Konflik tanah sepertinya tak pernah berakhir. Kasus Tanjungmorawa, Cianjur, Jember, Bulukumba, Atang Senjaya, Meruya Selatan, dan Pasuruan hanyalah beberapa contoh konflik pertanahan yang terjadi. Pada kenyataannya hampir di seluruh penjuru Tanah Air, konflik semacam ini masih menjadi persoalan. Dan, jika ditelisik, semua kasus sengketa tanah yang terjadi menunjukkan pola sengketa yang sebangun. Berbagai kasus pertanahan yang menyangkut nasib ribuan warga itu pun dikenal memakan waktu lama dan terasa menggetirkan dalam proses penyelesaiannya.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) kini sudah memasuki usia ke-46. Jika ditilik semangatnya, UUPA kala itu diundangkan sebagai langkah untuk mengakhiri timbulnya dualisme pertanahan, yakni dimilikinya hak erpahct (sekarang disebut hak guna usaha) oleh para pengusaha Belanda, yakni hak menyewa tanah dalam jangka panjang, tapi dilarang membeli. Dengan hak erpahct tersebut, para pengusaha Belanda kemudian mulai membuka perkebunan. Hak erpahct ini diberikan berdasarkan Agraris Wecht atau Undang-Undang Agraria Belanda.
Sementara itu dalam perkembangannya kemudian, pada tahun 1957 pemerintah Indonesia menasionalisasi semua lahan bekas perkebunan Belanda, dan diklaim sebagai tanah negara. Padahal, sebelumnya para pengusaha Belanda itu sudah menyerahkan lahannya untuk digarap penduduk setempat. Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1960, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), yang salah satu amanatnya adalah menginstruksikan landreform alias pembagian tanah secara merata kepada para petani penggarap. Namun, kenyataannya UUPA belum dilaksanakan secara konsisten.
Setelah sengketa tanah kian meruyak, reformasi agraria menjadi wacana lagi, antara lain bagaimana menciptakan lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai garda terdepan dalam urusan pertanahan nasional. Kinerja BPN pun menjadi gunjingan banyak pihak. Hingga kini tak sedikit keluhan yang disampaikan publik terhadap kinerja BPN baik di pusat maupun daerah.
Keputusan Presiden (Keppres) No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan mengamanatkan kepada BPN untuk merevisi UUPA, menyusun RUU Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lain di bidang pertanahan. Setumpuk pekerjaan pun menanti sentuhan BPN.
Hingga kini kita belum memiliki basis data tanah yang merupakan aset negara/pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hal itu terkait pengukuran tanah secara nasional, pemetaan untuk menginventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan serta pemanfaatan tanah yang belum juga tersentuh. Semua ini menjadi pekerjaan dasar dari BPN, disamping memberikan pelayanan maksimal kepada publik.
Kita akui ini memang bukan pekerjaan mudah. Belum maksimalnya sumber daya yang dimiliki BPN menjadi kendala tersendiri. Di samping itu, adanya tarik menarik kepentingan telah turut memengaruhi kinerja BPN. Apalagi dengan diberlakukannya UU Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah (Otda), kian menyulitkan penanganan masalah pertanahan di Indonesia. Karena dengan bergulirnya otonomi daerah (otda), tak sedikit kewenangan pusat yang menyangkut pertanahan dilimpahkan ke daerah.
Dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No 10 Tahun 2006 tentang BPN, yang sebenarnya dimaksudkan untuk mempertegas keberadaaan lembaga BPN agar lebih berdayaguna, ternyata malah menimbulkan kontroversi. Sebagian kalangan memandang perpres tersebut mengalihkan kembali kewenangan pertanahan dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan hal itu dinilai sangat bertentangan dengan substansi otonomi daerah.
Padahal ketika kita berharap banyak terhadap kinerja BPN, maka harus ada upaya penguatan kelembagaan BPN. Dan, Perpres No. 10/2006 mencoba mengarahkan agar kelembagaan BPN cukup kapabel di dalam melaksanakan berbagai fungsi di bidang pertanahan nasional, di antaranya reformasi agraria, pemberdayaan masyarakat dan penanganan konflik pertanahan. Dan, jika dicermati, ketiga fungsi ini dapat menjadi pintu masuk bagi pelaksanaan agenda penataan ulang di bidang pertanahan dan penyelesaian konflik pertanahan yang selama ini masih menjadi tumpukan masalah di BPN.
Perpres itu pun mencoba mendudukkan struktur BPN di daerah yang meliputi kantor wilayah (provinsi) dan kantor pertanahan (kabupaten/kota). BPN daerah pada hakikatnya mengemban tugas dan fungsi di bidang pertanahan yang bersifat vertikal.
Adapun hal baru dalam struktur BPN, yakni adanya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, semestinya dipandang sebagai langkah maju, mengingat keberadaan struktur ini demikian penting dalam menjawab segala persoalan di bidang pertanahan, khususnya dalam penanganan sengketa/konflik.
Dan, jika selama ini dalam setiap kasus tanah posisi rakyat selalu lemah, maka keberadaan perpres ini sebenarnya cukup mengakomodasi peran masyarakat di dalamnya, yakni dengan dibentuknya Komite Pertanahan yang keanggotaannya berasal dari kalangan tokoh masyarakat yang peduli terhadap segala permasalahan di bidang pertanahan, juga para pakar di bidang pertanahan.
Keberadaan Komite Pertanahan ini diharapkan dapat lebih menggali dan memberi masukan kepada BPN dalam merumuskan setiap kebijakan yang akan dikeluarkan.
Yang terpenting kemudian adalah, bagaimana semua itu bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan. Mengingat hingga saat ini masih ada sekitar 2.865 kasus sengketa tanah skala besar yang belum selesai dan itu menghambat penyelesaian pendaftaran dan pemberian hak atas tanah. BPN menyatakan dari 85 juta bidang tanah di Indonesia, baru sekitar 30 persen yang terdaftar dan diberikan hak atas tanah. Jumlah 30 persen itu pun masih belum sempurna karena banyak sengketa tanah mengenai tapal batas dan tumpang tindih area. Jika tak segera ada perbaikan, barangkali 100 tahun lagi baru bisa menyelesaikan yang 70 persen itu. ***
Penulis adalah alumnus jurusan Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor (IPB),
bekerja di Badan Ketahanan Pangan, Penyuluhan Pertanian
dan Kehutanan Aceh Timur
Sumber:
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=189919
8 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar