rakyat Kontu menuturkan;<br /><em><span style="color:#3366ff;">"Jika perusahaan-perusahaan besar itu diberikan konsesi pertambangan di kawasan hutan lindung, kenapa kami tidak bisa mencari hidup (bertani) di kawasan hutan, padahal hutan itu adalah warisan leluhur kami........mana keadilan bagi kami?" ***<br /></span></em><br />__________<br />Sumber Tulisan:<br />1. Firdaus AY. 2007. Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia. Jakarta: HuMa<br />2. Aisyah. 2007. Makalah Organisasi Rakyat Kontu, disampaikan pada Roundtable Discussion Working Group Tenure. Bogor, 29 November 2007.<br /><br /><br />*) Oleh: Emila dan Suwito<br /> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-32749963105277616302009-04-20T09:05:00.000-07:002009-04-20T09:07:27.059-07:00PEMBARUAN AGRARIA DAN HAK ASASI PETANI<div align="justify"><br />Setiap 24 September diperingati sebagai Hari Pertanahan (Agraria) atau Hari Petani. Hal yang perlu mendapat perhatian di sini adalah keterkaitan antara pembaruan agraria dan hak asasi petani, sejauh ini kurang mendapat perhatian para pemerhati hak asasi manusia (HAM). Bahkan, keduanya sering dipahami sebagai dua hal yang terpisah. Dalam rangka pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi petani, cara pandang demikian perlu direvisi.<br /><br />Upaya ke arah itu mulai dirintis beberapa organisasi nonpemerintah bersama Komnas HAM dengan menggelar konferensi nasional. Setidaknya, ada tiga permasalahan hubungan HAM dengan pembaruan agraria. Pertama, kebijakan agraria, program agraria, dan praktik sosial di bidang agraria, apa saja yang mengakibatkan pelanggaran HAM.<br /><br />Dalam hal yang pertama ini dicermati, antara lain produk perundang-undangan di bidang agraris yang tidak mendukung upaya perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan HAM. Dapat dilihat beberapa produk perundang-undangan yang bertentangan dengan upaya perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi petani, yaitu UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU Penanaman Modal Dalam Negeri/Asing,UU Tata Ruang atau UU Transmigrasi.<br /><br />Sayangnya, hingga kini undang-undang itu belum diteliti secara komprehensif untuk menguji apakah berhasil meningkatkan hak asasi petani. Meski UU No 22/1999 misalnya, telah direvisi menjadi UU No 32/2004, gejala konflik pertanahan tidak kunjung terpecahkan. Hal itu karena undang-undang yang baru tidak mengatur secara tegas siapa yang berwenang ''mengurus" pertanahan, apakah pusat atau daerah, sehingga yang muncul adalah keragu-raguan kedua pihak menangani masalah pertanahan.<br /><br />Di samping itu, dicermati sejauh mana program agraria mampu menangani ribuan kasus sengketa tanah, kasus absentee land, kasus konversi lahan pertanian ke nonpertanian, dan kasus reclaiming versus ''penjarahan" sebagai warisan Orde Baru. Kedua, pelanggaran HAM apa saja yang mengakibatkan memburuknya kondisi agraria petani. Dalam hal ini perlu dicermati pola pelanggaran hak asasi petani, termasuk terampasnya hak-hak petani, antara lain hak milik, hak untuk memperoleh pekerjaan dan taraf hidup yang layak, hak untuk mengelola lingkungan hidupnya sendiri yang baik dan sehat.<br /><br />Selain itu, hak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, hingga pada haknya untuk mendapatkan pemulihan guna mengompensasi kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran hak-haknya yang paling asasi. Hak-hak tersebut dijamin dalam instrumen HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang sampai sekarang belum diratifikasi pemerintah Indonesia.<br /><br />Padahal, Kovenan tersebut merupakan salah satu hukum dasar hukum HAM mendasar. Jika petani berhasil meningkatkan produksi pertaniannya (dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi), peningkatan itu tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan petani. Banyak faktor yang ikut menentukan persentase yang dapat dinikmati petani.<br /><br />Bahkan, sering sebagian besar persentase ini malah dinikmati petani lain yang posisinya lebih kuat. Ketiga, pembaruan agraria macam apa yang menjamin perlindungan dan pemajuan HAM dan sebaliknya agenda perlindungan dan pemajuan HAM yang melancarkan pembaruan agraria. Setidaknya, agenda itu mencakup agenda legislasi, penguatan organisasi, dan kampanye.<br /><br />Merujuk pada tiga permasalahan di atas, masalah terbesar agraria saat ini dapat diringkaskan sebagai berikut: </div><div align="justify">1) Ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alamnya antarkelompok sosial ekonomi yang menggantungkan hidup atasnya. </div><div align="justify">2) Ketidakadilan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan di atas tanah. </div><div align="justify">3) ketidakadilan dalam pengambilan putusan perkara dengan penguasa, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta kekayaan alam.<br /><br />Ketidakadilan itu merupakan faktor penyebab konflik sosial dan atau pelanggaran HAM di berbagai daerah konflik sosial di beberapa daerah. Seharusnya, hak petani diakui sebagai HAM, baik oleh pemerintah maupun pemerhati HAM. Sayangnya, hal itu sama sekali belum tercermin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan sedang disusun Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5/1960 yang kini genap berusia 47 tahun.<br /><br />Upaya BPN merevisi UUPA 1960 itu diperkirakan hanya melanggengkan ketidakadilan sosial di atas. Bukan saja karena BPN cenderung tidak mengefektifkan hukum agraria nasional sebagai landasan pelaksanaan pembaruan agraria secara komprehensif, lebih dari itu BPN cenderung menyederhanakan tiga masalah ketidakadilan sosial itu sebagai masalah pertanahan semata, bukan sebagai masalah agraria (yang cakupan telaahnya jauh lebih luas).<br /><br />Ada beberapa kelemahan dalam UUPA yang meliputi: </div><div align="justify">a) Hak menguasai sumber daya alam (SDA) yang berada di tangan negara harus direvisi agar tidak ditafsirkan bersifat mutlak, tapi lebih ditafsirkan sebagai ''negara mempunyai wewenang untuk mengatur" kepentingan dan pengabdian pada masyarakat. </div><div align="justify">b) Masyarakat adat atau komunitas desa mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah agraria.<br /><br />Di samping itu, disadari pula ada perubahan peta masalah tanah sejalan dinamika pembangunan. Perubahan itu dapat dilihat pada permasalahan dan pihak-pihak yang terlibat dalam permasalahan tanah. Dari segi masalahnya, konflik pertanahan pada 1960-an berbeda dengan yang terjadi beberapa tahun terakhir. (*)<br /><br />Joko Riyanto SH<br />Alumnus Fakultas Hukum UNS-Solo<br /><br /><br />http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=49298&Itemid=57</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-48740035172549900972009-04-20T09:00:00.000-07:002009-04-20T09:02:19.223-07:00HANTU LIBERALISME PERTANAHAN<div align="justify"> <br /><br />Menyusul kesepakatan pemerintah dan parlemen (29 Januari 2007) untuk mempertahankan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), kini pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI sedang menggodok RUU tentang Pertanahan. Inisiatif penyusunan RUU Pertanahan perlu dicermati dalam dua konteks yang paradoksal.<br /><br />Pertama, sebagai upaya lebih lanjut pemerintah dalam menyiapkan dasar hukum baru bagi pelaksanaan reforma agraria, sebagaimana dijanjikan Presiden Yudhoyono mulai tahun 2007. Yang kedua, bagian dari grand design liberalisasi pertanahan lewat produk legislasi yang justru menghambat realisasi reforma agraria. Keduanya seperti air dan minyak, namun keduanya potensial.</div><div align="justify"><br />Di koran ini, penulis pernah mengingatkan jika pemerintah konsisten ingin melaksanakan reforma agraria, memang dibutuhkan legislasi (setingkat UU) yang secara operasional mengatur apa dan bagaimana reforma agraria dijalankan (Sinar Harapan, 15/02/07). Eksistensi UUPA, terutama menyangkut pasal-pasal prinsipilnya tetap relevan dijadikan rambu-rambu dasar bagi reforma agraria (Sinar Harapan, 15/06/04).</div><div align="justify"><br />Yang patut diwaspadai ialah substansi legislasi pertanahan jangan sampai jadi produk politik yang mengganjal reforma agraria. Harus dicegah, pertanahan jadi urusan sektoral yang lepas konteks dari keagrariaan utuh yang menyangkut semua bidang kehidupan, dan hindari pengarusutamaan kepentingan invetasi skala besar melalui liberalisasi pertanahan yang selama ini memicu massifnya konflik agraria yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.</div><div align="justify"><br />Harapan akan lahirnya produk-produk legislasi pertanahan/keagrariaan yang holistik dan populistik, kini bertarung dalam arus deras neo-liberalisme. Arus ini dengan hebatnya merambah ke relung pikiran elit politik sehingga mengarahkan kebijakan publik ke arah neo-imperialisme alias penjajahan baru yang membiaskan makna kemerdekaan republik ini.<br /><br />Perlu Diwaspadai<br />Untuk itu, sektoralisme dan liberalisme yang menghantui politik agraria nasional selama ini, dan mungkin kelak menjangkiti RUU Pertanahan perlu dicegah sedini mungkin. Ini penting, jika pemerintah serius mau reforma agraria, dengan meletakkan UU Pertanahan sebagai dasar hukum efektif bagi reforma agraria, bukan sebaliknya.</div><div align="justify"><br />Lebih jauh, RUU Pertanahan hendaknya mengandung semangat dan substansi yang menjadikan pertanahan sebagai urusan mendasar yang menuntut perhatian dan tanggungjawab semua pihak di pemerintahan maupun publik luas. Kepentingan pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah bagi rakyat yang termasuk golongan ekonomi lemah/miskin haruslah diprioritaskan.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Dalam pidato memperingati Hari Agraria Nasional 24 September 2007, Joyo Winoto (Kepala BPN RI) menggariskan: "Reforma agraria membutuhkan proses politik dan hukum. Jalan membangun konsensus. Jalan untuk menata politik dan hukum pertanahan dan keagrariaan kita -untuk tujuan ke depan, secara taat asas kepada Pancasila, UUD 1945, dan UUPA. Itu komitmen awal yang didapat. Itulah langkah awal yang tersepakati dengan DPR-RI. Kita berproses menyusun undang-undang pertanahan di bawah payung UUPA".</div><div align="justify"><br />Jika disimak, tampak jelas arah penyusunan RUU Pertanahan akan konsisten dan konsekuen dengan UUPA sebagai payung politik-hukum agraria nasional. Namun pertanyaannya, ke arah mana arus utama kecenderungan ideologis elit politik dan konstalasi kekuatan politik penyusun legislasi yang kini duduk di eksekutif maupun di legislatif saat ini?</div><div align="justify"><br />Kalau kita cermati sejumlah undang-undang baru terkait agraria yang dihasilkan eksekutif-legislatif periode 2004-2009, tampak kita tak bisa terlalu berharap akan lahirnya produk legislasi yang memenuhi dua semangat dasar sebagaimana penulis singgung di atas -anti-sektoralisme dan anti-liberalisme, sehingga lebih pro-integralisme agraria dan pro-populisme kerakyatan.</div><div align="justify"><br />Sekadar contoh, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal telah secara telanjang menunjukkan komitmen ideologis-politik elite di eksekutif/legislatif yang mengutamakan kepentingan modal besar tanpa membedakan asing atau domestik. Hak atas penggunaan dan pemakaian tanah untuk investor diberikan nyaris setengah abad.</div><div align="justify"><br />Inkonsistensi UU Penanaman Modal dengan UUPA, dan bahkan UUD 1945, telah menyeret UU ini ke meja Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi-kini sedang menunggu putusan.<br /><br />Konteks Politik<br />Belum lagi kita lihat UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, dan UU Sumberdaya Air juga kontroversial karena sektoralisme dan liberalismenya yang begitu ketal. Liberalisme yang membuka ruang lebar bagi berkuasanya kekuatan kapital akan menggerogoti kewibawaan dan kewenangan negara dalam mengatur urusan agraria kita.</div><div align="justify"><br />Berbagai produk legislasi yang liberalistik ini disimpulkan bukan solusi atas akar soal agraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentingan lintas tataran yang menempatkan rakyat/bangsa sebagai korban.</div><div align="justify"><br />Mumpung masih cukup waktu, agar legislasi pertanahan melalui RUU Pertanahan terhindar dari jebakan sektoralisme dan liberalisme, disarankan beberapa langkah strategis. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><strong>Pertama,</strong> perlu dibentuk Panitia Negara yang terdiri dari unsur pemerintah, parlemen, akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat yang bertugas khusus; </div><div align="justify">(a) mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria atau tanah dan kekayaan alam lainnya (hutan, tambang, kebun, pertanian, kelautan, dlsb), dan </div><div align="justify">(b) Merekomendasikan grand desain rancangan pembaruan hukum agraria secara menyeluruh agar konsisten dengan semangat dan isi UUD 1945 dan UUPA 1960.</div><div align="justify"><br /><strong>Kedua,</strong> mendesak dilakukan konsultasi publik secara luas, sehingga aspek partisipasi publik terakomodir dalam proses penyusunan RUU Pertanahan. Konsultasi bukan hanya terhadap "kalangan atas" di hotel-hotel berbintang, tapi juga dilakukan di kampus-kampus yang melibatkan cerdik cendekia, hingga kampung-kampung yang merangkul rakyat kecil yang tergantung pada tanah.</div><div align="justify"><br /><strong>Ketiga,</strong> dari segi waktu, periode 2008-2009 tampaknya terlalu sempit untuk melahirkan produk legislasi sestrategis UU Pertanahan. Untuk itu, RUU Pertanahan yang tengah digodok pemerintah, pembahasan dan pengesahannya lebih tepat dilakukan setelah Pemilu 2009. Pemerintah dan legislatif baru produk Pemilu 2009 akan memiliki legitimasi politik lebih kuat untuk mengarahkan politik-hukum agraria nasional melalui berbagai produk legislasinya.</div><div align="justify"><br />Agar dongkrak politik reforma agraria kian kuat, maka partai-partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 kita dorong untuk mengadopsi agenda reforma agraria ke dalam plattform dan program politiknya. Peran partai politik dalam sistem demokrasi amat vital, sehingga memungkinkan reforma agraria dapat digiring ke jantung kekuasaan negara untuk kemudian dilaksanakan secara teguh.<br /><br />Sinar Harapan, 19 Feb 2008<br /><br />Oleh Usep Setiawan<br />Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-21480787050644946552009-04-20T08:56:00.000-07:002009-04-20T08:57:52.082-07:00KERANGKA KEBIJAKAN PERTANAHAN NASIONAL<div align="justify">Proses Penyusunan dan Materi Pokoknya<br /><br />Latar Belakang<br />Pemerintah menyadari bahwa masalah pertanahan yang dari hari ke hari semakin mencuat dalam kehidupan masyarakat perlu segera diatasi. Diidentifikasi beberapa kondisi dalam masyarakat yang menggambarkan masalah utama bidang pertanahan dewasa ini, diantaranya: semakin maraknya konflik dan sengketa tanah; semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat, dan lemahnya jaminan kepastian hukum atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah.</div><div align="justify"><br />Dalam upaya mengatasi masalah tersebut Pemerintah memandang perlu untuk membangun suatu kerangka kebijakan pertanahan nasional untuk dipergunakan sebagai pedoman oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta, dalam menangani masalah-masalah pertanahan sesuai dengan bidang tugas dan kepentingannya masing-masing. Tujuan akhir dari kebijakan pertanahan nasional ini adalah terwujudnya kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUDRI, UUPA dan TAP MPR IX/2001 sebagai akibat pengelolaan pertanahan dan sumberdaya alam lainnya secara berkeadilan, transparan, partisipatif dan akuntabel.<br /><br />Proses Penyusunan<br />Penyusunan Kerangka Kebijakan Nasional Pertanahan (KKPN) dimulai pada tahun 2002 dalam rangka pelaksanaan Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan. Program tersebut dilakukan melalui kajian-kajian yang difokuskan pada 4 aspek, yaitu hukum dan konflik pertanahan; administrasi pertanahan; penguasaan dan penggunaan tanah; serta institusi pertanahan dan desentralisasi.<br /><br />Kajian ini dilakukan oleh Kelompok-kelompok Kerja yang beranggotakan wakil-wakil dari semua instansi yang berkaitan dengan pengelolaan pertanahan, dengan diarahkan oleh Tim Koordinasi dan Tim Teknis Program Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan,<br />a. Selanjutnya suatu Naskah Rancangan KKPN disusun dengan bahan dasar rekomendasi yang dihasilkan oleh Kelompok-kelompok Kerja di atas. Naskah Rancangan tersebut selesai disusun dalam bulan Januari 2004.<br />b. Untuk menampung aspirasi publik Naskah Rancangan KKPN dikonsultasikan dengan berbagai kalangan dengan melaksanakan diskusi-diskusi terbatas dan lokakarya daerah dan nasional.<br />c. Konsultasi publik tahap pertama dilakukan dalam bulan Juni 2004, yaitu untuk Wilayah I Jawa dan Wilayah II Bali, NTB dan NTT.<br />d. Konsultasi tahap kedua dilaksanakan Februari dan Maret 2005 untuk Wilayah III Kalimantan Timur, Sulawesi dan Maluku dan Wilayah IV Sumatera dan Kalimantan.<br />e. Konsultasi Tahap Kedua ditindak lanjuti dengan Focus Group Discussion (FGD) mengenai 3 isu yang menonjol dalam Lokakarya Daerah, yaitu (1) Landreform (2) Hak ulayat dan (3) Jaminan hukum penguasaan tanah.<br />f. Penyempurnaan-demi penyempurnaan dilakukan atas Naskah Rancangan KKPN oleh staf Bappenas dengan selalu berkonsultasi dengan Tim Penyusun semula.<br />g. Konsultasi publik terakhir dilakukan dengan melaksanakan Lokakarya Nasional KKPN pada tanggal 6 November 2006.<br />h. Hasil rumusan terakhir akan diimplementasikan dalam 2 bentuk:<br /> i. sebagian dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah;<br /> ii. sebagian di elaborasi sebagai rencana kerja yang lebih implementatif.</div><div align="justify"><br /><br />2. Materi Pokok KKPN<br />Materi pokok Naskah Rancangan KKPN tergambar dalam nama Bab dan uraian di bawah ini :<br /></div><div align="justify"> </div><div align="justify">Bab I. PENDAHULUAN </div><div align="justify"><br />Bab ini memuat latar belakang diperlukannya KKPN dan rumusan yang lebih jelas mengenai kondisi yang dikehendaki untuk diwujudkan dengan adanya KKPN, yaitu bahwa dalam pengelolaan pertanahan setiap kebijakan, program, dan proses pengelolaan pertanahan di seluruh tanah air harus dapat menginternalisasikan jiwa dan semangat 4 (empat) prinsip utama yaitu (1) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber kemakmuran baru, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah, (3) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat - tanah, dan (4) pertanahan harus berkontribusi secara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.</div><div align="justify"><br /><br />Bab II. MASALAH PERTANAHAN DEWASA INI </div><div align="justify"><br />Bab ini memuat<br />1. Gambaran masalah pertanahan yang perlu diatasi dengan pembentukan KKPN, antara lain:<br />a. Maraknya konflik<br />b. Terkonsentrasinya pemilikan<br />c. Lemahnya jaminan kepastian hukum<br />2. Faktor Penyebab dari terjadinya masalah di atas, yaitu:<br />Pertama, Peraturan Perundang-undangan yang tidak kondusif<br />Kedua, Terbatasnya akses masyarakat terhadap pemilikan dan penguasaan tanah secara adil<br />Ketiga, Belum terwujudnya kelembagaan pertanahan yang efektif dan efisien<br />Keempat, Pelaksanaan pendaftaran tanah belum optimal<br />Kelima, Belum optimalnya penatagunaan tanah<br />Keenam, Lemahnya sistem informasi berbasis tanah<br />Ketujuh, Pemecahan konflik dan sengketa pertanahan belum memadai<br />Kedelapan, Lemahnya sistem perpajakan tanah<br />Kesembilan, Belum memadainya perlindungan hak-hak masyarakat atas tanah </div><div align="justify"><br /><br />Bab III. KERANGKA UMUM KEBIJAKAN PERTANAHAN </div><div align="justify"><br />Bab ini memuat uraian mengenai :<br />1. Prinsip dasar kebijakan pertanahan yang menguraikan dasar hukum dan kebijakan bagi penentuan kebijakan pertanahan.<br />2. Tujuan umum KKPN, yaitu terwujudnya suatu kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 45, TAP MPR IX/2001 dan UUPA 1960 melalui pengelolaan pertanahan secara berkeadilan, transparan, partisipatif dan akuntabel serta berkesinambungan.<br />3. Tujuan khusus KKPN, yang berhubungan langsung dengan permasalahan pertanahan yang diharapkan terselesaikan dengan pelaksanaan kebijakan pertanahan dalam KKPN, misalnya terselesaikannya konflik dan sengketa pertanahan, terbangunnya sistem informasi pertanahan yang akurat, transparan mudah diakses dan komprehensif, dsb.<br /><br />Bab IV. ARAH KEBIJAKAN DAN RENCANA TINDAK<br />Bab ini memuat arah kebijakan beserta rencana tindak yang dianggap perlu dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah pertanahan seperti diuraikan di atas. Identifikasi rencana tindak merupakan rekomendasi dari pihak-pihak yang langsung berkaitan dengan upaya penyelesaian permasalahan pertanahan yang dihadapi. Arah kebijakan dan rencana tindak disusun sbb.:<br />Pertama: Reformasi Peraturan Perundang-undangan<br />Kedua. Peningkatan Akses Masyarakat terhadap Pemilikan dan Penguasaan Tanah Secara Adil<br />Ketiga: Pengembangan Kelembagaan Pertanahan<br />Keempat: Peningkatan Pendaftaran Tanah<br />Kelima. Pengembangan Penatagunaan Tanah<br />Keenam Pengembangan Sistem Informasi Berbasis Tanah<br />Ketujuh: Penyelesaian Konflik dan Sengketa Tanah<br />Kedelapan. Pengembangan Sistem Perpajakan Tanah<br />Kesembilan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Atas Tanah<br /><br />Bab V. PENUTUP<br /><br />Bab VI. DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN</div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-2930906307782770822009-04-20T08:47:00.000-07:002009-04-20T08:54:22.763-07:00KEBIJAKAN PEMANFAATAN LAHAN UNTUK KESEJAHTERAAN PETANI<div align="center">*)</div><div align="justify"><br /><br />A. PENDAHULUAN<br /><br />Lahan adalah salah satu sub-faktor teknis dalam pertanian, yang bekerjanya tidak dapat dilepaskan dengan sub-sub faktor lainnya dalam agrarian untuk mencapai tujuan. <br /><br />Kebijakan pemanfaatan lahan utntuk kesejahteraan petani adalah suatu das Sollen di Indonesia, karena dalam kenyataannya sampai sekarang kebijakan pemanfaatan lahan tidak jelas dan nasib petani masih jauh dari sejahtera (das Sein). Kebijakan pemanfaatan lahan adalah bagian dari kebijakan pertanahan, yang dapat berupa prinsip-prinsip, norma-norma, pedoman-pedoman mengenai pertanahan yang dituangkan kedalam peraturan-perundangan dan/ atau keputusan-keputusan aparat pemerintah. Pelaksanaannya dapat berbentuk program-progam, misal. transmigrasi, extensifikasi pertanian dengan membuka lahan gambut, program kemitraan dibidang pertanian seperti PIR-Bun maupun PIR-peternakan, dll.. Lebih jauh kebijakan pertanahan adalah bagian dari kebijakan agraria secara keseluruhan (pertanahan, perairan, udara dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya). Untuk itu kebijakan pemanfaatan lahan membutuhkan kebijakan yang komprehensif.<br /><br /><br />B. PASAR TANAH DAN PETANI</div><div align="justify"><br />Pasar Tanah (Land Market) mensyaratkan a.l. adanya "kebebasan berkontrak", "subyek-subyek bebas keluar masuk pasar", serta "kepastian hukum". Model seperti ini pada dasarnya hanya dapat diterapkan di negara-negara maju, yang sudah mempunyai sistim agraria (pertanian) yang relatif stabil.<br /><br />Maraknya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, lebih banyak disebabkan oleh desakan ekonomi akan tuntutan kebutuhan hidup petani yang hidup dalam masyarakat industri, misalnya tuntutan kebutuhan sehari-hari, pendidikan, kesehatan, dll., seiring dengan nilai tukar hasil pertanian yang tidak menentu dan bahkan mempunyai resiko merugi. Sementara "pasar tanah" berjalan begitu saja tidak didukung oleh syarat-syarat yang layak yang harus dipenuhi, yang didesak oleh kebutuhan tanah untuk kegiatan industri dan jasa, infrastruktur, pemukiman, turisme, dll..<br /><br />Di Indonesia subyek petani kebanyakan masih dalam posisi ekonomi lemah (bagian dari akibat kebijakan sistim pertanian yang tidak menjamin sustainibilitasnya), sementara kebebasan berkontrak pada dasarnya mensyaratkan adanya pihak-pihak dalam kedudukan yang "seimbang", disisi lain kepastian hukum di bidang pertanahan masih jauh (lihat uraian dibawah E).<br /><br />Oleh karena itu, berjalannya "pasar tanah tak bersyarat" ini mendesak perlunya kerangka kebijakan pertanahan yang melindungi semua pihak, terutama pihak ekonomi lemah, mencegah cara-cara pemerasan, mencegah kerusakan lahan dan memelihara kesuburan lahan (jawaban untuk ini dapat dikaji uraian dibawah C, D,E,F,G).<br /><br /><br />C. TUJUAN POLITIK AGRARIA DALAM KERANGKA HUKUM</div><div align="justify"><br />Sebagai Negara Hukum dan Negara Kesatuan Republik Indonesia menuntut politik agraria berpijak pada kerangka hukum, untuk menjamin kesejahteraan petani seimbang dengan mereka yang berkerja dibidang non-pertanian, menjamin pangan penduduk dengan harga yang pantas serta menjamin kelestarian lingkungan hidup dan pemeliharaan pemandangan.<br /> <br />Tujuan politik agraria Indonesia berdasarkan Penjelasan Umum I UUPA, yaitu untuk meletakkan dasar-dasar hukum agraria Nasional guna kesejahteraan rakyat, yang pertama dan utama untuk menjamin kesejahteraan rakyat tani, kedua untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan dan ketiga untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah. Dengan demikian pertanian merupakan bidang penting, bahkan inti, dalam hukum agrarian Nasional, dimana petani sebagai titik pusat tujuannya. Tujuan politik agraria yang stabil adalah modal awal, dasar untuk pembentukan konsep dan strategi kebijakan agrarian.<br /><br />Namun pendidikan hukum maupun praktek politik selama ini cenderung mengidentikkan tujuan agraria sama dan sebangun dengan tujuan nasional, yaitu untuk kesejahteraan rakyat. Pengertian itu sama seperti apa yang dicanangkan dalam visi BPN. Sedangkan Departemen Pertanian mempunyai visi meningkatkan produksi dan meningkatkan pendapatan petani. Visi ini rawan kebijakan tambal sulam dan tidak menjamin kesejahteraan petani dan pangan penduduk. Dengan demikian konstruksi untuk pembuatan konsep kebijakan agraria secara khusus tidak terpikirkan. <br /><br />Jaminan kesejahteraan "petani" tidak dapat lepas dari kebijakan untuk sistim "usaha pertanian", yang sustainable. Sedangkan politik pertanahan pada dasarnya sebagai sub-tujuan politik agraria (baca= pertanian).<br /><br />Di dalam era globalisasi, dimana negara satu saling bergantung dengan negara lainnya, menuntut adanya pengaturan-pengaturan khusus untuk masing-masing bidang guna memenuhi tuntutan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia yang semakin komplek. Dengan ikutnya Indonesia dalam perjanjian pasar bebas WTO mau tidak mau bangsa Indonesia dituntut untuk dapat segera menata sistim agrarianya secara rasional, yang kewenangan dan tanggung-jawab utama di tangan Pemerintah. <br /><br />D. STRUKTUR AGRARIA </div><div align="justify"><br />Politik agraria berdasarkan hukum sebagai dasar pembentukan konsep strategi kebijakan pertanian yang stabil, melibatkan seluruh faktor teknis, faktor ekonomi dan faktor sosial (Agrarstruktur).<br /><br />Penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur untuk produksi tanaman (produksi primer, a.l. pangan, bahan pakan, dll) dan produksi hewan (produksi sekunder) pada dasarnya inti dasar pertanian. Berdasarkan pengertian itu dan dikaitkan dengan tujuan politik agraria berdasarkan hukum, orang dapat membagi struktur pertanian ke dalam tiga faktor, yaitu faktor tehnik, faktor ekonomi, faktor sosial. Faktor teknis yaitu tanah dan/ atau lahan, tenaga kerja (petani, pekebun, peternak, dll. sejenisnya), peraturan-perundangan, aparat pemerintah dan organisasinya, organisasi petani dan koperasi-koperasi petani, organisasi pedagang pertanian, perjanjian-perjanjian dalam pertanian, sarana produksi pertanian mis. Bibit, pupuk, dll.. Faktor ekonomi banyak dipengaruhi oleh pasar, pajak pertanian, pembiayaan resiko pertanian, pengeluaran untuk jaminan sosial, dll.. Faktor Sosial, hal-hal yang berkaitan dengan jaminan kesejahteraan petani a.l. jaminan kesehatan petani, jaminan haritua petani, jaminan kecelakaan kerja, dll. Oleh karena itu kebijakan sector pertanian tidak dapat lepas dari sector-sektor lainnya, a.l. kependudukan, sistim sosial, sistim ketenaga kerjaan, dll. "Pertanian" dalam agraria ibarat pokok pohon, jika diangkat (permasalahannya), maka seluruh akar-akar (permasalahan) dapat atau harus ikut diangkat pula, supaya tidak mati. <br /><br /><br />E. PERENCANAAN UMUM DAN PEMANFAATAN TANAH <br /><br />Dalam rangka sosialisme Indonesia pemerintah wajib membuat perencanaan umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya. <br /><br />Mengkaji amanat tersebut diatas adalah mutlak diadakan perencanaan umum, sebagai syarat, untuk keadilan sosial. Perencanaan umum terdiri dari perencanaan sector-sektor dan perencanaan tata ruang (ruang daratan, ruang per-airan dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah), termasuk peraturan zonasi (zoning regulation).<br /><br />Dalam tata ruang antara perencanaan sektor-sektor, termasuk perencanaan sektor pertanian, rencana tata ruang, keuangan dan waktu menuntut diadakan dalam waktu bersamaan. Hal ini mempunyai kaitan erat dengan perlindungan lahan, yang dapat diklasifikasikan kedalam perlindungan tanah terhadap bahan yang merugikan (contoh karena bahan kimia, secara alami keadaan tanah berubah, sehingga mereduksi kesuburannya). dan perlindungan tanah terhadap penggunaan tanah/ perlindungan tanah secara fisik a.l. perlindungan terhadap pemandangan (penggunaan tanah quantitatif), perlindungan tanah dari beban struktur tanah atau penggunaan tanah qualitatif (perlindungan erosi, dll.). Perencanaan umum mutlak adanya sebagai syarat untuk perlindungan tanah dan dapat berjalannya sistim pengendalian dan pengawasan pemanfaatan lahan, yang dapat diselenggarakan melalui ijin mendirikan bangunan dan ijin-ijin lainnya.<br />Tiadanya kebijakan pertanian yang stabil dan terus-menerus, dapat diartikan tiadanya perencanaan sektor pertanian yang konstruktif, diikuti dengan permasalahan sektor-sektor lainnya, terutama sector public.<br /><br />Hal ini dapat dilihat dalam bangunan organisasi Lembaga Administrasi Negara dan Struktur organiasi Kabinet), serta kompleksnya permasalahan data dan informasi sektor-sektor dalam Pemerintahan, misal. data kependudukan, data pertanian, data pertanahan, data perpetaan, dll. menyebabkan pertanyaan besar, apakah UU Tata Ruang yang kemungkinan "dipaksakan" dapat diimplementasikan dan tidak menimbulkan konflik dan permasalahan yang lebih besar antara pemerintah dengan pemerintah, pemerintah dengan rakyat serta rakyat dengan rakyat, terutama mengenai pemilikan dan/ atau penguasaan lahan .<br /><br />Penggunaan lahan pertanian memerlukan kepastian hukum (Rechtsicherheit), baik mengenai subyek hak maupun obyeknya. Subyek berarti siapa saja yang boleh mempunyai dan/ atau menguasai (usaha) lahan pertanian, hal ini berkaitan dengan sistim peralihannya: jual-beli dan/ atau pewarisan usaha pertanian, sewa, dll. sedangkan obyek dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip luas lahan pertanian yang ekonomis, jangka waktu, hubungan lahan dengan benda-benda yang ada diatasnya, pemanfaatannya, dll.<br />Kebijakan pertanahan menghadapi berbagai masalah dasar antara lain:<br />- Politik agraria yang keluar dari kerangka hukum<br />- belum adanya peta dasar yang berprinsip "satu peta satu bumi".<br />- Belum adanya perencanaan umum Nasional: perencanaan sector-sektor dan rencana tata ruang serta zoning regulation (UUTR), yang secara rasional tidak dapat diimplementasikan karena dihadapkan pada permasalahan agraria, khususnya pertanahan a.l. multi peta dasar yang tidak menjamin kepastian hukum penguasaan dan/ atau kewenangan di bidang pertanahan, lemahnya data dan informasi.<br />- Tiadanya kepastian hukum akan Tanah Negara, Tanah Hak maupun Tanah Adat.<br />- Belum adanya konsep distribusi tanah negara yang bermasa depan<br />- Tiadanya perencanaan umum Nasional yang stabil menghambat dan/ atau tidak memungkinkan daerah membangun agraria daerahnya secara konstruktif.<br /><br />Misal terdapatnya instansi vertikal yang ada didaerah a.l. BPN, Kantor Pajak, Notaris, dimana data-data dan informasi mengenai peralihan hak atas tanahnya tidak dipunyai daerah (dari desa sampai provinsi), karena belum ada mekanisme yang mengatur pemberian informasi data pertanahan kepada daerah.<br /><br />- Kompleksnya permasalahan dasar agraria, menjadikan kebijakan pertanahan yang komprehensif terlupakan dan/ atau sulit dilaksanakan.<br />- Terdapat produk peraturan-perundangan yang sifatnya sektoral.<br />Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang seharusnya untuk melandasi kebijakan pemanfaatan lahan pertanian maka harapan untuk mencapai kesejahteraan petani masih jauh, khususnya tiadanya kepastian hukum (Rechtsicherheit) menjadikan terancamnya asas-asas hukum lainnya yaitu asas keadilan (Gerechtigkeit) dan asas kepatutan/ kelayakan (Gesetzmaessigkeit).<br />Permasalahan reforma agrarian dengan latar belakang peraturan-perundangan sudah menjadi ciri negara berkembang seperti Indonesia, ditambah lagi dituntut untuk menyesuaikan kebijakan pertanian dengan perkembangan ekonomi seperti yang dialami oleh Negara-negara maju.<br /><br />Dengan demikian peraturan-perundangan agraria, seperti peraturan-perundangan Landreform (UUPA, Perpu no. 56 tahun 160 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, PP no. 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi, Hak sementara penguasaan tanah pertanian seperti sewa, bagi hasil, gadai, dll.), UU no. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, recana UU kebijakan lahan abadi, dll., serta program-program kebijakan pertanian lainnya perlu mendapat pemikiran serius dan prioritas Pemerintah dalam menjalankan pelayanannya dan tugas memakmurkan rakyat.<br /><br /><br />F. PUSAT - DAERAH UNTUK AGRARIA <br /><br />Kebijakan Pemerintah mempunyai peranan yang menentukan untuk strategis bidang agraria, sebagai salah satu cabang ekonomi nasional, yang mempunyai permasalahan utama pada aspek-aspek kelembagaan sebagai titik paling lemah. <br />Dengan tiadanya politik agraria berdasarkan hukum, tiadanya konsep perbaikan agraria yang sustainable, menjadikan organisasi administrasi agraria tidak mempunyai struktur yang jelas dan kewenangan yang tidak jelas di bidang pertanahan dan/ atau pemanfaatan lahan dan/ atau hasilnya terpecah-pecah ke dalam berbagai insansi, a.l. Departemen Kehutanan, BPN, Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, dll., contoh: masalah produksi dan pasar beras ada ditangan antara lain Departemen Pertanian, Bulog serta Departemen Perindustrian dan Perdagangan, yang mekanismenya tidak jelas untuk jaminan kesejahteraan petani dan jaminan pangan penduduk secara sustainable. Disamping itu sistim pembangunan proyek dan target dan penyakit kronis administrasi yaitu egoisme sektoral (dan intern sektoral) menjadikan pemerintah membuat kebijakan tambal sulam. <br /><br />Adannya pengakuan otonomi daerah, belum mendorong adanya pemerintah daerah secara langsung berupaya untuk memperbaiki sistim agraria secara komprehensif, serta menganggarkan secara khusus. Keadaan data keagrariaan tidak lengkap dan yang bersifat kuantitatif sangat lemah, peta lengkap belum tersedia, yang ada tidak detail dan parsial. Misal data dan informasi mengenai peralihan pemilikan dan/ penguasaan tanah serta pembebanannya terdapat pada instansi vertikal didaerah seperti BPN, Notaris, Kantor Pajak, dll. instansi pemilik peta dasar yang sifatnya sektoral. Sampai sekarang belum ada kewajiban dan mekanisme mengenai sharing pemberian data dan informasi mengenai keagrariaan pada pemerintahan daerah. Untuk penegakan otonomi daerah, hal tersebut mutlak dibutuhkan, untuk pemberdayaan dan/ atau dukungan secara penuh terutama terhadap desa, sebagai organisasi pemerintahan otonom terendah. Desa membutuhkan semua data dan informasi mengani desanya dari supra desa, untuk dapat digunakan secara terus-menerus, sehingga desa yang bersangkutan dapat membangun desanya secara konstruktif dalam kerangka pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia. <br /><br />Dengan adanya seluruh data dan informasi secara terus-menerus pada setiap desa yang bersangkutan diseluruh Indonesia, Pemerintah dapat memanfaatkannya untuk dapat membuat Perencanaan Umum secara kontruktif (perencanaan sektor-sektor dan perencanaan tata ruang), yang sampai sekarang masih menjadi pekerjaan rumah yang luar biasa penting, besar dan mendesak untuk perbaikan Indonesia di masa kini dan dimasa depan.<br /><br />Dalam era globalisasi dibutuhkan aparat pemerintah perdasarkan spesialisasi, sehingga dapat menciptakan aparat pemerintah yang berkarakter dan profesional, karena yang dituntut oleh rakyat yang utama adalah output, bukan proses. Untuk itu perlunya Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Menteri Aparatur Negara menata organisasinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan, khususnya di bidang strategis agraria dan/ atau pertanian. <br /><br /><br />G. PENDIDIKAN PERTANIAN<br /><br />Faktor-faktor dalam struktur pertanian menuntut konstruktif, sistimatis dan logis untuk mencapai tujuan, yang dapat digambarkan dalam suatu Sistim Kebijakan Pertanian Bermasa Depan. Bagaimana kita dapat menyuluh dan/ atau mentransfer data dan informasi dengan baik kepada petani sementara kita sendiri belum mengetahui benar sistemnya. <br /><br />Pendidikan pertanian adalah hal pokok untuk mendukung kebijakan pertanian. Dengan permasalahan yang begitu komplek dan mendasar dan belum adanya Hukum Pertanian dalam Sistim Hukum Nasional Indonesia, mutlak diperlukan pembentukan sistim kebijakan pertanian Indonesia yang bertanggung-jawab. Sehubungan dengan itu Fakultas Hukum dan Fakultas Pertanian adalah dua institusi yang mempunyai tanggung jawab, yang bekerjanya tidak dapat dipisahkan. <br /><br /><br />PENUTUP<br />Kebijakan pertanian dimasa depan dibutuhkan re-orientasi politik pertanian dalam kerangka hukum, merekonstruksi organisasi administrasi pertanian dan/ atau agraria, berdasarkan konsep yang konstruktif, berdasarkan permasalahan yang ada, dan disusun secara sistimatis dan logis untuk dapat mencapai tujuan yang stabil.<br /><br />Referensi<br />Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Cetakan ke 17, Edisi revisi, Djambatan, Jakarta, 2006<br />Didik J. Rachbini, Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia, cetakan ke-2, Yogyakarta, 2003<br />Henny Mayrowani/Tri Pranadji/Sumaryanto/Adang Agustian/Syahyuti/Roosgandha Elizabeth, Ringkasan Executif Laporan akhir Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2004<br />Hyun-Joon Kim, Bodenschutz Durch Bauplanungsrecht (Perlindungan tanah melalui hukum bangunan), Dissertasi, Universitas Goettingen, 1999.<br />Ja Noertjahyo, Dari Ladang Sampai Kabinet: Menggugat Nasib Petani, Kompas, Jakarta, 2005<br />Madekhan Ali, Orang Desa Anak Tiri Perubahan, Averoes press prakarsa, cetakan 1, Malang, 2007<br />Sujana Royat/Abdul Haris/Dadang Solihin/ Nana Apriyana (Editor), Rancangan Kebijakan Perpetaan Nasional untuk Mendukung Penataan Ruang, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2003<br />Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, cetakan I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.<br />Wolfgang Winkler, Agrarrecht (Hukum Agraria), diambil dari Volkmar Goetz/ Karl Kroeschell/ Wolfgang Winkler (Editor), Hand Worterbuch fuer Agrarrecht, Band I.<br />Peraturan-perundangan terkait<br /><br /><br />*) Oleh Any Andjarwati<br /><br /></div><div align="justify"> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-17159710788633537562009-04-20T08:39:00.000-07:002009-04-20T08:42:59.463-07:00REFORMA AGRARIA JALAN PALING TEPAT AKHIRI KONFLIK<div align="justify"><br />Tanah adalah hak milik sampai mati. Namun, kondisi pertanahan di Indonesia karut-marut, masalah bertambah dari waktu ke waktu. Rakyat kecil semakin kehilangan akses pada penguasaan tanah. Di sisi lain, penguasaan aset oleh bangsa lain membuat kita menjadi kuli di negeri sendiri. Kabar gembira muncul ketika pemerintah menjanjikan akan melaksanakan program Reforma Agraria Nasional mulai tahun ini.<br /><br />Lahan seluas 8,15 juta hektar akan dibagikan pemerintah mulai 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar untuk masyarakat miskin dan 2,15 juta hektar untuk pengusaha guna usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan.<br /><br />Upaya yang layak diapresiasi sekalipun bagi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Usep Setiawan semuanya harus ditunggu realisasinya di lapangan. Berikut kutipan wawancara Kompas dengan Usep yang dilakukan dalam berbagai kesempatan.<br /><br />Bagaimana peta pertanahan di Indonesia?<br /><br />Kondisi pertanahan di Indonesia kontemporer belum berubah dari zaman kolonialisme. Sengketa dan ketimpangan pemilikan serta penguasaan tanah adalah warisan penjajahan. Bung Karno dan kawan-kawan pada 1960-an sudah merintis usaha mengakhiri wujud nyata dari feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme itu melalui penataan ulang struktur penguasaan tanah (landreform). Sayangnya, keburu terhenti akibat jatuhnya Bung Karno. Jika Bung Karno dikenal sebagai pemimpin yang populistik dan Bapak Marhaen yang menganut politik agraria populistik, Pak Harto dipersonifikasikan sebagai Bapak Pembangunan yang boleh jadi merupakan penghalusan dari penganut setia politik agraria kapitalistik.<br /><br />KPA pernah melansir data kasus pertanahan yang mencapai ribuan.<br /><br />Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada 1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria yang sifatnya struktural-artinya disebabkan oleh penggunaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaan negara yang dijalankan pemerintahan; bukan sengketa antarwarga yang sifatnya individual. Faktanya di lapangan bisa sepuluh kali lipat banyaknya. Konflik agraria ini terus terjadi tanpa ada upaya saksama pemerintah dalam menyelesaikannya. Rakyat terus berjatuhan sebagai korban, sementara aparat yang melakukan kekerasan selalu lolos dari jerat hukum.<br /><br />Apa akar persoalan pertanahan itu?<br /><br />Politik agraria yang dianut rezim pemerintahan yang berkuasa. Sepanjang rezimnya menganut politik agraria yang kapitalistik, otoritarian, dan represif, sengketa agraria struktural akan terus terjadi. Kita mesti terlebih dahulu bersepakat untuk mengubah politik agraria kita, dari politik agraria yang progolongan ekonomi kuat (kapitalis) menjadi progolongan ekonomi lemah.<br /><br />Adakah kaitannya dengan "tuan tanah"? Atau karena faktor pertambahan penduduk?<br /><br />Jika ditelisik, telah terjadi pergeseran aktor dari tuan tanah di era Indonesia masa lampau dengan realitas sekarang. Dulu, tuan tanah itu perusahaan besar kolonial yang bergerak di berbagai sektor keagrariaan dan juga kaum feodal pribumi yang berwujud tuan tanah pribadi individual. Sedangkan di era "pembangunan" dewasa ini, para tuan tanah itu mengerucut menjadi perusahaan besar yang menanamkan modalnya di berbagai sektor. Persoalan agraria yang pokok tidak serta-merta disebabkan oleh pertambahan alamiah jumlah penduduk. Faktor demografis turut memengaruhi peta persoalan agraria, namun bukan faktor penentu. Yang menentukan, sekali lagi adalah politik agraria yang dianut rezim yang berkuasa.<br /><br />Bagaimana konsep reforma agraria yang "benar"?<br /><br />Reforma agraria adalah jawaban paling tepat. Inti dari reforma agraria adalah landreform, yakni penataan ulang struktur penguasaan tanah menjadi lebih berkeadilan sosial. Melalui landreform, rakyat miskin, terutama kaum tani yang hidupnya bergantung pada penggarapan tanah, dipastikan akan mendapatkan akses pemilikan tanah. Fobia atas istilah landreform hendaknya segera diakhiri. Pada masa lalu isu landreform menjadi momok menakutkan akibat stigma negatif dari rezim yang memang anti-landreform, namun saat ini landreform merupakan keharusan sejarah. Negara mesti mengerahkan segenap kemampuan membantu rakyat penerima manfaat reforma agraria itu dengan berbagai kemudahan dan akses. Ringkasnya, reforma agraria adalah program landreform yang disertai program-program penunjang berikutnya. Dalam bahasa (Kepala Badan Pertanahan Nasional) Joyo Winoto, reforma agraria adalah landreform plus acces reform. Mengutip (mantan Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria) Noer Fauzi, masih harus diperhitungkan kekuatan resistensi dari golongan yang antireforma agraria. Negara mana pun yang kini maju, selalu diawali dengan pelaksanaan reforma agraria dalam fase awal pembangunan bangsanya. Reforma agraria bukanlah isu ideologis "kiri" atau "kanan" atau "tengah".<br /><br />Serba mungkin<br /><br />Ketertarikan pada masalah pertanahan ibarat perjalanan tanpa jalan pulang, mesti lurus tanpa henti. Kehidupan di kampungnya di kawasan selatan Ciamis membuatnya sangat dekat dengan soal pertanian. Kehidupan petani miskin di sekitarnya mendidiknya tidak asing dengan isu pertanahan. "Tapi saya memang tidak pernah pegang cangkul," aku bapak dua anak ini.<br /><br />Saat mulai kuliah di Universitas Padjadjaran pada awal 1990-an, saat itulah kasus sengketa tanah di Jawa Barat mulai mencuat. Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, aktivis pendamping kasus tanah sangat mudah dicap sebagai "kelompok kiri". Bermula dengan kelompok mahasiswa lintas kampus, Usep kemudian bergabung dengan KPA mulai dari relawan sampai kini dipercaya sebagai sekjen. Organisasi ini merupakan gerakan rakyat yang bersifat terbuka dan independen.<br /><br />Bagaimana tanggapan soal program reforma agraria yang hendak dijalankan pemerintah?<br /><br />Kita perlu mengapresiasi rencana pemerintah untuk memulai (kembali) pelaksanaan reforma agraria. Setelah Bung Karno, baru Presiden yang sekarang inilah yang berani berjanji untuk melaksanakan reforma agraria dan secara eksplisit menyatakan akan melaksanakannya mulai 2007 ini. Ini sinyal menguatnya komitmen pemerintah. Namun masih harus diuji, kita harus tetap kritis dan hati-hati. Jika Presiden serius, segera kerahkan aneka sumber daya. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria. Selain itu, reforma agraria juga akan ditentukan oleh sejauh mana rakyat siap. Strategi umum yang tepat adalah "matang atas" dan "matang bawah".<br /><br />Mungkinkah program itu dijalankan?<br /><br />Sepanjang pemerintah dan rakyatnya serius menyiapkan diri, program ini akan dapat dijalankan. Program ini mungkin dijalankan dan berhasil, tapi juga mungkin dijalankan tapi nyeleweng. Atau bahkan mungkin jika dijalankan akan gagal total. Keserbamungkinan ini hendaknya tidak menjadikan kita mundur lagi.<br /><br />Kita menghargai apa yang sudah dan sedang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional- yang oleh Perpres No 10/2006 ditugaskan untuk melaksanakan reforma agraria, dalam merumuskan naskah awal konsep, strategi, dan model reforma agraria. Namun, reforma agraria itu agenda besar yang lintas sektor dan lintas kepentingan sehingga butuh kelembagaan yang juga bisa menjembatani beragam kepentingan dan sektor-sektor yang ada. Idealnya, reforma agraria itu dipimpin Presiden melalui suatu lembaga khusus yang melibatkan banyak pihak yang punya kapasitas dan kepentingan sejalan.<br /><br />http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0710/27/politikhukum/3944950.htm</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-907047772575234902009-04-20T08:31:00.000-07:002009-04-20T08:35:04.345-07:00HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH<div align="justify">Setiap instansi atau lembaga pemerintahan, dalam menjalankan tugas yang diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk pembangunan gedung kantor atau kegiatan operasionalnya. Bidang tanah tersebut ada yang diperoleh dari pemberian langsung oleh pemerintah atau dari hasil pembelian milik penduduk. Status bidang tanah itu tetap sebagai aset Pemerintah disebabkan oleh kareana sumber dananya berasal dari Pemerintah. Adapun masalah tertib administrasi yang perlu menjadi perhatian adalah tentang bagaimana tata cara penguasaan oleh instansi itu menjadi tertib dan teratur serta tertib pengawasannya.<br /><br />Di zaman Pemerintaha Hindia Belanda dahulu sudah ada ketentuan yang berlaku walaupun belum menyentuh tertib penguasannnya. Pada waktu itu berlaku ketentuan yang terdapat dalam Staatsblad 1911 no 110 juncto Staatsblad 1940 no 430. Di dalam lembaran Negara ini disinggung mengenai harta benda, bangunan dan lapangan militer. Mengenai bidang tanah disebut atau dirangkum ke dalam kata is lands-onroerende goederen atau "harta benda tetap/harta benda tidak bergerak milik Negara" sedangkan tertib administrasi penguasaan oleh instansi itu dipergunakan oleh istilah in beheer atau "dalam penguasaan". Sebagai bukti bahwa bidang tanah itu ada dalam penguasaan suatu instansi tertentu, ialah bahwa instansi tersebut memiliki anggaran belanja dari pemerintahan untuk membiayai pemeliharaannya.<br /><br />Istilah in beheer ini kemudian berkembang atau dikembangkan demikian luas pengertiannya sehingga menimbulkan adanya kerancuan di bidang tertib hukum antar instansi pemerintah dengan instansi pemegang hak dan pihak ketiga. Pokok permasalahan inilah yang menjadi fokus pengkajian dan perlu ada perhatian untuk menemukan jalan keluarnya.<br /><br />Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara, telah diatur bahwa openguasaan atas tanah Negara terbagi dalam dua (2) subyek :<br />1. Penguasaan tanah negara berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan lain yang ada pada kementerian, jawatan atau daerah swatantra pada saat berlakunya peraturan ini.<br />2. Penguasaan atas tanah negara selebihnya ada pada Menteri Dalam Negeri.<br /><br />Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 92 oleh karena materi hukumnya menjadi embrio lahirnya pengertian Hak Pengelolaan.<br /><br />Pasal 9 tersebut antara lain mengatur bahwa kementerian, jawatan atau daerah swatantra sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasanya diserahkan kepadanya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah itu dalam waktu yang pendek, yang sifatnya sementara serta setiap waktu harus dapat dicabut kembali. Ketentuan ini terus berlaku sampai tahun 1965 walaupun undang-undang no 5 tahun 1960 tidak mengaturnya. Berdasarkan pasal peralihan yang ada, maka Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 masih tetap berlaku. Penguasaan bidang tanah oleh instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria no 9 tahun 1965.<br /><br />Dalam peraturan Menteri Agraria ini diatur bahwa yang semula hanya menyebut kata "penguasaan" dibubuhi kata hak dan menjadi "hak penguasaan", juga terdapat ketentuan bahwa Hak Penguasaan ini dikonversi dan dipecah menjadi dua (2) jenis hak, ialah :<br />1. Sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dikonversi menjadi HAK PAKAI selama dipergunakan.<br />2. Tanah-tanah tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan itu dikonversi menjadi HAK PENGELOLAAN yang berlangsung selama tanah itu dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.<br /><br />Diatur bahwa Hak Pengelolaan ini mengandung kewenangan kepada pemegang haknya untuk :<br />a. Merencanakan peruntukan dan pengguanaan tanah tersebut.<br />b. Menggunakan tanah itu untuk kepentingan sendiri.<br />c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu enam (6) tahun.<br />d. Menerima uang pemasukan, ganti rugi dan atau uang wajib tahunan.<br /><br />Rumusan pengertian Hak Pengelolaan menadi demikian luas dan berlaku sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1973.<br /><br />Dengan terbitnya Peraturan Menteri tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, diaturlah kebijakan yang lebih luas lagi. Pasal 3 mengatur bahwa Hak Pengelolaan yang diberikan kepada perusahaan berisikan wewenang untuk:<br />a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.<br />b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.<br />c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan atau pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga dilakukan oleh pejabat yang berwenang.<br /><br />Kecuali adanya kebijakan oleh tingkat menteri mengenai Hak Pengelolaan ini, masih ada kebijakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah no 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Materi hukum hak pengelolaan hanya disisipkan dalam pasal 1 ayat 2 yang intinya mengandung pengertian adanya delegasi wewenang hak menguasai dari Negara kepada pemegang hak pengelolaan. Tidak ada penjelasan apakah delegasi kewenangan ini bersumber atau mengacu pada pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria atau kepada Peraturan-Peraturan Menteri tersebut di atas. Hak Pengelolaan yang bersumber pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria kiranya belum pernah diberikan.<br /><br />Rumusan dan pengertian mengenai Hak Pengelolaan yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 sampai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1974 berkembang sedemikian luasnya sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih antar kewenangan instansi, dan juga berdampak kepada aspek sosial, ekonomi dan yuridis.<br /><br />Adapun permasalahan yang timbul sebagai akibat rumusan dan pengertian Hak Pengelolaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :<br />1. Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi hanya suatu kebijakan yang dilandasi oleh peraturan Menteri.<br />2. Instansi Pemerintah sebagai pemegang Hak Pengelolaan menjadi berfungsi ganda, ialah sebagai pengemban tugas pelayanan publik dan juga bertindak sebagai penguasa.<br />3. Batasan atau rumusan Hak Pengelolaan demikian luas sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar instansi. Sebagai contoh adalah kewenangan perencanaan dan pengguanaan tanah, tumpang tindih dengan kewenangan Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan mengenai perolehan keuangan dari pihak ketiga adalah tumpang tindih dengan kewenangan Departemen Keuangan, khususnya ketentuan dalam Undang-Undang no 20 tahun 1996 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.<br />4. Bidang tanah sebagai aset Pemerintah apabila difungsikan untuk tujuan mendapatkan penghasilan, juga terkait dengan kewenangan Departemen Keuangan.<br />5. Persyaratan yang diminta oleh pemegang Hak Pengelolaan pada umumnya memberatkan beban pihak ketiga, sehingga dapat menimbulkan konflik secara diam-diam atau terbuka.<br /><br />Sebagai jalan keluar atau pemecahannya ialah bahwa Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak perlu diadakan pembahasan kembali sehingga didukung oleh sumber hukum yang benar.<br /><br />Kepada instansi Pemerintah cukuplah diberikan Hak Pakai selama bidang tanahnya dipergunakan dan kembali kepada tugas pokoknya.<br /><br />Apabila suatu departemen tugas operasionalnya bersinggungan dengan unsur bisnis maka diwajibkan membertuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Bidang tanah yang dikuasai oleh Badan Usaha ini wajib tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundangan lainnya.<br /><br />*)Oleh Drs. SoemardijonoPenulis adalah purna karyawan Badan Pertanahan Nasional</div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-57061216165646646162009-04-20T08:28:00.000-07:002009-04-20T08:29:34.890-07:00LAHAN ABADI PERTANIAN DAN REFORMA AGRARIAPendahuluan<br />Ketika kita hendak membedah persoalan pengelolaan lahan pertanian sekaitan dengan reforma agraria serta hak-hak petani, maka sangat penting untuk membongkar konsepsi politik agraria dan dinamika kebijakan agraria nasional secara keseluruhan. Inisiatif Departemen Pertanian RI menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi mesti diletakkan dalam konteks kemungkinan pelaksanaan reforma agraria sejati secara menyeluruh. Reforma agraria yang kita perjuangkan mestilah menjadi dasar bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan pertanian secara lebih kokoh.<br /><br />Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan meningkatnya produktivitas pertanian memang suatu kebutuhan dan keharusan dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan nasional sekaligus dasar bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani kita. Namun, dalam semangat merevitalisasi pertanian kita, hendaknya dihindari jebakan hanya mengatasi penyakit-penyakit hilir tanpa keseriusan dalam menuntaskan akar soal yang ada di hulu.<br /><br />Ada beberapa hal yang harus disepahami terlebih dahulu, sebelum kita sampai pada pokok bahasan mengenai perlu/tidaknya atau mendesak/tidaknya penyusunan legislasi "Lahan Pertanian Pangan Abadi". Pertanyaan kuncinya: Bagaimana politik agraria dan kondisi agraria terkini? Sejauhmana pemerintah menjawab problem pokok agraria tersebut? Apa agenda utama yang mendesak dilakukan bangsa ini? <br /><br />Politik Agraria dan Kondisi Agraria<br />Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksplotasi dan akumulasi dari modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor agraria.<br /><br />Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu. Sejak Soeharto dan rezim Orde Baru berkuasa (1966) pelanggaran terhadap UUPA mulai berlangsung. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan kekayaan alam kita. Misalnya undang-undangan yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.<br /><br />Pantulan orientasi politik agraria Orde Baru jelas tergambar pada kenyataan banyaknya penyerahan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ke tangan pemilik modal besar melalui berbagai macam ijin usaha. Dengan memegang teguh prinsip Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat 2 UUPA 1960), dengan mengatasnamakan negara, pemerintah pusat atau daerah telah mengeluarkan hak-hak baru seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Kuasa Pertambangan, dan Kontrak Karya Pertambangan.<br /><br />Karena proses pelanggaran yang berkepanjangan, maka posisi UUPA 1960 dengan sendirinya terpinggirkan secara berkelanjutan. Bahkan UUPA seakan-akan hanya mengatur soal administrasi pertanahan saja, yang kewenangannya hanya mencakup sekitar 30% saja dari luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya diatur lewat undang-undang UU Kehutanan (1967) yang diperbaharui menjadi UU No. 41/1999, dan undang-undang sektoral lainnya.<br /><br />Mengerdilnya posisi UUPA dari yang seharusnya menjadi rujukan dalam pengaturan seluruh sumber agraria menjadi "hanya" mengatur soal tanah non-hutan ini merupakan awal dari era sektoralisme dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sejak UU Kehutanan diberlakukan dan dikawal oleh Departemen Kehutanan (hingga saat ini), sementara UUPA yang sebelumnya dikawal oleh Departemen Agraria namun belakangan dikerdilkan menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang lebih mengurus aspek administratif pertanahan, maka praktis sejak saat itulah terjadi pengaburan makna agraria dari yang sejatinya dimaksud UUPA menjadi hanya sekedar soal pertanahan saja.<br /><br />Ini sekedar menunjukkan contoh bahwa UUPA bukan hanya mengurusi soal tanah saja. Lihat Pasal 1 (4) dan (5) yang berbunyi: "Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air", dan "Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia".<br /><br />Sementara itu, politik sentralisme dan sektoralisme hukum serta kelembagaan pendukungnya telah memuluskan proses perampasan hak-hak rakyat atas tanah untuk kepentingan "pembangunan" ala Orde Baru. Kenyataan berikutnya yang segera mencuat adalah konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria di tangan segelintir orang saja.<br /><br />Misalnya di sektor pertanian, berdasarkan perbandingan hasil empat kali Sensus Pertanian (SP) diketahui bahwa rata-rata penguasaan tanah oleh petani di Indonesia terus menurun, dari 1,05 hektar (1963) menjadi 0,99 hektar (1973), lalu turun menjadi 0,90 hektar (1983) dan menjadi 0,81 hektar (1993). Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa 21,2 juta rumah tangga di pedesaan, 70%-nya menggantungkan diri pada sektor pertanian. Dari jumlah itu, 3,8% atau sekitar 0,8 juta merupakan rumah tangga penyakap yang tidak punya tanah, 9,1 juta rumah tangga menjadi buruh tani, dan diperkirakan jumlah petani tak bertanah di Indonesia ada sekitar 9,9 juta atau sekitar 32,6% dari seluruh rumah tangga petani (lihat Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Lembaga Penerbit FE 1997).<br /><br />Dalam catatan Khudori (Kompas, 16/3/07), hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar -milik sendiri maupun menyewa- meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta (82,7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin. Karena sebagian besar rumah tangga petani di Indonesia (73,4 persen) adalah petani padi/palawija, maka sebagian besar petani gurem adalah petani padi/palawija. Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), 63,41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan.<br /><br />Di sektor kehutanan, hingga tahun 1998, menurut catatan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, ada sekitar 500 buah HPH yang beroperasi mengusahakan sekitar 55 juta hektar hutan produktif di Indonesia. Menurut catatan PDBI, sampai tahun 1994 ada 20 kelompok pengusaha yang menguasai 64.291.436 hektar (lebih dari 50%) jumlah hutan yang diberikan HPH-nya. Di sektor pertambangan tidak kalah spektakulernya, misalnya PT Freeport Indonesia yang mengeruk emas di Papua memiliki areal konsesi melalui Kontrak Karya seluas 2,9 juta hektar (1991).<br /><br />Sementara sektor perkebunan melalui HGU menduduki peringkat tertinggi dalam konsentrasi penguasaan tanah di Indonesia. Menurut Sensus Perkebunan Besar (1990-1993) ada sekitar 3,80 juta hektar tanah perkebunan yang dikuasai oleh 1.206 perusahaan dan 21 koperasi, dengan rata-rata 3.096, 985 hektar dikuasai tiap perusahaan (Lihat Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi, Pembaruan Agraria (Agrarian Reform) adalah Agenda yang Inklusif dengan Reformasi Sosial secara Menyeluruh, dalam "Usulan Revisi Undang-undang Pokok Agraria: Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria", KRHN dan KPA, hal. 38-39, Oktober 1998). Kenyataan inilah yang menjauhkan rakyat, terutama buruh tani, petani kecil dan masyarakat adat di pedesaan dari keadilan dan kemakmuran.<br /><br />Di sisi lain, konflik agraria menjadi realitas yang rutin kita hadapi. KPA merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" sektor bisnis dan/atau negara.<br /><br />Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus).<br /><br />Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai "lawan" rakyat pada berbagai jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana militer. Perusahaan swasta juga kerap menjadi lawan sengketa rakyat pada kasus perkebunan besar, perumahan dan kota-kota baru, kawasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik.<br /><br />Reforma Agraria sebagai Solusi Pokok<br />Pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform) adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Agar memberikan hasil seperti yang diharapkan, landreform yang didahului dengan redistribusi tanah harus diikuti dengan sejumlah program pendukung yang intinya akan memberikan kesempatan bagi para penerima tanah untuk meraih keberhasilan pada tahap-tahap awal dijalankannya program.<br />Karena itu, program redistribusi tanah harus diikuti dengan dukungan modal produksi (kredit usaha) di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barang-barang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan di dalam sistem pemasaran dan perdagangan hasil-hasil pertanian, penyuluhan-penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk membantu para petani memecahkan masalah-masalah teknis yang dihadapinya, dan program lainnya yang pada intinya dapat mununjang keberhasilan para petani penerima tanah dalam berproduksi. (Pengertian ini mengacu pada Petisi Cisarua: "Kerangka Pelaksanaan Pembaruan Agraria: Rekomendasi untuk Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak M. Jusuf Kalla, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2004-2009", disusun Sediono MP Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Anton Poniman, Dianto Bachriadi, Syaiful Bahari, Usep Setiawan, Noer Fauzi, Dadang Juliantara, Erpan Faryadi, dan Agustiana, 20 Oktober 2004).<br /><br />Pembaruan agraria yang kita maksud tidak hanya menyangkut landreform bagi kaum tani dan sebagai dasar pengembangan sektor pertanian semata, melainkan juga menyentuh upaya untuk menata ulang sistem penguasaan dan pengelolaan atas seluruh kekayaan alam secara mendasar dengan prinsip keadilan agraria. Sektor-sektor kekayaan alam yang dimaksud mencakup kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pesisir, pulau-pulau kecil dan kelautan.<br /><br />Suatu perubahan agraria (agrarian changes) yang tidak didahului dengan upaya merombak tatanan atau struktur agraria yang timpang tidak memiliki makna apapun dari perspektif keadilan, kecuali yang terjadi hanyalah perubahan sosial itu sendiri. Padahal pembaruan agraria, orientasi utamanya adalah keadilan - yang sering diungkapkan dengan istilah keadilan agraria (agrarian justice), yaitu "suatu keadaan dimana relatif tidak ada konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak dan terjaminnya kepastian hak penguasaan masyarakat setempat, termasuk hak masyarakat adat, terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya."<br /><br />Pembaruan agraria dapat dimaknai sebagai suatu perubahan mendasar di dalam hubungan-hubungan sosial dan politik yang berkait erat dengan sistem produksi, khususnya di pedesaan, yang dengan sendirinya meliputi perubahan-perubahan di dalam keseimbangan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam masyarakat. Dengan demikian, reforma agraria merupakan suatu dasar bagi perubahan sosial melalui penataan kembali tata kuasa terhadap tanah dan juga sumber daya alam lainnya dalam rangka pembangunan masyarakat. Pemaknaan ini sejalan dengan Putzell yang mengatakan bahwa reforma agraria adalah sebuah program yang multi dimensional yang melintasi rentang-rentang masalah ekonomi, politik, dan sosial. Bahkan menurutnya pembaruan agraria dapat juga memainkan peran dalam memerangi "kekalahan" wanita pedesaan (Christodoulou, The Unpromised Land, 1990, hal. 112).<br /><br />Dalam kerangka politik hukum, sejak tahun 2001 sudah ada kemajuan yang cukup berarti yang ditandai dengan terbitnya Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok bagi upaya mengurangi ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan kekayaan alam lainnya, menyelesaikan konflik-konflik agraria dan sumberdaya alam, dan memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang rusak.<br /><br />RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi: Menjawab Apa?<br />Apa yang dilakukan pemerintah dalam menjawab problem-problem agraria di atas? Dengan berat hati harus dinyatakan bahwa sejauh ini belum ada hasil signifikan dari apa yang dilakukan pemerintah. Pemerintah melakukan sejumlah penggalan rencana besar yang kesemuanya masih cenderung berupa wacana yang harus diuji dalam praktek. Pencanangan Progam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata belum dapat dikatakan sukses. Indikator pentingnya, program ini belum sanggup meningkatkan kesejahterakan kaum tani, nelayan dan masyarakat di sekitar hutan.<br />Di sektor pertanian, produktivitas dan ketersediaan lahan pertanian kita tampaknya masih memprihatinkan. Rendahnya produktivitas pertanian kita telah memaksa bangsa agraris ini mendatangankan bahan pangan (beras) dari negeri orang melalui mekanisme impor.<br /><br />Hal inilah mendorong kita memikirkan masalah ketahanan pangan bangsa ini. Dalam menjaga ketahanan pangan, operasi pasar adalah salah satu langkah darurat yang harus dilakukan oleh pemerintah. Namun, ketika operasi pasar menjadi treatment rutin setiap tahun, tentu kita patut mempertanyakan langkah-langkah jangka menengah dan jangka panjang pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, murah dan bergizi bagi rakyat. Persoalan ini mesti kita ungkapkan kembali mengingat pada tahun 2006 yang lalu telah terjadi bencana kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Di tahun yang sama berjangkit berbagai penyakit dan kematian yang diakibatkan oleh kelaparan dan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia Timur. Pemerintah perlu memperbarui strategi ketahanan pangan nasional yang dijalankan selama ini. Agar lebih mendasar, sebaiknya pemerintah menggeser strategi "ketahanan" pangan menjadi "kedaulatan" pangan.<br /><br />Kedaulatan pangan adalah sebuah alternatif yang diajukan oleh kalangan gerakan masyarakat sipil dunia dalam mengatasi persoalan kelaparan. Kedaulatan pangan juga sekaligus kritik terhadap isu ketahanan pangan (food security) yang dikampanyekan oleh badan pangan dunia (FAO). Pandangan badan tersebut selama ini memunculkan anggapan luas bahwa kebutuhan rakyat terhadap pangan dapat ditempuh dengan membuka pasar domestik pangan secara bebas dan luas. Fakta menunjukkan bahwa laju kemiskinan dan pengangguran di negara-negara yang sedang membangun semakin meninggi semenjak bergabung dengan rezim pasar bebas sehingga daya beli terhadap produk pangan semakin hilang.<br /><br />Menurut Kaman Nainggolan (Sinar Harapan, 16/10/2006), kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara makro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupun secara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga.<br /><br />Kedaulatan pangan adalah perjuangan mendorong alokasi tanah kepada para petani dan lahan bagi tanaman pangan. Sementara itu, rezim ketahanan pangan, akibat kepercayaannya pada pasar bebas, telah mendorong alokasi tanah kepada siapa yang mampu secara efektif dan efisien dalam hal permodalan dan teknologi memanfaatkan tanah. Sehingga, rezim ini secara langsung telah mendorong pengalokasian tanah untuk ditanami produk-produk komoditas ekspor non pangan. Sebagai misal, di Indonesia lahan-lahan lebih diutamakan untuk tanaman sawit, karet, dan kayu untuk menuai devisa dari ekspor ketimbang untuk tanaman pangan. Kalangan yang memperjuangkan terwujudnya kedaulatan pangan percaya bahwa jalan lapang menuju ke sana adalah dengan menjalankan pembaruan agraria (reforma agraria) yang sejati.<br /><br />Kini diperlukan sistem ketahanan pangan yang secara filosofis harus menghindari ketergantungan terhadap situasi eksternal (pasar bebas) dan pola kebijakan pangan yang reaktif terhadap persoalan internal (operasi pasar). Dengan menyadari persoalan agraria yang bercirikan struktur agraria yang sangat timpang maka kebutuhan mendesak yang harus secepatnya dilakukan adalah menata kembali struktur agraria melalui pembaruan (reforma) agraria. Setelah penataan struktur agraria tuntas, barulah dimungkinkan untuk memasuki upaya sistematis lebih lanjut dalam meraih kedaulatan pangan. Tanpa struktur agraria baru yang lebih adil dan merata bagi kaum miskin, niscaya cita-cita meraih kedaulatan pangan akan tergelincir menjadi "makan roti dalam mimpi".<br /><br />Di sisi lain, fenomena alih fungsi lahan (konversi) pertanian ke non-pertanian semakin mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Berbagai pihak memandang perlu dibuat kebijakan pengendalian laju konversi tersebut. Penyusunan RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi yang digarap Deptan RI juga dimaksudkan untuk itu. Martin Sihombing (Bisnis Indonesia, 03/4/07) melaporkan, dalam periode 1980-2005, sumber pertumbuhan produksi padi bertumpu pada peningkatan produktivitas. Pada 1980-1989, produktivitas padi tumbuh 3,53% dan periode 2000-2005 tumbuh 1,22%. Sedangkan pada periode 1980-1989, luas panen tumbuh 1,78% dan pada periode 2005 minus 0,17%. Peningkatan padi menunjukkan titik jenuh dimulai sejak swasembada beras 1984.<br /><br />Peningkatan luas lahan areal, sudah mengalami penurunan nyata yang disebabkan luas laju konversi lahan sawah untuk penggunaan industri dan nonpertanian lainnya yang melebihi kemampuan negara mencetak sawah baru. Kalau pada periode 1981-1989 neraca sawah masih positif 1,6 juta hektare (ha), maka periode 1999-2002 neraca sudah negatif 400.000 ha. Ini menunjukkan laju konversi lahan sawah makin tinggi. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan, maka sangat mungkin dalam 10 tahun ke depan kemampuan negara dalam memproduksi padi akan sangat berkurang. Tahun ini pemerintah (Deptan) mencetak sawah baru 20.000 ha dan tahun depan 50.000 ha.<br /><br />Wakil Ketua Badan Legislasi dan anggota komisi IV DPR Bomer Pasaribu menambahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) konversi lahan ke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (periode 1992-2002). Konversi lahan sawah di Jawa sebagian besar (58,3%) berupa alih guna menjadi kawasan permukiman. Di Sumatra dan pulau lainnya 50,6% beralih fungsi menjadi lahan pertanian nonsawah. Padahal, ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan conditio sine-quanon untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan secara nasional.<br /><br />Mentan mengatakan untuk memperkuat kemampuan negara memproduksi beras, maka perlu dibuat kebijakan pengendalian laju konversi lahan sawah dan memperbesar kemampuan negara mencetak lahan pertanian baru. Bomer Pasaribu mengatakan dalam keputusan DPR No 07A/DPR-RI/I/2006-2007 tetang Program Legislasi Nasional (Proglegnas) Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2007, RUU Lahan Abadi Pertanian ini tercantum dalam Proglegnas Prioritas dengan nomor urut 29. "Inilah serangkaian upaya legislasi untuk memperjuangkan atau mendukung program RUU lahan itu".<br /><br />Kritik dan masukan terhadap RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi dapat diberikan pada tataran substansi dan konteks. Secara substansi, dalam draft RUU ini ternyata tidak bersangkut paut dengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. RUU ini juga tidak merujuk kepada UUPA 1960 sebagai payung hukum atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan tidak terkaitnya substansi RUU ini dengan reforma agraria dan UUPA maka dapat disimpulkan (sementara) bahwa RUU ini dilatarbelakangi oleh politik agraria dan kebijakan pertanian yang belum mencerminkan kehendak untuk menuntaskan problem pokok agraria dengan mengacu kepada pemikiran dan cita-cita para pendiri republik.<br /><br />Secara kontekstual, RUU ini hanya menjawab satu persoalan dari sejumlah masalah yang tengah melilit dunia pertanian kita: yakni penyediaan lahan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas pertanian guna mencapai ketahanan pangan. Dalam kajian KPA, dua problem utama agraria di Indonesia berupa ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan maraknya konflik dan sengketa pertanahan tidak tersentuh draft RUU ini. Padahal fakta ketimpangan dan konflik ini - termasuk dan terutama terjadi atas lahan pertanian, harus didahulukan untuk dilakukan, atau setidaknya dibuat secara terintegrasi dengan legislasi mengenai pengadaan dan pengelolaan lahan pertanian pangan abadi.<br /><br />Penutup<br />Penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan operasional yang terkait pengadaan dan pengelolaan "Lahan Pertanian Pangan Abadi" hendaknya diletakkan dalam konteks pelaksanaan reforma agraria sejati secara menyeluruh. Yang tengah kita butuhkan bukan sekedar "UU" melainkan kemauan politik yang super kuat dari para penyelenggara negara untuk merombak total paradigma politik agraria (termasuk pertanian) dari sekedar pro-produktivitas atau pro-pertumbuhan, menjadi lebih pro-pembangunan pertanian rakyat yang mengutamakan kepentingan kaum buruh tani, petani penggarap, petani gurem dan masyarakat adat yang hidupnya tergantung pada lahan pertanian.<br /><br />Legislasi untuk "Lahan Pertanian Pangan Abadi" akan relevan jika disusun secara integrated dengan legislasi yang ditujukan untuk menata struktur penguasaan/pemilikan lahan bagi golongan ekonomi lemah dan menyelesaikan konflik agraria/sengketa tanah yang selama ini menjadi dua problem pokok agraria kita. Integrasi legislasi bagi perombakan struktur agraria, penyelesaian konflik agraria dan pengadaan lahan pertanian pangan layak dipikirkan dan dikembangkan. Kenapa tidak, klausul pengaturan mengenai pengadaan dan pengelolaan "Lahan Pertanian Pangan Abadi" dimasukan saja ke dalam suatu UU yang secara utuh mengatur pertanahan kita dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria sejati.<br /><br />Secara strategis, muara pelaksanaan reforma agraria ialah mengikis ketimpangan, mengurangi kemiskinan, menyediakan pekerjaan, memperkuat ekonomi rakyat, menuntaskan konflik/sengketa agraria, mengamankan ketersediaan pangan, sekaligus memulihkan lingkungan hidup. Tujuan strategis ini mutlak membutuhkan komitmen kuat dari segenap komponen bangsa, terutama dari seluruh jajaran pemerintahan bersama kaum tani pedesaan melalui kekuatan yang terorganisir secara sinergis. ***<br /><br />Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), alumnus Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-61408519300250509982009-04-20T08:23:00.000-07:002009-04-20T08:24:26.131-07:00Pengamanan Aset Tanah Negara Lewat MPBM<div align="justify"><br />Aset negara perlu segera diinventarisasi agar dapat dicegah adanya tindakan korupsi, sebagaimana dinyatakan oleh Sekretaris Jendral Departemen Keuangan yang didampingi Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan bersama sejumlah sekjen, irjen instansi pemerintah ketika membahas penertiban aset negara (Kompas, Rabu 7/5 2008). Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan mengungkapkan bahwa sertifikat ganda menggerogoti aset negara dan menyebabkan ketidakjelasan status tanah yang berpengaruh terhadap investasi (Jawa Pos, Rabu 7/5 2008). </div><div align="justify"><br />Sebagai pegawai yang telah mengabdi cukup lama di BPN, penulis tidak kaget mendengar kedua pernyataan di atas. Hampir semua instansi pemerintah hingga pemerintah desa belum tergerak untuk mendaftarkan asetnya. Kalaupun ada, masih bersifat sporadis dan keproyekan, serta belum sistematis dalam kerangka manajemen aset. </div><div align="justify"><br />Penyertifikatan tanah, menurut UU No. 5 Tahun 1960, merupakan langkah yang tepat untuk menata aset negara dan sesungguhnya pendaftaran tanah di seluruh NKRI adalah kewajiban Pemerintah. Namun, karena keterbatasan keuangan negara, hingga saat ini diperkirakan 70-80 persen bidang tanah belum bersertifikat. </div><div align="justify"><br />Sistem pensertifikatan tanah yang diberlakukan saat ini juga belum dapat mencegah sertifikat ganda. Ada sebidang tanah dilandasi oleh dua akta hibah pelepasan adat oleh dua marga/kelompok adat, memiliki dua sertifikat dan kebetulan sertifikat yang satu adalah tanah aset negara/pemerintah daerah. Marga tidak mengetahui batas wilayah ulayat yang jelas. Subjek yang mengatasnamakan marga juga tidak jelas. </div><div align="justify"><br />Dobelnya surat keterangan adat atau kepala desa ini karena tidak tertibnya administrasi penguasaan tanah yang dibukukan di desa, sehingga menimbulkan sertifikat dobel. Reorganisasi instansi pemerintah menyebabkan dokumen pemilikan dan penguasaan aset banyak yang hilang, bahkan banyak tanah bengkok desa yang disertifikasi atas nama pribadi. Keterbatasan pemerintah menyediakan anggaran menyebabkan pendaftaran tanah dilakukan secara sporadis, sehingga 20-30 persen yang sudah besertifikat berpotensi memiliki sertifikat ganda. Sekalipun jumlahnya tidak banyak tapi akan membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak efektif, karena disibukkan oleh persengketaan dan konflik pertanahan. </div><div align="justify"><br />Tanah yang sudah bersertifikat disebut aset negara, karena negara telah melakukan inventarisasi melalui penetapan hak berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1960, sedangkan aset bangsa meliputi aset negara dan tanah yang belum bersertifikat atau tidak perlu diberi sertifikat, karena tidak ada yang menguasai, selain negara, seperti pulau-pulau terluar NKRI memerlukan sistem terpadu dalam penataannya. Subjek hak, baik seseorang WNI atau WNA maupun badan hukum privat atau publik dan jenis hak yang dibukukan melalui manajemen pertanahan harus terkoneksi dengan administrasi kependudukan sehingga sertifikat dobel dapat dihindari. </div><div align="justify"><br />Dengan kondisi abu-abu data tanah yang ada di tingkat desa saat ini, maka penertiban aset bangsa dan aset negara sebaiknya dilakukan secara sistematis dan menyeluruh pada akar persoalan pertanahan, yaitu mulai dari desa. Sebagai pegawai pertanahan yang puluhan tahun telah mengabdi di BPN, penulis merasa terpanggil untuk mengajukan terobosan yang sistematis, yaitu melalui manajemen pertanahan berbasis masyarakat (MPBM) yang meliputi manajemen aset, manajemen pertanahan, manajemen tata ruang, tata guna tanah, tata bangunan, dan manajemen alokasi tanah untuk pembangunan fisik atas konversi penggunaan tanah, dapat diselenggarakan secara serempak, karena dilaksanakan oleh masing-masing desa/kelurahan. Pemerintah hanya memberi bimbingan teknis dan administratif. </div><div align="justify"><br />Uji coba MPBM di Jawa Tengah telah memberikan gambaran bahwa MPBM mampu dibangun oleh masyarakat desa. Tim Sembilan yang dipilih secara musyawarah di tingkat desa bertugas mewakili masyarakat sebagai pengelola MPBM, sekaligus penggerak masyarakat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah, yang dapat memberikan peningkatan nilai tambah. MPBM yang mengembangkan self finance dan multiguna serta pembangunan awalnya secara gotong royong, sangat menghemat keuangan negara dan dapat terselesaikan 5-10 tahun di seluruh Indonesia. </div><div align="justify"><br />MPBM dapat mengeliminaasi mafia tanah yang bermain di kondisi abu-abu. Sertifikat dobel dapat dihindari karena surat keterangan tanah kepala desa dilampiri peta bidang tanah yang dibuat oleh masyarakat. Pemeliharaan data atas bidang tanah, baik subjek maupun objek dapat terlaksana secara tertib, karena dicatat pada buku MPBM. Buku aset dapat dengan mudah dikembangkan melalui MPBM di setiap desa dan dapat dikoneksikan dengan file aset yang dipusatkan di kabupaten/kota, karena setiap bidang tanah terkorelasi dengan pemilik tanahnya. Data MPBM sebelum diberlakukan sebagai landasan dalam pemberian surat keterangan tanah diverifikasi oleh Kantor Pertanahan, dimutakhirkan setiap akhir tahun atau dievaluasi setiap terjadi penggantian kepala desa/lurah, sehingga memiliki kecocokan data dengan data kantor pertanahan. </div><div align="justify"><br />Membangun MPBM seluruh Indonesia tentu saja perlu ada koordinasi dan kerja sama antara Depdagri dan BPN RI. Pelaksanaan Peraturan Menteri Negara Agraria/KaBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Inventarisasi Tanah Adat perlu didukung MoU antara Mendagri dan Ka BPN agar dapat terlaksana. </div><div align="justify"><br />Rekruitmen Tim Sembilan MPBM melalui rembug/musyawarah desa sebagai upaya pendewasaan demokratisasi, penyadaran dan pemberdayaan melalui Tim Sembilan sebagai kelompok penggerak upaya membangun kemandirian dan martabat bangsa. MPBM mempercepat pembangunan sistem informasi pertanahan nasional (simtanas), sehingga berbagai kebijakan pertanahan dapat ditetapkan setiap saat untuk mempercepat realisasi pasal 1 s/d 15 UU PA, yaitu tanah untuk kesejahteraan dan keadilan, keutuhan NKRI, kehidupan harmonis Bhineka Tunggal Ika, dalam program 5-10 tahun. MPBM dapat mengefektifkan peran lembaga pertanahan dengan fungsi mengadministrasikan setiap kejadian dan perubahan menyangkut penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan atas sebidang tanah yang tidak mungkin dapat ditangani oleh lembaga yang hanya berpusat di kabupaten/ kota.</div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">***<br />Penulis adalah penggagas MPBM, mantan Kapuslitbang BPN,kini Direktur Pengelolaan Tanah Kritis, Tanah Negara dan Tanah Terlantar BPN RI<br />Sumber: Suara Karya On-line. 24 Juni 2008</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-40745891083113799812009-04-20T08:18:00.000-07:002009-04-20T08:21:18.976-07:00Sengketa Tanah dan Kinerja BPN<span>Konflik tanah sepertinya tak pernah berakhir. Kasus Tanjungmorawa, Cianjur, Jember, Bulukumba, Atang Senjaya, Meruya Selatan, dan Pasuruan hanyalah beberapa contoh konflik pertanahan yang terjadi. Pada kenyataannya hampir di seluruh penjuru Tanah Air, konflik semacam ini masih menjadi persoalan. Dan, jika ditelisik, semua kasus sengketa tanah yang terjadi menunjukkan pola sengketa yang sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang menyangkut nasib ribuan warga itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa menggetirkan dalam proses penyelesaiannya.<br /><br />Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) kini sudah memasuki usia ke-46. Jika ditilik semangatnya, UUPA kala itu diundangkan sebagai langkah untuk mengakhiri timbulnya dualisme pertanahan, yakni dimilikinya hak erpahct (sekarang disebut hak guna usaha) oleh para pengusaha Belanda, yakni hak menyewa tanah dalam jangka panjang, tapi dilarang membeli. Dengan hak erpahct tersebut, para pengusaha Belanda kemudian mulai membuka perkebunan. Hak erpahct ini diberikan berdasarkan Agraris Wecht atau Undang-Undang Agraria Belanda.<br /><br />Sementara itu dalam perkembangannya kemudian, pada tahun 1957 pemerintah Indonesia menasionalisasi semua lahan bekas perkebunan Belanda, dan diklaim sebagai tanah negara. Padahal, sebelumnya para pengusaha Belanda itu sudah menyerahkan lahannya untuk digarap penduduk setempat. Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1960, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), yang salah satu amanatnya adalah menginstruksikan landreform alias pembagian tanah secara merata kepada para petani penggarap. Namun, kenyataannya UUPA belum dilaksanakan secara konsisten.<br /><br />Setelah sengketa tanah kian meruyak, reformasi agraria menjadi wacana lagi, antara lain bagaimana menciptakan lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai garda terdepan dalam urusan pertanahan nasional. Kinerja BPN pun menjadi gunjingan banyak pihak. Hingga kini tak sedikit keluhan yang disampaikan publik terhadap kinerja BPN baik di pusat maupun daerah.<br /><br />Keputusan Presiden (Keppres) No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan mengamanatkan kepada BPN untuk merevisi UUPA, menyusun RUU Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lain di bidang pertanahan. Setumpuk pekerjaan pun menanti sentuhan BPN.<br /><br />Hingga kini kita belum memiliki basis data tanah yang merupakan aset negara/pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hal itu terkait pengukuran tanah secara nasional, pemetaan untuk menginventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan serta pemanfaatan tanah yang belum juga tersentuh. Semua ini menjadi pekerjaan dasar dari BPN, disamping memberikan pelayanan maksimal kepada publik.<br /><br />Kita akui ini memang bukan pekerjaan mudah. Belum maksimalnya sumber daya yang dimiliki BPN menjadi kendala tersendiri. Di samping itu, adanya tarik menarik kepentingan telah turut memengaruhi kinerja BPN. Apalagi dengan diberlakukannya UU Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah (Otda), kian menyulitkan penanganan masalah pertanahan di Indonesia. Karena dengan bergulirnya otonomi daerah (otda), tak sedikit kewenangan pusat yang menyangkut pertanahan dilimpahkan ke daerah.<br /><br />Dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No 10 Tahun 2006 tentang BPN, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mempertegas keberadaaan lembaga BPN agar lebih berdayaguna, ternyata malah menimbulkan kontroversi. Sebagian kalangan memandang perpres tersebut mengalihkan kembali kewenangan pertanahan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan hal itu dinilai sangat bertentangan dengan substansi otonomi daerah.<br /><br />Padahal ketika kita berharap banyak terhadap kinerja BPN, maka harus ada upaya penguatan kelembagaan BPN. Dan, Perpres No. 10/2006 mencoba mengarahkan agar kelembagaan BPN cukup kapabel di dalam melaksanakan berbagai fungsi di bidang pertanahan nasional, di antaranya reformasi agraria, pemberdayaan masyarakat dan penanganan konflik pertanahan. Dan, jika dicermati, ketiga fungsi ini dapat menjadi pintu masuk bagi pelaksanaan agenda penataan ulang di bidang pertanahan dan penyelesaian konflik pertanahan yang selama ini masih menjadi tumpukan masalah di BPN.<br /><br />Perpres itu pun mencoba mendudukkan struktur BPN di daerah yang meliputi kantor wilayah (provinsi) dan kantor pertanahan (kabupaten/kota). BPN daerah pada hakikatnya mengemban tugas dan fungsi di bidang pertanahan yang bersifat vertikal.<br /><br />Adapun hal baru dalam struktur BPN, yakni adanya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, semestinya dipandang sebagai langkah maju, mengingat keberadaan struktur ini demikian penting dalam menjawab segala persoalan di bidang pertanahan, khususnya dalam penanganan sengketa/konflik.<br /><br />Dan, jika selama ini dalam setiap kasus tanah posisi rakyat selalu lemah, maka keberadaan perpres ini sebenarnya cukup mengakomodasi peran masyarakat di dalamnya, yakni dengan dibentuknya Komite Pertanahan yang keanggotaannya berasal dari kalangan tokoh masyarakat yang peduli terhadap segala permasalahan di bidang pertanahan, juga para pakar di bidang pertanahan.<br /><br />Keberadaan Komite Pertanahan ini diharapkan dapat lebih menggali dan memberi masukan kepada BPN dalam merumuskan setiap kebijakan yang akan dikeluarkan.<br /><br />Yang terpenting kemudian adalah, bagaimana semua itu bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan. Mengingat hingga saat ini masih ada sekitar 2.865 kasus sengketa tanah skala besar yang belum selesai dan itu menghambat penyelesaian pendaftaran dan pemberian hak atas tanah. BPN menyatakan dari 85 juta bidang tanah di Indonesia, baru sekitar 30 persen yang terdaftar dan diberikan hak atas tanah. Jumlah 30 persen itu pun masih belum sempurna karena banyak sengketa tanah mengenai tapal batas dan tumpang tindih area. Jika tak segera ada perbaikan, barangkali 100 tahun lagi baru bisa menyelesaikan yang 70 persen itu. ***<br /><br />Penulis adalah alumnus jurusan Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB),<br />bekerja di Badan Ketahanan Pangan, Penyuluhan Pertanian<br />dan Kehutanan Aceh Timur<br /><br />Sumber:<br />http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=189919<br />8 Januari 2008</span>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-19963325802618460472009-04-20T08:10:00.000-07:002009-04-20T08:17:13.729-07:00Penyederhanaan Perangkat Penguasaan Tanah<div align="justify"></div><div align="justify">Pengantar </div><div align="justify"><br />Di kalangan masyarakat kita, pemahaman mengenai kategori status penguasaan tanah, meliputi dua kelompok utama yaitu bidang-bidang tanah yang sudah ada atau dilekati "hak" dan bidang-bidang tanah yang belum ada "hak"-nya. "Hak" dimaksud secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama yang diatur berdasar ketentuan UUPA, kedua yang diatur berdasar ketentuan peraturan perundangan sektoral (Kehutanan, Pertambangan, Pemda dan lainnya), dan ketiga yang diatur oleh masyarakat secara lokal. </div><div align="justify"><br />Pengaturan oleh masyarakat secara lokal tersebut meliputi: </div><div align="justify">a) bidang-bidang tanah yang diatur oleh masyarakat hukum adat / ulayat, </div><div align="justify">b) bidang-bidang tanah yang diatur berdasar ketentuan Kasultanan/Pakualaman, dan </div><div align="justify">c) bidang-bidang tanah yang pengaturannya berdasarkan norma hukum yang ada di masyarakat lokal / setempat. Sedangkan bidang tanah yang belum ada atau belum pernah dilekati hak berupa tanah timbul (tanah oloran, pantai, gosong/endapan sungai, delta dsb), pulau kecil, bantaran sungai dan sebagainya. </div><div align="justify"><br /><strong>Perbedaan pengertian megenai tanah negara dapat dipahami dari adanya pendefinisian yang berbeda</strong> yaitu: </div><div align="justify">1. Tanah yang langsung dikuasai Negara</div><div align="justify">2. Tanah hak yang habis jangka waktunya</div><div align="justify">3. Tanah yang belum pernah dilekati hak</div><div align="justify">4. Tanah yang berupa hutan alam, cagar alam dan cagar budaya</div><div align="justify">5. Tanah yang dikuasai dan atau digunkan instansi Pemerintah</div><div align="justify">6. Tanah yang langsung dikuasai oleh negara yaitu tanah-tanah yang bukan tanah hak (menurut UUPA), bukan anah ulayat, bukan tanah kaum, bukan tanah hak pengelolaan dan bukan pula tanah kawasan hutan</div><div align="justify">7. Semua bidang tanah yang tidak diduduki, dikuasai oleh seseorang atau diurus oleh badan/lembaga pemerintah maupun swasta tertentu</div><div align="justify">8. Semua bidang tanah yang tidak dinyatakan sebagai tanah hak milik perorangan, milik desa, tanah ulayat, tanah dengan status hak erfpacht, tanah konsesi dan sebagainya</div><div align="justify">9. Tanah yang dikuasai dan atau digunakan instansi pemerintah dan belum dilekati hak</div><div align="justify">10. Tanah bentukan baru, termasuk tanah yang terbentuk karena proses reklamasi. </div><div align="justify"><br />Pada prinsipnya, kegiatan pendaftaran tanah menurut PP No 24 / 1997 meliputi 3 kegiatan utama. Pertama adalah registrasi berupa kegiatan pencatatan data bidang dari aspek hukum dan fisik yang dikenal dengan teknik kadasteral. Kedua, pengesahan hubungan hukum antara subyek dan obyek hak, yaitu bertujuan untuk memperoleh pengesahan secara yuridis mengenai haknya, siapa pemegang haknya (subyek hak) dan kondisi tanahnya (obyek hak) ada atau tidaknya hak lain yang membebani dan atau permasalahan dimana alat pembuktian berupa dokumen dan lainnya merupakan instrumen utamanya. Ketiga, penerbitan tanda bukti, berupa sertipikat hak atas.<br /><br /><strong>Temuan Studi<br /></strong>Dalam hal penguasaan tanah, ada tiga dimensi yang perlu diperhatikan. </div><div align="justify"><strong>Pertama,</strong> dimensi sejarah. Dimensi sejarah mencakup riwayat perolehan tanah yang cukup beragam baik dari waktu perolehan tanahnya, maupun cara memperolehnya. Kenyataan di masyarakat kedua hal tersebut manjadi kendala dalam memperoleh akses hak atas tanah secara formal.</div><div align="justify"><br /><strong>Dimensi yang kedua</strong> adalah dimensi hukum. Dimensi hukum adalah jenis hak atas tanah dan jangka waktu berlakunya hak. Berdasarkan jangka waktu hak / perizinan terdapat 3 kelompok jenis hak yakni turun menurun atau selamanya (contoh: Hak Milik berdasar UUPA maupun Adat); jangka waktu tertentu, seperti HGB, HGU, HP berdasar UUPA; dan sementara (Bagi Hasil, Sewa, Gadai). Keberagaman jenis dan jangka waktu hak yang ada di masyarakat menjadi kendala bagi upaya registrasi untuk memberikan kepastian hukum dan perlidungan hukum oleh Pemerintah, baik dalam penentuan jenis hak, prosedur, proses, dan pensyaratannya. </div><div align="justify"><br /><strong>Dimensi yang ketiga</strong> adalah dimensi manajemen pertanahan, berupa belum adanya / belum efektifnya pengarahan peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan berdasarkan RTRW dan pola pengelolaan tata guna tanah merupakan kendala utama bagi pengalokasian lahan untuk usaha investasi, pemberian hak atas tanah, perpajakan serta pengedalian alih fungsi tanah. </div><div align="justify"><br />Mengenai tanah negara, dari studi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa tanah negara dapat didefinisikan dari statusnya, dari fungsi dan dari terjadinya/terbentuknya. Berdasarkan statusnya, definisi tanah negara adalah bidang-bidang tanah yang belum ada hak atas tanah atau bekas hak yang habis masa berlakunya. Berdasarkan fungsinya, tanah negara adalah bidang tanah yang berfungsi untuk kepentingan publik atau perlindungan. Sedangkan berdasarkan terbentuknya, tanah negara dapat terbentuk karena proses alam maupun buatan manusia (contoh: reklamasi, penimbunan).</div><div align="justify"><br />Pada kenyataannya, bidang-bidang tanah tersebut telah ada penggarapan/penghunian dengan berbagai jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah, baik untuk usaha non-komersial dan komersial maupun yang berfungi perlindungan dan yang bersifat kepentingan publik (public goods). Subyek hak yang memanfaatkan baik perorangan, instansi/pemerintah, badan hukum maupun lembaga masyarakat adat/ulayat. </div><div align="justify"><br />Lembaga yang mempunyai fungsi dan tugas mengelola tanah negara sampai saat ini belum jelas. Kondisi demikian berakibat menjadi sumber permasalahan di lapangan, antara lain dalam bentuk penggarapan tanah tanpa izin, penyerobotan tanah, sengketa / konflik tanah, penggusuran dan sebagainya.</div><div align="justify"><br />Studi juga menggali permasalahan tentang pendaftaran tanah. Efektifitas pendaftaran tanah atau pensertifikatan tanah yang diharapkan sebagai penopang utama pengelolaan pertanahan dan pembangunan yang berkelanjutan, masih jauh dari harapan. Hal ini antara lain disebabkan karena prosedurnya yang panjang, ketidakkejelasan proses, dan pensyaratan yang rumit serta biaya yang tidak terjangkau masyarakat umumnya. Itu semua merupakan permasalahan klasik yang selalu muncul dalam setiap diskusi maupun pendataan di tingkat pemegang hak. </div><div align="justify"><br />Dari analisa data di BPN dengan asumsi bahwa pertumbuhan bidang tanah mencapai sekitar 2,0% per-tahun maka diperkirakan pada tahun 2005 jumlah bidang tanah yang perlu disertifikatkan sekitar 80 juta bidang tanah (di luar hutan). Sedangkan kemampuan BPN dalam lima tahun terakhir adalah sekitar 1,5 juta bidang/tahun. Apabila kemampuan ditingkatkan sebesar 2 juta bidang/tahun maka diperlukan waktu lebih 20 tahun untuk menyelesaikannya. Waktu selama itu akan semakin berpotensi untuk timbulnya berbagai masalah pertanahan akibat perkembangan penduduk, perkembangan politik, sosial ekonomi dan sosial budaya serta adanya pengaruh global.<br /><br /><br /><strong>Rekomendasi Studi<br /></strong>Dalam menyusun rekomendasi studi, maka digunakan landasan konspetual bahwa penyederhanaan perangkat penguasaan tanah dan pengelolaan tanah negara, merupakan bagian tidak terpisahkan dengan pembangunan dan pengembangan siatem administrasi pertanahan nasional, daerah maupun lokal. Sistem administrasi tanah di masa depan diharapkan mampu sebagai sarana mengatur dan menentukan hubungan hukum antara manusia dengan tanah, sarana pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan berkelanjutan serta sebagai sarana pengendalian hak penguasaan tanah. </div><div align="justify"><br />Pengelolaan pertanahan (land menagement) pada hakekatnya mengatur hubungan antara subyek dan obyek hak dalam kaitannya penguasaan dan penggunaan tanah. Selain kepastian hak penguasaan tanah diperlukan kepatian peruntukan pengunaan dan pemanfaatan untuk memberikan rasa aman bagi pemegang hak /penggarap/pengguna. Sedangkan kegiatan registrasi tanah (kadasteral) adalah upaya membangun sistem informasi dasar (SDIs) pertanahan, dan merupakan awal pembangunan infrastruktur sistem administrasi tanah.</div><div align="justify"><br />Landasan kebijakan yang dianut adalah pemahaman bahwa tanah dalam wilayah negara RI merupakan aset Bangsa, dan hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi. Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi seluruh rakyat, diberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Negara juga diberi kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, bumi, air dan ruang angkasa. Selain itu negara juga diberi kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Semua itu dalam batas-batas agar bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat. </div><div align="justify"><br />Hal yang juga perlu mendapatkan perhatian kita semua adalah bahwa penyederhanaan perangkat penguasaan tanah serta pendefinisian dan pengelolaan tanah negara, merupakan sebagian upaya operasionalisasi amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Tap MPR / IX / 2001 yaitu pembaharuan pengelolaan pertanahan dan sumberdaya agraria lainnya secara berkeadilan, transparan, partisipatif dan akuntabel.</div><div align="justify"><br />Atas dasar pemikiran di atas, studi ini merekomendasikan 3 hal: tentang penyederhanaan perangkat penguasaan; tentang tanah negara dan pengelolaannya; dan tentang pendaftaran tanah. </div><div align="justify"><br /><strong>Rekomendasi pertama: penyederhanaan perangkat penguasaan.</strong> </div><div align="justify"><br />•1. Penyederhanaan penguasaan tanah meliputi perumusan dan penyederhanaan dokumen (alas hak) bagi semua kategori penguasaan tanah, dan penyederhanaan jenis hak berdasar jangka waktu </div><div align="justify"><br />•2. Dokumen tanah (alas hak) pada dasarnya adalah fakta penguasaan dan penggunaan / pemanfaatan bidang tanah di lapang, menjadi acuan (benchmark) bagi pengesahan alas hak secara formal. </div><div align="justify"><br />•3. Walaupun keperluan penyederhanaan jenis hak atas tanah secara eksklusif tidak muncul di tingkat pemegang hak, namun dalam kaitan peningkatan fungsi administrasi dalam rangka menanggapi kebutuhan pembanguan berkelanjutan dan dinamika tuntutan global, diajukan konsep penyederhanaan hak penguasaan tanah yang dikaitkan dengan jangka waktu berlakunya dan jenis penggunaan dan pemanfaatan tanahnya, dengan mengelompokkan menjadi tiga hal. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><strong>Pertama,</strong> berdasarkan jangka waktu berlakunya yaitu hak tanpa batas jangka waktu, hak dengan pembatasan janangka waktu tertentu dan hak bersifat sementara. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><strong>Kedua,</strong> berdasarkan pengunaan dan pemanfaataanya yaitu bukan untuk usaha (contoh tempat tinggal); untuk tempat usaha (komersial); untuk kepentingan publik (fasum dan fasos, termasuk tempat peribadatan); dan untuk kepentingan perlindungan / konservasi. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><strong>Ketiga,</strong> kombinasi antara huruf yang pertama dan kedua tersebut menentukan jenis hak penguasaan tanah, hak tanpa batas waktu meluputi untuk perumahan/ tempat tinggal, perlindungan dan konservasi, pertahanan dan keamanan serta untuk kepentingan publik; dengan jangka waktu tertentu misalnya untuk kepentingan komersial / usaha; dan hak yang bersifat sementara meliputi penggunaan dan pemanfaatan yang bersifat sementara (sewa, bagi hasil pertanian, garapan dan sebagainya).</div><div align="justify"></div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br /><strong>Rekomendasi kedua: Tanah Negara dan pengelolaannya. </strong></div><strong><div align="justify"><br /></strong>•1. Tanah Negara didefinisikan sebagai bidang-bidang tanah yang belum ada hak atas tanah atau bekas hak yang habis masa berlakunya, yang langsung dikuasai Negara dan berfungsi untuk kepentingan publik atau perlindungan termasuk tanah-tanah bentukan baru (tanah oloran, tanah endapan baru di pantai maupun sungai atau tanah timbul dan sebagainya). </div><div align="justify"><br />•2. Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi untuk mengelola tanah dan sumber daya alam lainnya sebagai aset bangsa mendapat pemahaman yang sama oleh semua pihak masyarakat, instansi dan badan hukum serta pakar, baik untuk tanah maupun sumberdaya. Permasalahannya adalah sejauhmana pemisahan tugas dan fungsi lembaga sebagai pengelola tanah negara, yang pada hakekatnya menjadi personifikasi dari negara, dengan lembaga pemerintah yang bertugas dan berfungsi sebagai pengguna/ pemanfaat tanah sebagai pemegang hak. </div><div align="justify"><br />•3. Untuk pengelolaan tanah negara diajukan rekomendasi sebagai berikut:<br />•a. Tanah negara dalam lingkup nasional, antar sektor dan antar masyarakat adat dikelola oleh lembaga / instansi pemerintah yang bukan sebagai pemegang hak atas tanah atau pengguna tanah.<br />•b. Tanah negara yang pemanfaatannya untuk tujuan / komoditi tertentu dan atau dalam lingkup wilayah tertentu dalam wilayah negara dapat diberikan pengelolaannya kepada Departemen/ Pemda / Lembaga Adat / Masyarakat adat tertentu </div><div align="justify"> </div><div align="justify"></div><div align="justify"><br /><strong>Rekomendasi ketiga: Tentang Pendaftaran Tanah. </strong></div><strong><div align="justify"><br /></strong>•1. Pemisahan tahapan registrasi tanah (kadasteral) dari kesatuan sistem proses pendaftaran tanah, merupakan kebijakan yang tepat untuk percepatan pemberian kepastian hak atas tanah. </div><div align="justify"><br />•2. Registrasi tanah meliputi semua bidang tanah dalam wilayah Republik Indonesia, baik yang telah ada hak maupun yang belum ada haknya. Percepatan registrasi tanah dibutuhkan untuk membangun Sistem Data Informasi Spasial (SDIs) sebagai pilar utama Infrastruktur Administrasi Pertanahan. </div><div align="justify"><br />•3. Percepatan registrasi tanah harus mengikut sertakan masyarakat secara aktif , dengan penyelenggaraan sensus pertanahan secara nasional. Untuk ini pendataan lapang oleh Pemerintah merupakan upaya mutlak dilakukan dalam jangka waktu tidak lebih dari 8 tahun, seluruh bidang tanah, baik yang telah ada hak maupun belum, telah didaftar. Hasil sensus berupa daftar memuat informasi setiap bidang / blok tanah yang berisi data yang terkait semua aspek yang terkait dengan pertanahan. </div><div align="justify"><br />Ketiga rekomendasi di atas dalam pelaksanaannya merupakan proses jangka menengah maupun panjang dengan tanpa perubahan sistem pengelolaan pertanahan yang sudah ada secara radikal. Sedangkan hal-hal yang perlu dilakukan guna mendukung rekomendasi tersebut adalah berupa penerapan secara bertahap jenis hak berdasarkan jangka waktu dan pemanfaatan tanah perlu dilakukan. Dalam hal ini masih perlu disepakati nama jenis hak. Kemudian perubahan persepsi bahwa hak atas tanah tidak hanya memberikan kepastian hubungan hukum juga memberikan kepastian peruntukan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Sebagai konsekuensi jenis penggunaan/ pemanfaatan tanah dan peralihaannya harus tercatat dalam daftar tanah (buku tanah). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Dan terakhir pemahaman bahwa tanah negara sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, harus dikelola oleh lembaga / Departemen tersendiri yang terpisah dari lembaga/Departemen yang dalam menjalankan tugas dan fungsinya memerluka hak penguasaan pemilikan atas tanah.</div><div align="justify"></div><div align="justify"></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-66568790278389822762009-04-20T08:04:00.000-07:002009-04-20T08:08:32.390-07:00PENDAFTARAN TANAH<div align="justify"><br />Pada Tahun 1955 berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1955 Presiden Republik Indonesia membentuk Kementerian Agraria yang sederajat dengan kementerian lain dan dipimpin oleh Menteri Agraria. Lapangan pekerjaan Kementerian Agraria dimaksud adalah :- Mempersiapkan pembentukkan perundang-undangan agraria nasional.- Melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan agrarian pada umumnya serta memberi pimpinan dan petunjuk tentang pelaksanaan itu pada khususnya.- Menjalankan usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak tanah bagi rakyat.</div><div align="justify"><br />Susunan Kementerian Agraria terdiri atas Pusat Kementerian, Jawatan Agraria dan Jawatan Pendaftaran Tanah. Masing-masing jawatan dipimpin oleh Kepala Jawatan yang bertanggung jawab kepada Menteri dan wajib memberitahukan segala sesuatu kepada Sekretaris Jenderal.</div><div align="justify"><br />Kemudian Kementerian Agraria kewenangannya dipertegas dengan Kepres Nomor 190 Tahun 1957 Tanggal 12 Desember 1957 untuk menjalankan segala usaha menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah melalui pendaftaran tanah yang meliputi kegiatan :a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia (tentunya termasuk wilayah kehutanan).b. Pembukuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak tersebut.</div><div align="justify"><br />Untuk hal tersebut di atas berdasarkan Kepres Nomor 190 Tahun 1957 tersebut Jawatan Pendaftaran Tanah dialihkan dari Departemen Kehakiman ke Kementerian Agraria sedangkan tugas dan wewenang Jawatan Agraria beralih dari Menteri Dalam Negeri ke Kementerian Agraria berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1958.</div><div align="justify"><br />Setelah lahirnya UUPA, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tanggal 24 September 1960, lapangan pekerjaan Kementerian Agraria diperluas dengan kegiatan Land Reform dan Land Use sehingga dapat dikatakan pilar-pilar kegiatan Kementerian Agraria pada saat berdirinya terdiri dari 4 pilar, yaitu :a. Bidang Hak-Hak Atas Tanah (Jawatan Agraria)b. Bidang Pendaftaran Tanah (Jawatan Pendaftaran Tanah)c. Bidang Land Reform d. Bidang Land Use yang berasal dari Direktorat Tata Bumi Departemen Pertanian (bukan berasal dari Direktorat Tata Ruang Departemen Pekerjaan Umum).</div><div align="justify"><br />Departemen Agraria dengan 4 pilar tersebut di atas merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia khususnya pegawai di Departemen Agraria karena di seluruh dunia hanya Departemen Agraria yang memiliki kewenangan yang lengkap yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan pertanahan di Indonesia sebagai akibat masa penjajahan yang cukup panjang serta luasnya wilayah Republik Indonesia dengan berbagai suku bangsa dan adat istiadat serta ketentuan-ketentuan hukum di bidang pertanahan umumnya hanyalah berdasarkan hukum adat setempat dan tidak tertulis. </div><div align="justify"><br />Dengan kewenangan yang ada diharapkan Kementrian Agraria dapat mewujudkan tertib hukum, administrasi, penggunaan tanah dan pemeliharaan tanah serta terciptanya suatu lingkungan hidup yang nyaman bersih dan terjamin keberadaan sumber daya air bagi rakyat Indonesia. </div><div align="justify"><br />Namun sesuatu hal yang ironis dengan tujuan yang begitu besar perkembangan organisasi Kementrian Agraria berkali-kali berubah mulai dari tingkat Departemen, Direktorat, Dirjen Agraria, Badan Pertanahan dengan Menteri Negara Agraria dan saat ini kembali menjadi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia sehingga harapan dan tujuan utama untuk dibentuknya Kementrian Agraria pada masa lalu masih jauh dari harapan. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br /><strong>Tujuan dan Sistem Pendaftaran Tanah</strong><br />Kegiatan Pendaftaran Tanah di Indonesia sejak penjajahan Belanda telah ada khususnya untuk mengelola hak-hak barat dan pada zaman awal kemerdekaan pendaftaran tanah di Indonesia berada di Departemen Kehakiman yang bertujuan untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah yang meliputi :1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia2. Pembukuan hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak atas tanah tersebut.</div><div align="justify"><br />Melihat bentuk kegiatan pendaftaran tanah seperti diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa sistem pendaftran tanah pada saat itu adalah sistem pendaftaran akte (regristration of deeds) dimana Jawatan Pendaftaran Tanah pada saat itu hanya bertugas dan berkewenangan membukukan hak-hak tanah dan mencatat akte peralihan / pemindahan hak, tidak menerbitkan surat tanda bukti hak yang berupa sertifikat tanah. Alat bukti kepemilikan tanah pada saat itu berupa akte (akte eigendom dll).</div><div align="justify"><br />Dengan lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960 maka sistem pendaftaran tanah berupa menjadi sistem pendaftaran hak (registration of title) dimana hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.2) Pendaftaran tanah meliputi: </div><div align="justify">a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah </div><div align="justify">b. Pendafataran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut </div><div align="justify">c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.</div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />Perbedaan kewenangan dalam sistem pendaftaran tanah seperti diuraikan di atas jelas tertuang dalam ketentuan angka 2 b dan c dimana pendaftaran tanah melakukan pendaftaran hak termasuk peralihan dan pembebanannya serta pemberian surat-surat tanda bukti termasuk sertifikat tanah sebagai alat pembuktian yang kuat.</div><div align="justify"><br />Dalam ketentuan angka 2 huruf c di atas disebutkan surat tanda bukti yang diterbitkan sebagai alat bukti yang kuat bukan terkuat atau mutlak, hal ini berarti pendaftaran tanah di Indonesia menganut stelsel negatif dimana apabila sertifikat tanah telah diterbitkan atas nama seseorang dan ada pihak lain yang dapat membuktikan sebagai pemilik yang lebih berhak melalui putusan lembaga peradilan maka sertifikat tanah tersebut dapat dibatalkan yang kemudian diberikan kepada pihak yang lebih berhak.</div><div align="justify"><br />Dalam penjelasan UUPA dikatakan bahwa pendaftaran tanah akan diselenggarakan secara sederhana dan mudah dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan. Ketentuan ini perlu mendapat perhatian Pemerintah untuk melaksanakan pembenahan dan perbaikan di bidang pendaftaran tanah terutama hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan tanah-tanah adat dimana pendaftaran tanah masih menggunakan alat bukti pembayaran pajak masa lalu seperti girik dan petuk sebagai alas hak sedangkan administrasi girik dan petuk tersebut secara prinsip sudah tidak ada.</div><div align="justify"><br />Dalam penjelasan UUPA angka IV dikatakan bahwa usaha yang menuju ke arah kepastian hak atas tanah ternyata dari ketentuan pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah yaitu: Pasal 23, 32 dan 38 yang ditujukan kepada para pemegang hak yang bersangkutan dengan maksud agar mereka memperoleh kepatian tentang haknya. </div><div align="justify"><br />Pasal 23 (32/HGU dan 38/HGB) berbunyi :</div><div align="justify">1. Hak milik demikian pula setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak lain harus didaftarkan sesuai ketentuan pasal 19 UUPA </div><div align="justify">2. Pendafataran dimaksud merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta syahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.</div><div align="justify"><br />Pasal 19 UUPA ditujukan kepada Pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan Pendaftaran Tanah yang bersifat rechts kadaster, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum. Di dalam penjelasan UUPA disebutkan pula bahwa pendaftaran tanah didahulukan penyelenggaraannya di kota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh wilayah Negara (Indonesia) tentunya yang dimaksud dalam Undang-Undang ini termasuk daerah hutan maupun laut (marine kadaster.)</div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br /><strong>Permasalahan Pendaftaran Tanah</strong><br />Sesuai ketentuan pasal 19 UUPA untuk kepastian hak dan menjamin kepastian hokum hak atas tanah pelayanan pendafataran tanah di lapangan tidak dapat dipisahkan atau digabung dengan kegiatan lain pengukuran kadastral yaitu kegiatan pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah dengan kegiatan pendaftaran hak serta pemberian surat-surat tanda bukti hak merupakan paket kegiatan yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu pasal 19 UUPA.</div><div align="justify"><br /><strong>1. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah.<br /></strong>Ketentuan dalam Perpres mengenai organisasi BPN merupakan suatu kemajuan dengan dibentuknya suatu Deputi baru mengenai Survei, Pengukuran dan Pemetaan. Kegiatan kedeputian ini khususnya untuk menunjang kegiatan BPN terutama kegiatan untuk penyediaan peta dasar maupun peta-peta tematik serta jaringan titik dasar teknik dalam rangka pelayanan pertanahan di BPN atau instansi lain yang memerlukan.</div><div align="justify"><br />Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan pada prinsipnya tidak melakukan pengukuran kadastral karena kewenangan tersebut merupakan kewenangan Deputi yang membidangi Pendafataran Tanah. Kegiatan pengukuran kadastral adalah pengukuran yang berkaitan dengan hak atas tanah khususnya untuk kegiatan pengukuran bidang tanah yang kemudian dipetakan pada peta pendaftaran dan dibukukan pada daftar tanah.</div><div align="justify"><br />Dari uraian di atas untuk percepatan penyusunan data penguasaan tanah dalam rangka menunjang percepatan pensertifikatan tanah seharusnya pemerintah memprioritaskan kegiatan Deputi Survei, Pengukuran dan Pemetaan untuk membuat peta dasar skala besar dan peta bidang-bidang tanah maupun peta tematik lainnya secara digital.</div><div align="justify"><br />Peta dasar dan peta bidang-bidang tanah yang dibuat oleh BPN seharusnya nilai pembuatannya akan lebih murah karena peta-peta tersebut dapat pula dimanfaatkan oleh instansi lain seperti Kantor PBB, Dinas Tata Kota, Perusahaan Gas, Air Minum, PLN, Kependudukan dan Kantor Pos untuk menunjang kode pos. Saat ini peta dasar dengan skala besar dan peta-peta bidang tanah digital sangat diperlukan dalam rangka kegiatan pengemudi untuk mencari alamat yang dituju dengan menggunakan GPS. </div><div align="justify"><br />Penerbitan Peta digital tersebut sangat diperlukan dalam rangka mengembangkan sistem geografis dan sistem informasi di bidang pertanahan untuk terciptanya Sistem Pertanahan Nasional (Simtanas) yang berbasis bidang tanah.</div><div align="justify"><br />Kegiatan Perpetaan dan pembukuan tanah yang merupakan kegiatan lanjutan dari pengukuran bidang tanah sangat diperlukan dalam rangka terciptanya kepastian hak dan tertib administrasi pertanahan. Bidang-bidang tanah yang telah diukur mengenai letak dan batas-batasnya dipetakan / dimasukkan ke dalam peta pendaftaran / kegiatan perpetaan dan bidang-bidang tanah tersebut dibukukan dalam suatu daftar yang disebut daftar tanah. Bidang-bidang tanah di dalam daftar tanah disusun berdasarkan nomor urut yaitu nomor identitas bidang atau NIB yang merupakan nomor identitas tunggal dari suatu bidang tanah (single identity number). Dalam daftar tanah dicantumkan pula mengenai siapa yang menguasai atau pemilik tanahnya serta asal / status tanah tersebut seperti tanah adat, tanah negara atau tanah yang telah memiliki sesuatu hak atas tanah termasuk data mengenai P4T (Penguasaan Pemilikan Pengunaan dan Pemanfaatan Tanah). Apabila data peta pendaftaran dan daftar tanah ini telah lengkap maka diharapkan pelayanan pertanahan dapat dilakukan lebih cepat dan lebih terjamin kepastian haknya serta tidak dibutuhkan lagi surat keterangan lurah atau kepala desa mengenai girik, petuk dan lain-lain yang sebenanrnya adalah bukti pembayaran pajak yang saat ini kegiatan pengadministrasian girik dan petuk secara prinsip sudah tidak dilakukan.</div><div align="justify"><br />Kegiatan pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah yang disebut pula dengan kegiatan fisik kadaster merupakan kegiatan untuk mendapatkan data awal yang sangat diperlukan untuk pelayanan di bidang pertanahan seperti yang telah diuraikan di atas. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br /><strong>2. Pendaftaran Hak dan Penerbitan Surat Tanda Bukti Hak</strong></div><strong><div align="justify"><br /></strong>Dengan terbitnya ketentuan pasal 19 UUPA maka sistem pendafataran tanah di Indonesia berubah dari sitem pendafataran akte menjadi sistem pendafataran hak untuk itu diterbitkanlah peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Sistem pendaftaran tanah setelah UUPA mewajibkan Departemen Agraria waktu itu untuk menerbitkan buku tanah sesuai dengan sistem Torens (Australia) yang dianut sistem pendafataran tanah Indonesia. Buku tanah adalah tempat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah, peralihan hak dan pembebanan hak maupun lahirnya hak atau hapusnya hak atas tanah yang sebelumnya kegiatan pendaftaran tanah tidak pernah melakukan hal tersebut. </div><div align="justify"><br />Sebagai tuntutan sistem pendaftaran hak sesuai UUPA dimana buku tanah tempat mendaftarakan hak yang dialihkan atau dibebankan berdasarkan akte PPAT, maka akte yang dibuat para PPAT haruslah dipastikan kebenaran formalnya sehingga Departemen Agraria/BPN perlu untuk menerbitkan blangko akte yang dapat dikontrol kebenarannya dengan kode dan nomor tertentu untuk menjamin kebenaran formal akte tersebut.</div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br /><strong>Penutup</strong><br />Berdasarkan uraian di atas, kegiatan BPN khususnya pendaftaran tanah perlu mendapat prioritas dalam pembuatan peta dasar atau peta tematik terutama peta bidang tanah secara digital. Sistem informasi pertanahan yang ditunjang dengan kegiatan komputerisasi pertanahan (LOC/Land Office Computeritation) perlu diteruskan dan dikembangkan sehingga dapat tercipta suatu system pertanahan yang berbasis bidang tanah dengan memiliki nomor identitas tunggal atau nomor identitas bidang. Suatu hal yang paling penting dilakukan adalah kegiatan fisik kadaster yaitu suatu kegiatan pembuatan peta pendaftaran yang dilengkapi data penguasaan dan pemilikan tanah dalam bentuk daftar tanah yang kegiatannya dimulai dari perkotaan hingga pedesaan untuk mendapatkan data-data spasial yang dilengkapi dengan data P4T.</div><div align="justify"><br />Demikian tulisan ini dibuat untuk memberikan gambaran mengenai pendaftaran tanah dan prinsip-prinsip kegiatannya.</div><div align="justify"><br />[Pendaftaran Tanah merupakan kegiatan yang telah ada sejak jaman Belanda, namun rakyat Indonesia masih belum mendapatkan definisi maupun memandang perlunya hal ini dilakukan. Sosialisasi terhadap masyarakat terus dilakukan demi mendapatkan angka pasti menenai jumlah dan luas tanah dan kepemilikan yang jelas . Apa dan bagaimana sebenarnya pendaftaran tanah di Indonesia dan prinsip kegiatannya serta konsep pemikiran yang bisa diinformasikan ke masyarakat dalam bentuk hukum dan pengertiannya </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-55688595657474869822009-04-20T07:58:00.000-07:002009-04-20T08:01:58.792-07:00Rangkaian Permasalahan Pendaftaran Tanah Pertanian<div align="justify"><br />DR. Jur. Any Andjarwati(Direktur Pusat Kajian Hukum dan Pertanian FH UGM)</div><div align="justify"><br />Dalam tataran filosophis pemikiran (terlepas dari praktek pelaksanaannya) sistim pendaftaran tanah di Indonesia terjadi kemunduran, dari sistem "publikasi positif" ke sistem negatif, yang menutup atau mempersulit jalan pemecahan permasalahan tiadanya jaminan kepastian hukum pertanahan. Kesalahan terbesar terletak pada sistemnya sendiri yang tidak konstruktif. Suatu ironi kebijakan antara pengharapan sekaligus penghalangan pencapaian tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri. </div><div align="justify"><br />Tap MPR no. IX tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam memberi arahan kebijakan untuk mengadakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan Landreform di Indonesia, serta berprinsip pada keberlanjutan sumber daya alam untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang dan pada keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat provinsi, kabupaten/ kota, desa), masyarakat dan individu. </div><div align="justify"><br />Sehubungan dengan itu perlu kiranya sekilas menengok kebelakang tentang sistim pendaftaran tanah di Indonesia. Overschrijvingsordonnantie (Peraturan Balik Nama) tanggal 2 April 1834 (Stbl. 1834 No. 27) adalah aturan pertama kali mengenai pendaftaran tanah yang menganut sistem positif, yang pasal 1-nya menyatakan "pendaftaran merupakan satu-satunya alat bukti dan peralihan mengenai semua benda tetap serta semua akta dengan mana benda tetap itu dibebani hipotik berikut semua akta cessienya hanyalah sah apabila dibuat dimuka Pejabat Balik Nama" (Maria S. Sumardjono, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, 1982, hal. 25). Dengan demikian karena pendaftaran merupakan satu-satunya alat bukti, maka logikanya negara bertanggung jawab atas data yang disajikan, dan hal ini dapat menjamin kepastian hukum. </div><div align="justify"><br />Sedangkan sistim UUPA menganut sistem publikasi negatif (pasal 19 UUPA dan aturan pelaksanaannya PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah dicabut oleh PP 24/1997), yang pada dasarnya sertifikat hanya sebagai salah satu tanda bukti hak atas tanah, sebagai tanda bukti yang kuat, tapi tidak mutlak. Hal ini dapat berimplikasi negara tidak bertanggung jawab sepenuhnya terhadap data yang disajikan, konsekwensinya sertifikat tidak menjamin kepastian hukum. Alasan pemberlakuan sistem negatif (tidak murni) oleh karena "pelaksanaan sistim positif membutuhkan banyak waktu, tenaga dan biaya, sedangkan dengan sistim negatif penyelenggaraan dapat dilaksanakan dalam waktu yang lebih singkat". (Maria S. Sumardjono, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, 1982, hal. 25). Sebagai solusi jalan pintas ?.<br />Namun apakah waktu, pikiran, tenaga, dan biaya untuk penataan dan pemulihan "luka" yang ditimbulkan tidak lebih menguras dan boros ? Yang jelas jaminan kepastian hukum pendaftaran tanah adalah kewajiban negara dalam hal ini pemerintah sebagai penyelenggara (pasal 19 UUPA), dan hak menuntut rakyat akan adanya jaminan kepastian data dan informasi yang disajikan berkaitan dengan pendaftaran tanah. Jaminan kepastian hukum tidak dapat diartikan setengah-setengah, tetapi sepenuhnya.</div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />Pertanian dan Tanah Subur yang Ekonomis</div><div align="justify"><br />"Pertanian adalah penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur untuk menghasilkan produksi tanaman (produksi primer, anatara lain bahan pangan, pakan, bahan mentah teknis) dan produksi hewan /produksi sekunder (Kroeschel, 1983)"</div><div align="justify"><br />Karakter tanah pertanian berbeda dengan tanah untuk perumahan maupun bangunan. Tanah pertanian pemanfaatannya untuk pertanian, perkebunan, perikanan, tempat penggembalaan ternak (tanah angonan), tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat pencaharian bagi yang berhak. Lebih lanjut tanah pertanian dibedakan menjadi tanah sawah dan tanah kering/ darat (Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal. 5.1.1961, no. Sekra. 9/1/12). Tanah sawah dibedakan menjadi tanah sawah ber-irigasi dan tanah sawah tadah hujan (A.J. van der Heyden, Landrente 1939). Tanah kering dikategorikan menjadi tanah bukan sawah (selain sawah), termasuk tambak, empang, untuk perikanan, yang pada hakekatnya tidak kering. </div><div align="justify"><br />Terjaminnya tanah subur berkaitan dengan kestabilan perencanaan sektor-sektor dan penataan ruang, yang semaksimal mungkin mencegah adanya alih fungsi tanah pertanian untuk non-pertanian. Namun alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian ini masih merupakan masalah besar, akibat dari belum dilaksanakannya Perencanaan Umum dengan baik sebagaimana amanat UUPA yang diberikan pada pemerintah (pasal 14 UUPA). Pemenuhan kestabilan Perencanaan Umum ini adalah pokok, sebagai langkah selanjutnya setelah penyelesaian masalah tiadanya peta dasar yang satu. Pemenuhan tangung jawab dari pemerintah ini adalah mutlak untuk mencegah kerusakan tanah dan lingkungan hidup, dan penghindaran terhadap kewajiban ini dapat dikenakan pidana (pasal 15 dan 52 UUPA).</div><div align="justify"><br />Kekhususan tanah subur pertanian ini seharusnya membutuhkan peraturan khusus mengenai peralihannya yang mensyaratkan secara khusus pula, baik subyek, obyek dan sistem pengusahaannya untuk dapat menjamin keberlanjutannya. Perbuatan-perbuatan hukum peralihan tersebut dapat berupa waris usaha tanah pertanian, jual-beli, sewa tanah pertanian,dll. </div><div align="justify"><br />Penggunaan secara ekonomis yang berkelanjutan atas tanah subur dapat menyangkut masalah luas minimal tanah pertanian dan sistem pengusahaannya. Asas penguasaan tanah pertanian dengan luas minimum 2 (dua) hektar, yang diatur dalam UULR bertujuan untuk supaya petani dan keluarganya dapat mencapai taraf penghidupan yang layak dan mencegah supaya tidak terjadi fragmentasi tanah pertanian (pemecahan) lebih lanjut. Namun aturan dalam pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Land Reform/UULR menyatakan "Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar...". Disamping itu jumlah petani gurem, yang menguasai tanah pertanian dibawah 0, 5 hektar semakin meningkat. Keadaan ini tidak kondusif. </div><div align="justify"><br />Oleh karena itu, mutlak adanya langkah kebijakan pertanian yang konstruktif, misal: petani adalah pelaku utama usaha pertanian yang mempengaruhi perdagangan, oleh karena itu diperlukan syarat-syarat khusus baik untuk kewajiban maupun hak-haknya. Berkaitan dengan itu Pemerintah perlu mulai membedakan mana kebijakan pertanian dan mana kebijakan jaminan kesejahteraan (era spesialisasi). Seharusnya petani golongan miskin tidak masuk dalam lingkup konsep kebijakan pertanian, tetapi masuk dalam kebijakan jaminan kesejahteraan sosial (Departemen Sosial). Andai saja pemerintah konsisten melaksanakan Konstitusi dan pelaksanaannya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional, maka seharusnya istilah "golongan miskin" merupakan kata tabu dalam kebijakan pemerintah. Di dalam negara yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, tugas itu bukan merupakan suatu pilihan, akan dilaksanakan atau tidak, tetapi suatu keharusan. </div><div align="justify"><br />Pemecahan masalah luas tanah pertanian sempit untuk dapat mencapai batas minimum atau lebih sebagai syarat usaha pertanian ekonomis yang berkelanjtan, dapat ditempuh beberapa alternatif pemecahannya seperti berikut : 1) Memberi pensiun terhadap petani yang sudah tua; 2) Memberi kompensasi bagi petani muda yang tidak tertarik lagi bekerja di bidang pertanian; 3) Membentuk "Pertanian Bersama", melalui penggabungan tanah pertanian dalam satu usaha pertanian dengan sistem manajemen modern, dengan jumlah tenaga kerja dan teknologi yang efektif dan efisien, sementara pemilik lainnya mendapatkan kompensasi berdasarkan perjanjian. </div><div align="justify"><br />Konsekwensi dari pemerintah yang mencita-citakan usaha pertanian yang berkelanjutan yaitu membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung terciptanya Petani yang profesional dan sejahtera sesuai dengan perkembangan zaman, mengikuti perkembangan teknologi, komunikasi, transportasi, globalisasi ekonomi, dll.. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />Pendaftaran Tanah Pertanian dan Struktur Pertanian</div><div align="justify"><br />Kebijakan Pendaftaran pemilikan, penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah pertanian serta pengusahaannya, secara komprehensif, mutlak diperlukan untuk adanya usaha pertanian yang berkelanjutan dan bermasa depan. Untuk itu data dan informasi mengenai lalu-lintas tanah pertanian, perbuatan-perbuatan hukum untuk peralihannya serta hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaannya diperlukan secara terus-menerus. </div><div align="justify"><br />Hal tersebut merunut pada program Land Reform, yang intinya menuntut perombakan "pemilikan dan/ atau penguasaan tanah pertanian" dan "hubungan-hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaannya", yang kedua variabel tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan untuk usaha pertanian yang berkelanjutan. Dengan demikian pemilikan tanah pertanian dan benda-benda yang ada di atasnya (untuk pengusahaannya) merupakan suatu kesatuan, bagian yang tak terpisahkan (menganut azas vertikal). Oleh karena itu kebijakan tanah pertanian mau tidak mau menuntut secara serentak-sekaligus melingkupi juga kebijakan-kebijakan seluruh faktor-faktor dalam struktur pertanian (Agrastruktur), baik faktor teknik (tanah sebagai sub-faktor), faktor ekonomi maupun faktor sosial, yang bekerjanya saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan untuk mencapai tujuan. </div><div align="justify"><br />Faktor teknik mencakup: kepastian hak-hak atas tanah, luas minimal dan maksimal tanah pertanian yang berkeadilan, hukum tanah dan turunannya: rencana sektor-sektor, penggunaan tanah, penataan ruang dan zonasi, perairan, peraturan-perundangan pertanian (hukum pupuk, hukum bibit, hukum kredit pertanian (yang tidak mengenal sita jaminan), hukum waris usaha pertanian, hukum perjanjian dalam pertanian, hukum koperasi pertanian, hukum ketenagakerjaan dalam pertanian, hukum anti monopoli bidang usaha pertanian, dan sebagainya). Selain itu juga organisasi administrasi agraria dan aparat pemerintah, serta organisasi non-pemerintah, kemudian faktor ekonomi yang mencakup perhitungan ekonomi pertanian (pengeluaran, pajak, ongkos-ongkos resiko, dan sebagainya), sistem perdagangan dari masing-masing produk pertanian (dalam negeri, regional maupun internasional). Kemudian faktor sosial yang berkaitan dengan sistem jaminan kesejahteraan petani, seperti jaminan pendapatan petani, jaminan kesehatan petani, jaminan hari-tua petani, jaminan kecelakaan-kerja, jaminan pemeliharaan, dan sebagainya. </div><div align="justify"><br />Dengan demikian kebijakan bagi-bagi tanah pada dasarnya hanya bagian "kecil" (tapi sangat penting dan mendasar), yang akan tidak banyak artinya jika tanpa kebijakan melekat dengan seluruh kebijakan pertanian yang seharusnya. Berdasarkan hal itu faktor-faktor dalam struktur pertanian tersebut dapat merupakan bahan dasar penelusuran untuk pengumpulan data fisik dan data yuridis yang diperlukan dalam pendaftaran tanah usaha pertanian yang berkelanjutan.<br />Perbedaan pendaftaran tanah untuk tanah pertanian dan non-pertanian belum dipikirkan dalam PP 24/1997, masih mencampur-adukkan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah pertanian dan non-pertanian. Hal ini logis karena sistem pendaftaran tanah yang berlaku adalah pendaftaran hak, hanya pendaftaran subyek dan obyek haknya, belum merupakan pendaftaran tanah yang sebenarnya, belum mengkaitkannya dengan sistem pemanfaatan dan pengusahaan ruang secara keseluruhan (pendaftaran tanah yang komprehensif). </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Obyek pendaftaran tanah yang wajib didaftarkan yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangungan, Hak Pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, tanah Negara, dan tidak menyinggung tanah pertanian yang sifatnya sementara, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan Hak Sewa tanah pertanian. Sementara hak-hak "sementara" ini masih berperan penting dalam kehidupan rakyat tani, yang masih banyak perjanjian diadakan dalam bentuk tidak tertulis berdasarkan kepercayaan. Padahal data dan informasi tersebut seharusnya sangat penting sebagai dasar untuk pengambilan strategi kebijakan pertanian dan kebijakan lainnya, misal kebijakan lapangan kerja, untuk kesejahteraan rakyat. </div><div align="justify"><br />Hak Gadai tanah pertanian merupakan obyek pendaftaran tanah menurut PP 10 tahun 1961, namun tidak lagi menurut PP 24/1997. Tiadanya sistem khusus pendaftaran tanah pertanian ini, menjadikan kebijakan Land Reform sebagai sesuatu yang "kosong", tidak konsisten, tidak rasional, jauh dari konstruktif. Bagaimana dapat mengontrol berlakunya asas-asas UUPA yang harus dihormati, seperti asas tanah pertanian harus dikerjakan secara aktif, asas larangan pemerasan terhadap pihak yang lemah, dan sebagainya, jika data dan informasi subyek dan obyeknya saja tidak jelas. </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Seperti pada sistem gadai tanah pertanian yang sudah berlangsung 7 tahun atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan, karena pemegang gadai tanah pertanian dianggap sudah cukup menikmati manfaat dari tanah gadai, jauh melebihi bunga yang layak dari uang yang diterima oleh yang empunya tanah (pasal 7 UU No. 56 /Perpu/ 1960, dikenal dengan Undang Undang Land Reform/UULR); Apakah ditaati aturan mengenai perjanjian bagi hasil, yang dilaksanakan secara tertulis dihadapan Kepala dari desa atau daerah yang setingkat dengan itu, tempat letak tanah yang bersangkutan (Kepala Desa) dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak penggarap dan pemilik tanah, kemudian perjanjian tersebut disyahkan oleh camat/ kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat yang setingkat dengan itu. Kepala desa mempunyai kewajiban mengumumkan dalam kerapatan desa mengenai semua perjanjian usaha bagi hasil setelah kerapatan terakhir. </div><div align="justify"><br />Perjanjian usaha bagi hasil diwajibkan dalam bentuk tertulis, yang berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak tersebut, bertujuan untuk supaya tidak timbul adanya keragu-raguan dan/ atau konflik dikemudian hari. Sedangkan pelaksanaan perjanjian dihadapan kepala desa dan disyahkan oleh Camat bertujuan untuk pengawasan preventif. Perjanjian bagi hasil tanah pertanian dapat terjadi pada pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak Gadai, dan dalam praktek dapat juga diatas tanah lungguh atau tanah bengkok. Penggarap dalam perjanjian bagi hasil yaitu petani perseorangan dengan tanah garapan maksimal 3 hektar, kecuali dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, atau Badan Hukum dengan ijin Menteri Muda Agraria atau pejabat yang ditunjuk olehnya, mis. Koperasi Tani untuk tanah terlantar, Perseroan Terbatas atau Yayasan untuk membuka tanah yang sangat luas dengan dasar untuk kepentingan desa atau kepentingan umum (UU 2/ 1960, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria no. 4/ 1964 yang mengatur tentang perimbangan pembagian hasil); Sementara hak sewa tanah pertanian belum diatur secara khusus. Disamping itu sistem yang ada menjadikan Desa dapat tidak mengetahui adanya transaksi tanah didesanya. </div><div align="justify"><br />Pendaftaran usaha (tanah) pertanian juga menghadapi masalah orientasi kebijakan yang tidak jelas, yang membedakan penguasaan tanah diatas hak privat dengan diatas tanah negara. Untuk penguasaan tanah pertanian dengan hak privat luas minimal 2 (dua) hektar dan luas maksimal 20 hektar (UULR), sedangkan penguasaan tanah pertanian diatas tanah negara dengan HGU 5 - 25 hektar (pasal 5 ayat 1 dan 2 PP 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah), sedangkan untuk badan hukum penguasaan luas maksimum tanah pertanian tidak ada batasnya. Lebih jauh lagi dalam UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan peluang penguasaan tanah pertanian untuk jangka waktu yang fantastis (UU ini sekarang sedang menjadi pekerjaan rumah Mahkamah Konstitusi), dan tidak boleh dilupakan juga bahwa HGU dapat diwariskan. Politik hukum penguasaan (usaha) tanah pertanian yang diskriminatif dan tidak berdasar ini sangat tidak berorientasi jika dikaitkan dengan tujuan UUPA, yaitu meletakkan dasar-dasar hukum agraria nasional untuk menjamin kesejaheraan rakyat, terutama rakyat tani. Lebih dalam lagi keadaan itu tidak kondusif jika dikaitkan dengan asas-asas hukum keadilan, kelayakan dan/ atau kepatutan serta kepastian hukum. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />Lembaga Waris Tanah Pertanian dan Waris Adat</div><div align="justify"><br />Lembaga waris usaha tanah pertanian yaitu sistem peralihan usaha tanah pertanian yang ekonomis dan berkelanjutan, dari pewaris ke ahli waris yang memenuhi syarat. </div><div align="justify"><br />Tujuan pengadaan lembaga waris usaha tanah pertanian seperti ini sebagai pengakuan profesionalitas petani yaitu untuk jaminan kesejahteraan petani (dan keluarganya) dan serta jaminan produk pertanian, baik kualitas maupun kuantitas, yang merupakan pendukung utama atau syarat adanya usaha tanah pertanian yang berkelanjutan. Petani yang sudah tua atau sakit-sakitan tidak dapat mengerjakan lagi tanah usaha pertaniannya, sehingga perlu dipikirkan keberlanjutan usaha tanah pertaniannya. Ahli waris dapat dari keturunan petani atau orang lain yang dipercaya oleh pewaris (melalui testamen dan/ orang yang dalam jangka waktu lama ikut bekerja mengusahakan tanah pertanian yang bersangkutan selama pewaris masih hidup). </div><div align="justify"><br />Sekarang ini banyak tanah pertanian yang dikerjakan oleh petani-petani tua (gerontonisasi), karena para anak muda tidak tertarik (lagi) bekerja di bidang pertanian, yang condong tidak menguntungkan dan penuh resiko. Situasi seperti ini dan memperhatikan sistem hukum UUPA, perlu adanya pembentukan sistem waris usaha tanah pertanian Indonesia yang dapat melandaskan diri pada sistem kewarisan adat (sistem matrilineal, patrilineal atau parental/ bilateral) dikaitkan dengan sistem kemasyarakatan (sistem mayorat atau minorat laki-laki atau perempuan). Disisi lain perlu juga adanya hukum waris usaha tanah pertanian yang berlaku nasional, sebagai kerangka hukum waris usaha pertanian Nasional, yang berlaku bagi daerah yang nantinya tidak mempunyai atau tidak dapat mengadakan hukum waris adat usaha tanah pertanian. Hanya saja untuk merealisasikan pemikiran pengadaan hukum tersebut masih banyak menghadapi kendala, karena dalam sistem hukum Nasional saja belum ada univikasi hukum waris Indonesia (masih dalam cita-cita), apa lagi hukum waris khusus usaha tanah pertanian. Hukum waris yang berlaku yaitu hukum waris adat, hukum waris yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat dan hukum waris berdasarkan hukum islam. Keadaan ini merupakan masalah tersendiri dalam Hukum Keluarga dan dapat menjadi potensi konflik pewarisan. Namun demikian dalam praktek masyarakat lebih condong memakai waris adat. </div><div align="justify"><br />Kewarisan dalam hukum adat pada intinya berarti pemindahan kekayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Sayuti Thalib, 1983), yang menonjolkan asas kemanfaatan, yang dalam sistemnya lebih memperhatikan anggota keluarga yang paling lemah (ekonominya). Pembagian waris dapat dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia. Disamping itu harta warisan merupakan suatu kesatuan, dengan demikian harta tanah usaha pertanian hanya sebagai bagian dari keseluruhan, dan diberikan kepada siapa yang paling bermanfaat. Pada umumnya tidak ada sistem khusus pewarisan tanah (pertanian) adat. </div><div align="justify"><br />Dalam pembentukan sistem waris usaha pertanian perlu diperhatikan peraturan-perundangan maupun praktek didalam masyarakat berkenaan dengan hak-hak yang sifatnya sementara (yang berasal dari hukum adat), seperti aturan jika pemegang gadai meninggal, haknya beralih pada ahli warisnya, penggarap yang meninggal dunia dalam perjanjian bagi hasil dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama (syarat ahli waris calon penggarap pada dasarnya yaitu orang tani, tidak menguasai tanah lebih dari 3 hektar, kecuali ada izin), namun jika pemilik tanah garapan meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil dapat hapus, dll.Aspek-aspek yang terkait dalam usaha tanah pertanian seperti terurai di atas dapat menjadi bahan penelusuran untuk pengadaan data dan informasi pembangunan pendaftaran tanah usaha pertanian yang berkelanjutan dan bermasa depan. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />BPN dan Peta Dasar</div><div align="justify"><br />Tanah merupakan permukaan bumi di daratan maupun dibawah air, termasuk ruang diatas maupun dibawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, yang mempunyai batas-batas tertentu, baik batas alam, batas administrasi, maupun batas-batas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya, sebagai matriks utama ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem spasial kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, yang dikelola untuk mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan, dalam harmoni sosial yang dinamis dan menjamin keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (BPN, Penilaian Tanah Dalam Politik dan Kebijakan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, 2007).</div><div align="justify"><br />Badan Pertanahan Nasional mendapat mandat dari Presiden untuk pelaksanaan tugas bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral (Peraturan Presiden no. 10 tahun 2006). Untuk melandasi tugas, tanggung-jawab dan kewenangannya tersebut BPN memberi definisi tanah seperti tersebut di atas, yang pada dasarnya suatu kewenangan pertanahan yang komprehensif (keagrariaan), yang pelaksanaan tugas dan kewenangannya, termasuk untuk menjalankan kewenangan pendaftaran tanah, tidak dapat lepas dari "kesiapan" dari perencanaan sektor-sektor lainnya, yang berhubungan dengan Land Use Planning yang berkelanjutan, serta konsistensi peraturan-perundangan yang melandasinya. </div><div align="justify"><br />Dengan demikian tanggung-jawab dan kewenangan itu pada dasarnya merupakan bagian dari permasalahan poitik, konsep dan strategi sistem reforma agraria Indonesia. Sedangkan salah satu sumber dasar dan utama permasalahan agraria yaitu tiadanya peta dasar yang satu, yang seharusnya berfungsi sebagai salah satu modal konstruksi kebijakan yang mutlak bagi instansi-instansi pemerintah untuk dapat menjalankan organisasinya dengan baik, baik dari fase perencanaan, keuangan, pelaksanaan sampai kontrol. </div><div align="justify"><br />Eksisnya multi peta dasar sulit atau tidak mungkin dipecahkan jika organisasi administrasi ke-agraria-an masih seperti sekarang ini dan tanpa perubahan, karena berkaitan dengan sejarah, kekuasaan -"domain"-, kewenangan, hukum dan tanggung jawab masing-masing instansi yang mempunyainya, yang berpotensi overlapping kekuasaan dan/ atau kewenangan atas suatu tanah dan konflik pertanahan. Dengan demikian kegiatan pendaftaran tanah menghadapi permasalahan yang tidak ringan. </div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />Penutup</div><div align="justify"><br />Lembaga pendaftaran usaha tanah pertanian, yang menjamin kepastian hukum, masih banyak menghadapi kendala mendasar yang harus diselesaikan terlebih dahulu, seperti konsep usaha pertanian yang berkelanjutan, peta dasar yang satu, perencanaan sektor-sektor dan tata ruang serta zonasi yang stabil, organisasi adminisrasi agraria, kebijakan carut-marut ke-agraria-an, dan seterusnya. Sementara kebijakan Land Reform belum mempunyai "roh" nya, baik untuk subyek, obyeknya maupun sistemnya. Oleh karena itu, perlu adanya langkah rasional dan konkrit dari Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan agraria yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Untuk merealisasikannya, kiranya akan sangat sulit atau tidak mungkin jika tidak ada perubahan yang revolusioner terhadap keadaan aparat-pemerintah yang terperangkap dalam kondisi dan suasana organisasi administrasi ke-agraria-an yang memaksa egocentris (egoisme sektoral, egoisme intern-sektoral, jiwa kedaerahan yang berlebihan, dll.). Kunci permasalahan pertama yang harus dipecahkan untuk pendaftaran tanah yang berkelanjutan dan menjamin kepastian hukum yaitu pengadaan peta dasar yang satu sebagai landasan hak menguasai negara oleh Pemerintah sebagai kesatuan. </div><div align="justify"><br />[Indonesia adalah negara agraria. Ironis, bahwa justru kaum petani banyak kehilangan sawah yang mereka tanami karena lahan pertanian tersandung permasalahan pendaftaran dan bisa diambil alih oleh pihak yang secara hukum dinyatakan lebih mempunyai 'hak'. Bagaimana hal ini bisa terjadi dan bagaimana rekomendasi penyelesaian pendaftaran tanah pertanian yang dapat menjamin kesejahteraan petani ?</div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-88436289260550124782009-04-08T01:06:00.000-07:002009-04-08T01:07:04.467-07:00EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA DENGAN AKTA DIBAWAH TANGAN<div align="justify">EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA DENGAN AKTA DIBAWAH TANGAN<br /><br />Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, akan memiliki kekuatan eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia (cidera janji) kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.<br /><br />Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan?<br /><br />Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).<br /><br />Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan (butuh keterangan dan pengakuan dari para pihak dalam akta). Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dibuat dengan akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang.<br /><br />Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. <br /><br />Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal kenderaan bermotor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.<br /><br />Namun, fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan oleh karena itu fidusia sebagai jaminan kebendaan tidaklah lahir, dengan demikian kreditor tersebut bukanlah kreditor pemegang jaminan kebendaan.<br /><br />Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.<br /><br />Akibat Hukum<br />Jaminan Fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang kompleks dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 BW dan dapat digugat ganti kerugian.<br /><br />Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:<br />1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.<br />2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.<br /><br />Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.<br /><br />Bahwa pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor. <br /><br />Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena fidusia tersebut tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan oleh kreditor atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”., tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.<br /><br />Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan pelayanan yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman.<br /><br />Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.<br /><br />Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.<br /><br />Proses Eksekusi<br />Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi sendiri. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.<br /><br />Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting dan mendesak.<br /><br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-75151842978705119082009-04-08T00:34:00.000-07:002009-04-08T00:41:39.779-07:00KEDUDUKAN HUKUM KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI AKIBAT HAPUSNYA HAK ATAS TANAH YANG DIAGUNKANBAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />1. Latar Belakang Masalah dan Rumusannya<br /><br />Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, salah satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan permohonan kredit yang diberikan perbankan nasional. Peranan bank seperti yang tersurat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) yaitu sebagai penyalur dana untuk masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dapat digunakan sebagai tambahan dana yang diperlukan bagi kegiatan usaha para nasabah debitur, tambahan dana tersebut sangat menunjang kegiatan bisnis pada khususnya dan kegiatan ekonomi pada umumnya. <br /><br />Penyaluran kredit kepada masyarakat sebagai pelaku usaha, selaku debitor, penuh dengan resiko kemacetan dalam pelunasannya. Agar dapat mengurangi risiko kemacetan dalam penyaluran kredit diperlukan adanya lembaga jaminan sebagai sarana pengaman. Di dalam pasal 8 UU Perbankan telah ditegaskan bahwa dalam menyalurkan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor mengembalikan hutang (kredit) sebagaimana yang dijanjikan.<br /><br />Dalam peraturan perundang-undangan telah memberikan pengaman kepada kreditor dalam menyalurkan kredit kepada debitor, yakni dengan memberikan jaminan umum menurut Pasal 1131 dan 1132 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW), yang menentukan bahwa semua harta kekayaan (kebendaan) debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan kreditor. Apabila terjadi wanprestasi maka seluruh harta benda debitor dijual lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor . Namun perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan belum memberikan rasa aman bagi kreditor, sehingga dalam praktik penyaluran kredit, bank memandang perlu untuk meminta jaminan khusus terutama yang bersifat kebendaan.<br /><br />Permintaan jaminan khusus oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan realisasi dari prinsip kehati-hatian bank sebagaimana ditentukan UU Perbankan . Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling dominan dan dianggap strategis dalam penyaluran kredit bank. Jaminan kebendaan yang paling banyak diminta oleh bank adalah berupa tanah karena secara ekonomis tanah mempunyai prospek yang menguntungkan. <br /><br />Kelahiran Hak Tanggungan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya cukup disebut UUHT) dapat mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat. UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, didalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, sebagai berikut :<br />“Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain”<br /><br />Unsur pokok hak tanggungan yang terkandung definisi tersebut diatas adalah:<br />1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.<br />2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.<br />3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanah tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.<br />4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.<br />5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.<br /><br />Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Kreditor tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.<br /><br />Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian “kedudukan yang diutamakan kepada kreditor-kreditor lain” tidak dijumpai di dalam penjelasan Pasal 1 tersebut, tetapi dijumpai di bagian lain dalam UUHT, yaitu di dalam Angka 4 Penjelasan Umum UUHT. <br /><br />Dijelaskan dalam Penjelasan Umum itu bahwa yang dimaksud dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain” ialah : “bahwa jika kreditor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.<br /><br />Hal itu juga dapat diketahui dari ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT yang intuisi dinyatakan bahwa apabila debitor cidera janji, maka :<br />a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau<br />b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),<br /><br />Objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.<br />Pasal 8 ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, Hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yag telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan . <br /><br />Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada dikemudian hari. <br /><br />Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh UUHT sebagai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.<br /><br />Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat dibebani pula dengan Hak Tanggungan tidak terbatas kepada benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (4) UUHT), tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat (5) UUHT). <br /><br />Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada dikemudian hari.<br /><br />Pengertian “yang baru akan ada” yang dimaksud dalam pasal tersebut diatas ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang dibebani Hak Tanggungan tersebut.<br /><br /> Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah) tersebut. <br /><br />Pasal 18 UUHT menetapkan bahwa peristiwa-peristiwa apa saja yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Dari cara penyebutannya, orang bisa menyimpulkan, bahwa yang menjadi maksud dari pembuat Undang-undang untuk menentukan secara limitatif peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.<br /><br />Salah satu peristiwa yang menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1d) UUHT, bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah. Hapusnya hak atas tanah dapat ditafsirkan fisik tanah/persilnya yang hapus maupun “hak” atas tanahnya. Hapusnya tanah dalam arti fisik jarang sekali terjadi dan hanya bisa terjadi karena tanah tersebut tertimbun total, misalnya oleh tanah lain sebagai akibat letusan gunung berapi atau tertutup air, atau karena gerusan air sungai sebagai akibat berpindahnya alur air, sehingga merendam tanah yang bersangkutan, atau terkena tsunami seperti bencana yang terjadi di Aceh atau dapat pula yang terjadi karena perbuatan yang disengaja seperti pada perendaman desa untuk pembuatan waduk.<br /><br />Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya waktu, untuk mana hak itu diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya daripada hak milik seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai terbatas waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada yang bersangkutan kembali atau pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada kekuasaan negara.<br /><br />Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dimunculkan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :<br />a. Upaya apa yang dapat dilakukan kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan ?<br />b. Apa akibat hukumnya bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila hak atas tanah yang diagunkan menjadi hapus ?<br /><br /><br />2. Tujuan Penelitian<br />a. Upaya yang dapat dilakukan kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan;<br />b. Akibat hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila hak atas tanah yang diagunkan menjadi hapus.<br /><br /><br />3. Manfaat Penelitian<br /><br />a. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini masyarakat semakin paham bahwa kedudukan bank sebagai penyalur dana untuk masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dapat digunakan sebagai tambahan dana yang diperlukan bagi kegiatan usaha para nasabah debitur.<br />b. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini masyarakat semakin paham bahwa pihak bank ketika akan menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit sangat memerlukan adanya jaminan sebagai upaya untuk mengantisipasi adanya kemacetan dalam pelunasan kredit tersebut.<br /><br />4. Kajian Pustaka<br /><br />Pengertian hukum jaminan tidak pernah ditemukan dalam perundang-undangan maupun literatur. Didalam literatur memang sering ditemukan istilah zekerheidsrechten, yang memang bisa diterjemahkan menjadi hukum jaminan. Akan tetapi hendaknya diingat bahwa kata recht di dalam bahasa Belanda dan Jerman bisa mempunyai arti yang bermacam-macam. <br /><br />Pertama recht bisa berarti hukum (law), tetapi juga hak (right) atau keadilan (just). <br />Pitlo memberikan perumusan tentang zekerheidsrechten sebagai hak (een recht) yang memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik daripada kreditor-kreditor lain. Dari apa yang dikemukakan Pitlo tersebut diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa kata “recht” dalam istilah “zekerheidsrechten” berarti “hak”, sehingga zekerheidsrechten adalah hak-hak jaminan, bukan “bukan hukum jaminan”, maka mungkin dapat diartikan sebagai : peraturaan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitor.<br /><br />Prof. Subekti dalam karangannya yang berjudul “Suatu Tinjauan tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional”, juga mengatakan “Kalau kita ingin mencari sistem Hukum Jaminan Nasional”, maka yang dimaksudkan adalah mencari kerangka dari seluruh perangkat “peraturan” yang mengatur tentang jaminan dalam hukum nasional kita dikemudian hari”. <br /><br />“Kedudukan yang lebih baik” disini sebagaimana disebutkan perumusan Pitlo tersebut diatas adalah lebih baik di dalam usahanya mendapatkan pemenuhan (pelunasan) piutangnya dibanding dengan para kreditor yang tidak mempunyai hak jaminan. Atau dengan perkataan lain pemenuhan piutangnya menjadi lebih terjamin, tetapi bukan berarti pasti terjamin. Jadi, perbandingannya adalah antara kreditor yang mempunyai hak jaminan dengan kreditor yang tidak mempunyainya. Kelebihannya adalah dipunyainya kedudukan yang lebih baik dalam upayanya untuk memperoleh pemenuhan.<br /><br />Prof. Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya “Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Perbankan “dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kreditor menginginkan untuk tidak sama dengan kreditor-kreditor lain, karena kedudukan yang sama dengan kreditor-kreditor lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan kreditor-kreditor lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitor, apabila debitor cidara janji”. <br /><br />Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditor yang bersangkutan tidak akan pernah tahu yang mungkin muncul dikemudian hari. <br /><br />Makin banyak kreditor dari debitor yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitor menjadi berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar utang-utangnya). <br /><br />Akibatnya ada, kemungkinan dinyatakan pailit dan harta kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh Undang-undang seperti Hipotik dan Gadai, adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditor tertentu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain. Hal tersebut juga menjadi tujuan dari eksistensi Hak Tanggungan yang diatur UUHT. Kreditor-kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain, disebut kreditor konkuren. Sedangkan kreditor yang mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain, disebut kreditor preferen. <br /><br />Dengan demikian, asas persamaan kedudukan kreditor terdapat pengecualian-pengecualian yaitu : dalam hal seorang kreditor mempunyai hak-hak jaminan khusus ialah hak yang memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik dibanding kreditor lain dalam pelunasan tagihannya.<br /><br />Hak jaminan khusus, seperti jaminan umum, tidak memberikan jaminan bahwa tagihannya pasti dilunasi, tetapi hanya memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik dalam penagihan, lebih baik daripada kreditor konkuren yang tidak memegang hak jaminan khusus atau dengan perkataan lain kreditor preferen relatif lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya. “Kedudukan yang lebih baik” diantara para kreditor yang mempunyai hak jaminan khusus, tidak sama, bergantung dari macam hak jaminan khusus yang dipunyai olehnya.<br /><br />Hak Jaminan khusus atau kedudukan yang lebih baik adanya dapat karena :<br />1. Diberikan oleh undang-undang,<br />2. Diperjanjikan.<br /><br />Selain dari pembedaan hak-hak jaminan khusus ke dalam hak-hak jaminan yang seperti tersebut di atas, doktrin masih mengenal pembagian lain :<br />1. Hak jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidscrechten)<br />2. Hak jaminan perorangan (persoonlijke zekerheidscrechten)<br /><br />Selain hak jaminan khusus seperti tersebut di atas, masih ada yang dinamakan hak istimewa (privilege) dan sesuai perkembangan zaman, dalam praktik adanya jaminan lain yang tidak dapat dimasukan ke dalam salah satu kelompok tersebut, yaitu jaminan dalam wujud surat pensiun, slip gaji, dan lain-lain yang berupa jaminan benda tertentu/sekelompok benda tertentu, tetapi tidak mempunyai sifat jaminan kebendaan. Hak-hak jaminan yang diatur dalam Buku II dan Buku III BW adalah hak-hak kekayaan, hak-hak yang mempunyai nilai ekonomis dan bisa laku jika diperjualbelikan, sedang surat pensiun dan slip gaji bersifat sangat pribadi, sehingga sulit untuk dimasukkan dalam kelompok jaminan kebendaan. Dengan demikian benda-benda tersebut mempunyai ciri yang berbeda dari ciri jaminan kebendaan pada umumnya, yaitu sifat yang dapat dieksekusi, sifat yang memungkinkan benda itu untuk dijual dan mendapatkan pembeli.<br /><br />Dengan demikian pembagiannya, ditambah menjadi :<br />“Hak jaminan kebendaan”<br />“Hak jaminan perorangan”<br />”Hak jaminan lain” .<br /><br />Dengan perumusan jaminan khusus seperti tersebut diatas, maka pembahasan hak jaminan khusus dapat mencakup bidang yang lebih luas lagi dan sesuai dengan kenyataan praktik sekarang ini dimana orang dapat memperoleh kredit dengan jaminan benda-benda, yang tidak dapat dialihkan kepada dan tidak mempunyai nilai ekonomis bagi pihak ketiga dan karenanya dikatakan jaminan yang mempunyai nilai uang. Walaupun ijazah berkaitan erat sekali dengan pemiliknya, sehingga bagi orang lain tidak mempunyai arti ekonomis, namun harus diakui bahwa kreditor yang memegang ijazah sebagai jaminan mempunyai kedudukan yang lebih baik daripada kreditor biasa tanpa jaminan khusus seperti itu karena kreditor preferen tersebut mempunyai sarana penekan secara psikologis yang memberikan kepadanya kemingkinan lebih besar untuk mendapat pelunasan dengan lebih mudah dan lebih dahulu daripada kreditor konkuren yang lain.<br /><br /><br />5. Metode Penelitian<br /><br />a. Pendekatan Masalah<br />Penelitian ini merupakan penelitian hukum, karena ilmu hukum memiliki karakter yang khusus (merupakan suatu sui generis discipline) . Penelitian ini menggunakan statute approach dan conceptual approach. Statute approach dalam artian permasalahan tersebut akan ditinjau secara khusus sesuai hukum positif yang berlaku dan berkaitan dengan pokok masalah yang penulis bahas. Sedangkan conceptual approach didasarkan pada pendapat para sarjana yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.<br /><br />b. Sumber Bahan Hukum<br />Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas yaitu BW, UUHT, UU Perbankan, UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Untuk selanjutnya cukup disebut PP No.40 Tahun 1996).<br />Bahan hukum sekunder berupa buku-buku literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.<br />c. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum<br />Cara pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpul data yaitu studi kepustakaan atau dokumentasi.<br />Studi kepustakaan atau dokumentasi<br />Studi kepustakaan atau dokumentasi tersebut dilakukan untuk memperoleh bahan hukum sekunder yang meliputi :<br />a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, yakni : BW, UUHT, UU Perbankan, Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia (untuk selanjutnya cukup disebut UU Fidusia), dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai;<br />b. Bahan hukum sekunder, adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, teori para sarjana yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas, jurnal, majalah, surat kabar dan lain-lain.<br />Dari hasil penelitian yang diperoleh dari studi kepustakaan, disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai asas-asas hukum, norma-norma hukum mengenai hukum.<br /><br />6. Pertanggungjawaban Sistematika<br /><br />Sistematika pada penulisan tesis ini dibagi dalam empat bab. Bab I memaparkan secara singkat masalah yang merupakan pokok batasan dalam bab berikutnya. Penulis menempatkan pendahuluan pada awal bab I yang berisi penulisan tesis ini secara garis besar. Pendahuluan berisi tentang latar belakang dan rumusan masalah yang terdiri dari asumsi dan alasan kuat bahwa suatu permasalahan layak untuk dikaji. Pada bab ini dapat diketahui uraian mengenai tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber bahan hukum dan prosedur pengumpulan dan pengolahan bahan hukum. Kemudian diakhiri dengan pertanggungjawaban sistematika.<br />Pada bab II, penulis akan menguraikan upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang hak tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan. Untuk menjawab hal tersebut maka penulis membahas Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai Perjanjian Kebendaan, janji-janji dalam Pasal 11 UUHT, lembaga kuasa sebagai penangkal risiko, pengansuransian, pemeliharaan nilai obyek Hak Tanggungan dan jaminan tambahan.<br />Pada bab III, penulis akan membahas akibat hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila hak atas tanah yang diagunkan menjadi hapus. Menjawab permasalahan tersebut, penulis akan membahas hak atas tanah sebagai obyek Hak Tanggungan, batas waktu hak atas tanah dan hapusnya hak atas tanah objek Hak Tanggungan dan akibat hukumnya..<br />Pada bab IV, penulis akan menguraikan penutup dari keseluruhan penulisan tesis ini yang berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan sekaligus merupakan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan pada rumusan masalah. Pada akhir bab IV penulis mengemukakan saran-saran yang relevan dengan permasalahan yang penulis kemukakan pada bab I.<br /><br />BAB II<br />UPAYA HUKUM KREDITOR SEBAGAI PENANGKAL RISIKO<br /><br />1. Akta Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Perjanjian Kebendaan<br /><br />Hak harta kekayaan secara traditioneel dipisahkan dalam hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dan hak-hak pribadi (persoonlijke rechten). Hak kebendaan kerapkali diberi defenisi sebagai suatu hak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tertentu, sedangkan hak pribadi didefinisikan sebagai suatu hak atas seseorang tertentu. Singkatnya : suatu hak atas tanah suatu benda berhadapan dengan suatu hak terhadap sesorang . Setiap hubungan hukum (rechtsrelatie) menurut sifatnya adalah hubungan antara orang-perorang (personen). Juga suatu hak kebendaan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang yang berhak dengan orang-orang lain. Suatu kenyataan bahwa suatu hak kebendaan yang mempunyai hubungan atas suatu benda, tidaklah menentukan pembedaan antara hak-hak pribadi dan hak kebendaan. Ini adalah kejadian dalam hubungannya untuk pembatasan dari hak-hak kebendaan atas yang lain, yaitu hak-hak absolute yang bukan kebendaan. Hak pengarang (auteurecht), hak cipta (octrooirecht) dan lain-lain yang sama, adalah mutlak, akan tetapi bukanlah hak-hak kebendaan, oleh karena yang menjadi sasarannya bukanlah benda, akan tetapi suatu hasil karya kesusasteraan, ilmu pengetahuan atau seni dan suatu penemuan cara kerja baru atau produk baru. Kebendaan hanyalah hak-hak dimana yang menjadi sasarannya itu suatu benda. Benda disini ialah dalam pengertian luas dari bagian harta kekayaan (benda-benda yang bertubuh) dan hak-hak harta kekayaan. Jadi hak-hak kebendaan misalnya eigendom dari suatu sepeda, tetapi juga hypotheek atas suatu hak guna usaha (erpachtsrecht) dan guna hasil (vruchtgebruik) dari suatu hak tagihan (vorderingsrecht). Yang tidak kebendaan sebagai kebalikannya adalah suatu hak cipta (octrooirecht), karena ini bukan suatu benda bertubuh, juga bukan suatu hak atas suatu object (tidak punya object) .<br />Hak-hak pribadi adalah relatif artinya hak-hak itu hanya mengikat seseorang atau beberapa orang-orang tertentu. Asas ini dinyatakan dalam pasal 1340 BW :<br />“ suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya “.<br />Bilamana B meminjam Rp. 100.000,- dari A dan berjanji untuk mengembalikan jumlah tersebut pada tanggal 5 Juni, maka hanya B lah yang terikat atas janji ini dan A hanya dapat melakukan haknya ini terhadap B. Sedangkan sifat kemutlakan dari suatu hak kebendaan menjadi jelas apabila dilihat dari sudut pasifnya. Secara negatif setiap orang terikat pada suatu hak kebendaan, jadi setiap orang dilarang melakukan pelanggaran atas suatu hak kebendaan. Hak milik A atas suatu sepeda ditinjau dari sudut A sebagai suatu hak ekslusif sebagai gambaran menunjukan, bahwa setiap orang diwajibkan untuk tidak melanggar hak tersebut. Sementara sifat kemutlakan itu mempunyai aspek rangkap (een dubbel aspect) :<br />a. Orang yang berhak atas kebendaan ( de zakelijk gerechtidge) dengan suatu gugat kebendaan (een zakelijke actie) dapat bertindak terhadap siapapun yang mengganggu hak itu. Pada waktu A tidak ada dirumah, X, Y, Z, menempati rumah A tersebut. Terhadap pelanggaran atas hak eigendomnya, yang dilakukan oleh X, Y, Z, A dapat memaksa ketiga tersebut untuk mengosongkan rumah itu ( lihat pasal 574 BW ).<br />b. Suatu hak kebendaan tetap melekat pada benda itu, juga apabila benda itu berada di tangan orang lain ( zaaksgevog).<br />Dari toko A telah dicuri oleh X suatu partai tekstil. A tetap menjadi pemilik, walaupun barang-barang tersebut terdapat ditangan X.<br />A adalah pemilik dari suatu perceel tanah peladangan ( akkerland ), yang hak guna usahanya (erfpacht) dia berikan kepada B. A menjual dan menyerahkan tanah tersebut kepada X. Hak guna usaha milik B adalah suatu hak kebendaan, karenanya tetap melekat pada tanah itu juga, meskipun hak miliknya telah berpindah ke tangan orang lain. X harus menghormati hak guna usaha B.<br />Kebalikan daripada ini, hak-hak pribadi (persoonlijke rechten) pada umumnya kehilangannya droit de suite-nya (zaaksgevog) : A adalah pemilik satu perceel tanah peladangan (akkerland) yang dipinjamkan kepada B. A menjual dan menyerahkan tanah itu kepada X. Hak pribadi B timbul dari pinjam meminjam hanya berlaku terhadap A. Artinya, hak tersebut tidak mempunyai droit de suite. Jadi, dengan demikian X tidak terikat pada B .<br />Perjanjian perorangan tidak banyak digunakan oleh kalangan perbankan, disebabkan hanya melahirkan hak perseorangan yang bersifat relatif dan kedudukan kreditor sekedar sebagai kreditor konkuren. Hak ini jelas tidak memberikan banyak keistimewaan bagi kedudukan seorang kreditor, sebab dalam hak relatif ini hanya berlaku asas kesamaan, maksudnya bank selaku kreditor mempunyai posisi yang sederajat dengan kreditor lainnya . Pola seperti ini tentu saja kurang berkenan bagi para pelaku ekonomi yang menginginkan rambu pengaman.<br />Penyediaan atas benda obyek jaminan dalam perjanjian kebendaan adalah untuk kepentingan dan keuntungan kreditor tertentu yang telah memintanya, sehingga memberikan hak atau kedudukan istimewa bagi kreditor tersebut . Pada hakekatnya, jaminan kebendaan ialah membebani suatu benda tertentu dengan lembaga jaminan tertentu, sehingga apabila seorang debitor tidak melunasi utangnya kepada kreditor, maka sang kreditor dapat menuntut pelunasan piutangnya, dari hasil perolehan dari penjualan didepan umum (lelang/eksekusi) atas benda tertentu tadi , maka dapat dikatakan bahwa jaminan kebendaan sebagai salah satu perlindungan hukum bagi kreditor, manakal debitor cidera janji, sebagai kepastian akan pelunasan piutang, maka benda tertentu yang dijaminkan tersebut dapat dijual di depan umum untuk diuangkan, agar hasil perolehan penjualan tersebut diserahkan kepada kreditor sesuai hak tagihnya. Perjanjian jaminan kebendaan selalu merupakan perbuatan memisahkan suatu bagian dari kekayaan seseorang yang bertujuan untuk menjaminkan dan menyediakan bagi pemenuhan kewajiban seorang debitor. Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolut) atas suatu benda tertentu yang menjadi obyek jaminan suatu utang, yang suatu waktu dapat diuangkan bagi pelunasan utang debitor apabila debitor cidera janji. Subekti memberikan pengertian jaminan kebendaan sebagai berikut : “Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan, dan meyediakannya guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) seorang debitor”. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, kekayaan tersebut dapat merupakan kekayaan debitor sendiri atau kekayaan orang ketiga.<br />“kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan si debitor sendiri atau kekayaan seorang ketiga. Penyendirian atau penyediaan secara khusus itu diperuntukan bagi seorang kreditor tertentu yang telah memintanya, karena bila tidak ada penyendirian atau penyediaan secara khusus itu, bagian dari kekayaan tadi, seperti halnya seluruh kekayaan si debitor. Dengan demikian maka pemberian jaminan kebendaan kepada seorang kreditor tertentu memberikan kepada kreditor tersebut suatu privilege atau kedudukan istimewa terhadap para kreditor lainnya”.<br /><br />Keberadaan perjanjian kebendaan ini merupakan perjanjian tambahan yang dimaksudkan untuk mendukung secara khusus perjanjian terdahulu telah disepakati oleh para pihak, namun hanya memiliki sifat relatif. Pada umumnya diakui bahwa segala sesuatu yang memperoleh dukungan akan menjadi lebih kokoh ketimbang saat sebelumnya ketika tidak ada pendukungnya, maksudnya perjanjian utang piutang kedudukannya akan semakin kokoh manakala didukung oleh perjanjian jaminan terutama adanya perjanjian kebendaan. Begitu pula kalau perjanjian obligatoir termasuk perjanjian kredit yang bermula sekedar memiliki sifat relatif, sehingga kreditornya hanya berposisi sebagai kreditor konkuren, kalau kemudian didukung oleh perjanjian jaminan yang memiliki sifat kebendaan, mengakibatkan kreditor yang bersangkutan berubah posisi menjadi kreditor preferen dengan hak-hak yang lebih istimewa . Lahirnya jaminan kebendaan ini yang adalah gadai dan hipotek, baru ada kalau diperjanjikan oleh para pihak. Kalau para pihak membuat perjanjian gadai, maka lahirlah hak gadai bagi kreditornya. Begitu pula kalau para pihak membuat jaminan hipotek, maka kreditor akan memiliki hak hipotek. Hak jaminan yang dimiliki oleh kreditor ini adalah hak gadai dan hak hipotek yang bersifat sebagai kebendaan, karena lahir bukan dari perjanjian obligatoir Buku II BW, tetapi lahir dari perjanjian kebendaan. Karena berkedudukan sebagai hak kebendaan, maka ia dilekati sifat mutlak dalam arti dapat ditegakan terhadap siapapun, tidak seperti hak relatif yang hanya dapat ditegakkan pada pihak tertentu saja. Pada perjanjian kebendaan, perjanjian ini tidaklah lahir dari hak dan kewajiban sebagaimana dalam perjanjian obligatoir yang diatur oleh Buku III BW, dari perjanjian jaminan ini hanyalah lahir hak kebendaan bagi salah satu pihak, yakni mereka yang berposisi sebagai penerima jaminan. Pada sisi lain justru melahirkan kewajiban yang sifatnya lebih menyebar, tidak saja mengikat kontrak, tetapi juga pihak-pihak lain yang bukan merupakan suatu keistimewaan yang melekat pada jenis perjanjian kebendaan . Hak kebendaan yang terlahir dari perjanjian kebendaan adalah hak preferen yang dikandung dalam jaminan kebendaan memberikan kedudukan istimewa bagi para kreditor. Sebagai kreditor preferen, mereka memiliki pengambilan pelunasan piutang dari benda obyek jaminan. Bahkan apabila debitor pailit para kreditor ini dapat bertindak terhadap benda obyek jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan, benda obyek jaminan tidak dimasukan kedalam harta kepailitan (boedel pailit), kreditor preferen disini merupakan kreditor separatis . Keistimewaan jaminan kebendaan tidak saja memberikan preferensi melainkan terkandung sifat absolute, droit de suite, dan asas prioritas. Sifat-sifat hak kebendaan tersebut dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi penyedia dana (kreditor) .<br />Lembaga Hak Tanggungan yang diatur oleh UUHT adalah dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut Hipotik) sebagaimana diatur dalam Buku II BW sepanjang mengenai tanah dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staasblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 UUPA, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya UUHT tersebut. Di dalam Penjelasan Umum UUHT, ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai Hipotik dan Credietverband berasal dari zaman colonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam UUPA dan dimaksudkan untuk diberlakukan hanya sementara waktu, yaitu sambil menunggu terbentuknya undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 51 UUPA. Ketentuan tentang Hipotik dan Credietverband itu tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya, ialah timbul perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbgai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Misalnya, mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan (Penjelasan Umum UUHT) . Hak Tanggungan merupakan salah satu jenis dari hak jaminan disamping Hipotik, Gadai dan Fidusia. Hak jaminan dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak utama kepada seorang kreditor tertentu, yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila debitor cidera janji. Hak Tanggungan hanya menggantikan Hipotik sepanjang yang menyangkut tanah saja. Hipotik atas kapal laut dan Hipotik atas pesawat udara juga berlaku Gadai dan jaminan sebagai hak jaminan. Dengan demikian, ada beberapa jenis hak jaminan dengan nama yang berbeda-beda, tetapi asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokoknya boleh dikatakan sama. Hal ini akan sangat membingungkan bagi mereka, lebih-lebih bagi orang asing yang ingin atau harus mempelajari hukum Indonesia mengenai hak-hak jaminan tersebut .<br />Ada beberapa prinsip yang berlaku bagi Hak Jaminan, seperti pada Gadai, Hipotik, Hak Tanggungan dan Fidusia. Hak Tanggungan adalah pengganti Hipotik yang khususnya mengatur tentang hak atas tanah dan Credietverband yang dimungkinkan ada persamaan prinsip-prinsip yang mendasari Hak Tanggungan tersebut. Hukum jaminan merupakan bagian dari hukum benda yang juga mengacu pada hak kebendaan sebagai asas organik yang bersifat umum konkrit, terdiri atas asas publisitas, asas spesialis, asas totalitas, asas asensi perlekatan, asas konsisitensi, asas pemisahan horizontal dan asas perlindungan hukum . Oleh karena itu perlu adanya pembahasan terhadap prinsip-prinsip Hak Tanggungan tersebut mendasarkan pada prinsip hukum jaminan.<br />1. Prinsip Absolut/Mutlak<br />Jaminan yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia secara garis besar mempunyai sejumlah asas yang antara lain mempunyai sifat kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 528 BW. Dimaksud dengan hak kebendaan (zakelijkrecht), ialah hak mutlak atas sesuatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga . Menurut Sri Soedewi Sofwan, hak kebendaan ini adalah absolut. Artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang, Pemegang hak itu berhak menuntut (vorderen) setiap orang yang menggangu haknya. Dilihat secara pasif, setiap orang wajib menghormati hak itu . Berbeda dengan hak perorangan yang adalah relatif, artinya hak itu hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, dan hanya dapat dipertahankan melakukan tuntutan (vordering) terhadap debitor tertentu wajib melakukan prestasi terhadap pemilik hak (Persoonlijk gerechtgide) . Pada kenyataannya bahwa suatu hak kebendaan yang mempunyai hubungan atas suatu benda, tidak menentukan pembedaan antara hak pribadi dengan hak kebendaan. Seperti halnya dalam hubungannya untuk pembatasan dari hak-hak kebendaan yang merupakan hak yang bersifat absolut yang bukan kebendaan.<br />Berkaitan dengan UUHT, apakah tergolong sebagai hak kebendaan yang mempunyai sifat absolut atau bukan, maka perlu mengetahui apa yang dimaksudkan dengan Hak Tanggungan. Pada Pasal 1 ayat (1) UUHT yang menyebutkan :<br />“ Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutmakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.<br /><br />Singkatnya yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat unsur-unsur esensial, yang merupakan sifat dan ciri-ciri dari Hak Tanggungan, yaitu :<br /> Lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu;<br /> Pembebanannya pada hak atas tanah;<br /> Berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah;<br /> Memberikan kedudukan yang preferent kepada kreditornya.<br />Bahwa dari pasal tersebut ternyata tidak secara tegas menyebutkan adanya hak kebendaan. Hal ini dapat dipahami karena UUPA dijiwai oleh hukum adat yang tidak mengenal adanya pembedaan antara hak kebendaan dan hak perorangan . Namun Boedi Harsono berpendapat bahwa meskipun UUPA tidak mengenal sifat kebendaan tetapi sifat kebendaan itu dapat diberikan kepada hak-hak atas tanah yang terdapat di dalam UUPA. Sedangkan Gouw Giok Siong menyatakan bahwa sifat kebendaan itu ada karena pemilik hak-hak tersebut mempunyai wewenang untuk mengalihkan atau mengasingkan. Mariam Darus Badrulzaman menambahkan, bahwa UUPA mengenal hak kebendaan bukan hanya pemilik mempunyai untuk mengalihkan atau mengasingkan tetapi hak-hak juga itu tunduk pada pendaftaran. Lembaga pendaftaran inilah yang menjadi ukuran lahirnya hak kebendaan. Pendaftaran tanah dalam UUPA menunjukan sifat kebendaan itu merupakan bawaan lahir dari UUPA dan bukan sifat yang diberikan. Selanjutnya dikatakan bahwa sifat kebendaan dalam UUPA mengakibatkan tidak ada masalah kalau hak Hipotik sesudah berlakunya UUPA merupakan hak kebendaan, sebab baik UUPA maupun Hipotik, kedua-duanya mengenal sifat kebendaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan sifat-sifat umum Hipotik dapat diambil alih sebagai sifat-sifat umum sesudah UUPA . Pendapat Mariam Darus Badrulzaman didasarkan pada Pasal 528 BW yang menyatakan “atas sesuatu kebendaan, seseorang dapat mempunyai kedudukan berkuasa hak milik, hak waris, hak pakai hasil, hak pengalihan tanah, hak gadai tanah, hak gadai atau hipotik”. Untuk itulah Hak Tanggungan dapat dikatakan mempunyai ciri-ciri/sifat hak kebendaan pada Hak Tanggunagan memang sengaja diberikan oleh pembentuk UUHT. Hal tersebut dapat diketahui manakala diperbandingkan antara Hipotik dengan Hak Tanggungan. Bahwa dari beberapa pendapat ahli hukum tersebut dapat dipahami meskipun kebendaannya dapat diberikan pada hak-hak atas tanah . Meskipun tanpa menyebutkan sifat-sifat kebendaan, tetapi pemilik hak-hak atas tanah tersebut diberi wewenang untuk mengalihkan, menjaminkan dan bahkan mendaftarkan terhadap hak-hak atas tanah tersebut, sehingga hak-hak atas tanah tersebut bersifat hak kebendaan. Oleh karena itu UUHT merupakan hak kebendaan, maka mempunyai sifat absolut .<br />2. Prinsip Droit de Suite<br />Hak Kebendaan itu mempunyai zaaksgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti). Artinya : hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya . Droit de Suite merupakan salah satu prinsip dari hak kebendaan yang memang pada dasarnya dikenal oleh BW, dan sebaliknya tidak kenal oleh Hukum Adat. Bahwasannya sistem Hukum Adat tidak mengenal hak kebendaan antara lain dapat disimak dari pendapat Mahadi yang menyatakan bahwa hak kebendaan seperti yang dimaksud BW itu tidak ada dalam sistem Hukum Adat. Lalu ciri Hak Tanggungan sebagai suatu hak jaminan yang mempunyai preferensi dan berasas droit de suite, berakar dari mana, selayaknya pantas dipertanyakan. Atau sifat yang ditetapkan demikian itu semata dilandaskan pada soal kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk undang-undang. Sesungguhnya problema dasar ini memerlukan kajian obyektif yang sehat . Pendapat tersebut sangatlah beralasan sebab UUPA yang dijiwai oleh hukum adat tidak mengenal asas-asas yang mencerminkan sifat hak kebendaan. Sedangkan UUPA sebagai landasan lahirnya UUHT tidak secara tegas menyebutkan adanya hak kebendaan . Namun prinsip droit de suite nampak jelas dalam Pasal 7 UUHT, yang menyatakan : sifat Hak Tanggungan itu tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada (droit de suite). Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan itu sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji dalam berprestasi. Oleh sebab itu, walaupun obyek Hak Tanggungan itu sudah berpindah tangan dan menjadi milik orang lain, namun Hak Tanggungan itu selalu mengikuti di dalam tangan siapapun obyek Hak Tanggungan berpindah, yang berarti prinsip droit de suite tersebut terdapat dalam UUHT .<br />3. Prinsip Droit de Preference<br />Pada prinsipnya hak jaminan kebendaan memberikan kedudukan didahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan terhadap kreditor lainnya. Dalam menganalisis prinsip droit de preference selain mendasarkan pada Buku II BW yang mengatur tentang jaminan juga mendasarkan pada UUHT. Mengenai perihal kedudukan yang diutamakan dalam BW dapat dilihat pada Pasal 1133 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa : ”Hak untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik”. Selanjutnya menurut Pasal 1134 BW, Hak Istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang kreditor sehingga tingkatan kreditor tersebut lebih tinggi daripada kreditor lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang kreditor tersebut. Perlindungan istimewa tersebut dapat diberikan apabila kreditor pemegang hak jaminan atas benda tertentu milik debitor, dalam perkembangan hukum Indonesia selain Gadai dan Hipotik, Hak Istimewa tersebut berlaku bagi Hak Tanggungan dan Fidusia jaminan tersebut merupakan jaminan kebendaan. Kedudukan hak jaminan terhadap Hak Istimewa, menurut Pasal 1134 BW lebih tinggi dari Hak Istimewa kecuali hal-hal dimana undang-undang ditentukan sebaliknya. Hak Istimewa yang lebih tinggi daripada hak jaminan, termasuk biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang baik untuk benda bergerak maupun benda tak bergerak. Biaya tersebut dibayar dari hasil penjualan benda tersebut sebelum dibayarkan kepada kreditor lainnya, termasuk kepada para kreditor pemegang hak jaminan.<br />Dalam UUHT tentang kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain, semula ditentukan pada Pasal 1 ayat (1) UUHT yang antara lain menyebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lainnya. Penjabaran lebih lanjut tentang kedudukan yang diutamakan tidak dijumpai dalam Penjelasan Pasal 1 UUHT, melainkan dijumpai dalam Penjelasan Umum Angka 4 alinea 2 UUHT, yang menyatakan :<br />Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreitor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku”.<br /><br />Yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain, adalah : “Bahwa jika debitor cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain”. Jadi hak mendahulu dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku . Kedudukan preferen berkaitan dengan hasil eksekusi, hal ini nampak jelas bila dihubungkan dengan Pasal 1132 BW yang pada asasnya para kreditor berbagi pond’s-pond’s atas hasil eksekusi harta benda milik debitor. Dengan adanya pembebanan Hak Tanggungan tersebut maka kreditor menjadi preferen atas hasil penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi Hak Tanggungan. Meskipun pada Penjelasan Umum UUHT tersebut tidak disebutkan apakah piutang-piutang Negara yang berkaitan dengan obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan saja, ataukah mengenai semua piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitor yang bersangkutan. Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya. Berdasarkan Penjelasan Umum UUHT dapat diketahui bahwa hak kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut, sekalipun diutamakan terhadap hak tagihan kreditor-kreditor lain, tetapi harus mengalah terhadap piutang-piutang Negara lebih utama daripada kreditor pemegang Hak Tanggungan . Piutang-piutang Negara yang didahulukan dari kreditor pemegang hak jaminan, dapat dilihat dalam Pasal 1137 ayat (1) BW yang menyatakan : “Hak daripada Kas Negara, Kantor Lelang, dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus mengenai hal itu”. Dengan demikian jenis piutang Negara mana saja yang harus didahulukan dari Gadai, Hipotik dan Hak Tanggungan dalam suatu undang-undang tertentu sebagaimana yang diisyaratkan oleh pasal tersebut.<br />4. Prinsip Spesialitas<br />Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik. Asas ini dalam Hipotik diatur dalam ketentuan Pasal 1174 BW. Dianutnya asas spesialitas dalam Hak Tanggungan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT. Pasal 8 UUHT menentukan bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (1) UUHT) dan kewenangan tersebut harus ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan (Pasal 8 ayat (2) UUHT), ketentuan tersebut hanya dapat terpenuhi apabila obyek Hak Tanggungan ada dan telah tertentu pula tanah itu tanah yang mana. Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) huruf e menentukan bahwa di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya. Kata-kata “uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e menunjukan, bahwa obyek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukan dalam APHT yang bersangkutan . Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas “benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut” yang baru akan ada, sepanjang hal itu telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu, juga karena baru akan ada dikemudian hari, hal itu berarti asas spesialis tidak berlaku sepanjang mengenai “benda-benda yang berkaita dengan tanah” .<br />Berdasarkan UUHT, proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap kegiatan, yaitu : tahap pemberian Hak Tanggungan dan tahap pendaftaran Tanggungan. Pada Pasal 10 ayat (2) UUHT menyebutkan pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Dalam kedudukan demikian, maka akta-akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik . Seperti halnya pembebanan Hipotik menurut Pasal 1171 BW, harus dilakukan dengan suatu akta otentik. Dulu akta pembebanan Hipotik dan Credietverband dibuat oleh dan dihadapan PPAT yang berwenang, yakni : notaris, wedana/camat dan beberapa pejabat lainnya yang telah diangkat oleh Menteri Agraria, yang daerah kerjanya meliputi daerah tempat letak tanah yang bersangkutan. Jika Hipotik dibebankan atas lebih dari satu bidang tanah, yang tidak semuanya terletak di daerah kerja seorang PPAT, maka dengan persetujuan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan, pejabat tersebut berwenang pula untuk membuat akta mengenai tanah-tanah yang terletak di luar daerah kerjanya itu.<br />e. Prinsip Publisitas<br />Di dalam Hak Tanggungan berlaku asas publisitas atau asas keterbukaan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 UUHT. Menurut Pasal 13 UUHT itu, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga (lihat Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT). Tidak adil bagi pihak ketiga yang terkait dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan apabila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum maka memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. Asas publisitas juga merupakan asas Hipotik sebagaimana ternyata dalam Pasal 1179 BW. Menurut pasal tersebut, pembukuan Hipotik harus dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotik yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan terhadap kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijamin dengan Hipotik) .<br />Demi tercapainya tujuan kepastian hukum, maka dalam UUPA berlaku prinsip pendaftaran semua hak-hak atas tanah. Untuk itu di kantor pertanahan setempat disediakan buku tanah yang mencatat tanah-tanah yang didaftar. Karena pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang sangat besar, maka pelaksanaannya dilakukan dengan cara bertahap. Selanjutnya dilakukan tata usaha pendaftaran tanah, sehingga perkembangan dari tanah-tanah yang sudah didaftar akan dipantau terus dalam buku tanah yang bersangkutan. Setiap perubahan yang penting mengenai tanah yang bersangkutan akan dicatat dalam buku tanah, maka dengan melihat buku tanah, diharapkan orang dapat mengetahui riwayat tanah yang bersangkutan. Selanjutnya perlu dikemukakan, bahwa pendaftaran tanah menurut UUPA menganut asas publisitas dan spesialitas . Lembaga pendaftaran pertama kali dikenal di Mesir dan kemudian berkembang ke Negara Barat (perancis tahun 1790, Nederland tahun 1811). Istilah kadaster berasal dari bahasa latin “Catastis”, yang dalam bahasa Perancis disebut “Cadaster”. Kadaster berarti suatu daftar yang melukiskan semua persil tanah yang ada dalam suatu daerah berdasarkan pemetaan dan pengukuran yang cermat. Semula tujuan pendaftaran adalah untuk kepentingan pajak (fiskale kadaster) akan tetapi kemudian ditujukan pula untuk kepastian hak-hak atas tanah (rechtskadaster). Oleh karena syarat-syarat yang diperlukan untuk rechtskadaster berbeda dengan fiskale kadaster, maka pendaftaran terhadap dua jenis kebutuhan ini lalu dipisahkan. Untuk menjamin kepastian hukum maka Pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 19 ayat (1) UUPA). Pendaftaran tersebut meliputi : Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah; Pemberian surat-surat tanda buku hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Didalam PP No. 10/1961 diuraikan lebih lanjut bahwa yang didaftar itu adalah hak, peralihan hak dan penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah . Sekarang PP No. 10/1961 telah diganti dengan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kadaster merupakan suatu rekaman yang menunjukan letak, luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kadaster merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut dan sebagai rekaman yang berkesinambungan dari hak atas tanah. Disebabkan oleh perkembangan perekonomian yang pesat dan banyaknya tanah yang tersangkut dalam kegiatan ekonomi, misalnya jual beli, sewa menyewa, pembebanan hipotik atas tanah yang dijadikan jaminan karena adanya pemberian kredit, maka oleh pembuat UUPA dianggap perlu adanya jaminan kepastian hukum dan kepastian hak dalam bidang agraria. Oleh karena itu fungsi pendaftaran tanah sangat penting demi dan untuk kepastian hukum, terhadap hak-hak atas tanah, peralihan hak ataupun untuk menguatkan status tanah sebagai hak kebendaan yang dapat dibebani tanah-tanah tersebut. Kepastian tentang obyek tanah apabila telah didaftarkan akan sangat berguna bagi masyarakat pengguna khususnya yang berkaitan dengan kepemilikan ataupun manakala tanah tersebut akan dijaminkan. Pendaftaran hak-hak atas tanah dilakukan dengan mencatat dengan rinci identitas subyek pemilik dan obyek haknya, termasuk cara perolehannya, riwayat peralihan dan pembebanan haknya serta royanya. Kemudian obyeknya juga disebutkan jenis haknya, lamanya/umur haknya dan dalam daftar surat ukur digambarkan secara rinci luas dan batas-batasnya. Kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dari upaya UUPA untuk memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah. Prinsip seperti itu mestinya mempunyai efeknya pada pelaksanaan pendaftaran Hak Tanggungan . Bahkan menurut UUPA jo PP No. 10/1961 fungsi pendaftaran tanah, yaitu : menciptakan alat untuk bukti hak (Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA); Menciptakan alat bukti yang kuat (Pasal 19, 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (3) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA . Sedangkan PP No. 10 Tahun 1961 telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 yang dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran tanah, secara jelas menyebutkan bahwa pendaftaran tanah bertujuan :<br />“(1)untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;<br />(2)untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;<br />(3) untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.”<br /><br />Salah satu perwujudan pemberian kepastian hukum, sebagaimana yang disebutkan dalam bagian menimbang pada pembukaan UUHT, adalah adanya kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan sebagai pewujudan dari asas publisitas, walaupun prinsip yang sama juga sudah diterapkan dalam Hipotik . Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikat Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada kreditor, pada saat itu Hak Tanggungan yang bersangkutan belumlah lahir, Hak Tanggungan baru lahir pada saat dibukukannya dalam daftar umum di Kantor Pertanahan. Saat tersebut bukan saja menentukan kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor-kreditor lain yang juga pemegang Hak Tanggungan, dengan tanah yang sama sebagai jaminannya. Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut adalah sangat penting bagi kreditor. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan pemberian kepastian hukum, sebagaimana yang disebutkan dalam bagian menimbang dalam pembukaan UUHT, yakni adanya kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan sebagai perwujudan dari asas publisitas. Walaupun prinsip tersebut juga diterapkan pada Hipotik, namun ada perbedaannya dengan Hak Tanggungan. Perbedaannya dalam UUHT ditetapkan batas waktu pelaksanaan pendaftaran tersebut, yakni paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penandatanganan APHT. Kewajiban pendaftaran pada PPAT, yang apabila dilanggar menimbulkan akibat hukum administratif sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 23 UUHT. Pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 UUHT menegaskan pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan merupakan syarat mutlak untuk adanya Hak Tanggungan yang memberi kedudukan yang diutamakan bagi kreditor tadi, maka ditentukan pula bahwa APHT pemegang Hak Tanggungan sekaligus mengikatnya Hak Tanggungan tersebut terhadap pihak ketiga. Untuk memperoleh kepastian mengenai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor tadi, maka ditentukan pula bahwa APHT yang bersangkutan beserta warkah lain yang diperlukan bagi pendaftarannya, wajib dikirimkan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penendatanganan APHTnya. Dengan pengiriman oleh PPAT, berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. Untuk itu PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuan untuk didaftarkannya Hak Tanggungan itu secepat mungkin. PPAT wajib melaksanakan kewajiban ini karena jabatannya. Sanksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT. Ketentuan tersebut menuntut kesigapan setiap PPAT agar jangan lalai memenuhi ketentuan tersebut . Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud diatas, dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum, maka UUHT menetapkan satu tanggal yang pasti sebagai tanggal buku tanah itu, yaitu tanggal hari ketujuh di hitung dari hari dipenuhinya persyaratan berupa surat-surat untuk pendaftarannya secara lengkap dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Dengan demikian Kantor Pertanahan berkewajiban untuk memeriksa dan memberitahukan mengenai kekurangan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah penerimaan.<br />Pada Pasal 13 ayat (4) UUHT dengan jelas mengatakan, bahwa Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan, dan syarat kewenangan mengambil tindakan pemilikan atas persil jaminan harus ada pada saat pendaftaran. Namun sekali lagi, berdasarkan prinsip UUHT, yang mau memberikan perlindungan hukum kepada para pihak – i.c. kreditor pemegang Hak Tanggungan – demi memberikan kedudukan yang kuat dan kepastian hukum akan hak-hak para pihak, maka kiranya dapat menerima penafsiran luas tindakan “membebankan” seperti tersebut diatas . Menurut A.P. Parlindungan , barangkali yang dapat menunda pendaftaran Hak Tanggungan tersebut kalau ada sanggahan dari pihak ketiga, ataupun dijatuhkan sita sebelum pendaftaran ataupun ditarik kembali oleh kreditor. Dengan sendirinya Hak Tanggungan itu lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan dibuat oleh Kantor Pertanahan. Sesuai dengan ketentuan itu, jangkauan asas droit de suite, hak privilise (a peculiar right) dan hak preferen terhadap pihak ketiga diperoleh pada saat didaftarkannya APHT itu dalam buku tanah di Kantor Pertanahan, bukan pada saat pembuatan APHT oleh PPAT. Dalam hal ada lebih satu Hak Tanggungan yang didaftarkan pada hari yang sama, maka tingkat Hak Tanggungan ditentukan oleh tanggal pemberian Hak Tanggungan, yang mempunyai tanggal lebih muda didahulukan pendaftarannya daripada yang lebih tua tanggalnya (Pasal 5 ayat (3) UUHT). Dengan demikian pemberian tingkatan-tingkatan Hak Tanggungan yang dikaitkan dengan saat pendaftarannya, merupakan konsekuensi logis daripada sifat hak kebendaan, yang mengatakan, bahwa hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian , oleh sebab itu menurut Herowati Poesoko , fungsi pendaftaran Hak Tanggungan sebagai berikut :<br />1. untuk membuktikan saat lahirnya dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap para pihak dan pihak ketiga;<br />2. untuk menciptakan alat bukti adanya hak bagi yang berhak/berwenang, bahwa tanah tersebut telah dibebankan oleh Hak Tanggungan;<br />3. Hak Tanggungan yang lahir lebih dahulu merupakan kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian;<br />4. untuk menciptakan kepastian hukum bagi kreditor bahwa manakala debitor cidera janji, maka kreditor mendapatkan hak preferen sehingga mendahului dari kreditor-kreditor lain;<br />5. untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditor terhadap gangguan pihak ketiga; dan<br />6. apabila Akta Pembebanan Hak Tanggungan itu didaftarkan dalam register umum, maka janji yang terdapat dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan mempunyai daya berlaku kebendaan dan juga berkekuatan terhadap seorang pemegang/pemilik baru.<br />Melihat fungsi pendaftaran Hak Tanggungan tersebut diatas melambangkan bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan mendapatkan perlindungan serta kepastian hukum bahwa tanah yang dijaminkan oleh pemberi jaminan kepada pemegang jaminan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak dan pihak ketiga, serta merupakan alat bukti bagi pemegang hak bahwa tanah yang telah dibebankan dengan hak Tanggungan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Sehingga pemegang Hak Tanggungan dijamin dan terjamin oleh hukum. Mengingat UUHT merupakan peraturan yang mengatur tentang jaminan kebendaan khususnya jaminan atas tanah, yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip hukum jaminan, yang adalah : prinsip absolute/mutlak, prinsip droit de suite, prinsip droit de preference, prinsip prioritas, dan prinsip publisitas, maka secara yuridis UUHT dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan .<br /><br />2. Janji-Janji Dalam Pasal 11 UUHT<br /><br />UUHT menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Dengan tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut dalam APHT, maka mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. Dalam UUHT pada Pasal 11 ayat (1) disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT itu :<br />a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan. Apabila Hak Tanggungannya dibebankan pula benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak Tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut;<br />b. domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;<br />c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitor yang bersangkutan;<br />d. nilai tanggungan; dan<br />e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas dan luas tanahnya.<br />Selain itu dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT. Dengan dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, yaitu :<br />a. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;<br />b. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau susunan obyek Hak Tanggungan kecuali dengan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;<br />c. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;<br />d. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau hak untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;<br />e. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;<br />f. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;<br />g. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;<br />h. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;<br />i. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;<br />j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; dan<br />k. janji bahwa sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada ditangan kreditor sampai seluruh kewajiban debitor dipenuhi sebagaimana mestinya.<br />Mengenai janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :<br />1. Janji mengenai pembatasan kewenangan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan<br />Janji ini dalam ketentuan Hipotik dikenal sebagai huurbeding . Menurut Pasal 1185 BW, pemegang Hipotik dapat meminta agar di dalam akta perjanjian Hipotik ditetapkan suatu janji yang membatasi pemberi Hipotik apabila pembeli Hipotik akan menyewakan benda yang akan dibebani itu. Misalnya pemberi Hipotik harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pemegang hipotik bila akan menyewakan objek Hipotik, atau hanya dapat menyewakan itu selama waktu tertentu, atau dibatasi besarnya pembayaran uang muka, karena hal-hal itu semua akan dapat merugikan pemegang Hipotik (kreditor), jika nantinya objek Hipotik itu harus dilelang mengingat berlakunya ketentuan Pasal 1576 BW. Pasal 1576 BW menentukan suatu ketentuan yang merupakan perwujudan dari suatu asas hukum yang menentukan bahwa “perjanjian jual beli tidak mengakhiri perjanjian sewa” atau dalam bahasa Belanda “Koop breekt geen huur”. Artinya, suatu benda yang terikat perjanjian sewa menyewa, bila benda itu dijual oleh pemiliknya kepada pihak ketiga, perjanjian sewa menyewa itu tidak berakhir karena jual beli itu. Pembeli dari benda yang terikat perjanjian sewa menyewa itu terikat untuk mengambil alih kedudukan sebagai pemberi sewa (lessor) dalam kaitannya dengan penyewa (lessee) dan mengambil alih serta tetap terikat dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian sewa menyewa semula. Menurut Pasal 1185 BW, apabila janji tentang sewa itu dilanggar oleh pemilik agunan, pemegang Hipotik dapat menuntut agar perjanjian sewa menyewa itu dibatalkan. Janji tentang sewa ini bukan hanya dapat dibuat oleh pemegang Hipotik pertama saja, tetapi juga oleh pemegang Hipotik kedua dan seterusnya. Didalam praktik perbankan, sering dialami eksekusi Hipotik sulit memperoleh pembeli apabila objek Hipotik terikat oleh perjanjian sewa dengan pihak ketiga, lebih-lebih lagi apabila jangka waktu sewa sangat panjang. Sehubungan dengan itu, UUHT menganggap perlu bahwa janji yang memberikan batasan kewenangan kepada pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan itu dapat dimasukan dalam APHT yang bersangkutan.<br />2. Janji untuk tidak mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan<br />Janji mengenai pembatasan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan diperlukan pula oleh kreditor untuk mencegah nilai objek Hak Tanggungan menurun sebagai akibat dilakukan perubahan itu. Namun, dapat diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan masih diperbolehkan melaksanakan kewenangannya itu sepanjang memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan.<br />3. Janji untuk dapat mengelola objek Hak Tanggungan<br />Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan dapat diadakan untuk kepentingan pemberi Hak Tanggungan. Adanya kewenangan bagi pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola Hak Tanggungan, dapat merugikan pemberi Hak Tanggungan. Apabila hal itu diperjanjikan di dalam APHT, hal itu hanya dapat dilakukan apabila disertai persyaratan bahwa pelaksanaannya masih memerlukan penetapan Ketua Pengadilan. Di dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf c UUHT, dikemukakan bahwa sebelum mengeluarkan penetapan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri perlu memanggil dan mendengar pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan, serta debitor apabila pemberi Hak Tanggungan bukan debitor. UUHT tidak mengatur secara tegas, bagaimana apabila dalam klausul perjanjian itu tidak dimuat syarat, bahwa kewenangan mengelola itu harus berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Hukum perjanjian di Indonesia mengakui adanya kebebasan berkontrak, bila para pihak sepakat tidaklah dilarang untuk tidak mensyaratkan keharusan adanya penetapan Ketua Pengadilan Negeri tersebut.<br />4. Janji untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan<br />Kejadian-kejadian tertentu terhadap objek Hak Tanggungan, dapat menyebabkan nilai Hak Tanggungan menurun bahkan hapusnya Hak Tanggungan tersebut. Apabila kejadian-kejadian seperti itu terjadi, sudah tentu akan merugikan pemegang Hak Tanggungan. Apabila pihak yang menguasai objek Hak Tanggungan itu mempunyai kepedulian agar kejadian-kejadian tertentu terhadap Hak Tanggungan tidak terjadi, tindakan-tindakan pencegahan atau penyelamatan atas terjadinya kejadian-kejadian tertentu yang tidak diinginkan itu tidak perlu merugikan pemegang Hak Tanggungan. Kejadian-kejadian yang dimaksud dapat berupa usaha-usaha pihak-pihak tertentu untuk menguasai objek Hak Tanggungan itu atau objek Hak Tanggungan dibiarkan tidak terurus atau tidak terawat. Namun, adakalanya pihak di tangan siapa objek Hak Tanggungan objek Hak Tanggungan itu berada di dalam kekuasaannya, tidak mempunyai kepedulian yang dimaksud atau kurang melakukan tindakan-tindakan pencegahan atau penyelamatan yang diperlukan, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya nilai Hak Tanggungan itu. Pihak-pihak yang menguasai objek Hak Tanggungan itu dapat saja adalah pemberi Hak Tanggungan itu sendiri, pihak pengelola yang diberi tugas oleh pemberi Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan itu, penyewa obyek Hak Tanggungan yang menyewa obyek Hak Tanggungan itu dari pemberi Hak Tanggungan (pemilik obyek Hak Tanggungan), atau pemilik Hak Tanggungan yang baru karena telah dilakukan pengalihan pemilikan yang terjadi karena atas hak apapun juga (hibah, waris, jual beli, dll.). Kejadian hapusnya hak atas tanah yang dijadikan obyek Hak Tanggungan karena lewatnya waktu hak atas tanah tersebut atau dibatalkannya hak atas tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan dapat pula mengakhiri Hak Tanggungan tersebut, sebagaimana menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT. Dalam hal ini, akan sangat merugikan pemegang Hak Tanggungan apabila pemberi Hak Tanggungan tidak melakukan tindakan-tindakan penyelamatan yang diperlukan untuk dapat tetap memiliki atau memperoleh kembali pemilikan dari hak-hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu. Untuk mengantisipasi atau menyelamatkan hapusnya hak atas tanah yang agunkan karena habisnya masa berlaku hak atas tanah yang diagunkan karena tidak diperpanjangnya masa berlaku hak atas tanah tersebut maka di dalam APHTnya dapat dicantumkan kuasa dari pemberi Hak Tanggungan kepada penerima Hak Tanggungan (pemegang Hak Tanggungan) untuk memperpanjang jangka waktu hak atas tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi pada HGU, HGB, dan Hak Pakai atas tanah Negara karena hak-hak atas tanah tersebut mempunyai masa berlaku atau jangka waktu tertentu. Pasal 11 ayat (2) UUHT memberikan kemungkinan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan di dalam APHT suatu janji yang memberikan kewenangan untuk dapat memperpanjang atau menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan itu.<br />5. Janji bagi pemegang Hak Tanggungan untuk dapat menjual objek hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri<br />Dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, menyebutkan pula tentang dimungkinkannya pencantuman janji di dalam APHT berupa janji yang memberikan kekuasaan kepada pemegang Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji. Hak yang demikian disebut hak untuk melakukan parate eksekusi . Menurut Sutan Remy Sjahdeini, pencantuman janji di dalam APHT yang memberikan kekuasaan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, adalah berlebihan. Karena Pasal 6 UUHT telah menentukan sebagai ketentuan yang mengikat bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dengan kata lain, baik kekuasaan pemegang Hak Tanggungan pertama tersebut dicantumkan atau tidak dicantumkan di dalam APHT yang bersangkutan, tetap saja pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk dapat melakukan tindakan demikian itu. Pencantuman janji demikian di dalam APHT yang bersangkutan hanya akan lebih memberikan rasa mantap (sekadar bersifat psikologis bukan yuridis) kepada pemegang Hak Tanggungan pertama daripada tidak dicantumkan.<br />6. Janji agar obyek Hak Tanggungan tidak dibersihakn oleh pembeli<br />Berdasarkan pada Pasal 1210 ayat (2) BW bahwa pemakai Hipotik pertama dapat meminta diperjanjikan dalam perjanjian Hipotik bahwa Hipotiknya tidak akan dibersihkan (ditiadakan) apabila agunan dijual oleh pemilik. Pasal 1210 ayat (1) BW menentukan, apabila agunan yang dibebani Hipotik dijual baik oleh pemegang Hipotik untuk memenuhi piutangnya maupun oleh pemberi Hipotik, pembeli dapat meminta agar Hipotik ditiadakan dari beban yang melebihi harga pembelian Hipotik itu. Tentunya hal tersebut akan merugikan pemegang Hipotik, karena sisa piutangnya menjadi tidak dijamin lagi dengan Hipotik itu. Agar menghindarkan dirugikannya pemegang Hipotik dari kerugian tersebut, maka peminta Hipotik dapat meminta diperjanjikan di dalam akta hipotik agar Hipotik itu tidak dibersihkan (ditiadakan) dalam hal terjadi penjualan atas agunan itu. Janji ini disebut beding van niet zuivering . UUHT bermaksud untuk memungkinkan ketentuan dalam Pasal 1210 ayat (2) BW yang berlaku untuk Hipotik dapat pula diperjanjikan bagi Hak Tanggungan. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT. Namun, menurut Sutan Remy Sjahdeini bunyi Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT telah keliru oleh pembuat UUHT. Rumusan Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT itu adalah:<br />Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain :<br />a. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.<br /><br />Beding van niet zuivering adalah suatu janji yang diberikan oleh pemberi jaminan (dalam hal ini adalah Hak Tanggungan) kepada pemegang jaminan bahwa objek jaminan tidak akan dibersihkan oleh pemberi jaminan apabila jaminan itu dijual dalam rangka eksekusi jaminan tersebut karena debitor cidera janji. Tetapi Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT itu telah dirumuskan sebaliknya, yaitu bahasa yang memberikan janji adalah pemegang Hak Tanggungan pertama. Seharusnya yang memberikan janji adalah pemberi Hak Tanggungan. Selanjutnya menurut Sutan Remy Sjahdeini, seharusnya rumusan yang tepat dari Pasal 11 ayat (2) UUHT itu adalah :<br />“janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan”.<br />Olehnya apabila PPAT dalam mencantumkan rumusan atau redaksi beding van niet zuivering di dalam APHT tidak mengutip redaksi Pasal 11 ayat (2) huruf f tersebut tetapi dapat dirumuskan sebagaimana tersebut diatas.<br />g. Janji agar pemberi Hak Tanggungan tidak melepaskan haknya atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan<br />Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu. Hapusnya hak atas tanah dapat terjadi antara lain karena pemberi Hak Tanggungan setelah dibebankannya Hak Tanggungan itu kemudian melepaskan secara sukarela hak atas tanah itu. Untuk dapat memberikan perlindungan kepada pemegang Hak Tanggungan agar pemberi Hak Tanggungan tidak melepaskan hak atas tanahnya secara sukarela sehingga dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan. Maka oleh sebab itu didalam Pasal 11 ayat (2) huruf g UUHT memberikan kemungkinan bagi pemegang Hak Tanggungan agar dapat diperjanjikan di dalam APHT bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.<br />h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan memperoleh ganti kerugian bila pemberi Hak Tanggungan melepaskan hak atas tanahnya atau dicabut hak atas tanahnya<br />Hal ini dapat terjadi bahwa pelepasan hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan justru bertujuan untuk mendapatkan ganti kerugian guna pelunasan kredit yang diterima oleh debitor dan dijamin oleh pemberi Hak Tanggungan. Dalam hal demikian, adalah tidak beralasan bagi pemegang Hak Tanggungan untuk tidak memberikan persetujuan kecuali apabila pelunasan kredit yang lebih dini dari tanggal pelunasan kredit itu akan dapat merugikan kreditor. Dalam dunia perbankan acapkali bank mengalami pelunasan kredit sebelum jangka waktunya akan sangat mengganggu profitabilitas bank tersebut. Profitabilitas bank tersebut karena angsuran kredit itu akan menyebabkan bank mengalami kelebihan dana yang karena sementara kelebihan dana tersebut belum dapat disalurkan dalam bentuk kredit ke objek pembiayaan lain, bank tersebut harus memikul beban pembayaran biaya bunga dana (bunga dana simpanan yang antara lain berupa deposito) menjadi beban yang dapat mengurangi keuntungan bank. Apabila pelepasan hak secara sukarela itu terjadi atas persertujuan pemegang Hak Tanggungan, hal demikian dimungkinkan oleh Pasal 11 ayat (2) huruf k UUHT bagi pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan pula di dalam APHT bahwa ganti kerugian yang menjadi hak dari pemberi Hak Tanggungan harus disetorkan seluruh atau sebagian oleh pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Demikian pula halnya apabila hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu dicabut haknya untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kemudian pemberi Hak Tanggungan memperoleh ganti kerugian sebagai kompensasi atas pencabutan haknya itu. Dalam hal ini, juga pemegang Hak Tanggungan dapat memperjanjikan untuk memperoleh seluruh atau sebagian dari kerugian yang diterima oleh pemberi Hak Tanggungan tersebut pelunasan piutangnya.<br />i. Janji untuk pemegang Hak Tanggungan dapat menerima langsung pembayaran ganti kerugian dari perusahaan asuransi<br />Janji tentang asuransi ini di dalam Hipotik dimungkinkan berdasarkan Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (untuk selanjutnya disebut KUH Dagang). Menurut Pasal 279 KUH Dagang, apabila dalam suatu Hipotik antara debitor dan kreditor telah diperjanjikan bahwa jika timbul suatu kerugian yang menimpa benda yang diasuransikan atau yang akan diasuransikan, bahwa uang asuransi atau uang ganti kerugian sampai jumlah piutangnya ditambah bunga yang terutang menjadi pelunasan bagi piutang tersebut, penanggung (perusahaan asuransi) berkewajiban untuk membayar ganti kerugian harus dibayarkan itu kepada kreditor. Janji tersebut juga dapat dimungkinkan dalam Hak Tanggungan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 11 ayat (2). Pencantuman janji yang bersangkutan dengan perolehan ganti kerugian dari perusahaan asuransi tersebut sangat dibutuhkan oleh perbankan. Di dalam praktik perbankan klausul itu juga dicantumkan di dalam polis asuransi atas agunan yang ditutup asuransinya yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan. Klausul tersebut dikenal sebagai banker’s clause.<br />j. Janji untuk mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi<br />Di dalam praktik perbankan, sering dialami objek Hipotik, baik berupa tanah maupun bangunan yang berada diatas tanah yang terikut pula dibebani Hipotik bersama tanahnya, dalam keadaan dihuni. Penghuni tersebut dapat penghuni liar, pengelola, penyewa atau pemberi Hipotik itu dalam keadaan dihuni, sudah tentu harganya akan sangat turun. Bahkan dapat terjadi tidak aka nada peminatnya yang akan membeli. Apabila akhirnya objek Hipotik itu berhasil dijual lelang dalam keadaan tidak kosong seperti itu akhirnya akan dialami oleh pembeli bahwa untuk mengosongkannya memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang lama. Tidak mustahil pelaksanaan pengosongan akhirnya tidak kunjung terpecahkan. Sehubungan dengan pengalaman demikian, Pasal 11 ayat (2) huruf j UUHT memberikan kemungkinan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan sejak awal bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan.<br />k. Janji untuk pemegang Hak Tanggungan dapat menyimpan sertipikat tanahnya<br />Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (4) UUHT, sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan harus dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan Pasal ini sangat tidak diinginkan oleh pihak perbankan. Bank selalu menginginkan agar supaya bukan saja sertipikat Hak Tanggungan, yang menurut Pasal 14 ayat (1) UUHT merupakan tanda bukti adanya Hak Tanggungan bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan, tetapi menghendaki agar sertipikat hak atas tanah juga disimpan oleh bank. Keinginan bank yang demikian, adalah untuk menjaga agar pemegang hak atas tanah yang bersangkutan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan bank selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan diluar pengetahuan dan persetujuan bank. Hanya juga dengan menguasai sertipikat hak atas tanah disamping sertipikat Hak Tanggungan, hal-hal lain yang tidak diinginkan itu dapat dikurangi. Agar keinginan tersebut dapat diakomodir oleh pihak bank maka keinginan perbankan seperti itu, didalam Pasal 11 ayat (2) huruf k jo. Pasal 14 ayat (4) UUHT memberikan kemungkinan kepada bank sebagai pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan dalam APHT bahwa sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tidak dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, tetapi disimpan oleh pemegang Hak Tanggungan.<br />Didalam Pasal 12 UUHT menyatakan bahwa janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. Sedang dalam penjelasannya menyatakan ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dari pemberi Hak Tanggungan Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang secara sertamerta menjadi pemilik obyek Hak Tanggungan, karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli obyek Hak Tanggungan tetapi harus melalui prosedur yang diatur dalam UUHT. Setelah mengetahui ciri-ciri Hak Tanggungan, fungsi pendaftaran Hak Tanggungan serta janji-janji yang tersurat dalam APHT, menunjukan bahwa Hak Tanggungan merupakan hak kebendaan. Sebagai lembaga jaminan yang mempunyai cirri-ciri yang menunjukan sifat hak kebendaan, maka Hak Tanggungan diharapkan sebagai lembaga jaminan yang mampu melindungi para pihak dan lembaga tersebut sehingga diharapkan kedudukan dana perkreditan yang didukung oleh lembaga jaminan Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam UUHT, dapat mewujudkan perkembangan pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional.<br /><br />3. Lembaga Kuasa Sebagai Penangkal Risiko<br />Berdasarkan uraian dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, diketahui bahwa janji-janji dalam pasal tersebut terdapat klausul-klausul tentang pemberian kuasa dari pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan. Janji-janji tersebut antara lain dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan atas biaya pemberi Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang. Misalnya mengurus perpanjangan hak atas tanah (obyek Hak Tanggungan) dan mencegah hapusnya Hak Tanggungan, karena tidak diperpanjangnya hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan. Misalnya HGB yang dipertanggungkan, tentunya hak atas tanah ini perlu diperpanjang untuk mencegah tanah yang bersangkutan menjadi Tanah Negara. Dengan adanya klausula seperti dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT tersebut yang telah dicetak dalam blangko APHT, maka sekarang dengan sendirinya, selama tidak diperjanjikan lain, kuasa untuk memohon perpanjangan dan pembaharuan atas objek Hak Tanggungan sudah tercakup dalam APHT. Memperpanjang atau memperbaharui hak atas tanah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Meskipun dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT tidak disebutkan siapa yang menanggung biaya yang diperlukan, tetapi sepatutnya biaya perpanjangan dan pembaharuan ditanggung oleh pemberi Hak Tanggungan, karena kewajiban pembayaran perpanjangan hak atas tanah pada asasnya menjadi tanggungan pemilik tanah yang bersangkutan.<br />Hal lain yang perlu diperhatikan, misalnya perlunya dilakukan pekerjaan untuk menghindarkan berkurangnya nilai obyek yang dipertanggungkan. Jika nilai objek Hak Tanggungan berkurang, dikhawatirkan kelak bisa menjadi tidak akan mencukupi untuk melunasi hutang debitor bersangkutan. Lembaga kuasa juga diperlukan sebagai penangkal risiko yang dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan selaku kreditor dalam hal terjadinya perubahan HGB atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Untuk Rumah Tinggal. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT, Hak Tanggungan akan hapus apabila hak atas tanah obyek Hak Tanggungan itu hapus. Dengan demikian Hak Tanggungan yang membebani HGB atau Hak Pakai tersebut akan gugur/hapus dengan hapusnya HGB atau Hak Pakai tersebut yang telah menjadi Hak Milik. Oleh karena itu tentunya kreditor pemegang Hak Tanggungan akan berkeberatan untuk memberikan persetujuan untuk diubahnya HGB atau Hak Pakai yang menjadi obyek Hak Tanggungan tersebut menjadi Hak Milik. Dengan demikian pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik HGB atau Hak Pakai tersebut tidak dapat mendaftarkan perubahan HGB atau Hak Pakainya menjadi Hak Milik apabila tidak melunasi terlebih dahulu kreditnya atau tidak dapat menyediakan jaminan dalam bentuk lain. Sehubungan dengan itu perlu diberikan jalan keluar kepada para pemegang Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut, terutama yang berasal dari golongan ekonomi lemah, agar mereka dapat mendaftarkan Hak Milik atas tanahnya tanpa terlebih dahulu harus melunasi kreditnya atau menyediakan jaminan lain, dan di lain pihak tetap memberi kepastian kepada pemegang Hak Tanggungan akan kelangsungan jaminan pelunasan kreditnya. Jalan keluar itu adalah dengan membuat kuasa atau yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT) atas Hak Milik yang diperoleh yang bersangkutan. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997, Nomor 2 Tahun 1998 atau Nomor 6 Tahun 1998 sebelum hak tersebut didaftar, yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT setelah Hak Milik tersebut didaftar apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan sebagai berikut :<br />1. Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan;<br />2. Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan tersebut dihapus;<br />3. Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani HGB atau Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan;<br />4. Untuk melindungi kepentingan kreditor/bank yang semula dijamin dengan Hak Tanggungan atas HGB atau Hak Pakai yang menjadi hapus, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT dengan obyek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari HGB atau Hak Pakai tersebut;<br />5. Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat APHT atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.<br />Berdasarkan ketentuan tersebut, saat hapusnya Hak Tanggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftarkan, pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan obyek Hak Milik yang diperolehnya, karena setelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditor menjadi kreditor konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditor dapat membuat APHT berdasarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.<br />Terhadap ketentuan PMNA/KBPN terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :<br />1. Jangka waktu SKMHT. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMNA/KBPN tersebut, jangka waktu SKMHT terbatas, sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5) UUHT, yaitu 3 (tiga) bulan setelah diberikan;<br />2. Peringkat SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah HGB atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan kreditornya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat SKMHT, seyogyanya disesuaikan dengan peringkat yang termuat dalam sertipikat yang termuat dalam sertipikat Hak Tanggungan yang semula membebani tanah HGB atau Hak Pakai. Kreditor pemegang SKMHT dalam hal ini haruslah kreditor yang semula pemegang Hak Tanggungan, sebab ketentuan PMNA/KBPN ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah;<br />3. Atas perubahan hak, bagi kreditor perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditor tidak lagi menjadi kreditor preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.<br />4. Ketentuan PMNA/KBPN tersebut hanya berlaku khusus untuk tanah HGB atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.<br />Oleh karena itu perubahan HGB atau Hak Pakai atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik selain memberi kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan juga menguntungkan pemegang Hak Tanggungan. Dengan tidak adanya batas waktu berlakunya Hak Milik pelunasan kredit akan lebih terjamin. Disamping itu perubahan hak tersebut memberi peluang kepada pemberi kredit untuk menyesuaikan jangka waktu pelunasan kredit dengan kemampuan debitornya tanpa khawatir Hak Tanggungannya hapus karena jangka waktu hak atas tanah yang dibebaninya terbatas. Oleh karena itu diharapkan dalam proses perubahan hak ini semua pihak dapat saling membantu. Selain hal-hal tersebut diatas perubahan hak ini juga untuk kepentingan Kantor Pertanahan, karena merupakan pelaksanaan kebijaksanaan Pemerintah dalam memberi kepastian kelangsungan hak atas tanah untuk rumah tinggal bagi perseorangan warganegara Indonesia, dan sekaligus juga membuat pelaksanaan tugas Pemerintah, khususnya Badan Pertanahan Nasional, menjadi lebih efisien, yaitu dengan tidak perlunya lagi pemegang hak datang ke Kantor Pertanahan untuk memperpanjang atau memperbaharui haknya di waktu yang akan datang. PPAT pun sebagai pejabat yang bertugas di bidang pertanahan juga perlu memahami tugas pembuatan akta-akta dalam proses ini sebagai pelaksanaan tugas pelayanan yang menjadi tanggungjawabnya. Dalam hubungan ini PPAT diharapkan dapat menyumbangkan peranannya dengan meringankan biaya pelayanannya, khususnya untuk golongan ekonomi lemah. Demikian, lembaga kuasa sangat berperan sebagai penangkal risiko yang mungkin dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan karena peristiwa-peristiwa diatas.<br /><br />4. Pengansuransian Obyek Hak Tanggungan<br /><br />Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT menentukan, bahwa pemegang Hak Tanggungan dapat memperjanjikan :<br />Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan.<br /><br />Ketentuan tersebut merupakan salah satu wujud perlindungan kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk menjaga agar nilai Hak Tanggungan sedapat mungkin untuk tetap bernilai tinggi. Salah satu kemungkinan sebab turunnya nilai objek Hak Tanggungan adalah kalau terjadi musibah kebakaran atau bencana alam lain atas objek Hak Tanggungan, yang berupa benda-benda yang bersatu dengan tanah di atas mana benda-benda itu berada. Biasanya bahaya yang dikhawatirkan adalah bahaya kebakaran dan gempa bumi. Janji dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT lebih luwes dan luas, karena tidak ditentukan dasar kerugian dan hanya dikatakan tentang “uang asuransi”. Dalam penerapannya dalam Pasal 2 blangko APHT, sekalipun disebut tentang “kerugian karena kebakaran”, tetapi di belakangnya langsung ditambahkan kata-kata “atau malapetaka lain”. Malapetaka lain disini adalah keadaan yang tidak diperkirakan sebelumnya salah satu satunya terjadi bencana alam.<br />Penerapan Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT dalam Pasal 2 blangko APHT, sama sekali tidak menyinggung masalah ganti rugi sebagai pengganti Hak Tanggungan. Dalam klausula Pasal 2 APHT kreditor memperjanjikan kewenangan untuk menerima uang ganti rugi asuransi atas objek Hak Tanggungan, namun sebenarnya janji seperti itu saja tidak cukup, karena pada prinsipnya uang ganti rugi diberikan kepada pemilik objek Hak Tanggungan. Tidak ada larangan bagi pihak perusahaan untuk membayarkan uang ganti rugi kepada pemilik objek asuransi. Itulah sebabnya dalam prakteknya kreditor melengkapi diri dengan janji-janji kewenangan yang lebih dari itu. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT dan penerapannya dalam Pasal 2 blangko APHT berangkat dari pemikiran, bahwa pemberi Hak Tanggungan telah mengasuransikan objek Hak Tanggungan atau antara kreditor dan pemberi Hak Tanggungan, pada perusahaan asuransi yang disepakati/ditunjuk oleh kreditor. Dalam UUHT tidak ditentukan, bahwa janji asuransi harus dimuat dalam APHT, sekalipun dalam praktiknya janji seperti itu sudah termuat dalam blangko APHT dan karenanya dapat dikatakan, bahwa dalam praktiknya janji asuransi selalu diperjanjikan di dalam APHT dan didaftarkan. Kalau pemberi jaminan ternyata tidak pernah melaksanakan penutupan asuransi, maka semua klausula itu tidak ada artinya. Sekalipun di dalam APHT ada ketentuan yang mewajibkan pemberi Hak Tanggungan mengasuransikan objek Hak Tanggungan, tetapi belum berarti, bahwa pemberi Hak Tanggungan benar-benar melaksanakannya. Oleh karena itu biasanya dalam perjanjian kredit diperjanjikan, bahwa debitor/pemberi Hak Tanggungan akan mengasuransikan objek Hak Tanggungan dan untuk itu untuk mengantisipasi kemungkinan kelalaian debitor/pemberi Hak Tanggungan, sekaligus memperjanjikan kuasa agar kreditor dapat atas nama pemberi jaminan menutup perjanjian asuransi, untuk suatu jumlah dan pada perusahaan asuransi yang dipandang baik oleh kreditor. Kuasa tersebut akan sangat bermanfaat bagi kreditor untuk menuntut dan menerima uang ganti rugi, tidak lupa disebutkan dengan rinci di sana. Itupun dalam pasal berikut selalu disertai dengan ketentuan, bahwa semua kuasa yang disebutkan dalam akta yang bersangkutan tidak bisa ditarik kembali dan tidak akan berakhir oleh sebab-sebab yang disebutkan dalam Pasal 1813 BW, kecuali hutang debitor telah dilunasi .<br />Selanjutnya tidak lupa juga diperjanjikan, bahwa uang premi asuransi menjadi tanggungan debitor/pemberi jaminan, dengan disertai janji, bahwa jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian oleh pihak asuransi, maka uang ganti rugi tersebut akan diterima oleh kreditor, untuk diperhitungkan sebagai cicilan atau pelunasan hutang debitor untuk mana diberikan jaminan dengan benda yang mengalami kerugian itu. Sebagai yang tampak, pihak kreditor tidak hanya perlu memperjanjikan kewajiban asuransi kepada debitor/pemberi jaminan, tetapi juga menetapkan sampai berapa besar benda itu harus dipertanggungkan. Tidak jarang terjadi, bahwa kreditor melengkapinya dengan janji, bahwa kreditor diberi kuasa oleh debitor untuk, apabila dipandang perlu olehnya, atas nama debitor mempertanggungkannya pada perusahaan asuransi tertentu yang dipandang baik, dan untuk sejumlah uang yang dipandang cukup olehnya. Tidak cukup, bahwa debitor/pemberi jaminan telah mengasuransikan objek jaminan; kalau jumlahnya tidak cukup untuk mengcover kreditnya dan kalau pemberi jaminan telah memilih perusahaan yang asal murah, tanpa memperhitungkan bonafiditasnya, maka kepentingan kreditor belum cukup terlindungi .<br /><br />5. Pemeliharaan Obyek Hak Tanggungan<br /><br />Dimuatnya janji-janji dalam Pasal 11 UUHT tersebut diatas dalam APHT, yang kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Janji-janji sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, bukan berarti bahwa janji seperti itu boleh diperjanjikan oleh kreditor karena undang-undang menyatakan demikian (atau memberikan kesempatan seperti itu). Undang-undang dalam hal ini hanya mengingatkan saja kepada kreditor akan kemungkinan untuk memperjanjikan janji-janji seperti itu, karena pada asasnya, orang dapat memperjanjikan apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang yang bersifat memaksa, tata karma (kesusilaan) dan ketertiban umum . Dalam praktik janji-janji seperti yang disebutkan disana hampir dapat dikatakan selalu diperjanjikan oleh kreditor, oleh karenanya demi untuk memudahkan para pihak janji-janji itu sudah dicetak dalam blanko formulir APHT. Maka atas dasar apa yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, sudah dicetak dalam blanko formulir APHT, klausula itu atas sepakat para pihak boleh dihapus dari blanko yang bersangkutan . Oleh karena Hak Tanggungan harus diperjanjikan, maka prinsipnya harus ada kesepakatan diantara kedua belah pihak, artinya jika pemberi jaminan setuju atau menolak diperjanjikan seperti itu. Apabila antara kreditor dan debitor sepakat dengan menandatangani APHT, maka janji-janji yang dimaksudkan merupakan perwujudan keseriusan dan itikad baik dari debitor, dengan janji-janji tersebut maka apabila debitor wanprestasi, kreditor diberi hak atau kewenangan sebagaimana yang diperjanjikan. Hal tersebut demi dan untuk melindungi kepentingan kreditor manakala debitor wanprestasi dan tidak segera melunasi piutang kreditor. Kewajiban melakukan pemeliharaan terhadap pemeliharaan obyek Hak Tanggungan, seperti dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dan b UUHT, merupakan klusul yang dapat memberikan perlindungan kepada pemegang Hak Tanggungan. Dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a, merupakan janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan kembali atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa, menerima uang sewa dimuka, kecuali kreditor pemegang Hak Tanggungan menyetujuinya. Karena apabila dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuannya, nanti bila tiba saatnya untuk eksekusi, nilai dari obyek Hak Tanggungan akan berkurang. Dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, merupakan janji yang membatasi pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. Perubahan bentuk dari obyek yang dibebankan Hak Tanggungan ini, jelas dapat mengurangi pula nilai dari benda ini. Oleh karena itu, merupakan kewajiban pemberi Hak Tanggungan untuk melakukan pemeliharaan atas obyek Hak Tanggungan demi perlindungan kepada pemegang Hak Tanggungan. Janji demikian itu dimungkinkan untuk melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Perubahan terhadap nilai obyek Hak Tanggungan berupa bangunan bergantung pada design bangunan dan pengaturan tata susunan (ruangan-ruangan) suatu bangunan. Dapat dibayangkan, bahwa perbuatan pemberi Hak Tanggungan yang meskipun dilakukan dengan itikad baik (tidak ada maksud untuk merugikan), dapat mempengaruhi nilai bangunan yang bersangkutan, atas mana kreditor mempunyai kepentingan. Perubahan demikian itu, dapat dilakukan bilamana pemberi Hak Tanggungan telah memperoleh persetujuan dari kreditor pemegang Hak Tanggungan. Jadi besar kemungkinannya bahwa bentuk dan tata susunan bangunan yang menjadi objek Hak Tanggungan tetap seperti apa adanya, paling tidak, hanya berubah dengan persetujuannya. Perubahan bentuk dan tata susunan bangunan jaminan tetap diluar persetujuannya, kemungkinan akan dapat merugikan dirinya dan hal ini harus dihindari. Memang ada kemungkinan, bahwa pemegang Hak Tanggungan dapat menuntut ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi masih menjadi pertanyaan, apakah kekayaan lain dari pemberi Hak Tanggungan masih cukup untuk menjamin ganti rugi ? dan disamping itu, pemegang Hak Tanggungan tidak mempunyai jaminan khusus, sehingga berkedudukan sebagai kreditor konkuren. Bagi kreditor, lebih baik tetap dalam keadaan semula, daripada mendapat ganti rugi karena perubahan obyek jaminan yang dapat merugikan dirinya.<br /><br />6. Jaminan Tambahan<br /><br />Di dalam praktik perbankan, dalam hal menghadapi kemungkinan hapusnya obyek jaminan dalam hal ini hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan yang jangka waktunya akan habis sebelum jangka waktu kredit yang diberikan, maka bank akan meminta jaminan tambahan selain hak atas tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan. Di Indonesia dikenal beberapa bentuk hak jaminan selain Hak Tanggungan, yaitu :<br />1. Gadai, diatur dalam Pasal 1150-1160 BW;<br />2. Hipotik, terdapat dalam BW Buku II, yaitu dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1170, Pasal 1173 sampai dengan Pasal 1185, Pasal 1189 sampai dengan Pasal 1194 dan Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1232 BW. Dalam Pasal 314 KUHD, UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Pelayaran beserta PP No. 23 Tahun 1985 bagi Hipotik Kapal, dan Pasal 12 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan bagi Hipotik Pesawat;<br />3. Fidusia, diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia; dan<br />4. Jaminan Pribadi (borgtocht/Personal Guarantee), diatur dalam Pasal 1820-1850 BW.<br />Demikian pula dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal, diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan pemberian kredit. Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit. Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham. Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi atau akuisisi. Berdasarkan ketentuan tersebut, bank juga diperbolehkan memberikan kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar di bursa efek. Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham. Jika saham yang diagunkan termasuk saham yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai nominal pada saat akad kredit ditandatangani. Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimum sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang bersangkutan. Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan. Dari uraian diatas, diketahui bahwa untuk mengamankan kredit yang diberikan, kreditor dapat meminta jaminan tambahan, mengingat obyek Hak Tanggungan yang berupa HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah Negara merupakan hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas sehingga ada kemungkinan hapusnya Hak Tanggungan bersangkutan.<br /><br />BAB III<br />HAPUSNYA HAK ATAS TANAH OBYEK HAK TANGGUNGAN<br /><br />1. Hak Atas Tanah Sebagai Obyek Hak Tanggungan<br /><br />Menurutketentuan di dalam UUPA, yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, HGU dan HGB, demikian menurut Pasal 25, 33, dan 39 UUPA. Kebutuhan praktik menghendaki agar Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hipotik (pada saat ini Hak Tanggungan), kebutuhan ini ternyata telah diakomodir oleh UUHT. Akan tetapi, hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UUHT) . Dalam Penjelasan Umum UUHT dikemukakan, bahwa terhadap Hak Pakai atas tanah Negara, yang walaupun wajib didaftar, karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan bukan merupakan objek Hak Tanggungan. Hak Pakai seperti tersebut diatas contoh-contohnya adalah Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan sosial, dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara Asing . Demikian pula Hak Milik yang sudah diwakafkan, dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, maka tidak dapat dibebani Hak Tanggungan (Penjelasan Umum UUHT). Maka obyek-obyek Hak Tanggungan adalah :<br />a. Hak Milik;<br />b. Hak Guna Usaha;<br />c. Hak Guna Bangunan;<br />d. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;<br />e. Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).<br />Diketahui bahwa BW menganut asas perlekatan, sedangkan UUHT menganut asas pemisahan horizontal. UUHT menganut asas pemisahan horizontal karena UUHT merupakan derifatif dari UUPA yang berdasarkan hukum adat. Sebagaimana diketahui hukum tanah berdasarkan hukum adat menganut asas pemisahan horizontal . Asas perlekatan yang dianut oleh BW itu tercermin dari ketentuan Pasal 1165 BW yang menentukan bahwa setiap Hipotik meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari demi hukum terbebani pula dengan Hipotik yang telah dibebankan sebelumnya di atas hak atas tanah yang menjadi obyek Hipotik. Pasal 1165 BW juga menegaskan bahwa Hipotik meliputi pula segala perbaikan dikemudian hari dari benda yang dibebani Hipotik tersebut. Sebagaimana diketahui hukum adat nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Oleh karena itu segala benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu tidak dengan sendirinya (tidak demi hukum) terbebani pula dengan Hak Tanggungan yang dibebankan atas tanah tersebut. Sehubungan dengan itu seperti yang dijelaskan di dalam Angka 6 Penjelasan Umum UUHT dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut, menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut . Namun, UUHT mengambil sikap bahwa penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, dalam UUHT dinyatakan bahwa pembebanan Hak Tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud diatas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktik, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya untuk dijadikan jaminan itu, dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan di dalam APHTnya. Asas tersebut tertuang didalam Pasal 4 ayat (4) UUHT. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut, Hak Tanggungan tidak hanya dapat dibebankan pada hak atas tanahnya saja, tetapi dapat pula berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, atau yang di dalam UUHT disebut “benda-benda yang berkaitan dengan tanah”. Bahkan, bukan hanya bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada saja, tetapi juga yang baru akan ada dikemudian hari. Pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah hanya terjadi bila secara tegas dinyatakan dalam APHT yang bersangkutan. Bila hal itu tidak dinyatakan dengan tegas (secara eksplisit), Hak Tanggungan hanya terjadi atas tanahnya saja. Hal ini adalah sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum tanah nasional . Dari Pasal 4 ayat (5) UUHT dapat diketahui bahwa benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu tidak terbatas hanya pada benda-benda yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan saja, melainkan dapat juga meliputi benda-benda meliputi benda-benda yang dimiliki oleh pihak lain. Namun, pembebanannya hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa oleh pemilik pada APHT yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (5) UUHT, dalam hal pemberian Hak Tanggungan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh kuasa pemiliknya, pemberian kuasanya harus dilakukan dengan akta otentik. Menurut Sutan Remy Sjahdeini , di dalam UUHT sengaja bukan dipakai istilah “bangunan yang berada diatas tanah tersebut” tetapi dengan istilah “bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut”. Hal ini dimaksudkan agar supaya yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah juga bangunan-bangunan yang berada di bawah permukaan tanah yang pada saat ini telah banyak dilakukan pembangunannya di Indonesia. Diberikan contoh dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (4) UUHT adalah basement, yaitu lantai di bawah tanah dari gedung-gedung bertingkat. Dari membaca Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) UUHT, ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan bagi sahnya Hak Tanggungan agar Hak Tanggungannya dapat berikut bangunan tanaman dan hasil karya diatas tanah itu. Syarat-syarat tersebut adalah :<br />1. Bangunan, tanaman, dan hasil karya harus merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut;<br />2. Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut merupakan milik pemegang hak atas tanah, agar Hak Tanggungan yang dibebankan atas hak atas tanah tersebut terbebankan pula pada bangunan, tanaman dan hasil karya di atas tanah itu, haruslah pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam APHT yang bersangkutan;<br />3. Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, haruslah pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut dilakukan dengan adanya penandatanganan serta pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.<br />2. Batas Waktu Hak Atas Tanah<br /><br />Sebagaimana diuraikan diatas, diketahui obyek Hak Tanggungan yaitu :<br />a. Hak Milik;<br />b. Hak Guna Usaha (HGU);<br />c. Hak Guna Bangunan (HGB);<br />d. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;<br />e. Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).<br />Berikut diuraikan mengenai batas waktu hak atas tanah tersebut diatas :<br />a. Hak Milik<br />Ketentuan mengenai Hak Milik, disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik diatur dalam undang-undang. Undang-undang yang diperintahkan itu sampai sekarang belum terbentuk. Oleh karena itu maka diberlakukan Pasal 56 UUPA, yaitu selama undang-undang tentang Hak Milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA. Hak Milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Turun-temurun, artinya Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka Hak Miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik. Terkuat, artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh, artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain . Hak Milik atas tanah dapat dipunyai oleh perseorangan warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah.<br />b. Hak Guna Usaha (HGU)<br />Ketentuan mengenai HGU, disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai HGU diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan yang dimaksudkan disini adalah PP No. 40/1996, HGU secara khusus diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18. Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. PP No. 40/1996, menambahkan guna perusahaan perkebunan. HGU mempunyai jangka waktu pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Pasal 8 PP No. 40/1996 mengatur jangka waktu HGU adalah pertama kalinya paling lama 35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan diperbarui paling lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaruan HGU diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU tersebut.<br />c. Hak Guna Bangunan (HGB)<br />Ketentuan mengenai HGB disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai HGB diatur dengan peratran perundangan. Peraturan yang dimaksud adalah PP No. 40/1996. Secara khusus diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 38. Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa HGB terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Sedangkan Pasal 21 PP No. 40/1996 menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan HGB adalah tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut HPL) dan tanah Hak Milik. Jangka waktu HGB diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 PP No. 40/1996. Jangka waktu HGB berbeda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :<br />1. HGB atas tanah Negara<br />HGB ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.<br />2. HGB atas tanah HPL<br />HGB ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun<br />3. HGB atas tanah Hak Milik<br />HGB ini berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka waktu, namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HGB dapat diperbarui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.<br />d. Hak Pakai<br />Ketentuan mengenai Hak Pakai disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang dimaksud yaitu PP No. 40/1996, secara khusus diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 38. Menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Perkataan “menggunakan” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “memungut hasil” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan . Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara tegas berapa lama jangka waktu Hak Pakai. Pasal ini hanya menentukan bahwa Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalam PP No. 40/1996, jangka waktu Hak Pakai diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49. Jangka waktu Hak Pakai ini berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :<br />1. Hak Pakai atas tanah Negara<br />Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu 25 tahun. Khusus Hak Pakai yang dipunyai Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan Negara asing, dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.<br />2. Hak Pakai atas tanah HPL<br />Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Perpanjangan jangka waktu atau pembaruan Hak Pakai ini dapat dilakukan dengan usul pemegang HPL.<br />3. Hak Pakai atas tanah Hak Milik<br />Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang, namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat diperbarui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.<br />Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUHT, menentukan yang menjadi obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah yang terdaftar dan dapat dipindahtangankan, tetapi disamping itu, sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) UUHT, juga dimungkinkan, bahwa pemberi Hak Tanggungan dapat pula menjaminkan pula bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ada atau yang akan ada, yang bersatu dengan tanah yang bersangkutan. Hal ini merupakan konsekuensi atas dianutnya asas pemisahan horisontal dalam UUHT sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Jadi pemilik tanah dengan pemilik bangunan (dan/atau tanaman dan/atau hasil karya) bisa sama, bisa pula berlainan. Kalau pemilik tanah adalah debitor atau pihak ketiga pemberi Hak Tanggungan, maka benda-benda yang bersatu dengan tanah itu bisa milik debitor sendiri atau milik pihak ketiga pemberi Hak Tanggungan sendiri atau milik orang lain. Dalam hal benda-benda lain tersebut milik orang daripda pemilik tanah yang bersangkutan, maka untuk pembebanan oleh pemiliknya, tindakan tersebut harus diwujudkan dalam bentuk penandatanganan serta APHT oleh pemilik benda-benda tersebut atau kuasanya (Pasal 4 ayat (5) UUHT, yang bertindak untuk dan atas tanah nama pemilik yang bersangkutan. Dengan demikian tidak cukup bahwa pemilik benda-benda yang bersatu dengan tanah menyetujui pembebanan Hak Tanggungan atas anah, dengan mana benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembebanan Hak Tanggungan baru bisa meliputi benda-benda yang bersatu dengan tanah yang bersangkutan, kalau tanahnya itu juga dijaminkan. Dalam Pasal 4 ayat (4) UUHT menentukan ”Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut…”, jadi yang pokok adalah pembebanan hak atas tanahnya. Namun hal ini tidak berarti, bahwa benda-benda yang bersatu dengan tanah tidak bisa dijaminkan secara terpisah dari tanah tidak bisa dijaminkan secara terpisah dari tanahnya, asal melalui lembaga jaminan lain. Sepanjang mengenai tanahnya memang sekarang hanya tersedia satu lembaga jaminan saja, yaitu Hak Tanggungan, tetapi untuk benda-benda yang bersatu dengan tanah, bisa dijaminkan dengan memakai lembaga jaminan lain misalnya Fidusia.<br />Mengenai hapusnya benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut misalnya bangunan, tentunya berkaitan dengan jangka waktu hak atas tanah dimana letak bangunan tersebut. Sehingga bilamana hak atas tanah tersebut menjadi hapus dalam hal ini HGB yang telah habis jangka waktunya yang mengakibatkan jatuhnya tanah HGB tersebut menjadi tanah Negara maka tentunya bangunan tersebut turut pula jatuh pada negara. Pasal 37 dan Pasal 38 PP No. 40/1996 mengatur konsekuensi bagi bekas pemegang HGB atas hapusnya HGB, yaitu :<br />1. Apabila HGB atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang HGB wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak hapusnya HGB;<br />2. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka bekas pemegang HGB diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;<br />3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang HGB;<br />4. Jika bekas pemegang HGB lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas HGB itu dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang HGB;<br />5. Apabila HGB atas tanah HPL atau atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang HGB wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang HPL atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian pemberian HGB atas tanah Hak Milik.<br />Mengingat konsekuensi tersebut diatas maka diharapkan, kreditor pemegang Hak Tanggungan yang mana hak atas tanah yang diagunkan adalah HGB yang turut pula meliputi bangunan dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut lebih berhati-hati dan memperhatikan jangka waktu HGB tersebut, karena bilamana HGB yang merupakan hak atas tanah yang mempunyai jangka waktu yang terbatas menjadi hapus maka akan sangat merugikan kreditor pemegang Hak Tanggungan karena disamping hak atas tanah (dalam hal ini HGB) menjadi hapus, bangunan dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut turut pula hapus. Hal ini tentunya sangat dihindari oleh kreditor, sebab Hak Tanggungan merupakan jaminan kebendaan yang berfungsi sebagai sarana pengaman terhadap penyaluran dana oleh kreditor kepada debitor.<br /><br />3. Hapusnya Hak Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan dan Akibat Hukumnya<br /><br />Perjanjian kredit merupakan perjanjian secara khusus baik oleh bank selaku kreditor maupun nasabah selaku debitor, maksudnya perjanjian kredit merupakan perjanjian obligatoir . Pada asasnya janji menimbulkan perikatan . Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan, sekalipun Buku III BW mengatur tentang perikatan, tetapi tidak ada satu pasal pun yang menguraikan apa yang dinamakan perikatan. Demikian pula code civil Perancis maupun BW Belanda yang merupakan konkordansi berlakunya BW di Indonesia tidak juga menjelaskan hal tersebut. Menurut sejarahnya “verbintenis” berasal dari bahasa Perancis “obligation” yang terdapat dalam code civil Perancis, yang selanjutnya merupakan pula terjemahan dari perkataan “obligation” yang terdapat dalam hukum Romawi Corpus Iuris Civilis, dimana penjelasannya dalam Institutiones Justianus . Dalam perkembangannya pengertian tersebut, telah mengalami perubahan dan dapat dilihat dari definisi Hofmann . Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitor atau para debitor) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Menurut Pitlo , perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditor) dan pihak lain berkewajiban (debitor) atas sesuatu prestasi . Dari pendapat para ahli tersebut dapat dipahami bahwa suatu perjanjian dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan, tergantung daripada jenis perjanjian yang diadakan oleh para pihak tersebut. Meskipun BW tidak memberikan rumusan, defenisi, maupun arti istilah “perikatan”, namun diawali dengan ketentuan Pasal 1233 BW menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian baik karena undang-undang”. Ketentuan tersebut dipertegas oleh rumusan ketentuan Pasal 1313 BW, yang menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Dengan demikian jelaslah perjanjian melahirkan perikatan . Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 1233 BW yang merumuskan bahwa BW hendak menyatakan diluar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan, berarti perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Maksudnya pembuat perjanjian atau pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Sifat sukarela perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian . Hubungan hukum yang dimaksudkan, adalah hubungan hukum dibidang hukum harta kekayaan. Rumusan tersebut memberikan arti bahwa dalam setiap perikatan terlibat dua macam hal. Pertama, menunjuk pada keadaan wajib yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kedua, berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut, yang dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut. Dalam perspektif ini, maka setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan. Sebagai contoh, kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan . Selanjutnya pernyataan “dalam lapangan harta kekayaan”, dimaksudkan untuk membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan disini adalah perjanjian yang berkaitan dengan harta kekayaan seseorang sebagaimana dijamin dengan ketentuan Pasal 1131 BW yang berbunyi sebagai berikut :<br />“Segala kebendaan pihak yang berutang (debitor), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”<br /><br />Ketentuan Pasal 1131 BW ini merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang lahir dari undang-undang. Disini undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditor dalam kedudukan yang sama. Setiap kreditor menikmati hak jaminan umum seperti itu, dari Pasal 1131 tersimpul asas-asas hubungan ekstern kreditor sebagai berikut :<br />a. seorang kreditor boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harya kekayaan debitor.<br />b. setiap bagian kekayaan debitor dapat dijual guna pelunasan tagihan kreditor, dan<br />c. hak tagihan kreditor hanya dijamin dengan harta benda debitor saja, tidak dengan “person debitor”.<br />Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas schuld dan haftung). Menurut Mariam Darus Badrulzaman asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan di dalam hukum perikatan, dimana setiap orang yang memberikan hutang kepada seseorang, percaya bahwa debitor akan memenuhi prestasinya kemudian hari. Setiap orang wajib memenuhi janjinya merupakan asas moral yang oleh pembentuk undang-undang dikuatkan sebagai norma hukum . Sehubungan posisi perjanjian kredit sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1131 BW hanyalah sebagai jaminan umum yang hak kreditor bentuk prestasinya sebagai kewajiban debitor dalam menyerahkan pengembalian uang beserta bunganya kepada kreditor, masih menunggu realisasinya dikemudian hari sesuai waktu yang disepakati. Seandainya debitor tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutangnya, maka posisi kreditor menjadi rawan akan kerugian yang diderita. Terlebih lagi perjanjian kredit hanya sebagai suatu perikatan yang hanya melahirkan hak perseorangan, yang sifatnya relatif dan kedudukan kreditor sekedar sebagai kreditor konkuren. Sarana perlindungan selanjutnya kepada kreditor juga ditentukan dalam Pasal 1132 BW menyebutkan bahwa benda tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya; pendapatan penjualan dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara yang berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan. Ketentuan ini merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua kreditor, sifat umum dari hak jaminan diartikan tidak ada perbedaan atau prioritas bagi kreditor tertentu berlaku asas paritas creditorum, dimana pembayaran atau pelunasan hutang kepada para kreditor dilakukan secara berimbang. Maksudnya dalam hal seorang debitor mempunyai beberapa kreditor, maka kedudukan para kreditor ini adalah sama, namun jika kekayaan debitor tidak mampu untuk dipergunakan melunasi hutang debitor dengan sempurna, maka para kreditor ini dibayar berdasarkan asas keseimbangan, yang masing-masing memperoleh piutangnya seimbang dengan piutang lain (asas non-pondgewijs) . Adapun dimaksud perkecualian dalam Pasal 1132 BW adalah bahwa undang-undang mengadakan penyimpangan terhadap asas keseimbangan ini, jika ada perjanjian kebendaan, sedangkan penyimpangan karena undang-undang dinamakan privilege yang hanya merupakan hak untuk lebih mendahulukan dalam pelunasan/pembayaran piutang, tetapi privilege itu bukan merupakan hak kebendaan. Sehubungan jaminan umum yang tercantum dalam Pasal 1131 BW ada kelemahannya, bilamana debitor cidera janji dan tidak memenuhi pembayaran kembali pinjamannya, kemudian atas permintaan para kreditor kepada yang berwenang untuk menjual lelang harta benda debitor, ternyata hasil lelang tidak mencukupi untuk membayar kembali jumlah pinjamannya kepada kreditor yang memperebutkan hasil lelang, hal tersebut tentunya sangat merugikan kreditor. Posisi kreditor dalam perjanjian yang bersifat umum tersebut hanya menduduki sebagai kreditor konkuren yang tidak memiliki preferensi, sehingga apabila debitor cidera janji, para kreditor akan bersaing satu sama lain untuk memperoleh pembayaran dari hasil lelang harta benda debitor. Untuk mengatasi persaingan tersebut, maka didalam BW pun terdapat ketentuan yang memungkinkan adanya kreditor yang mendapat hak didahulukan daripada kreditor lainnya. Hak didahulukan ini dapat diperoleh dengan adanya perjanjian khusus antara debitor dan kreditor, yang akan dijadikan landasan bagi sahnya hak didahulukan dari kreditor lainnya. Dilakukannya ketentuan yang mengatur hak didahulukan bagi kreditor, karena menyadari kelemahan jaminan umum yang ada dalam Pasal 1131 BW tersebut, maka pembentuk undang-undang menyiapkan alternatif perangkat jaminan lainnya yang lebih mantap, yakni jaminan khusus yang obyeknya juga harta kekayaan milik debitor, hanya saja sudah ditunjuk secara tertentu dan diperuntukan bagi kreditor tertentu pula. Karena obyeknya benda, maka ketentuan khusus ini, maka ketentuan khusus ini dikelompokan ke dalam hukum benda yang diataur dalam Buku II BW. Dengan disediakannya ketentuan jaminan ini, sebenarnya pembentuk undang-undang berpesan kepada para pelaku ekonomi, bahwa kalau memberikan kredit, janganlah hanya didasarkan pada kepercayaan belaka. Sebab secara faktual untuk mengetahui jumlah harta benda debitor itu tidak gampang, begitu pula teramat sulit untuk melacak fluktuasi harta debitor pada masa-masa mendatang. Didorong alasan itu, para pelaku ekonomi disarankan untuk dapat menggunakan ketentuan-ketentuan jaminan kebendaan yang disediakan, demi menangkal risiko yang muncul dikemudian hari pada saat sedini mungkin . Mengingat BW ini mengenal bermacam-macam pembagian benda, dan yang terpenting adalah pembagian jenis benda bergerak, benda tidak bergerak, maka untuk lembaga jaminan khusus inipun digantungkan ada jenis pembagian benda tersebut .<br />Perjanjian kredit merupakan perjanjian secara khusus baik oleh bank selaku kreditor maupun nasabah selaku debitor, maksudnya perjanjian kreditor merupakan perjanjian obligatoir lazimnya selalu dilengkapi dengan perjanjian kebendaan, kedudukan bank selaku kreditor akan lebih unggul dari kreditor yang lain, karena pelunasan pinjaman yang telah dikucurkan, harus lebih didahulukan dari pembayaran lainnya. Pola semacam ini jelas dapat mengamankan dana pinjaman yang telah disalurkan oleh pihak bank, karena dapat diharapkan kembali utuh beserta bunganya, dan sejalan pula dengan prinsip kehati-hatian yang diacu dunia perbankan sebagai landasan hidupnya . Apabila oleh para pihak kemudian melengkapi dengan mengadakan perjanjian pemberian Hak Tanggungan, berarti pada sisi ini perjanjiannya merupakan jenis perjanjian kebendaan yang melahirkan hak kebendaan. Dari pola ini akhirnya yang bersangkutan, hak tagih yang dimilikinya dan persoonlijk, segera memperoleh dukungan hak kebendaan dari perjanjian jaminan Hak Tanggungan yang telah dibuatnya. Hak tagih kreditor yang telah memperoleh dukungan Hak Tanggungan seperti itu, mengakibatkan kreditor tersebut memiliki posisi kreditor preferen atau memperoleh kedudukan yang diutamakan dalam hal pelunasan piutangnya. Tentunya bank (kreditor) sebagai pelaku ekonomi bertindak hati-hati dan menghindari kedudukan selaku kreditor konkuren, perlu mendayagunakan ketentuan-ketentuan lembaga jaminan, guna mengantisipasi risiko manakala debitor tidak memenuhi prestasinya.<br />Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan . Lembaga jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditor guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat asesoir dari perjanjian pokok (perjanjian kredit atau pembiayaan) oleh debitor dengan kreditor . Apabila didefinisikan yang dimaksud dengan perjanjian khusus, adalah perjanjian yang dibuat kreditor atau bank dengan debitor atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok . Penyebutan jaminan yang diikat dengan benda tertentu yang diperjanjikan antara kreditor dan debitor dan atau pihak ketiga, dapat dipahami sebagai konsekuensi logis atas pembagian benda yakni benda bergerak dan tidak bergerak .<br />Dalam praktik perbankan perjanjian jaminan dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir dari suatu perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit. Menurut UU Perbankan, memberikan rumusan mengenai pengertian kredit. Kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan (Pasal 1 butir 12). Dari pengertian kredit tersebut, maka elemen-elemen kredit adalah :<br />1. Kredit mempunyai arti khusus yaitu meminjamkan uang;<br />2. Penyedia/pemberi pinjaman khusus terjadi di dunia perbankan;<br />3. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit;<br />4. Dalam jangka waktu tertentu;<br />5. Adanya prestasi dari pihak peminjam untuk mengembalikan utang disertai dengan jumlah bunga atau imbalan. Bagi bank syariah atau bank muamalat pengembalian utang disertai imbalan atau adanya pembagian keuntungan tetapi bukan bunga.<br />Walaupun dalam BW dan juga dalam UU Perbankan tidak diwajibkan pemberian kredit dengan jaminan, namun dalam praktik pemberian kredit hampir tidak ada bank yang berani memberikan kredit tanpa jaminan. Hal itu dilakukan untuk menjamin keamanan agar terhindari dari risiko kehilangan dana yang telah disalurkan, yang disebabkan oleh debitor tidak membayar utangnya, dengan adanya jaminan dalam usaha perbankan merupakan salah satu upaya agar pinjaman yang diberikan kepada debitor dibayarkan kembali sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dengan mendapatkan hasil berupa laba dari usaha tersebut, diharapkan sebagai pengaman dan pendukung penyaluran kredit bank, terlebih lagi secara yuridis diharapkan adanya kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan perundangan di samping aspek keadilan dan aspek manfaat, yang memiliki kaitan erat dengan pelaku ekonomi, bahkan sebagai acuan baginya yang seringkali menggunakan jasa hukum dalam pelbagai transaksinya.<br />Perjanjian jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan atau ikutan (accessoir). Artinya keberadaan perjanjian jaminan tidak dapat dilepaskan dari adanya perjanjian pokok atau jaminan yang timbul karena adanya perjanjian pokok. Perjanjian jaminan mengabdi kepada perjanjian pokok dan diadakan untuk kepentingan perjanjian pokok dan memberikan kedudukan kuat dan aman bagi para kreditor. Perjanjian pokok yang mendahului lahirnya perjanjian jaminan umunya berupa perjanjian kredit, perjanjian pinjam-meminjam, atau perjanjian hutang piutang . Berkaitan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan, A. S. v Nierop mengatakan bahwa tanpa ada hak tagih maka tidak ada hak jaminan. Peralihan hak jaminan, apabila perjanjian pokoknya beralih, tidak perlu dipenuhi syarat peralihan pada umumnya seperti yang ditentukan dalam undang-undang . Jadi suatu perjanjian jaminan tidak mungkin ada apabila tidak ada perjanjian pokoknya, karena perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri. Selanjutnya apabila para pihak sepakat bahwa pinjaman itu dijamin dengan hak atas tanah, berarti mereka harus mengadakan perjanjian jaminan untuk membebani hak atas tanah dengan Hak Tanggungan. Penegasan perjanjian pemberian Hak Tanggungan merupakan suatu perjanjian yang bersifat accessoir secara lengkap diatur dalam Penjelasan Umum UUHT butir 8 disebutkan :<br />“Oleh karena Hak Tanggungan yang menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut beralih kepada kreditor lain, maka Hak Tanggungan yang menjaminnya – karena hukum – ikut beralih pula kepada kreditor tersebut. Demikian pula jika Hak Tanggungan hapus karena hukum – karena pelunasan atau sebab-sebab lain – maka piutang yang dijaminnya menjadi hapus”.<br /><br />Kedudukan perjanjian yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir itu menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditor. Konsekuensi perjanjian yang bersifat accessoir sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Umum Butir 8 UUHT mempunyai akibat-akibat hukum yakni : (1) adanya tergantung pada perjanjian pokok; (2) ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok; (3) hapusnya tergantung pada perjanjian pokok .<br />Sifat accessoir dari Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Butir 8 UUHT tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menentukan bahwa :<br />“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut”.<br /><br />Menurut Sutan Remy Sjahdeini, ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUHT, bahwa timbulnya Hak Tanggungan hanyalah dimungkinkan, apabila sebelumnya akan diberikannya Hak Tanggungan itu telah diperjanjikan di dalam perjanjian hutang-piutang (perjanjian kredit) yang menjadi dasar pemberian hutang (kredit) yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Sedangkan pemberian Hak Tanggungan itu sendiri nantinya dilakukan dengan pembuatan perjanjian tersendiri oleh PPAT yang disebut Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 10 ayat (2) UUHT). Ketentuan ini tidak ada sebelumnya di dalam hipotik. Pemberian hipotik tidak perlu didahului dengan janji dalam perjanjian hutang-piutangnya bahwa untuk menjamin pelunasan hutang dari debitor itu akan diberikan jaminan berupa hipotik . Sebagai konsekuensi dari perjanjian jaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, maka keberadaan perjanjian jaminan mempunyai akibat-akibat hukum sebagai berikut, pertama, adanya (lahirnya) bergantung pada perjanjian pokok. Kedua, hapusnya juga bergantung pada perjanjian pokok. Ketiga, jika perjanjian pokoknya batal, maka perjanjian ikutannya juga batal. Keempat, apabila perjanjian pokoknya beralih, maka perjanjian ikutannya juga beralih . Perjanjian jaminan, termasuk Hak Tanggungan, akan melahirkan hak-hak istimewa yang nyaris unggul untuk dimiliki kreditor, sehingga posisinya menjadi relatif aman dalam transaksi yang dibuatnya dengan pihak debitor. Hasil seperti itu maka dapat dipahami bahwa perjanjian jaminan dalam bidang perekonomian dapat memberikan rambu pengaman yang memadai bagi pelaku-pelaku bisnis .<br />Disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d, salah satu penyebab hapusnya Hak Tanggungan yaitu hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Dalam pelaksanaan ketentuan di bidang pertanahan sering kali hak atas tanah menjadi hapus. Misalnya, Pemerintah tidak memperpanjang HGB yang sudah lewat waktu 30 tahun. Alasan Pemerintah tidak memperpanjang HGB tersebut misalnya karena rencana tata ruang kota telah berubah sehingga peruntukkannya tidak sesuai dengan tata ruang kota yang baru. Dalam hal ini apabila tidak diperpanjang maka HGB tersebut menjadi hapus. Jika tanah HGB itu diletakkan Hak Tanggungan demi kepentingan kreditor, maka Hak Tanggungan tersebut ikut menjadi hapus. Hapusnya Hak Tanggungan sebagai perjanjian kebendaan mempunyai akibat hukum, yaitu berubahnya posisi kreditor, yang semula berkedudukan sebagai kreditor preferen yang mempunyai hak kebendaan kemudian berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang mempunyai hak perseorangan. Hak perseorangan merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang lahir dari undang-undang, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 BW. Oleh karena itu kreditor mempunyai persamaan hak dan persamaan kedudukan dengan kreditor lainnya terhadap harta seorang debitor sehingga dalam pemenuhan piutangnya tidak dapat didahulukan pembayarannya sekalipun di antara mereka ada yang mempunyai tagihan yang lahir terlebih dulu daripada yang lain. Kongkretnya seorang kreditor tidak berhak menuntut pelunasan lebih dulu dari kreditor yang lain. Jaminan umum seperti itu diberikan kepada setiap kreditor yang berhak atas seluruh harta kekayaan debitor sebagaimana telah dijelaskan diatas.<br /><br />BAB IV<br />PENUTUP<br /><br />1. KESIMPULAN<br /><br />a. Upaya yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan yaitu pencantuman kuasa dalam APHT atas tanah yang bersangkutan, dimana hal tersebut telah dimungkinkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT. Ketentuan tersebut memungkinkan untuk dapat mencantumkan suatu janji untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan. Menyelamatkan objek Hak Tanggungan disini termasuk untuk mengantisipasi atau menyelamatkan hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena habisnya waktu hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan akibat tidak diperpanjangnya masa berlaku hak atas tanah tersebut. Dengan demikian dalam APHT atas tanah tersebut dapat dicantumkan kuasa dari pemberi Hak Tanggungan kepada penerima Hak Tanggungan (pemegang Hak Tanggungan) untuk memperpanjang jangka waktu hak atas tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi pada HGU, HGB, dan Hak Pakai atas tanah Negara karena hak-hak atas tanah tersebut mempunyai masa berlaku atau jangka waktu tertentu. Pasal 11 ayat (2) UUHT memberikan kemungkinan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan di dalam APHT suatu janji yang memberikan kewenangan untuk dapat menyelamatkan atau memperpanjang objek Hak Tanggungan, jika hal tersebut diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu.<br />b. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT, salah satu penyebab hapusnya Hak Tanggungan yaitu hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Apabila Hak Tanggungan menjadi hapus akan mempunyai akibat hukum terhadap kreditor pemegang Hak Tanggungan, yaitu yang awalnya berposisi sebagai kreditor preferen sebagai pemegang jaminan kebendaan karena APHT sebagai perjanjian jaminan kebendaan mempunyai prinsip absolut/mutlak, droit de suite, droit de preference, spesialitas dan publisitas, maka dengan hapusnya Hak Tanggungan berubah menjadi kreditor konkuren yang mempunyai hak perseorangan yang merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang timbul dari undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 BW.<br /><br />2. Saran<br /><br />a. Penerima Hak Tanggungan sebaiknya lebih berhati-hati untuk menerima hak atas tanah yang mempunyai jangka waktu (dalam hal ini HGU, HGB, Hak Pakai atas tanah Negara) untuk lebih memperhatikan jangka waktu hak atas tanah tersebut yang akan dibebani Hak Tanggungan. Hal ini mengingat dengan hapusnya hak atas tanah tersebut akan berakibat pula hapusnya Hak Tanggungan, dengan demikian akan dapat merugikan kreditor tersebut.<br />b. Apabila kreditor setuju untuk menerima hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas sebaiknya juga disertai jaminan tambahan lainnya, baik berupa jaminan kebendaan secara Fidusia, Gadai, maupun Hipotik. Hal ini untuk melindungi kepentingan kreditor bilamana hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus.Unknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-6601150086135004372009-04-08T00:17:00.000-07:002009-04-08T00:29:54.068-07:00Urgensi Magang bagi Calon Notaris<div align="justify"><p><br />Urgensi Magang bagi Calon Notaris*)<br /><br /><br /><br />Di Belanda, masa magang bagi notaris semakin lama. Setelah keluarnya Notariswet 1999, masa magang menjadi enam tahun.<br />Tulisan ini mencoba menguraikan urgensi magang bagi notaris di Indonesia dibandingkan dengan praktik di Negeri Belanda.<br /><br />Dahulu (Sebelum UUJN)<br /><br />Sebelum terbitnya UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau yang lebih dikenal dengan UUJN, peraturan yang digunakan untuk mengatur mengenai jabatan notaris adalah Staadblad No.3 Tahun 1860. Peraturan yang disebut terakhir merupakan salah satu produk perundang-undangan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Nederlands Indie, jadi merupakan ordonansi tanggal 11 Januari 1860.<br /><br />Melalui azas konkordansi, secara otomatis peraturan mengenai jabatan notaris juga diadaptasi. Dengan kata lain disesuaikan dengan bagaimana peraturan yang sudah berlaku di Belanda. Menurut sejarahnya, peraturan yang diadaptasi tersebut telah berlaku sejak lama bahkan lebih dari 100 tahun. Dan, materinya sudah sering mengalami revisi, disesuaikan dengan perubahan <br />masyarakat dan zaman itu sendiri.<br /><br />Berdasarkan Stbl. 1860 No.3, pasal 13 menegaskan bahwa untuk dapat diangkat menjadi notaris maka seseorang harus memenuhi empat syarat, yaitu:<br />-Warga Negara Indonesia;<br />-Telah mencapai umur 25 Tahun;<br />-Membuktikan kelakuan baik selama 4 tahun terakhir;<br />-Telah lulus dalam ujian notaris.<br /><br />Jika dilihat dari keempat syarat di atas, maka tak ada satu pun syarat yang menyatakan bahwa calon notaris harus melalui masa magang dengan jangka waktu tertentu terlebih dahulu. Sehingga timbul pertanyaan, apakah menurut pemerintah Hindia Belanda saat itu magang tidak terlalu penting dan perlu untuk dimasukkan sebagai syarat?<br /><br />Mengenai syarat magang ini, G.H.S Lumban Tobing (1992) pernah mempermasalahkan dalam bukunya. Menurut dia, pasal-pasal yang ada di dalam Stbl. 1860 No. 3 adalah copy dari pasal-pasal yang ada di Notariswet di Belanda. Tapi mengapa dalam Stbl 1860 No. 3 tidak terdapat suatu pasal yang mengharuskan adanya suatu "masa magang" (werkstage). Padahal, di Notariswet sendiri terdapat ketentuan bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat sebagai notaris, yang bersangkutan harus dapat menyerahkan suatu bukti bahwa ia sudah pernah bekerja (tidak terputus) pada salah satu kantor notaris selama sekurang-kurangnya tiga tahun.<br /><br />Sebenarnya, di Indonesia sudah berapa kali dibahas tentang perlunya "masa magang". Cuma, Pemerintah saat itu tetap tidak memasukkannya ke dalam peraturan secara pasti, meskipun pada waktu itu pernah dikeluarkan Ordonansi 1907 No.485 yang mengatur tentang ujian notaris bagian I, II dan III. Di dalam Ordonansi ini tidak juga dimasukkan secara tegas aturan tetang syarat magang.<br /><br />Dahulu juga pernah ada satu Bijblad no. 5142 yang menyinggung masa magang. <br />Bentuknya hanya berupa anjuran yaitu dari Gouvernementsmissive tertanggal 29 November 1889 No.2763 kepada Direktur van Justitie, agar apabila menerima usulan mengisi lowongan notaris memperhatikan kecakapan dari si pelamar diantaranya adalah kecakapan praktis. Sampai di sini, kita masih dapat menilai bahwa "masa magang" sebagai syarat pengangkatan notaris bukanlah suatu yang urgen atau mendesak.<br /><br />Alasan Pemerintah belum memasukkan syarat magang ke dalam suatu peraturan secara pasti, diduga sangat berkaitan erat dengan situasi Indonesia pada masa itu. Terlebih lagi pada saat kedaulatan diserahkan kembali oleh Pemerintahan Belanda kepada Republik Indonesia (RI) pada 1950, Pemerintah Indonesia secara otomatis mempunyai daulat penuh atas wilayah RI kecuali Irian Barat. Sehingga pada tahun ini pula, pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya dapat mengadakan ujian Negara bagi notaris, di mana sebelumnya yang berhak hanya pemerintahan Hindia Belanda.<br /><br />Akibat dari kembalinya kedaulatan ke tangan RI, maka semua notaris asal Belanda diganti dengan notaris Warga Negara Indonesia (WNI). Namun apa hendak dikatakan kalau pada kenyataannya notaris WNI belum dapat diandalkan. Masih terdapat sejumlah kekurangan di sana-sini. Disadari bahwa para notaris pribumi itu tidak mungkin dapat dewasa dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu diambil kebijakan dengan melepas notaris asal Belanda secara bertahap. Namun demikian kevacuman atau kelangkaan notaris di beberapa daerah tetap saja terjadi, karena ternyata banyak notaris asal Belanda yang berhenti secara sukarela.<br /><br />Dengan adanya kelangkaan notaris, maka dikeluarkan kebijakan bahwa bagi mereka yang mempunyai pengalaman dalam bidang notaris atau sudah menempuh beberapa bagian ujian notaris dapat diangkat jadi wakil notaris sementara dengan wewenang yang sama dengan yang berijasah penuh. Kemudian dikeluarkan UU No. 33 tahun 1954 yang mengatur tentang wakil notaris dan wakil notaris sementara. Untuk wakil notaris diangkat oleh Menteri Kehakiman, sedangkan wakil notaris sementara diangkat oleh ketua Pengadilan Negeri. Di dalam ketentuan ini pun masih saja tidak ada ketentuan yang menyinggung tentang "masa magang" sebagai syarat pengangkatan. Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa pada masa-masa itu pemerintah dengan sengaja melakukannya agar terdapat kebebasan dalam mengeluarkan kebijakan untuk mengatasi suatu keadaan yang mendesak yang berkaitan dengan pengangkatan notaris.<br /><br />Seiring berjalannya waktu, Menteri Kehakiman sebagai institusi yang paling bertanggung-jawab atas pengangkatan notaris, mengeluarkan keputusan No.M-0L.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan. Di dalam keputusan tersebut diatur mengenai pengangkatan notaris bahwa untuk dapat diangkat menjadi notaris, calon notaris mengajukan permohonan dengan memenuhi beberapa syarat yang lebih detail daripada syarat yang ditentukan di dalam Stbl 1860 No. 3. adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:<br />-Warga Negara Indonesia;<br />-Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br />-Setia kepada Pancasia dan UUD 1945;<br />-Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;<br />-Lulus pendidikan spesialis notariat atau Magister kenotariatan yang diselenggarakan perguruan tinggi negeri;<br />-Telah mengikuti pelatihan teknis yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Administrasi Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia republik Indonesia;<br />-Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;<br />-Sehat jasmani dan rohani.<br /><br />Memang, mengenai persyaratan "masa magang" tidak dimasukkan secara langsung, tetapi menjadi persyaratan formal dengan melampirkan surat keterangan dari Notaris bahwa telah mengikuti magang di kantor Notaris selama dua tahun berturut-turut setelah lulus pendidikan spesialis notariat atau magister kenotariatan yang disahkan oleh organisasi setempat.<br /><br />Dengan adanya keputusan dari Menteri Kehakiman tersebut, maka "surat keterangan telah mengikuti magang" bagi calon notaris merupakan keharusan sebagai syarat formal dalam pengajuan permohonan pengangkatan, bukan "magang"nya.<br /><br />Sekarang (Sesudah UUJN)<br /><br />Berdasarkan UUJN sekarang, persyaratan yang harus dipenuhi lebih tegas. <br />Khususnya berkaitan dengan ketentuan magang bagi calon notaris. Bahkan boleh dikatakan sangat berbeda. Syarat apa saja yang harus dipenuhi agar dapat diangkat sebagai notaris, di dalam pasal 3 UUJN dinyatakan sebagai berikut:<br />-Warga Negara Indonesia;<br />-Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;<br />-Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;<br />-Sehat jasmani dan rohani;<br />-Berijasah Sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;<br />-Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi dari Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenoariatan; dan<br />-Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokad, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.<br /><br />Pada praktik, persyaratan magang di atas dijalankan. Seorang lulusan Magister Kenotariatan yang hendak melakukan magang dan telah mendapatkan izin dari notaris di tempat magang yang dimaksud, biasanya diharuskan untuk membuat surat keterangan magang yang telah ditandatangani oleh notaris tempat magang ditujukan kepada sekretaris Pengurus Wilayah INI tempat masing-masing. Hal ini dimaksudkan agar dapat tercatat di sana sejak kapan yang bersangkutan mulai melakukan magang. Sehingga ketika waktu magang 12 bulan telah ditempuh, surat keterangan dapat dikeluarkan Pengurus Wilayah INI berdasarkan berkas keterangan magang yang diterima sebelumnya.<br /><br />Dilihat dari sisi yuridis, setelah UUJN magang bagi calon notaris menjadi sangat urgen karena menjadi dwingenrecth (harus). Namun karena UUJN itu sendiri ditujukan kepada notaris, tidak dapat dipungkiri apabila UUJN ini masih dapat di-akali. Misalnya terjadi KKN diantara si calon notaris dan Pengurus Wilayah organisasi notaris yang berhak mengeluarkan surat keterangan magang.<br /><br />Terlepas dari sebelum atau sesudah UUJN, ada atau tidak ketentuan yang menyatakan adanya persyaratan magang dengan jangka waktu tertentu, masih urgen kah magang bagi calon notaris?<br /><br />Melihat pada praktek notaris di lapangan yang tentunya sangat berbeda ketika masa menempuh perkuliahan Magister Kenotariatan di kampus, maka menurut hemat penulis magang tetaplah urgen bagi calon notaris. Meskipun pada sebagian universitas penyelenggara program Kenotariatan telah ada yang namanya kegiatan ekstra non-kurikuler semacam magang dengan waktu yang berkisar 3-6 bulan, itu belum cukup sebagai bekal praktik notaris secara langsung. Sebab si mahasiswa sekaligus membuat tugas akhir (tesis), sehingga dipastikan kualitas magangnya tidak optimal. Berbeda dengan mereka yang telah lulus MKn dan melakukan magang dengan totalitas, di sana akan terasa pergolakan intelektual, mental, emosional dan spritual dalam menghadapi realitas di lapangan.<br /><br />Sayang, hingga saat ini belum ada kesamaan di antara para notaris dalam memperlakukan si pemagang baik berupa aturan tak tertulis maupun tertulis seperti syarat magang bagi calon advokad saat ini. Bagaimana memperlakukan si pemagang calon notaris semuanya masih diserahkan kepada si notaris penerima masing-masing. Padahal, berdasarkan UUJN (pasal 16 ayat (1) huruf m), tidak pelak lagi, menerima pemagang merupakan salah satu kewajiban notaris.<br /><br />Selain kesamaan dalam memperlakukan si pemagang, menurut penulis juga perlu diperhatikan masalah jangka waktu magang. Karena bila kita melihat kembali pada masa magang wajib bagi calon notaris di negeri Belanda saat ini masa magang menjadi semakin lebih lama. Sebelumnya pada peraturan lama masa magang hanya tiga tahun, sedangkan pada peraturan terbarunya (Notariswet 1999) para calon notaris diharuskan menempuh masa magang lebih lama yakni selama enam tahun.<br /><br />Lamanya masa magang bagi calon notaris di negeri Belanda tidak lantas serta merta kita tiru begitu saja, tetap saja butuh kajian secara khusus. Apakah lamanya masa magang calon notaris di sana disesuaikan dengan masalah yang dihadapi notaris disana jauh lebih kompleks dibanding dengan masalah yang dihadapi oleh notaris di Indonesia yang kiranya masa magang 12 bulan saja sudah cukup?</p><p><br />-----<br /><br /><br />*) Penulis Herlindah Petir, SH, M.Kn adalah Dosen Universitas Brawijaya Malang <br />dan pemerhati profesi notaris dan PPAT<br /><br /></p></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-44691378356302953192009-03-31T09:18:00.001-07:002009-03-31T09:18:41.471-07:00PENDAFTARAN PERTAMA KALI KONVERSI SISTEMATIK<div align="justify"><br />Dasar Hukum:<br /><br />1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). <br /><br />2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. <br /><br />3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. <br /><br />4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. <br /><br />5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. <br /> <br /><br />Persyaratan:<br /><br />1. Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. <br /><br />2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang). <br /><br />3. Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yaitu:<br /><br />a. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau <br /><br />b. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, atau <br /><br />c. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau <br /><br />d. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961, atau <br /><br />e. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau <br /><br />f. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau <br /><br />g. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau <br /><br />h. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau <br /><br />i. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau <br /><br />j. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau <br /><br />k. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. <br /><br />l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum berlakunya UUPA. <br /><br />4. Surat Pernyataan Tdk Dalam Sengketa diketahui Kades/Lurah dan 2 Saksi dari tetua adat / penduduk setempat. <br /><br />5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan. <br /><br />Biaya dan Waktu:<br /><br />1. Sesuai PP 46/2002 dan SE Ka. BPN No.600-1900 tanggal 31 Juli 2003 (Diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk Sporadik) <br /><br />2. Waktu: 90 hari/100 bidang. <br /><br />3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.<br /><br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-71270636332187952622009-03-31T09:05:00.000-07:002009-03-31T09:06:20.165-07:00PROSES SERTIFIKASI TANAH GIRIK<div align="justify"><br /><br />Sebelum mengupas mengenai tata cara pensertifikatan tanah girik, saya merasa perlu untuk menjelaskan, apa itu tanah girik. Tanah girik adalah istilah populer dari tanah adat atau tanah-tanah lain yang belum di konversi menjadi salah satu tanah hak tertentu (Hak milik, hak guna bangunan, hak pakai, hak guna usaha) dan belum didaftarkan atau di sertifikat kan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam2, antara lain: girik, petok D, rincik, ketitir, dll<br /><br />Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan dari tangan ke tangan, dimana semula bisa berbentuk tanah yang sangat luas, dan kemudian di bagi2 atau dipecah2 menjadi beberapa bidang tanah yang lebih kecil. Peralihan hak atas tanah girik tersebut biasanya dilakukan di hadapan Lurah atau kepala desa. Namun demikian, banyak juga yang hanya dilakukan berdasarkan kepercayaan dari para pihak saja, sehingga tidak ada surat-surat apapun yang dapat digunakan untuk menelusui kepemilikannya.<br /><br />Pensertifikatan tanah girik tersebut dalam istilah Hukum tanah disebut sebagai Pendaftaran Tanah Pertama kali . Pendaftaran tanah untuk pertama kalinya untuk TANAH GARAPAN, dalam prakteknya prosesnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:<br /><br />1. Mendapatkan surat rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang bersangkutan<br />2. Pembuatan surat tidak sengketa dari RT/RW/LURAH<br />3. Dilakukan tinjau lokasi dan pengukuran tanah oleh kantor pertanahan<br />4. Penerbitan Gambar Situasi baru<br />5. Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas tanah dan bangunan sesuai dengan luas yang tercantum dalam Gambar Situasi<br />6. Proses pertimbangan pada panitia A<br />7. Penerbitan SK Pemilikan tanah (SKPT)<br />8. Pembayaran Uang pemasukan ke negara (SPS)<br />9. Penerbitan Sertifikat tanah.<br /><br />Untuk proses pensertifikatan tanah tersebut hanya dapat dilakukan jika pada waktu pengecekan di Kantor Kelurahan setempat dan Kantor Pertanahan terbukti bahwa tanah tersebut memang belum pernah disertifikatkan dan selama proses tersebut tidak ada pihak-pihak yang mengajukan keberatan (perihal pemilikan tanah tersebut). Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka proses pensertifikatan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6 bulan sampai dengan 1 tahun.<br /><br />PENDAFTARAN PERTAMA KALI KONVERSI SISTEMATIK <br />Sumber dari : http://www.bpn.go.id/layanan/257 <br /><br />Dasar Hukum:<br /><br />1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). <br />2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. <br />3) Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. <br />4) Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. <br />5) Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. <br /> <br /><br />Persyaratan:<br /><br />1. Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. <br /><br />2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang). <br /><br />3. Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yaitu:<br /><br />a. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau <br /><br />b. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, atau <br /><br />c. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau <br /><br />d. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961, atau <br /><br />e. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau <br /><br />f. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau <br /><br />g. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau <br /><br />h. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau <br /><br />i. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau <br /><br />j. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau <br /><br />k. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. <br /><br />l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum berlakunya UUPA. <br /><br />4. Surat Pernyataan Tdk Dalam Sengketa diketahui Kades/Lurah dan 2 Saksi dari tetua adat / penduduk setempat. <br /><br />5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan. <br /><br />Biaya dan Waktu:<br /><br />1. Sesuai PP 46/2002 dan SE Ka. BPN No.600-1900 tanggal 31 Juli 2003 (Diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk Sporadik) <br /><br />2. Waktu: 90 hari/100 bidang. <br /><br />3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. <br /><br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-40087286191128680852009-03-31T09:00:00.000-07:002009-03-31T09:02:02.586-07:00PROSEDUR DATA YANG DIPERLUKAN dan SYARAT-SYARAT PENANDATANGANAN AKTA JUAL BELI (AJB)<div align="justify"><br /><br />Jual beli merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu, dan biasanya diatur dalam hukum Adat, dengan prinsip: Terang dan Tunai. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, dan Tunai artinya di bayarkan secara tunai. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari:<br /><br />1.PPAT sementara –> adalah Camat yang diangkat sebagai PPAT untuk daerah –daerah terpencil<br /><br />2.PPAT –> Notaris yang diangkat berdasarkan SK Kepala BPN untuk wilayah kerja tertentu<br /><br />Data-data apa saja yang harus dilengkapi untuk proses Jual Beli & balik nama tersebut?<br />Dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tersebut, biasanya PPAT yang bersangkutan akan meminta data-data standar, yang meliputi:<br />I. Data tanah, meliputi:<br />a.asli PBB 5 tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti bayarnya)<br />b.Asli sertifikat tanah (untuk pengecekan dan balik nama)<br />c.asli IMB (bila ada, dan untuk diserahkan pada Pembeli setelah selesai proses AJB)<br />d.bukti pembayaran rekening listrik, telpon, air (bila ada)<br />e. Jika masih dibebani Hak Tanggungan (Hipotik), harus ada Surat Roya dari Bank yang bersangkutan<br /><br />Catatan: point a & b mutlak harus ada, tapi yang selanjutnya optional<br /><br />II. Data Penjual & Pembeli (masing-masing) dengan criteria sebagai berikut:<br />a.Perorangan:<br />a.1. Copy KTP suami isteri<br />a.2. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah<br />a.3. Copy Keterangan WNI atau ganti nama (bila ada, untuk WNI keturunan)<br /><br />b.Perusahaan:<br />b.1. Copy KTP Direksi & komisaris yang mewakili<br />b.2. Copy Anggaran dasar lengkap berikut pengesahannya dari Menteri kehakiman dan HAM RI<br />b.3. Rapat Umum Pemegang Saham PT untuk menjual atau Surat Pernyataan Sebagian kecil asset<br /><br />c.Dalam hal Suami/isteri atau kedua-duanya yang namanya tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia, maka yang melakukan jual beli tersebut adalah Ahli Warisnya. Jadi, data-data yang diperlukan adalah:<br /><br />c.1. Surat Keterangan Waris<br />-Untuk pribumi: Surat Keterangan waris yang disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah yang dikuatkan oleh Camat<br />-Untuk WNI keturunan: Surat keterangan Waris dari Notaris<br />c.2. Copy KTP seluruh ahli waris<br />c.3. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah<br />c.4. Seluruh ahli waris harus hadir untuk tanda-tangan AJB, atau Surat Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris kepada salah seorang di antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris (dalam hal tidak bisa hadir)<br />c.5. bukti pembayaran BPHTB Waris (Pajak Ahli Waris), dimana besarnya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi dengan Nilai tidak kena pajaknya.<br /><br /> <br />Nilai tidak kena pajaknya tergantung dari lokasi tanah yang bersangkutan.<br />Contoh Perhitungannya:<br />-NJOP Tanah sebesar Rp. 300juta, berlokasi di wilayah bekasi:<br />Nilai tidak kena pajaknya wilayah Bekasi adalah sebesar Rp. 250jt. Jadi pajak yang harus di bayar =<br />{(Rp. 300jt – Rp. 250jt) X 5%} X 50%.<br />Jadi, apabila NJOP tanah tersebut di bawah Rp. 250jt, maka penerima waris tidak dikenakan BPHTB Waris (Pajak Waris)<br /><br />Sebelum dilaksanakan jual beli, harus dilakukan:<br />1. Pengecekan keaslian dan keabsahan sertifikat tanah pada Kantor Pertanahan yang berwenang<br />2. Para pihak harus melunasi pajak jual beli atas tanah dan bangunan tersebut.<br />Dimana penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut:<br />-Pajak Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 %<br />-Pajak Pembeli (BPHTB) =<br />{NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%<br /><br />SYARAT PEMBUATAN AKTA HIBAH (Ke PPAT)<br /><br />1. KTP Pemberi hibah (Ibu dan Bapak) <br /><br />2. Surat Nikah Pemberi hibah <br /><br />3. Sertipikat Asli<br /><br /> 4. SPPT dan STTS PBB 10 tahun terakhir <br /><br />5. KTP Penerima hibah<br /><br />6. Persetujuan ahli waris lainnya (KTP)<br /><br />PROSES SERTIFIKASI DAN GANTI NAMA<br /><br />Dasar Hukum:<br />Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). <br />Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2000. <br />Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. <br />Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. <br />Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. <br />Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. <br /><br />Persyaratan:<br />• Surat Pengantar dari PPAT. <br />• Surat Permohonan. <br />• Sertipikat Asli. <br />• Akta Hibah. <br />• Identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat berwenang).<br />• Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. <br />• Bukti pelunasan SSB BPHTB. <br />• Bukti pelunasan SSP Pph Final (untuk Pph apabila hibah vertikal tidak diperlukan). <br />• SPPT PBB tahun berjalan <br />• Ijin Pemindahan Hak, jika:<br />-Pemindahan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Rumah Susun yang di dalam sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang berwenang; <br />-Pemindahan hak pakai atas tanah negara. <br /><br />-Surat Pernyataan calon penerima hak, yang menyatakan:<br />Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku <br />-Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku <br />-Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 11a dan 11b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform <br />-Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 11a dan 11b tidak benar <br /><br />BPHTB <br /><br />Pengertian<br />1.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;<br />2.Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;<br />3.Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.<br /><br />II. Objek PajakYang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:<br /><br />a. Pemindahan hak karena<br /><br />1. jual beli;<br /><br />2. tukar-menukar;<br /><br />3. hibah;<br /><br />4. hibah wasiat;<br /><br />5. waris;<br /><br />6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;<br /><br />7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;<br /><br />8. penunjukan pembeli dalam lelang;<br /><br />9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;<br /><br />10.penggabungan usaha;<br /><br />11.peleburan usaha;<br /><br />12.pemekaran usaha;<br /><br />13.hadiah.<br /><br />b. Pemberian hak baru karena: <br /><br />1. kelanjutan pelepasan hak;<br /><br />2. di luar pelepasan hak.<br /><br />Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.<br /><br />III. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:a.Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;b.Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;c.Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;d.Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;e.Orang pribadi atau badan karena wakaf;f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.<br /><br />IV. Subjek PajakYang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.<br /><br />V. Tarif PajakTarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).<br /><br />VI. Dasar Pengenaan BPHTBDasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;<br />a.Jual beli adalah harga transaksi;<br />b.Tukar-menukar adalah nilai pasar;<br />c.Hibah adalah nilai pasar;<br />d.Hibah wasiat adalah nilai pasar;<br />e.Waris adalah nilai pasar;<br />f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;<br />g.Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;<br />h.Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;<br />i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;<br />j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;<br />k.Penggabungan usaha adalah nilai pasar;<br />l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;<br />m.Pemekaran usaha adalah nilai pasar<br />n. Hadiah adalah nilai pasar;<br />o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;<br /><br />Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.<br /><br /><br />VII. Pengenaan BPHTBa.pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.b.pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:-0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);-50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.<br /><br />VIII. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling banyak;a.Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah);b.Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami.<br /><br />IX. Saat, Tempat, dan Cara Pembayaran Pajak Terutang.Saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:<br />a.jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;<br />b.tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;<br />c.hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;<br />d.waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;<br />e.pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; <br />f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;<br />g.lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;<br />h.putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;<br />i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;<br />j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;<br />k.pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; <br />l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;<br />m.peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;<br />n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;<br />o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;<br /><br />Tempat Pajak Terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.<br /><br />Cara Pembayaran Pajak adalah wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).<br /><br /> <br />I. Cara Penghitungan BPHTB<br />Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;<br /><br />BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)<br />Contoh;1. <br />Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp.50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp. 40.000.000,00. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya sebesar Rp. 50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp. 60 juta)= 5 % x (0)= Rp. 0 (nihil).<br /><br />Contoh 2. <br />Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun 2006 adalah Rp. 100.000.000,00. Sehingga besarnya NPOP adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 5 % x (Rp. 100 – Rp. 60) juta= 5 % x ( Rp. 40) juta= Rp. 2 juta .<br /><br />Contoh 3. <br />Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan“S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta= 50% x 5 % x ( Rp. 100) juta= Rp. 2,5 juta.<br /><br />Contoh 4. <br />Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 – Rp. 300) juta= 50% x 5 % x (0)= Rp. 0 (nihil).<br /><br /><br />II. Pembayaran BPHTB<br />Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB).<br /><br /><br />III. Penetapan<br />1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.<br /><br />2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.<br /><br /><br />IV. Penagihan<br />Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :<br />1.pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;<br />2.dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;<br />3.wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.<br /><br />I. Keberatan<br /><br />(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :<br />a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;<br />b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;<br />c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;<br />d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.<br /><br />(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.<br /><br />(3)Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.<br /><br />(4)Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka (2) dan angka (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.<br /><br />(5)Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.<br /><br />(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.<br /><br />(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.<br /><br />(8) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.<br /><br />(9) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.<br /><br />(10) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.<br /><br />(11) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (8) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.<br /><br /><br />II. Banding<br />(1)Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai kebertannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.<br /><br />(2)Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.<br /><br />(3)Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.<br /><br />(4)Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.<br /><br /><br />III. Pengurangan<br />Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena:<br /><br />1. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, <br /><br />contoh;<br /><br />a. Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan; <br />b. Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.<br /><br />2. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, <br /><br />contoh;<br /><br />a. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;<br /><br />b. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;<br /><br />c. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.<br /><br />3.tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnya; Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat.<br /><br /><br />IV. Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTBWajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, c.q. Kantor Pelayanan Pratama atau Kantor Pelayanan PBB setempat.<br /><br />Ketentuan Bagi Pejabat<br />1.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;<br /><br />2.Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.<br /><br />3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.<br /><br />4.Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/ Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.”<br /><br />5. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.<br /><br />Sanksi Bagi Pejabat<br /><br />a.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dan angka 2 dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.<br /><br />b.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.<br /><br />c.Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />d.Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />e.Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku<br /><br /> <br /><br /><br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-56055629790573474432009-03-30T10:43:00.000-07:002009-03-30T10:44:10.506-07:00LANDREFORM DALAM PEMBARUAN HUKUM AGRARIA<div align="justify"><strong></strong><br /><br />OLEH : MAFERDY YULIUS <br /><br /> Dalam usianya yang ke 45 tahun ini, UUPA telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan tanah. Namun, UUPA juga menunjukan kelemahan dalam kelengkapan isi dan rumusannnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah dimanfaatkan dengan memberikan tafsiran yang menyimpang dari azas dan tujuan ketentuan yang bersangkutan. Pada masa orde baru, orientasi kerakyatan ditinggalkan, orientasi agraria lebih ditekankan pada pemberian kesempatan investor-investor dan pemodal-pemodal besar untuk dapat memiliki tanah guna kepentingan pembangunan. <br /><br /> Akibatnya adalah berupa warisan konflik pertanahan yang tampak sekarang ini. Oleh sebab itu perangkat-perangkat hukum yang ada dalam UUPA perlu di perbaiki, bila perlu dengan melakukan perobahan ketentuan dan rumusan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturannya, agar tersedia perangkat hukum yang lengkap dan jelas, untuk menghindari penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Dengan demikian akan tercipta kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari. <br /><br /> Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu adalah sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan agraria itu hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.<br /><br /> Mengapa harus petani?, sebab sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington, jika syarat-syarat penguasaan tanah itu adil, hingga memungkinkan para petani hidup layak, kecil kemungkinannya akan terjadi suatu revolusi. Sebaliknya, apabila tidak demikian dimana para petani hidup miskin dan menderita, revolusi mungkin akan terjadi, kalau tidak dapat dikatakan revolusi tidak akan dapat dihindarkan, kecuali jika pemerintah segera mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki keadaan itu. Tidak ada kelompok masyarakat yang lebih konservatif dari pada para petani pemilik tanah dan tidak ada pula kelompok yang lebih revolusioner dari pada mereka, jika memiliki tanah yang terlalu sempit, dengan pembayaran sewa yang terlalu tinggi.<br /><br /> Untuk mencegah terjadinya peringatan tersebut, salah satunya adalah dengan program landreform. Landreform dapat dipergunakan sebagai konsep dasar, baik untuk memenuhi beberapa langkah menuju kearah keadilan sosial maupun untuk mengatasi rintangan dalam rangka pembangunan ekonomi. <br /><br /> Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, landreform pernah menjadi primadona dipanggung politik negara, namun kemudian landreform menghilang dari panggung politik, dan digantikan oleh kepentingan-kepentingan pemodal besar.<br /><br /> Secara harfiah, perkataan landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya Tanah dan Reform artinya Perubahan, perombakan. Namun menurut Prof. Arie Sukanti Hutagalung, bila kita mencoba menerjemahkan definisi landreform secara harfiah, kita akan menghadapi suatu hal yang membingungkan, karena istilah Land itu sendiri mempunyai arti yang berbagai macam. Sedangkan istilah Reform berarti mengubah dan terutama mengubah kearah yang lebih baik. Jadi landreform berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan tanah.<br /><br /> Jika dilihat dari pengertian tersebut, pada dasarnya landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Jadi landreform lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi, selain merupakan manifestasi dari tujuan politik, kebebasan dan kemerdekaan suatu bangsa.<br /><br /> Dalam kasus-kasus tanah, landreform dikenal sebagai agrarian reform sekedar untuk memberikan pengertian perubahan dalam gambaran menyeluruh. Sebaliknya, beberapa pihak menerjemahkan landreform secara sempit dan tradisionil, yaitu sebagai alat untuk mengadakan penyediaan tanah bagi para penggarap, yang biasanya dikenal sebagai redistribusi tanah atau dianggap sebagai landreform in practice. <br /><br /> Prof. Boedi Harsono, memberikan perbedaan landreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria, melainkan memuat juga lain-lain pokok persoalan agraria serta penyelesaiannya. Penyelesaian persoalan-persoalan tersebut pada waktu terbentuknya UUPA, merupakan program revolusi dibidang agraria, yang disebut Agrarian Reform Indonesia. <br /><br /> Agrarian reform Indonesia itu meliputi 5 program (Panca Program), yaitu:<br /><br />1. Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;<br /><br />2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;<br /><br />3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;<br /><br />4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;<br /><br />5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaanya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.<br /><br />Program yang ke-empat, lazim disebut program landreform. Bahkan keseluruhan program landreform tersebut seringkali disebut program landreform. Maka ada sebutan lendreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit.<br /><br /> Landreform dalam arti sempit, adalah merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dalam tulisan ini, yang dipergunakan adalah pengertian landreform dalam arti sempit, yaitu meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaanya.<br /><br /> Sejak awal diperkenalkannya program landreform di Indonesia, telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat mengenai tujuan landreform tersebut. Salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Kuntowijoyo, yaitu landreform menurut Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu landreform telah dipakai oleh PKI untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu Tuan Tanah Setan Desa dan Petani. Masyarakat dan birokrasi desa memang tidak siap untuk melaksanakan landreform. Perangkat desa bukanlah alat yang efektif untuk tujuan itu.<br /><br /> Latar belakang dan tujuan landreform tergantung kepada faktor-faktor yang memungkin adanya suatu landreform, termasuk didalamnya adalah tekanan demografi penduduk, system-sistem sosial yang tidak seimbang, tekanan nasionalisme, kegelisahan masyarakat desa dan kekerasan dari luar. Beberapa negara mempergunakan landreform untuk mencapai atau mempertahankan kekuatan dan lainnya menganggap ini sebagai gerakan politik untuk menghindari revolusi yang akan terjadi melawan suatu rezim.<br /><br /> Dalam prakteknya, landreform dijalankan untuk menunjukan reaksi terhadap tekanan politik dari perubahan social ekonomi, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor seperti tekanan pertambahan penduduk disuatu daerah, baik distribusi tanah maupun pendapatan.<br /><br /> Dengan demikian tujuan landreform itu sesungguhnya adalah untuk melakukan perubahan terhadap taraf hidup rakyat, khususnya petani, agar menjadi lebih baik, dengan meningkatkan hasil produksi dan memberikan kepemilikan terhadap tanah bagi petani kecil dan penggarap, yang pada akhirnya akan menuju masyarakat adil dan makmur.<br /><br /> Dalam hal-hal tertentu, istilah landreform dipakai dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai perubahan dalam pemilikan dan penguasaan tanah, khususnya redistribusi tanah. Tetapi, menurut Erich Jacoby, redistribusi tanah tidaklah sama dengan landreform. Namun redistribusi tanah melalui landreform khususnya, telah mencapai target selama 20 tahun terakhir, pada saat prioritas perubahan social ekonomi telah diberikan terhadap daerah-daerah yang masyarakatnya sangat peka terhadap perubahan-perubahan.<br /><br /> Pada dasarnya hal yang menimbulkan perlunya redistribusi tanah adalah ketidak seimbangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Disatu pihak ada sedikit petani yang mempunyai sejumlah besar atau sangat besar tanah pertanian, pada sisi lainnya sejumlah besar petani hanya mempunyai tanah yang sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tanah pertanian untuk digarap.<br /><br /> Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagikan kepada petani yang membutuhkan itu tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian. Hal ini merupakan perwujudan dari azas yang terkandung dalam hukum agraria Indonesia, yang mengakui adanya hak perorangan atas tanah. Pemberian ganti kerugian itu, juga merupakan ciri pokok landreform Indonesia.<br /><br /> Jadi yang dimaksud dengan redistribusi tanah yang menjadi objek landreform, adalah pembagian tanah-tanah pertanian yang telah diambil alih oleh Pemerintah karena terkena ketentuan larangan pemilikan tanah secara maksimum, absentee, tanah swapraja atau bekas swapraja, kepada para petani yang memenuhi syarat untuk menerima distribusi tanah tersebut.<br /><br /> Ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah yang menjadi objek landreform tersebut dimulai pada tanggal 24 September 1963. Pelunasan Surat Hutang Landreform akan dilakukan dalam waktu 12 tahun, terhitung sejak diterimakan kepada bekas pemilik tanah yang bersangkutan, yaitu untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1965. Tetapi dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) PKI pada tahun 1965 itu, dan diikuti dengan perubahan-perubahan moneter kemudian, pengeluaran Surat Hutang Landreform yang sudah selesai disiapkan, terpaksa ditangguhkan dan bahkan kemudian ditiadakan.<br /><br /> Sehubungan dengan apa yang dikemukakan diatas, kiranya dapat dipahami betapa pentingnya program landreform tersebut dimasukan sebagai salah satu agenda dalam pembaruan hukum agraria nasional kita, agar program landreform yang telah lama hilang dan bahkan hampir dilupakan itu, kembali dilaksanakan. Pentingnya program landreform tersebut antara lain dapat dilihat dari pidato Soekarno, dalam amanatnya pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1960, yang berjudul “Laksana Malaikat Yang Menyerbu Dari Langit! Jalannya Revolusi Kita” menyatakan; “Tanah, untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!. Tanah, tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk, gendut, karena mengisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanah itu………….!. <br /><br /> Dengan demikiakn keberhasilan pembaruan hukum agraria itu, hanya akan berhasil apabila pembaruan hukum agraria itu benar-benar mengutamakan kepentingan petani sebagai golongan terbanyak dari bangsa ini yang antara lain adalah melalui program landreform, tentunya dengan tidak mengabaikan peranan investor-investor dan pemodal besar.<br /><br /> Pemikiran ini sengaja menggunakan pengertian dan sebutan pembaruan hukum agraria dan bukan penyempurnaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Boedi Harsono. Penyempurnaan menurutnya, mengandung pengertian membikin sesuatu yang sudah baik, menjadi lebih baik. Pembaruan mengandung arti perubahan atau penggantian sesuatu yang dinilai kurang atau tidak baik. Beliau berkeyakinan bahwa hukum tanah nasional kita sekarang ini sudah baik, sehingga penyempurnaan akan dilaksanakan dengan melengkapi isi UUPA, yang merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional kita dan memperbaiki rumusan ketentuan-ketentuannya dengan suatu peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.<br /><br /> Penulis, berpemikiran bahwa sebutan yang tepat adalah pembaruan hukum agraria, sesuai dengan Ketetapan MPR RI IX/MPR/2001 bukan penyempurnaan hukum agraria, karena kita tidak boleh takut untuk mengakui bahwa hukum tanah nasional kita masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Untuk itu perlu dilakukan revisi yang tidak hanya berupa penyempurnaan, tetapi jika perlu dengan melakukan perubahan-perubahan atau pengantian terhadap beberapa ketentuan UUPA yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini.<br /><br /> Namun demikian, dengan pembaruan hukum tanah nasional itu, diharapkan tidaklah menghapuskan keberadaan hukum adat sebagai sumber utama hukum tanah nasional kita, karena pembaruan yang dimaksud bukan berarti merubah secara total, melainkan memperbaiki dengan melakukan perubahan atau penggantian isi UUPA yang dianggap kurang atau tidak baik, dengan tetap berpedoman kepada hukum adat sebagai sumber utaman<br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-10035155957861347502009-03-30T10:40:00.000-07:002009-03-30T10:41:08.797-07:00POSISI NOTARIS DITENGAH KONTROVERSI PAYUNG HUKUM<div align="justify"><strong></strong><br /><br />Oleh : Maferdy Yulius<br /><br /><br /><br />Disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, telah memunculkan berbagai macam tanggapan, baik yang datang dari kalangan Notaris sendiri, maupun dari pihak lain yang merasa Undang-Undang tersebut telah “memangkas” kewenangan yang selama ini merupakan kewenangannya.<br /><br /> Seperti biasa, setiap diberlakukannya Undang-Undang baru, tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Untuk Undang-Undang Jabatan Notaris ini, polemik terus bergulir, khususnya mengenai beberapa pasal yang dapat menjadi sumber keragu-raguan dalam pelaksanaannnya, pada hal seperti dinyatakan dalam pembukaannya, Undang-Undang ini dibuat untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan.<br /><br /> Didalam Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa, Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, sementara itu, menurut Pasal 1 (14) Menteri yang dimaksud adalah “Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan”. Penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang tersebut, menyatakan kedua pasal tersebut, cukup jelas.<br /><br /> Pasal ini tidak langsung menyebutkan bahwa Menteri yang dimaksud adalah Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, sehingga ada kesan pembuat Undang-Undang, “malu-malu” untuk mengakui bahwa pada akhirnya, Notaris harus diangkat “hanya” oleh Menteri, seperti yang selama ini sudah berlangsung. Pengangkatan Notaris oleh Menteri Kehakiman dimulai sesudah tahun 1954, namun apa yang menjadi dasar kewenangan Menteri Kehakiman untuk dapat mengangkat para Notaris, tidak pernah jelas (GHS. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hal. 58).<br /><br /> Lebih lanjut dikatakannya, bahwa menurut ketentuan pasal 3 PJN, para Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Didalam pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan dengan tegas, bahwa segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Pasal 3 PJN Stbl. 1860 Nomor 3 masih tetap berlaku,karena belum pernah dirubah atau dicabut. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara, hanya Pasal 2 ayat 3, pasal 62,62a dan Pasal 63, yang dicabut. Dengan demikian, pengangkatan Notaris seharusnya tetap dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara, sebagaimana halnya dilakukan sebelumnya, sampai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004. <br /><br /> Pengangkatan para Notaris oleh Gubernur Jenderal(baca: Kepala Negara)adalah dengan alasan; inti dari tugas Notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak, yang secara mufakat meminta jasa-jasa Notaris, yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas Hakim yang memberi putusan tentang keadilan antara para pihak yang bersengketa. Baik Hakim maupun Notaris dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, harus bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutif, oleh karena itu seyogyanya pengangkatan Notaris itu tidak dilakukan oleh Badan Eksekutif, melainkan oleh Kepala Negara (Ibid).<br /><br /> Dengan melihat alasan tersebut diatas, tentunya menimbulkan pertanyaan, apa yang melatarbelakangi pembuat Undang-Undang mengajukan pengangkatan Notaris harus dilakukan oleh Menteri, mengapa ketentuan Pasal 3 PJN yang menentukan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Kepala Negara tidak dipertahankan ?, sementara di beberapa Negara lain, seperti, Belanda, Belgia, Italia para Notaris diangkat oleh Kepala Negara. Mengapa pembuat Undang-Undang justru “menurunkan derajat” Notaris? atau apabila tidak mungkin dilakukan oleh Kepala Negara, mengapa tidak dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, yang sekaligus bertindak selaku pengawas dan pembina para Notaris.<br /><br /> Didalam Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN dinyatakan bahwa; Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan. Selama ini, pembuatan akta Pertanahan, adalah wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)yang penangkatan, pengawasan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Munculnya ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut, tentu saja menimbulkan interprestasi yang berbeda diantara pihak-pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan Notaris sendiri, DPR, Departemen Hukum Dan HAM, serta Badan Pertanahan Nasional. <br /><br /> Departemen Hukum dan HAM melalui Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan menafsirkan, dengan adanya Ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut, maka seorang Notaris tidak perlu lagi mengikuti ujian khusus untuk dapat diangkat sebagai PPAT, karena sudah inheren didalam diri Notaris, maka pembinaan, mengangkat Notaris itu otomatis mengangkat PPAT. Lebih lanjut menurutnya, UUJN mengesampingkan produk hukum lain dibawah Undang-Undang yang mengatur soal PPAT.(Jurnal Renvoi, Ed.No.7, 13-12-2004,hal.21). Demikian pula halnya menurut Akhil Muchtar, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, yang menyatakan bahwa; dari sudut pandang Legislatif, Pasal 15 (f) ini sudah jelas, jadi tidak perlu dijelaskan. Kesimpulannya Notaris diberi wewenang untuk membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan itu didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh undang-undang (Jurnal Renvoi, Ed.No.8, 3-01-2005, hal.8).<br /><br /> Bagaimana dengan Badan Pertanahan Nasional(BPN)?, sebagai pihak yang “hajat dan kewenangannya” dipangkas, tentu saja BPN tidak bisa menerima hal itu, karena keberadaan PPAT tersebut menurut Achmad Rony, juga merupakan perintah undang-undang, yaitu sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUPA, yang kemudian dijabarkan oleh Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961. Lebih lanjut, mengenai PPAT juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1998 tentang Rumah Susun, Undang-Undnag Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Dengan demikian keberadaan PPAT seperti yang dikenal selama ini masih relevan, sementara ketentuan UUJN tidak memberikan ketegasan batas wilayah kerja Notaris selaku Pejabat Umum yang memiliki kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan(Jurnal Renvoi, ibid, hal. 14).<br /><br /> Apabila kita menelaah UUJN itu sendiri, maka sesungguhnya Pasal 15 ayat 1 UUJN dengan tegas telah menyebutkan, bahwa,Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan , perjanjian, dan Ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. <br /><br /> Dengan demikian sepanjang pembuatan akta itu telah ditugaskan kepada kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang(yang dalam hal ini adalah PPAT), maka Notaris, seharusnya tidak lagi berwenang untuk membuatnya. Namun demikian, ketentuan tersebut justru dimentahkan oleh ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f, yang memperbolehkan Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan.<br /><br /> Pada sisi lain, Pasal 17 huruf g UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak secara otomatis juga menjadi PPAT, karena pasal ini mengakui adanya pemisahan kewenangan Notaris dengan PPAT, dimana pasal 17 huruf g tersebut berbunyi; Notaris dilarang; merangkap jabatan sebagai PPAT. <br /><br /> Akibat yang ditimbulkan oleh ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut, ditambah dengan pernyataan-pernyataan dari Pejabat Depertemen Hukum Dan HAM, para Notaris serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, menimbulkan reaksi balik yang keras dari Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Arie Sukanti Hutagalung(Guru Besar Pertanahan FHUI), Badan Pertanahan Nasional sudah sepakat kalau ada Notaris yang membuat akta itu tidak dalam jabatan sebagai PPAT, tidak akan dilakukan balik nama dan tidak akan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan (Ibid, hal: 27).<br /><br /> Bila hal ini benar, maka yang akan dirugikan tidak hanya Notaris yang bersangkutan, melainkan juga masyarakat banyak yang justru menginginkan adanya kepastian hukum. Adalah tepat apa yang dikatakannya, bahwa subtansi UUJN tersebut, bertentangan dengan 3 Undan-Undang dibidang pertanahan, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 dan Undang-Undang No. 4 tahun 1996. Dua undang-Undang terakhir dengan tegas menyebutkan adanya Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jadi UUJN tidak saja menabrak ketiga Undang-Undang tersebut diats, melainkan telah “membypass” ketiga Udang-Undang tersebut.<br /><br /> Pasal lain yang patut dicermati dalam UUJN ini adalah Pasal 20 ayat 1, yang memperbolehkan Notaris untuk membentuk Persekutuan Perdata dalam menjalankan jabatannya. Menurut penjelasannya, yang dimaksud dengan Perserikatan Perdata dalam ketentuan Pasal 20 tersebut, adalah “kantor bersama Notaris”. Di dalam Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 Nomor 3, Pasal 12, Notaris dilarang keras untuk mengadakan persekutuan dalam menjalankan jabatannya, dengan ancaman akan kehilangan jabatannya apabila ketentuan tersebut dilanggar.<br /><br /> Persekutuan, menurut ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata, adalah bermaksud untuk membagi keuntungan yang didapat karenanya. Melihat maksudnya, maka tujuan persekutuan tentunya adalah mencari keuntungan secara bersama-sama. Dengan demikian, apabila kita bandingkan dengan kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana akta otentik itu ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindunagn hukum, seperti yang dijelaskan dalam penjelasan umum UUJN, maka keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut menjadi kontradiktif, karena dengan keberadaan Notaris secara bersama-sama dalam satu kantor bersama, akan sangat sulit untuk menjalankan ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf e UUJN, yang mewajibakan Notaris untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal itu, menurut pasal 85 UUJN, mulai dengan teguran lisan sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat. <br /><br /> Perlu diingat bahwa, bahwa bidang keahlian para Notaris adalah sama. Hal ini berbeda dengan dokter misalnya, yang membuka praktek bersama, namun dengan bidang keahlian dan spesialisasi yang berbeda-beda, karena ada dokter spesialis kandungan, spesialis anak atau spesialis THT, yang sepakat untuk membuka praktek bersama, berupa klinik kesehatan, agar masyarakat mudah mencari dokter yang dibutuhkan, sesuai dengan penyakit yang diidapnya. Demikian pula halnya dengan Advokat, karena Advokat ada yang spesialisasinya adalah pidana dan ada pula yang spesialisasinya dalam bidang hukum perdata ataupun Tana Negara, sehingga untuk memudahkan penanganan perkara, meraka sepakat untuk membuka kantor bersama.<br /><br /> Oleh karena itu, mengingat sifat dan bidang pekerjaan Notaris seperti diuraikan diatas, serta kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, maka seharusnya ketentuan Pasal 12 Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 No. 3 tetap dipertahankan. <br /><br /> Pada sisi lain, keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut, akan sangat menguntungkan bagi Notaris-Notaris yang telah mempunyai “nama” (baca; senior) dan Klien/langganan yang banyak, karena dengan keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut, mereka tetap dapat mempertahankan dominasinya, tanpa perlu khawatir akan diambil alih oleh Notaris lain, terutama Notaris pemula (baca; yunior ), sebab sudah dapat diperkirakan, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, baik dari jumlah klien/langganan maupun modal dalam kerjasama itu, mereka akan tampil sebagai pimpinan dari kantor bersama tersebut, bahkan mungkin setelah pensiun sebagai Notarispun, mereka akan tetap menjadi pengatur laku dari belakang layar. Maka yang akan terjadi kemudian adalah dominasi yang tidak terputus.<br /><br /> Ketentuan lainnya dalam UUJN ini yang dapat menimbulkan masalah adalah ketentuan Pasal 82 ayat 1, yang menentukan bahwa, Notaris berhimpun dalam wadah Organisasi Notaris. Penjelasan Pasal 82 ayat 1 menyatakan, “cukup jelas”. Namun bernarkah demikian?. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan, Organisasi Notaris satu-satunya yang diakui oleh Pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI). <br /><br /> Ketentuan Pasal 82 ayat 1 UUJN tersebut adalah bersifat memaksa, yang mengharuskan Notaris untuk berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris. Akan tetapi, walaupun berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003, INI adalah satu-satunya Organisasi Notaris yang diakui oleh Pemerintah, tidak satu katapun dalam UUJN , baik dalam pasal-pasal maupun dalam penjelasannya yang menyebutkan bahwa wadah Organisasi Notaris yang dimaksud oleh UUJN itu adalah INI. <br /><br /> Pengakuan dari Departemen Hukum dan HAM, bahwa INI adalah sebagai “wadah tunggal” Notaris, akhirnya kembali ditegaskan melalui, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004, tertanggal 7 Desember 2004, tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Pengakuan tersebut, ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 1 huruf b dan diulangi dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b. <br /><br /> Tidak bisa dipungkiri, bahwa selain INI masih terdapat beberapa organisasi Notaris lain, yang suka atau tidak suka, hingga saat ini ada, yaitu antara lain adalah Himpunan Notaris Indonesia (HNI) dan Asosiasi Notaris Indonesia (ANI), serta Persatuan Notaris Reformasi Indonesia (Pernori). Sebagai sebuah organisasi profesi jabatan yang berbentuk perkumpulan, HNI telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri, seperti juga halnya dengan INI. Paling tidak, ia telah memenuhi unsur untuk dapat dianggap sebagai organisasi profesi jabatan sebagaimana dinyatakan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 (2) Peraturan Meneteri Hukum dan HAM tersebut diatas. <br /><br /> Dengan adanya kenyataan tersebut, ketentuan Pasal 82 ayat 1 UUJN, ternyata belum menyelesaikan masalah organisasi Notaris. Bahkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM tertanggal 7 Desember 2004, mengenai pembentukan Majelis Pengawas Notaris, yang menyatakan bahwa unsur dari organisasi Notaris adalah dari Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, akan semakin menimbulkan ketidak jelasan, karena bagaimana melakukan pengawasan terhadap para Notaris yang tidak bernaung dibawah INI? Apakah akan dilakukan langsung oleh Menteri atau seperti yang ditentukan oleh ketentuan peralihan Pasal 40 Peraturan Menteri tersebut, bahwa semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang berkaitan dengan pengawasan Notaris, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Meneteri ini. Artinya, sampai dengan selesainya masalah “wadah tunggal” organisasi Notaris, maka pengawasan terhadap Notaris-Notaris yang tidak bernaung dibawah INI, akan tetap dilakukan oleh Pengadilan Negeri diwilayah Jabatan Notaris yang bersangkutan. Apabila demikian halnya, jelas sekali bahwa Peraturan Menteri itu, dibuat secara tergesa-gesa, tanpa memperhatikan keadaan yang sesungguhnya, sekaligus menunjukan kembalinya Arogansi kekuasaan untuk memaksakan kehendak. <br /><br /> Menyikapi diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka kita semua perlu memiliki jiwa besar untuk dapat menerima perbaikan-perbaikan terhadap Undang-Undang tersebut, karena Undang-Undang yang semula diharapkan akan dapat menjadi pegangan untuk kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi para Notaris dalam menjalankan jabatannya, ternyata justru menjadi sumber keragu-raguan dan ketidak pastian. Oleh karena itu, Pemerintah, Organisasi-organisasi Notaris, Dewan Perwakilan Rakyat serta para Akademisi, perlu melakukan telaah ulang terhadap UUJN tersebut.<br /><br /> Dengan demikian, akan didapat suatu penyelesaian untuk melakukan perbaikan terhadap UUJN tersebut, paling tidak untuk menghilangkan kontroversi yang ditimbulkan setelah diberlakukannya UUJN. <br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-47671529821785214612009-03-30T10:38:00.000-07:002009-03-30T10:39:12.916-07:00PPAT DI PERSIMPANGAN JALAN<div align="justify"><strong></strong><br /> <br />Oleh: MAFERDY YULIUS<br /><br /> Seperti pernah saya kemukakan dalam tulisan pada harian lain dikota ini, Undang-Undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) sejak awal lahirnya telah menimbulkan berbagai macam polemik karena adanya beberapa ketentuan dalam Pasal-pasal undang-undang tersebut yang bersifat kontroversial. Ternyata dugaan saya itu benar, terbukti dengan semakin ramainya polemik mengenai pasal-pasal yang telah saya bahas dalam tulisan tersebut. <br /><br /> Salah satu diantaranya adalah mengenai keberadaan Pasal 15 UUJN, terutama setelah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi No 009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Pengujian UUJN terhadap UUD 1945. Ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut ternyata hingga saat ini tetap tidak bisa dilaksanakan baik oleh Notaris maupun oleh Badan Pertanahan Nasional. <br /><br /> Masing-masing pihak tetap bertahan dengan argumennya sendiri-sendiri. BPN beranggapan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak bisa dipisahkan dengan BPN, keberadaan PPAT itu berdasarkan sejarahnya adalah untuk menjalankan sebagian pekerjaan BPN, karena keterbatasan waktu dan tempat yang jauh , karena negara kita luas, maka PPAT itu kita serahkan kepada Camat dan kita serahkan juga kepada Notaris. Demikian pernyataan seorang petinggi BPN dalam Majalah Berita Bulanan Notaris. <br /><br /> Benarkah demikian?, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak mengatur dan bahkan sama sekali tidak menyinggung mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Seperti halnya dengan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 juga tidak menyebut adanya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), apalagi mengaturnya. Pasal 19 PP 10 tahun 1961 hanya menyebutkan Pejabat saja. <br /><br /> Di dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No 4 tahun 1996 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) disebut sebagai Pejabat Umum, yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.<br /><br /> Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau yang disebut pejabat umum itu diangkat oleh Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja tertentu. Dengan dinyatakannya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) oleh Undang-Undang Hak Tanggungan itu sebagai Pejabat Umum, maka diakhiri keragu-raguan mengenai penamaan, status hukum, tugas dan kewenangan Pejabat tersebut. <br /><br /> Sesungguhnya didalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun juga telah disebutkan mengenai tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu sebagai Pejabat yang berwenang untuk membuat akta pemindahan hak milik atas satuan rumah susun dan akta pembebanan hak tanggungan atas satuan rumah susun, tetapi undang-undang ini juga tidak menyebutkan dengan jelas penamaan dan status PPAT. Baru di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UU No.4 tahun 1996) disebutkan dengan jelas mengenai penamaan, status dan kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu, sebagai Pejabat Umum.<br /><br /> Dengan ditegaskannya nama, kedudukan dan status hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, maka selanjutnya ketentuan umum mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.<br /><br /> Ketentuan pasal 6 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 menyatakan, bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kata-kata dibantu telah menimbulkan salah pengertian pada sementara Pejabat Pembuat Akta Tanah maupun BPN. Pejabat Pembuat Akta Tanah seakan-akan adalah merupakan pembantu dalam arti bawahan Kepala Kantor Pertanahan. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah membantu Kepala Kantor Pertanahan, harus diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang menurut pasal 6 ayat 1 ditugaskan kepada Kepala Kantor Pertanahan. <br /><br /> Kepala Kantor Pertanahan, dalam melaksanakan tugasnya mendaftar hak tanggungan dan memelihara data yuridis yang sudah terkumpul dan disajikan dikantornya yang disebabkan karena pembebenan dan pemindahan hak– di luar lelang– kecuali dalam hal yang dimaksudkan dalam pasal 37 ayat 2, Kepala Kantor Pertanahan mutlak memerlukan data yang harus disajikan dalam bentuk akta yang hanya boleh dibuat oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah.<br /><br /> Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kedudukan yang mandiri, bukan sebagai pembantu pejabat lain. Kepala Kantor Pertanahan, bahkan siapapun tidak berwenang memberikan perintah kepadanya atau melarangnya membuat akta. Pelaksanaan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah sudah ada ketentuannya dalam Undang-Undang 16 tahun 1985, Undang-Undang 4 tahun 1996, Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 dan peraturan-peraturan hukum materil yang bersangkutan. Dalam pengertian itulah ketentuan pasal 6 ayat 2 tersebut harus diartikan. <br /><br /> Menurut Jimly Asshiddiqie, harus dibedakan antara pertanggung jawaban fungsional PPAT dari pengertian pertanggung jawaban hukum dan pertanggung jawaban professional PPAT. Dalam menjalankan fungsinya, PPAT tidak bertanggung jawab secara fungsional kepada siapapun, termasuk kepada Pejabat Pemerintah yang mengangkatnya. PPAT hanya bertanggung jawab secara hukum kepada Hakim di Pengadilan apabila ia disangka dan dituduh melakukan tindak pidana atau jika ia diminta bertanggung jawab secara professional menurut norma-norma etika profesinya sendiri melalui Dewan Kehormatan atau Komisi Etika yang dibentuk oleh organisasi profesinya sendiri.<br /><br /> Sedangkan mengenai surat keputusan pengangkatan dan pemberhentian seorang PPAT hanya mempunyai sifat administratif. Oleh karena itu secara administratif PPAT tetap bertanggung jawab kepada pemerintah yang mengangkatnya. Artinya jika ia tidak memenuhi syarat administratif, ia tidak dapat diangkat menjadi PPAT, sebaliknya jika ia gagal memenuhi bukti-bukti lain yang dapat dijadikan alasan pemberhentiannya dari jabatan PPAT, maka ia akan diberhentikan dari jabatan PPAT oleh pejabat Pemerintah yang mengangkatnya sebagai PPAT. <br /><br /> Dari uraian-uraian mengenai pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut diatas, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan tahun 1996, Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dimaksud adalah Notaris atau orang-orang yang diangkat menjadi Pejabat Umum oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah terlebih dahulu lulus dalam ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.<br /><br /> Pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur dalam pasal 19 sampai dengan Pasal 32 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 37 Tahun 1998. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri, dimana semua jenis akta itu diberi satu nomor urut yang berulang pada permulaan tahun takwim.<br /><br /> Kewenangan Menteri Agraria/Kepala BPN untuk menentukan bentuk akta Pejabat pembuat Akta Tanah tersebut adalah kewenangan yang diberikan oleh dirinya sendiri, dan hal itu bermula dari menentukan bentuk akta hipotik dan mengatur hukum acara serta kekuatan hukum dari sertifikat. Kesalahan dan kekeliruan tersebut terus berlanjut, terutama bertalian atau yang berkenaan dengan akta-akta perjanjian yang bertalian dengan hak atas tanah, demikian pula halnya yang bertalian dengan pejabat yang berwenang membuat akta tersebut, antara lain sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Rumah Susun Nomor 16 tahun 1985, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. <br /><br /> Permasalahan PPAT, semakin bertambah pula dengan belum bisa dilaksanakannya ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN pasca keputusan Mahkamah Konstitusi, sehingga akan semakin panjang pula polemik mengenai kedudukan PPAT. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebagai pembuat Undang-Undang bersama-sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, beranggapan bahwa PPAT itu sudah inheren didalam diri Notaris, sementara BPN beranggapan bahwa Notaris dan PPAT itu merupakan sesuatu yang terpisah dan harus dipisahkan.<br /><br /> Sementara itu organisasi PPAT, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) melalui Ketua Umumnya menyatakan dan beranggapan bahwa masalah itu bukan merupakan kewenangan dari IPPAT, sehingga jika suatu hari nanti PPAT tidak ada lagi karena keberadaanya dihapuskan oleh undang-undang, maka hal itu harus diterima.<br /><br /> Dengan terus berlanjutnya, bahkan belakangan semakin ramai polemik mengenai kedudukan dan keberadaan PPAT sebagai akibat ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut, maka akan berpengaruh pula terhadap kepercayaan masyarakat terhadap tugas dan kewenangan PPAT dan juga terhadap PPAT itu sendiri, sehingga PPAT benar-benar berada di persimpangan jalan.<br /><br /> Oleh karena itu untuk menjamin adanya kepastian hukum dan untuk dipenuhinya rasa keadilan, serta pula demi tercapainya tertib hukum sesuai dengan system hukum yang dianut dan berlaku di Indonesia, maka dengan pendekatan yang objektif, ilmiah dan argumentatif, jika keberadaan PPAT itu akan tetap dipertahankan, perlu segera dibentuk atau dibuat undang-undang organik yang mengatur tentang jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. <br /><br /> Ketentuan-ketentuan yang selama ini ada tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah dianggap belum cukup memadai, karena walaupun kedudukan, nama dan status Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut telah di sebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang tentang Rumah Susun maupun Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, tetapi ketentuan mengenai peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), yang dianggap masih belum memadai untuk tugas dan peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah.<br /><br /> Disamping itu keberadaan Peraturan Pemerintah No.37 tahun tahun 1998 itu dianggap kurang tepat secara hukum. Keberadaan PP ini sama sekali tidak didasarkan atas perintah undang-undang. Penetapan PP tersebut oleh pemerintah dianggap perlu untuk mengisi kekosongan hukum. <br /><br /> Hal itu dapat dimaklumi, karena dalam teori hukum ada pendapat yang menyatakan bahwa apabila ada kebutuhan untuk mengatasi kekosongan hukum, kepala pemerintahan berwenang berdasarkan prinsip “Freisermessen” menetapkan peraturan yang dibutuhkan untuk kepentingan umum. Namun menurut Jimly Asshiddiqie bentuk hukumnya seharusnya bukan Peraturan Pemerintah, melainkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur.<br /><br /> Atau jika keberadaan PPAT memang hendak dihapuskan karena dianggap telah inheren dalam diri Notaris, sebagaimana dikehendaki oleh DPR dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia seperti yang tersirat dalam ketentuan Pasal 15 UUJN, serta wacana yang berkembang belakangan ini, maka ketentuan itu harus pula dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang, sehingga tidak menimbulkan polemik karena adanya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya<br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5919314254163385587.post-50149736351928224722009-03-30T10:34:00.000-07:002009-03-30T10:36:10.330-07:00KEDUDUKAN HUKUM NOTARIS/PPAT YANG TERPILIH SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF WAJIB MENGUNDURKAN DIRI SEBAGAI NOTARIS/PPAT<div align="justify"><br /><br />Ditulis Oleh Dr. Habib Adjie, SH., M.Hum <br /><br />(Notaris dan PPAT di Kota Surabaya)<br /><br /> <br /><br />Tahun 2009 akan dilakukan Pemilihan Umum (Pemilu) untuk anggota legislatif dan presiden serta wakil presiden. Khusus untuk anggota legislatif (DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi dan DPR serta Dewan Perwakilan Daerah/DPD), banyak dari kalangan Notaris dan PPAT melalui partai politik tertentu yang “mengadu peruntungan” untuk turut serta merebut satu kursi legislatif tersebut. Saya sebutkan “mengadu peruntungan” mungkin untuk melakukan reposisi kedudukan dari Notaris/PPAT sebagai Pejabat Umum atau Pejabat Publik ke Pejabat Negara, ataupun memang terpanggil untuk berkiprah dalam dunia politik, sehingga bisa berbuat lebih banyak untuk rakyat, dibandingkan dengan Notaris yang seringkali mengedepankan ego pribadinya daripada melayani masyarakat. Apapun alasannya sah-sah saja, dan tidak perlu dipersoalkan, karena semuanya akan kembali kepada yang menjalaninya.<br /><br />Dalam hal ini perlu mendapat perhatian kita semua, terutama para Notaris/PPAT yang akan duduk sebagai anggota legislatif tersebut kaitannya dengan jabatannya sebagai Notaris/PPAT. <br /><br />Sebagaimana kita ketahui bahwa berdasarkan Pasal 17 huruf d UUJN bahwa ”Notaris dilarang merangkap sebagai Pejabat Negara”. Bahwa anggota legislatif (DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Propinsi dan DPR serta Dewan Perwakilan Daerah/DPD) dikategorikan sebagai salah satu Pejabat Negara. Sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 8 Tahun Pokok-pokok Kepegawaian), dalam Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 4, menyebutkan adanya Pejabat Negara, dan Pasal 11 ayat (1), bahwa Pejabat Negara terdiri atas :<br /><br />a. Presiden dan Wakil Presiden.<br /><br />b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.<br /><br />c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.<br /><br />d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan.<br /><br />e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung.<br /><br />f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan.<br /><br />g. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri.<br /><br />h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh.<br /><br />i. Gubernur dan Wakil Gubernur.<br /><br />j. Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan<br /><br />k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.<br /><br />Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, menyebutkan Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi dan tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. Sejak tanggal 10 Agustus 2002 yang merupakan perubahan ke IV terhadap UUD 1945, tidak ada lagi istilah lembaga tertinggi atau tinggi negara, misalnya dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menentukan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga negara.<br /><br />Dalam aturan hukum tersebut menentukan mereka yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi negara/tertinggi negara sebagaimana tersebut di atas dikualifikasikan sebagai Pejabat Negara. Pengertian ini menunjuk kepada orang (subjek) hukum yang menjadi pimpinan atau anggota tinggi/tertinggi negara.<br /><br />Kedudukan sebagai Pejabat Negara tidak hanya dapat diisi atau dipangku oleh mereka yang berkarir dalam pemerintahan (sebagai pegawai negeri), kedudukan tersebut dapat diisi pula oleh mereka yang berjuang melalui sarana partai politik atau juga oleh mereka yang tidak merintis karir sebagai pegawai negeri atau melalui partai politik, tapi melalui cara lain, misalnya dalam pengangkatan Hakim Agung yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY), disamping menerima calon yang berasal hakim karir, juga menerima mereka yang bukan berasal dari hakim karir. Jabatan seperti itu dapat disebut sebagai Jabatan Politik. Disebut sebagai Jabatan Politik bukan saja dari cara meraihnya, tapi sebagai jabatan yang strategis dalam pengambilan kebijakan atau keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.<br /><br />UUJN juga mengatur untuk Notaris yang diangkat menjadi Pejabat Negara. Jika seorang Notaris akan diangkat menjadi Pejabat Negara maka wajib mengambil cuti selama memangku jabatan sebagai pejabat negara (Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN), dan wajib mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN). Ketentuan semacam ini untuk tetap menjaga kesinambungan jabatan Notaris.<br /><br />Dengan demikian serta merta seorang Notaris dilarang untuk merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara. Jika Notaris melanggar ketentuan tersebut (artinya tidak mengambil cuti) akan dijatuhi Sanksi Administratif sebagai diatur dalam Pasal 85 UUJN. Hal yang sama diatur pula dalam Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dalam ayat (1) huruf c berbunyi ”PPAT dilarang merangkap jabatan atua profesi lain-lain jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan”. Kemudian dalam ayat (2) disebutkan bahwa PPAT yang merangkap jabatan tersebut wajib mengajukan permohonan berhenti kepada kepala BPN. Dan menurut ayat (3) jika masa jabatannya telah berakhir dapat mengajukan permohonan kembali sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Ketentuan Notaris/PPAT yang menjadi anggota legislatif tersebut lebih tegas lagi jika ditinjau atau dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk anggota DPD disebutkan dalam Pasal 12 huruf l disebutkan bahwa ”bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”. Untuk anggota DPRD Kota/Kabupaten/Propinsi dan Pusat dalam Pasal 50 ayat (1) huruf l disebutkan bahwa ”bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai peraturan perundang-undangan”.<br /><br />Aturan hukum yang mengatur kedudukan Notaris/PPAT yang menjadi anggota legislatif tersebut secara substansi sangat berbeda. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, Untuk Notaris wajib mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN), dan untuk PPAT berdasarkan Pasal 30 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 PPAT, bahwa yang bersangkutan wajib berhenti, dan jika masa jabatannya berakhir dapat mengajukan permohonan kembali sesuai aturan hukum yang berlaku, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris/PPAT. <br /><br />Jika menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, Untuk Notaris wajib mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6) UUJN) maka dapat dikategorikan bahwa Notaris yang bersangkutan masih berpraktek, meskipun jabatannya dan namanya dipakai oleh Notaris Pengganti, artinya Papan Namanya sebagai Notaris tetap ada (dipasang) atau tidak diturunkan. Dan menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 wajib berhenti dan berdasarkan Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris/PPAT sama sekali, artinya kalaulah Notaris/PPAT yang menjadi anggota legislatif tersebut dengan memakai Notaris Penggganti masih dikategorikan ”praktek” atau menjalankan tugas jabatannya, maka menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 dilarang praktek, dengan kata lain Notaris/PPAT yang bersangkutan bukan lagi harus cuti, tapi harus mengundurkan diri atau berhenti tetap sebagai Notaris/PPAT dan menyerahkan protokolnya kepada Notaris/PPAT lain dan menurunkan papan namanya dan menutup kantornya. Karena mengundurkan diri, maka dengan konsekuensi hukum, jika setelah menjalankan tugas sebagai anggota legislatif, akan praktek kembali sebagai Notaris/PPAT, maka kepada yang bersangkutan akan dikategorikan sebagai Notaris/PPAT baru yang harus menempuh prosedur pengangkatan sebagai Notaris/PPAT baru, misalnya harus melihat formasi pengangkatan Notaris/PPAT, juga ikut ujian PPAT lagi, dengan kata lain tidak lain tidak diperlukan keistimewaan apapun pada dirinya atau perlakukan khusus kepada yang bersangkutan.<br /><br />Secara normatif kedua aturan sebagaimana terurai di atas tidak sejalan, yaitu menurut menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) juncto ayat (3) – (6) UUJN) cukup cuti saja, dan setelah selesai cuti dapat mengambil kembali Surat Keputusan (SK-nya) untuk menjalani tugas jabatan sebagai Notaris, menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1/2006 wajib berhenti, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang berpraktek.<br /><br />Dengan menggunakan Asas Preferensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 harus ditempatkan sebagai aturan hukum yang khusus (lex spesialis), yang mengatur secara khusus mengenai persyaratan sebagai anggota legislatif, maka Notaris/PPAT yang terpilih sebagai anggota legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri sebagai Notaris/PPAT. Jika ternyata ada Notaris yang terpilih sebagai anggota legislatif tersebut tidak mengundurkan diri sebagai Notaris/PPAT, tapi malah mengangkat Notaris/PPAT Pengganti, maka tindakan Notaris/PPAT tersebut dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan diluar wewenang atau sudah tidak mempunyai kewenangan lagi, sehingga akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapannya tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan bukan lagi sebagai akta otentik. Jika ini terjadi siapa yang dirugikan ? Sudah tentu masyarakat, dan INI/IPPAT akan dinilai sebagai organisasai yang tidak mampu menegakkan aturan hukum tersebut kepada para anggotanya. Dan lebih jauh lagi, dengan demikian secara otomatis secara keorganisasian (INI/IPPAT), bukan lagi sebagai Anggota Biasa, tapi terdegradasi kedudukannya menjadi Anggota Luar Biasa saja.<br /><br />Bahwa aturan hukum tersebut harus dijalankan sepahit apapun, sebagaimana apa adanya, oleh karena itu kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang ”menggawangi” para Notaris dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ”menggawangi” para PPAT para Pengurus Ikatan Notaris Indonesia dan Pengurus Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Daerah/Wilayah/Pusat), harus pasang mata dan telinga serta para anggaota INI/IPPAT untuk turut serta mengawal dan menjalankan ketentuan Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 dan mengambil tindakkan hukum yang jelas-tegas kepada yang bersangkutan, jangan sampai terjadi jabatan Notaris/PPAT hanya sebagai jabatan sampingan yang dapat dipermainkan oleh mereka yang menjadi anggota legislatif, yang suatu saat akan diambil kembali. Bukankah kita ingin jabatan Notaris/PPAT menjadi jabatan yang luhur, terhormat, bermartabat di negeri ini...! Bagaimana bisa luhur, terhormat dan bermartabat, jika aturan hukum sebagaimana tersebut di atas tidak ditaati oleh para Notaris/PPAT sendiri...? Kalau terjadi - Apa Kata Dunia.....!!??<br /><br /></div>Unknownnoreply@blogger.com3