Senin, 20 April 2009

LAHAN ABADI PERTANIAN DAN REFORMA AGRARIA

Pendahuluan
Ketika kita hendak membedah persoalan pengelolaan lahan pertanian sekaitan dengan reforma agraria serta hak-hak petani, maka sangat penting untuk membongkar konsepsi politik agraria dan dinamika kebijakan agraria nasional secara keseluruhan. Inisiatif Departemen Pertanian RI menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi mesti diletakkan dalam konteks kemungkinan pelaksanaan reforma agraria sejati secara menyeluruh. Reforma agraria yang kita perjuangkan mestilah menjadi dasar bagi pembangunan nasional, termasuk pembangunan pertanian secara lebih kokoh.

Tersedianya lahan pertanian yang cukup dan meningkatnya produktivitas pertanian memang suatu kebutuhan dan keharusan dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan nasional sekaligus dasar bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani kita. Namun, dalam semangat merevitalisasi pertanian kita, hendaknya dihindari jebakan hanya mengatasi penyakit-penyakit hilir tanpa keseriusan dalam menuntaskan akar soal yang ada di hulu.

Ada beberapa hal yang harus disepahami terlebih dahulu, sebelum kita sampai pada pokok bahasan mengenai perlu/tidaknya atau mendesak/tidaknya penyusunan legislasi "Lahan Pertanian Pangan Abadi". Pertanyaan kuncinya: Bagaimana politik agraria dan kondisi agraria terkini? Sejauhmana pemerintah menjawab problem pokok agraria tersebut? Apa agenda utama yang mendesak dilakukan bangsa ini?

Politik Agraria dan Kondisi Agraria
Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksplotasi dan akumulasi dari modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor agraria.

Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu. Sejak Soeharto dan rezim Orde Baru berkuasa (1966) pelanggaran terhadap UUPA mulai berlangsung. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan kekayaan alam kita. Misalnya undang-undangan yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.

Pantulan orientasi politik agraria Orde Baru jelas tergambar pada kenyataan banyaknya penyerahan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria ke tangan pemilik modal besar melalui berbagai macam ijin usaha. Dengan memegang teguh prinsip Hak Menguasai Negara (Pasal 2 ayat 2 UUPA 1960), dengan mengatasnamakan negara, pemerintah pusat atau daerah telah mengeluarkan hak-hak baru seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), Kuasa Pertambangan, dan Kontrak Karya Pertambangan.

Karena proses pelanggaran yang berkepanjangan, maka posisi UUPA 1960 dengan sendirinya terpinggirkan secara berkelanjutan. Bahkan UUPA seakan-akan hanya mengatur soal administrasi pertanahan saja, yang kewenangannya hanya mencakup sekitar 30% saja dari luas seluruh daratan Indonesia. Selebihnya diatur lewat undang-undang UU Kehutanan (1967) yang diperbaharui menjadi UU No. 41/1999, dan undang-undang sektoral lainnya.

Mengerdilnya posisi UUPA dari yang seharusnya menjadi rujukan dalam pengaturan seluruh sumber agraria menjadi "hanya" mengatur soal tanah non-hutan ini merupakan awal dari era sektoralisme dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Sejak UU Kehutanan diberlakukan dan dikawal oleh Departemen Kehutanan (hingga saat ini), sementara UUPA yang sebelumnya dikawal oleh Departemen Agraria namun belakangan dikerdilkan menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang lebih mengurus aspek administratif pertanahan, maka praktis sejak saat itulah terjadi pengaburan makna agraria dari yang sejatinya dimaksud UUPA menjadi hanya sekedar soal pertanahan saja.

Ini sekedar menunjukkan contoh bahwa UUPA bukan hanya mengurusi soal tanah saja. Lihat Pasal 1 (4) dan (5) yang berbunyi: "Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air", dan "Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia".

Sementara itu, politik sentralisme dan sektoralisme hukum serta kelembagaan pendukungnya telah memuluskan proses perampasan hak-hak rakyat atas tanah untuk kepentingan "pembangunan" ala Orde Baru. Kenyataan berikutnya yang segera mencuat adalah konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria di tangan segelintir orang saja.

Misalnya di sektor pertanian, berdasarkan perbandingan hasil empat kali Sensus Pertanian (SP) diketahui bahwa rata-rata penguasaan tanah oleh petani di Indonesia terus menurun, dari 1,05 hektar (1963) menjadi 0,99 hektar (1973), lalu turun menjadi 0,90 hektar (1983) dan menjadi 0,81 hektar (1993). Hasil SP 1993 menunjukkan bahwa 21,2 juta rumah tangga di pedesaan, 70%-nya menggantungkan diri pada sektor pertanian. Dari jumlah itu, 3,8% atau sekitar 0,8 juta merupakan rumah tangga penyakap yang tidak punya tanah, 9,1 juta rumah tangga menjadi buruh tani, dan diperkirakan jumlah petani tak bertanah di Indonesia ada sekitar 9,9 juta atau sekitar 32,6% dari seluruh rumah tangga petani (lihat Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, Lembaga Penerbit FE 1997).

Dalam catatan Khudori (Kompas, 16/3/07), hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar -milik sendiri maupun menyewa- meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003). Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). Dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta (82,7 persen) di antaranya dapat dikategorikan miskin. Karena sebagian besar rumah tangga petani di Indonesia (73,4 persen) adalah petani padi/palawija, maka sebagian besar petani gurem adalah petani padi/palawija. Menurut Berita Resmi Statistik (September 2006), 63,41 persen penduduk miskin ada di daerah pedesaan.

Di sektor kehutanan, hingga tahun 1998, menurut catatan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, ada sekitar 500 buah HPH yang beroperasi mengusahakan sekitar 55 juta hektar hutan produktif di Indonesia. Menurut catatan PDBI, sampai tahun 1994 ada 20 kelompok pengusaha yang menguasai 64.291.436 hektar (lebih dari 50%) jumlah hutan yang diberikan HPH-nya. Di sektor pertambangan tidak kalah spektakulernya, misalnya PT Freeport Indonesia yang mengeruk emas di Papua memiliki areal konsesi melalui Kontrak Karya seluas 2,9 juta hektar (1991).

Sementara sektor perkebunan melalui HGU menduduki peringkat tertinggi dalam konsentrasi penguasaan tanah di Indonesia. Menurut Sensus Perkebunan Besar (1990-1993) ada sekitar 3,80 juta hektar tanah perkebunan yang dikuasai oleh 1.206 perusahaan dan 21 koperasi, dengan rata-rata 3.096, 985 hektar dikuasai tiap perusahaan (Lihat Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi, Pembaruan Agraria (Agrarian Reform) adalah Agenda yang Inklusif dengan Reformasi Sosial secara Menyeluruh, dalam "Usulan Revisi Undang-undang Pokok Agraria: Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria", KRHN dan KPA, hal. 38-39, Oktober 1998). Kenyataan inilah yang menjauhkan rakyat, terutama buruh tani, petani kecil dan masyarakat adat di pedesaan dari keadilan dan kemakmuran.

Di sisi lain, konflik agraria menjadi realitas yang rutin kita hadapi. KPA merekam 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" sektor bisnis dan/atau negara.

Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK. Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus).

Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai "lawan" rakyat pada berbagai jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana militer. Perusahaan swasta juga kerap menjadi lawan sengketa rakyat pada kasus perkebunan besar, perumahan dan kota-kota baru, kawasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik.

Reforma Agraria sebagai Solusi Pokok
Pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform) adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional. Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah. Agar memberikan hasil seperti yang diharapkan, landreform yang didahului dengan redistribusi tanah harus diikuti dengan sejumlah program pendukung yang intinya akan memberikan kesempatan bagi para penerima tanah untuk meraih keberhasilan pada tahap-tahap awal dijalankannya program.
Karena itu, program redistribusi tanah harus diikuti dengan dukungan modal produksi (kredit usaha) di tahap awal, perbaikan di dalam distribusi barang-barang yang diperlukan sebagai input pertanian, perbaikan di dalam sistem pemasaran dan perdagangan hasil-hasil pertanian, penyuluhan-penyuluhan pertanian yang diperlukan untuk membantu para petani memecahkan masalah-masalah teknis yang dihadapinya, dan program lainnya yang pada intinya dapat mununjang keberhasilan para petani penerima tanah dalam berproduksi. (Pengertian ini mengacu pada Petisi Cisarua: "Kerangka Pelaksanaan Pembaruan Agraria: Rekomendasi untuk Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak M. Jusuf Kalla, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2004-2009", disusun Sediono MP Tjondronegoro, Gunawan Wiradi, Anton Poniman, Dianto Bachriadi, Syaiful Bahari, Usep Setiawan, Noer Fauzi, Dadang Juliantara, Erpan Faryadi, dan Agustiana, 20 Oktober 2004).

Pembaruan agraria yang kita maksud tidak hanya menyangkut landreform bagi kaum tani dan sebagai dasar pengembangan sektor pertanian semata, melainkan juga menyentuh upaya untuk menata ulang sistem penguasaan dan pengelolaan atas seluruh kekayaan alam secara mendasar dengan prinsip keadilan agraria. Sektor-sektor kekayaan alam yang dimaksud mencakup kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pesisir, pulau-pulau kecil dan kelautan.

Suatu perubahan agraria (agrarian changes) yang tidak didahului dengan upaya merombak tatanan atau struktur agraria yang timpang tidak memiliki makna apapun dari perspektif keadilan, kecuali yang terjadi hanyalah perubahan sosial itu sendiri. Padahal pembaruan agraria, orientasi utamanya adalah keadilan - yang sering diungkapkan dengan istilah keadilan agraria (agrarian justice), yaitu "suatu keadaan dimana relatif tidak ada konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak dan terjaminnya kepastian hak penguasaan masyarakat setempat, termasuk hak masyarakat adat, terhadap tanah dan kekayaan alam lainnya."

Pembaruan agraria dapat dimaknai sebagai suatu perubahan mendasar di dalam hubungan-hubungan sosial dan politik yang berkait erat dengan sistem produksi, khususnya di pedesaan, yang dengan sendirinya meliputi perubahan-perubahan di dalam keseimbangan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam masyarakat. Dengan demikian, reforma agraria merupakan suatu dasar bagi perubahan sosial melalui penataan kembali tata kuasa terhadap tanah dan juga sumber daya alam lainnya dalam rangka pembangunan masyarakat. Pemaknaan ini sejalan dengan Putzell yang mengatakan bahwa reforma agraria adalah sebuah program yang multi dimensional yang melintasi rentang-rentang masalah ekonomi, politik, dan sosial. Bahkan menurutnya pembaruan agraria dapat juga memainkan peran dalam memerangi "kekalahan" wanita pedesaan (Christodoulou, The Unpromised Land, 1990, hal. 112).

Dalam kerangka politik hukum, sejak tahun 2001 sudah ada kemajuan yang cukup berarti yang ditandai dengan terbitnya Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok bagi upaya mengurangi ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan kekayaan alam lainnya, menyelesaikan konflik-konflik agraria dan sumberdaya alam, dan memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang rusak.

RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi: Menjawab Apa?
Apa yang dilakukan pemerintah dalam menjawab problem-problem agraria di atas? Dengan berat hati harus dinyatakan bahwa sejauh ini belum ada hasil signifikan dari apa yang dilakukan pemerintah. Pemerintah melakukan sejumlah penggalan rencana besar yang kesemuanya masih cenderung berupa wacana yang harus diuji dalam praktek. Pencanangan Progam Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata belum dapat dikatakan sukses. Indikator pentingnya, program ini belum sanggup meningkatkan kesejahterakan kaum tani, nelayan dan masyarakat di sekitar hutan.
Di sektor pertanian, produktivitas dan ketersediaan lahan pertanian kita tampaknya masih memprihatinkan. Rendahnya produktivitas pertanian kita telah memaksa bangsa agraris ini mendatangankan bahan pangan (beras) dari negeri orang melalui mekanisme impor.

Hal inilah mendorong kita memikirkan masalah ketahanan pangan bangsa ini. Dalam menjaga ketahanan pangan, operasi pasar adalah salah satu langkah darurat yang harus dilakukan oleh pemerintah. Namun, ketika operasi pasar menjadi treatment rutin setiap tahun, tentu kita patut mempertanyakan langkah-langkah jangka menengah dan jangka panjang pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pangan yang cukup, murah dan bergizi bagi rakyat. Persoalan ini mesti kita ungkapkan kembali mengingat pada tahun 2006 yang lalu telah terjadi bencana kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua. Di tahun yang sama berjangkit berbagai penyakit dan kematian yang diakibatkan oleh kelaparan dan gizi buruk di beberapa wilayah Indonesia Timur. Pemerintah perlu memperbarui strategi ketahanan pangan nasional yang dijalankan selama ini. Agar lebih mendasar, sebaiknya pemerintah menggeser strategi "ketahanan" pangan menjadi "kedaulatan" pangan.

Kedaulatan pangan adalah sebuah alternatif yang diajukan oleh kalangan gerakan masyarakat sipil dunia dalam mengatasi persoalan kelaparan. Kedaulatan pangan juga sekaligus kritik terhadap isu ketahanan pangan (food security) yang dikampanyekan oleh badan pangan dunia (FAO). Pandangan badan tersebut selama ini memunculkan anggapan luas bahwa kebutuhan rakyat terhadap pangan dapat ditempuh dengan membuka pasar domestik pangan secara bebas dan luas. Fakta menunjukkan bahwa laju kemiskinan dan pengangguran di negara-negara yang sedang membangun semakin meninggi semenjak bergabung dengan rezim pasar bebas sehingga daya beli terhadap produk pangan semakin hilang.

Menurut Kaman Nainggolan (Sinar Harapan, 16/10/2006), kemandirian pangan pada tingkat nasional diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal. Terwujudnya kemandirian pangan, antara lain ditandai oleh indikator secara makro: pangan tersedia, terdistribusi dan dikonsumsi dengan kualitas gizi yang berimbang pada tingkat wilayah dan nasional, maupun secara mikro yaitu pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah tangga.

Kedaulatan pangan adalah perjuangan mendorong alokasi tanah kepada para petani dan lahan bagi tanaman pangan. Sementara itu, rezim ketahanan pangan, akibat kepercayaannya pada pasar bebas, telah mendorong alokasi tanah kepada siapa yang mampu secara efektif dan efisien dalam hal permodalan dan teknologi memanfaatkan tanah. Sehingga, rezim ini secara langsung telah mendorong pengalokasian tanah untuk ditanami produk-produk komoditas ekspor non pangan. Sebagai misal, di Indonesia lahan-lahan lebih diutamakan untuk tanaman sawit, karet, dan kayu untuk menuai devisa dari ekspor ketimbang untuk tanaman pangan. Kalangan yang memperjuangkan terwujudnya kedaulatan pangan percaya bahwa jalan lapang menuju ke sana adalah dengan menjalankan pembaruan agraria (reforma agraria) yang sejati.

Kini diperlukan sistem ketahanan pangan yang secara filosofis harus menghindari ketergantungan terhadap situasi eksternal (pasar bebas) dan pola kebijakan pangan yang reaktif terhadap persoalan internal (operasi pasar). Dengan menyadari persoalan agraria yang bercirikan struktur agraria yang sangat timpang maka kebutuhan mendesak yang harus secepatnya dilakukan adalah menata kembali struktur agraria melalui pembaruan (reforma) agraria. Setelah penataan struktur agraria tuntas, barulah dimungkinkan untuk memasuki upaya sistematis lebih lanjut dalam meraih kedaulatan pangan. Tanpa struktur agraria baru yang lebih adil dan merata bagi kaum miskin, niscaya cita-cita meraih kedaulatan pangan akan tergelincir menjadi "makan roti dalam mimpi".

Di sisi lain, fenomena alih fungsi lahan (konversi) pertanian ke non-pertanian semakin mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Berbagai pihak memandang perlu dibuat kebijakan pengendalian laju konversi tersebut. Penyusunan RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi yang digarap Deptan RI juga dimaksudkan untuk itu. Martin Sihombing (Bisnis Indonesia, 03/4/07) melaporkan, dalam periode 1980-2005, sumber pertumbuhan produksi padi bertumpu pada peningkatan produktivitas. Pada 1980-1989, produktivitas padi tumbuh 3,53% dan periode 2000-2005 tumbuh 1,22%. Sedangkan pada periode 1980-1989, luas panen tumbuh 1,78% dan pada periode 2005 minus 0,17%. Peningkatan padi menunjukkan titik jenuh dimulai sejak swasembada beras 1984.

Peningkatan luas lahan areal, sudah mengalami penurunan nyata yang disebabkan luas laju konversi lahan sawah untuk penggunaan industri dan nonpertanian lainnya yang melebihi kemampuan negara mencetak sawah baru. Kalau pada periode 1981-1989 neraca sawah masih positif 1,6 juta hektare (ha), maka periode 1999-2002 neraca sudah negatif 400.000 ha. Ini menunjukkan laju konversi lahan sawah makin tinggi. Apabila kondisi yang demikian dibiarkan, maka sangat mungkin dalam 10 tahun ke depan kemampuan negara dalam memproduksi padi akan sangat berkurang. Tahun ini pemerintah (Deptan) mencetak sawah baru 20.000 ha dan tahun depan 50.000 ha.

Wakil Ketua Badan Legislasi dan anggota komisi IV DPR Bomer Pasaribu menambahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) konversi lahan ke nonpertanian mencapai 110.000 ha per tahun (periode 1992-2002). Konversi lahan sawah di Jawa sebagian besar (58,3%) berupa alih guna menjadi kawasan permukiman. Di Sumatra dan pulau lainnya 50,6% beralih fungsi menjadi lahan pertanian nonsawah. Padahal, ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan conditio sine-quanon untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan ketahanan pangan secara nasional.

Mentan mengatakan untuk memperkuat kemampuan negara memproduksi beras, maka perlu dibuat kebijakan pengendalian laju konversi lahan sawah dan memperbesar kemampuan negara mencetak lahan pertanian baru. Bomer Pasaribu mengatakan dalam keputusan DPR No 07A/DPR-RI/I/2006-2007 tetang Program Legislasi Nasional (Proglegnas) Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2007, RUU Lahan Abadi Pertanian ini tercantum dalam Proglegnas Prioritas dengan nomor urut 29. "Inilah serangkaian upaya legislasi untuk memperjuangkan atau mendukung program RUU lahan itu".

Kritik dan masukan terhadap RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi dapat diberikan pada tataran substansi dan konteks. Secara substansi, dalam draft RUU ini ternyata tidak bersangkut paut dengan rencana pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. RUU ini juga tidak merujuk kepada UUPA 1960 sebagai payung hukum atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan tidak terkaitnya substansi RUU ini dengan reforma agraria dan UUPA maka dapat disimpulkan (sementara) bahwa RUU ini dilatarbelakangi oleh politik agraria dan kebijakan pertanian yang belum mencerminkan kehendak untuk menuntaskan problem pokok agraria dengan mengacu kepada pemikiran dan cita-cita para pendiri republik.

Secara kontekstual, RUU ini hanya menjawab satu persoalan dari sejumlah masalah yang tengah melilit dunia pertanian kita: yakni penyediaan lahan untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas pertanian guna mencapai ketahanan pangan. Dalam kajian KPA, dua problem utama agraria di Indonesia berupa ketimpangan penguasaan/pemilikan tanah dan maraknya konflik dan sengketa pertanahan tidak tersentuh draft RUU ini. Padahal fakta ketimpangan dan konflik ini - termasuk dan terutama terjadi atas lahan pertanian, harus didahulukan untuk dilakukan, atau setidaknya dibuat secara terintegrasi dengan legislasi mengenai pengadaan dan pengelolaan lahan pertanian pangan abadi.

Penutup
Penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan operasional yang terkait pengadaan dan pengelolaan "Lahan Pertanian Pangan Abadi" hendaknya diletakkan dalam konteks pelaksanaan reforma agraria sejati secara menyeluruh. Yang tengah kita butuhkan bukan sekedar "UU" melainkan kemauan politik yang super kuat dari para penyelenggara negara untuk merombak total paradigma politik agraria (termasuk pertanian) dari sekedar pro-produktivitas atau pro-pertumbuhan, menjadi lebih pro-pembangunan pertanian rakyat yang mengutamakan kepentingan kaum buruh tani, petani penggarap, petani gurem dan masyarakat adat yang hidupnya tergantung pada lahan pertanian.

Legislasi untuk "Lahan Pertanian Pangan Abadi" akan relevan jika disusun secara integrated dengan legislasi yang ditujukan untuk menata struktur penguasaan/pemilikan lahan bagi golongan ekonomi lemah dan menyelesaikan konflik agraria/sengketa tanah yang selama ini menjadi dua problem pokok agraria kita. Integrasi legislasi bagi perombakan struktur agraria, penyelesaian konflik agraria dan pengadaan lahan pertanian pangan layak dipikirkan dan dikembangkan. Kenapa tidak, klausul pengaturan mengenai pengadaan dan pengelolaan "Lahan Pertanian Pangan Abadi" dimasukan saja ke dalam suatu UU yang secara utuh mengatur pertanahan kita dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria sejati.

Secara strategis, muara pelaksanaan reforma agraria ialah mengikis ketimpangan, mengurangi kemiskinan, menyediakan pekerjaan, memperkuat ekonomi rakyat, menuntaskan konflik/sengketa agraria, mengamankan ketersediaan pangan, sekaligus memulihkan lingkungan hidup. Tujuan strategis ini mutlak membutuhkan komitmen kuat dari segenap komponen bangsa, terutama dari seluruh jajaran pemerintahan bersama kaum tani pedesaan melalui kekuatan yang terorganisir secara sinergis. ***

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), alumnus Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar