Selasa, 31 Maret 2009

PROSEDUR DATA YANG DIPERLUKAN dan SYARAT-SYARAT PENANDATANGANAN AKTA JUAL BELI (AJB)



Jual beli merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu, dan biasanya diatur dalam hukum Adat, dengan prinsip: Terang dan Tunai. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, dan Tunai artinya di bayarkan secara tunai. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari:

1.PPAT sementara –> adalah Camat yang diangkat sebagai PPAT untuk daerah –daerah terpencil

2.PPAT –> Notaris yang diangkat berdasarkan SK Kepala BPN untuk wilayah kerja tertentu

Data-data apa saja yang harus dilengkapi untuk proses Jual Beli & balik nama tersebut?
Dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tersebut, biasanya PPAT yang bersangkutan akan meminta data-data standar, yang meliputi:
I. Data tanah, meliputi:
a.asli PBB 5 tahun terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti bayarnya)
b.Asli sertifikat tanah (untuk pengecekan dan balik nama)
c.asli IMB (bila ada, dan untuk diserahkan pada Pembeli setelah selesai proses AJB)
d.bukti pembayaran rekening listrik, telpon, air (bila ada)
e. Jika masih dibebani Hak Tanggungan (Hipotik), harus ada Surat Roya dari Bank yang bersangkutan

Catatan: point a & b mutlak harus ada, tapi yang selanjutnya optional

II. Data Penjual & Pembeli (masing-masing) dengan criteria sebagai berikut:
a.Perorangan:
a.1. Copy KTP suami isteri
a.2. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah
a.3. Copy Keterangan WNI atau ganti nama (bila ada, untuk WNI keturunan)

b.Perusahaan:
b.1. Copy KTP Direksi & komisaris yang mewakili
b.2. Copy Anggaran dasar lengkap berikut pengesahannya dari Menteri kehakiman dan HAM RI
b.3. Rapat Umum Pemegang Saham PT untuk menjual atau Surat Pernyataan Sebagian kecil asset

c.Dalam hal Suami/isteri atau kedua-duanya yang namanya tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia, maka yang melakukan jual beli tersebut adalah Ahli Warisnya. Jadi, data-data yang diperlukan adalah:

c.1. Surat Keterangan Waris
-Untuk pribumi: Surat Keterangan waris yang disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah yang dikuatkan oleh Camat
-Untuk WNI keturunan: Surat keterangan Waris dari Notaris
c.2. Copy KTP seluruh ahli waris
c.3. Copy Kartu keluarga dan Akta Nikah
c.4. Seluruh ahli waris harus hadir untuk tanda-tangan AJB, atau Surat Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris kepada salah seorang di antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris (dalam hal tidak bisa hadir)
c.5. bukti pembayaran BPHTB Waris (Pajak Ahli Waris), dimana besarnya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi dengan Nilai tidak kena pajaknya.

 
Nilai tidak kena pajaknya tergantung dari lokasi tanah yang bersangkutan.
Contoh Perhitungannya:
-NJOP Tanah sebesar Rp. 300juta, berlokasi di wilayah bekasi:
Nilai tidak kena pajaknya wilayah Bekasi adalah sebesar Rp. 250jt. Jadi pajak yang harus di bayar =
{(Rp. 300jt – Rp. 250jt) X 5%} X 50%.
Jadi, apabila NJOP tanah tersebut di bawah Rp. 250jt, maka penerima waris tidak dikenakan BPHTB Waris (Pajak Waris)

Sebelum dilaksanakan jual beli, harus dilakukan:
1. Pengecekan keaslian dan keabsahan sertifikat tanah pada Kantor Pertanahan yang berwenang
2. Para pihak harus melunasi pajak jual beli atas tanah dan bangunan tersebut.
Dimana penghitungan pajaknya adalah sebagai berikut:
-Pajak Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 %
-Pajak Pembeli (BPHTB) =
{NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%

SYARAT PEMBUATAN AKTA HIBAH (Ke PPAT)

1. KTP Pemberi hibah (Ibu dan Bapak) 

2. Surat Nikah Pemberi hibah 

3. Sertipikat Asli

 4. SPPT dan STTS PBB 10 tahun terakhir 

5. KTP Penerima hibah

6. Persetujuan ahli waris lainnya (KTP)

PROSES SERTIFIKASI DAN GANTI NAMA

Dasar Hukum:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 
Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2000. 
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 
Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. 

Persyaratan:
• Surat Pengantar dari PPAT. 
• Surat Permohonan. 
• Sertipikat Asli. 
• Akta Hibah. 
• Identitas diri pemegang hak, penerima hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh pejabat berwenang).
• Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. 
• Bukti pelunasan SSB BPHTB. 
• Bukti pelunasan SSP Pph Final (untuk Pph apabila hibah vertikal tidak diperlukan). 
• SPPT PBB tahun berjalan 
• Ijin Pemindahan Hak, jika:
-Pemindahan Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Rumah Susun yang di dalam sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang berwenang; 
-Pemindahan hak pakai atas tanah negara. 

-Surat Pernyataan calon penerima hak, yang menyatakan:
Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 
-Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku 
-Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 11a dan 11b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform 
-Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada 11a dan 11b tidak benar 

BPHTB 

Pengertian
1.Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
2.Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
3.Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

II. Objek PajakYang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:

a. Pemindahan hak karena

1. jual beli;

2. tukar-menukar;

3. hibah;

4. hibah wasiat;

5. waris;

6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;

7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8. penunjukan pembeli dalam lelang;

9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10.penggabungan usaha;

11.peleburan usaha;

12.pemekaran usaha;

13.hadiah.

b. Pemberian hak baru karena: 

1. kelanjutan pelepasan hak;

2. di luar pelepasan hak.

Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.

III. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:a.Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;b.Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;c.Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;d.Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;e.Orang pribadi atau badan karena wakaf;f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

IV. Subjek PajakYang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

V. Tarif PajakTarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).

VI. Dasar Pengenaan BPHTBDasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;
a.Jual beli adalah harga transaksi;
b.Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.Hibah adalah nilai pasar;
d.Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.Pemekaran usaha adalah nilai pasar
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;

Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.


VII. Pengenaan BPHTBa.pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.b.pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut:-0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);-50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.

VIII. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling banyak;a.Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah);b.Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami.

IX. Saat, Tempat, dan Cara Pembayaran Pajak Terutang.Saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:
a.jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b.tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c.hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d.waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
e.pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 
f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g.lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
h.putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k.pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; 
l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m.peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

Tempat Pajak Terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.

Cara Pembayaran Pajak adalah wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).

 
I. Cara Penghitungan BPHTB
Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;

BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)
Contoh;1. 
Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp.50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp. 40.000.000,00. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya sebesar Rp. 50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp. 60 juta)= 5 % x (0)= Rp. 0 (nihil).

Contoh 2. 
Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun 2006 adalah Rp. 100.000.000,00. Sehingga besarnya NPOP adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 5 % x (Rp. 100 – Rp. 60) juta= 5 % x ( Rp. 40) juta= Rp. 2 juta .

Contoh 3. 
Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan“S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta= 50% x 5 % x ( Rp. 100) juta= Rp. 2,5 juta.

Contoh 4. 
Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan BangunanBPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 – Rp. 300) juta= 50% x 5 % x (0)= Rp. 0 (nihil).


II. Pembayaran BPHTB
Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB).


III. Penetapan
1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.


IV. Penagihan
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :
1.pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2.dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3.wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.

I. Keberatan

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.

(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

(3)Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

(4)Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka (2) dan angka (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

(5)Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.

(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.

(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(8) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(9) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

(10) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.

(11) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (8) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.


II. Banding
(1)Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai kebertannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(2)Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

(3)Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(4)Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.


III. Pengurangan
Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena:

1. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, 

contoh;

a. Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan; 
b. Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.

2. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, 

contoh;

a. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;

b. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;

c. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

3.tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnya; Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat.


IV. Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTBWajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, c.q. Kantor Pelayanan Pratama atau Kantor Pelayanan PBB setempat.

Ketentuan Bagi Pejabat
1.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

2.Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

4.Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/ Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.”

5. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.

Sanksi Bagi Pejabat

a.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dan angka 2 dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

b.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

c.Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d.Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e.Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

 



1 komentar: