Boedi djatmiko.
1. PENDAHULUAN
Sering kali kita mendengar sebidang tanah disebut sebagai tanah Negara jika ditanyakan apa yang dimaksud dengan tanah Negara, kenapa disebut demikian, apakah ada perbedaan dengan tanah jenis yang lain, dimana kita menemukan tanah Negara, dimana diatur mengenai tanah Negara ini, dan siapa yang berwenang mengaturnya. Untuk apa tanah Negara apakah kita bisa memiliki tanah Negara. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu maka sesuai dengan isu yang hendak dikemukakan yakni tanah Negara dan wewenang pemberian haknya diawali dari pengertian atau makna, selanjutnya sejarah dan ketentuan hukum wewenang pemberian haknya.
2. KONSEP TANAH NEGARA
Sebutan untuk “ Tanah” ( land ) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung dari sudut pandang keilmuan untuk pengartikannya. Dalam konsep hukum tanah tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang angkasa, permukaan bumi dan dibawah tubuh bumi ( lihat Peter butt, 2001). Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “ permukaan bumi” ( lihat pasal 4 ayat 1UUPA).
“Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain - misalnya tanah milik dan sebagainya - hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini lebih kepada hubungan kepemilikanatau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan. Dalam pengertian tersebut maka jika kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah tanah sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya dimana Negara sebagai subyek mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah. adapun hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.
Didalam konsep hukum Sebutan menguasai atu dikuasai dengan dimiliki ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan pengertian dimiliki. Jika kita menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam arti “ possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti factual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang punya tanah tersebut. Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan dalam arti “ Ownership” dalam pengertian juridis maka dapat diartikan bahwa tanah tersebut secara yuridis merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun bukan berarti juga dia secara fisik menguasai tanah tersebut, karena mungkin adanya hubungan kerjasama atau kontraktual tertentu. Bentuk lain bisa juga bahwa tanah tersebut diduduki oleh orang tanpa ijin yang berhak “ okupasi”. Makna okupasi atau “accupation” lebih kepada penguasaan secara pisik atau factual tanpa diikuti hak ( right) dalam arti sah secara hukum. “tanah Negara” diartikan sebagai pemilik dalam arti kepunyaan atas tanah dapat ditemukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimana Indonesia sebagai bagian dari kerajaan Belanda. Berasal dari latar belakang system ketatanegara yang berbentuk absolute / monarchi, ( system feodalisme). Tanah dalam wilayah kekuasaan adalah tanah milik Raja / ratu sebagai pemilik. Wilayah kekuasaan cakupannya termasuk daerah jajahan - Indonesia bagian dari wilayah kerajaan Belanda - dan disisi yang lain rakyat yang berada diwilayah tersebut berposisi sebagai penggarap atau penyewa tanah (lihat pula Curzon, 1989). Konsekuensi logis dari model hubungan antara Raja sebagai pemilik dan rakyat sebagai penyewa dikenal sebagai system kepemilikan tanah yang disebut sebagai dotrin “ land tenure”.
Dalam tataran politik hukum tanah pada waktu itu tanah Negara adalah tanah milik Negara ( Raja/Ratu) diterapkan di Indonesia melalui produk hukum dalam peraturan “ agrarisch besluit” yang diundangkan dalam lembaran Negara “Staatblad” no. 118 tahun 1870 ( S. 1870-118).
Dalam pasal 1, disebutkan:
“ behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”.
( dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein ( milik ) Negara). Ketentuan pasal 1 Agrarisch Besluit ini dikenal sebagai pernyataan kepemilikan “ Domein Verklaring” dari Negara dan dikenal sebagai pernyataan domein umum ( algemene Domein Verklaring ). Disamping itu, dikenal juga adanya pernyataan domein khusus ( speciale Domein Verklaring ) yang tercantum dalam peraturan perundangan tentang pengaturan hak erfpaht yang diundangkan dalam S. 1875 – 94f, S. 1877 – 55 dan S. 1888 – 55. Rumusannya sebagai berikut:
“ alle woeste gronden in de Gouvernementsladen op…. berhooren, voorzoover daarop door leden der inheemsche bevolking gene aan het ontginningsrecht ontleende rechten worden uitgeoefend, tot het Staatsdomein. Over dit tot het Staatsdomein behoorende gronden, berust behoudens het ontginningsrecht der bevolking, de beschikking iutluitend bij het Gouvernement” ( engelbrecht, 1960, halaman 2051).
“Semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung di… adalah domein Negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah Negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannnya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.
Pernyataan kepemilikan ini menjadikan landasan hukum Negara /pemerintahan pada waktu itu untuk memberikan tanah dengan hak kepemilikan dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak Erfpacht, hak Opstal dan lain2nya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah dan sebagai alat pembuktian pemilikan tanah. ( lihat budi harsono, h. 43). Pernyataan domein Negara yang diatur dalam pasal 1 Agrarisch besluit ini paralel dengan yang diatur dalam BW. Dalam pasal 519 dan pasal 520 BW, mengatur bahwa setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, maka negaralah pemiliknya.
Atas dasar pasal 1 Agrarisch besluit ini maka dikenal adanya dua bentuk tanah Negara yakni:
Pertama, tanah – tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas “ vrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun. Pengertian hak disini harus diartikan yuridis yang diatur dalam ketentuan hukum barat (BW) termasuk didalamnya hak rakyat atas tanah yang pada waktu itu tanah-tanah yang mendasarkan pada hukum adat setempat. Sepanjang tidak didaftarkan haknya dengan cara menundukkan diri secara suka rela kepada hukum barat maka tanah yang dikuasai rakyat merupakan bagian dari atau berstatus sebagai tanah Negara yang diistilahkan sebagai tanah Negara yang diduduki oleh rakyat. Dalam perkembangannya ternyata pemerintah Hindia Belanda juga berpendapat bahwa sebutan tanah Negara bebas ini cakupannya dibedakan menjadi dua:1. Tanah – tanah menjadi tanah Negara bebas karena dibebaskan dari hak-hak milik rakyat oleh suatu Instansi / departemen, dianggap tanah Negara dibawah penguasaan departemen yang membebaskan; 2. Tanah Negara bebas yang tidak ada penguasaan secara nyata diserahkan kepada suatu departemen, dianggap bahwa tanah tersebut dimasukkan kedalam penguasaan departemen dalam negeri ( Binnen van bestuur)
Kedua, tanah Negara yang tidak bebas “ onvrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang diatasnya ada hak-hak rakyat atas tanah atau tanah yang dikuasai atau diduduki oleh rakyat berdasarkan pada hukum adat mereka ( hak ulayat masyarakat hokum adat).
Setelah kemerdekaan, sebelum terbitnya UU. No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA, pengertian Tanah Negara, ditemukan dalam PP No. 8 tahun 1953 ( L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam PP tersebut Tanah Negara dimaknai sebagai “ tanah yang dikuasai penuh oleh negara”. Substansi dari pengertian tanah Negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut apakah hak barat maupun hak adat ( vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (lihat, penjelasan umum II (2) UUPA), artinya negara di kontruksikan negara bukan pemilik tanah, Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang oleh rakyat: a. Mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari ) bumi, air dan ruang angkasa itu; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.” Substansi tanah Negara setelah UUPA, didalam berbagai peraturan perundangan disebutkan bahwa pengertian tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.
Atas pemahaman konsep dan peraturan perundangan tentang pengertian tanah Negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah Negara dilihat dari asal usulnya:
1. Tanah Negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah Negara bebas;
2. Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.
3. WEWENANG PEMBERIAN HAK
Pada prinsipnya karena status tanah merupakan tanah Negara maka baik pada masa pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa pemerintahan RI, wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Negara, jika masa pemerintahan Hindia Belanda yang diwakili oleh gubernur jenderal, setelah merdeka wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Menteri selaku pejabat Negara yang mendapatkan wewenang pendelegasian dari Presiden. Dan selanjutnya menteri atau pejabat yang memperoleh delegasi dari presidan melimpahkan tugas dan wewenang tersebut kepada pejabat jajaran yang ada dibawahnya.
Didalam UU No. 7 tahun 1958, tentang peralihan tugas dan wewenang agraria, adalah merupakan peraturan perundangan awal kemerdekaan yang mengatur pelimpahan wewenang kementerian agraria. Di dalamnya disebutkan : Tugas dan wewenang yang menurut peraturan2 undang-undang dan ketentuan2 tata usaha yang tercantum dalam daftar lampiran dari undang2 ini diberikan kepada: a. Gubernur jenderal, direktur van Binnenlands Bestuur dan Menteri Dalam negeri; b. Hoofd van Gewestelijk bestuur, gubernur, residen, Hoofd van Plaatselijk Bestuur, bupati, walikota, wedana,dan pejabat2 pamongpraja lainnya, termasuk tugas dan wewenang yang menurut sesuatu peraturan atau keputusan telah ada atau telah diserahkan kepada sesuatu badan penguasa; dengan berlakunya undang-undang ini beralih kepada menteri agraria.
Pengaturan peraturan perundang-undangan tentang wewenang pemberian hak atas tanah Negara, di atur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:
1. Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/ 61, tentang pembagian tugas wewenang agrarian; ditetapkan tanggal 1 April 1961, berlaku surut sejak tanggal 1 Mei 1960; Dengan berlakunya peraturan ini mencabut Keputusan tanggal 22 Oktober 1959, No. SK/495 / Ka/ 59, yang disempurnakan dengan Keputusan tanggal 4 Mei 1960, No. SK/599/Ka/ 60
2. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 12 September 1962, No. SK. XIII/ 17/ Ka/ 1962, tentang penunjukan pejabat yang dimaksud dalam pasal 14 PP No. 221/ 1962. ketentuan ini mengatur tentang wewenang pemberian hak milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform;
3. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 21 Juli 1967, No. SK 4/ Ka, tentang perubahan keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/ Ka/ 61. ketentuan ini merupakan pengaturan mengenai wewenang pemberian hak pakai yang menyimpang dari ketentuan yang diatur oleh Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 112/ ka/61;
4. Keputusan Deputy Menteri Kepala Departemen Agraria tanggal 1 Juli 1966, No. SK. 45/ Depag/ 66, tentang Pembagian tugas dan wewenang agrarian dalam hubungannya dengan pemberian hak dan wewenang atas tanah;
Dengan berlakunya Peraturan ini maka peraturan wewenang yang diatur dalam Keputusan Menteri No. SK. 112/Ka/ 1961; Keputusan Menteri agrarian No. SK. XIII/ 5/ Ka; Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 4 / Ka; Keputusan Menteri Agraria No. SK. 336/ Ka; dan Keputusan Menteri Agraria No. SK. 3/ Ka/ 1962, sepanjang telah diatur dalam peraturan ini dicabut atau tidak berlaku.
5. PMDN NO. 1 TAHUN 1967 Tentang pembagian tugas dan wewenang agrarian; jo. PERATURAN MENERI DALAM NEGERI NO. 88 TAHUN 1972 tentang sususnan organisasi dan tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan sub direktorat agrarian kabupaten/ Kotamadya. dengan berlakunya peraturan ini, maka Surat keputusan Menteri Agraria No. SK 112/Ka/1961 dan Surat Keputusan Deputy Menteri Kepala Departeman Agraria No. Sk 45/ Depag/ 1966 dicabut kembali.
6. PMDN No. 6 tahun 1972, tentang pelimpahan wewenang pemberian Hak atas tanah;
7. Permenag/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah Negara;
Dengan terbitnya PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NO. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku. Peraturan ini mengatur sebagai berikut:
Didalam Pasal 2, disebutkan:
(1) dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada kepala kantor wilayah BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten / kota madya
(2) pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula keewenangan untuk menegasan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah adalah tanah Negara;
(3) dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam pasal atau ayat yang bersangkutan, maka pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya meliputi kewenangan mengenai hak atas tanah Negara yang sebagian kewenangan mengusai dari Negara tidak dilimpahkan kepada instansi atau badan lain dengan hak pengelolaan.
Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan hak diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 sebagai berikut:
Hak milik ( pasal 3), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih
2. pemberian hak milik atas atanh non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
3. pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program: a. transmigrasi; b. redistribusi; c. Konsolidasi; d. pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic
Hak Guna Bangunan (pasal 4), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna bangunan;
b. semua pemberian hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan;
Hak Pakai ( Pasal 5), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha;
b. pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;
c. semua pemberian hak pakai atas tanah hak pengelolaan;
didalam pasal 6 perubahan hak, kepala kantor pertanahan memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, kecuali perubahan hak guna usaha menjadi hak lain;
Kewenangan Kantor Wilayah BPN Propinsi diatur dalam Pasal 7, 8, 9 dan 10 sebagai berikut:
Pasal 7, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha;
2. pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kota madya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3;
pasal 8 hak guna usaha, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberikan keputusan mengenai pemberian hak guna usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha.
pasal 9 hak guna bangunan, kepala kantor wilayah BPN Propinsi emberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor pertanahan kabupaten / kotamadya.
Pasal 10 Hak pakai, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
b. Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2 kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaiman dimaksuf dalam pasal 5;
Pasal 11 pemberian hak lain, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada kepala kantor pertanahan kabpaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam bab II apabila atas laporan kepala kantor pertanahan kabupaten /kotamadya hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan
Pasal 12 pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah, Kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya
b. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberian nya dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya dan kepada kepala kantor wilayah BPN propinsi, untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
pasal 13, Menteri Negara Agraria / kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum. Selanjutnya didalam Pasal 14 disebutnya:
(1) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala Kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III
(2) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tamah yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud bab II dan III apabila atas laporan kepala kantor wilayah BPN ptropinsi hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan.
4. KARAKTER SERTIFIKAT DAN AKIBAT HUKUMNYA
Konstruksi hukum Sertifikat yang lahir dari pendaftaran tanah yang berasal dari tanah yang berstatus Negara mempunyai karakter yang bersifat “konstitutif”. Sifat karekter ini timbul sebagai akibat adanya suatu keputusan atau penetapan dari badan / pejabat tata Usaha Negara dalam hal ini BPN yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah Negara. Fungsi dari surat keputusan pemberian hak tersebut adalah sebagai tanda bukti kepemilikan bahwa seseorang atau badan hokum memperoleh hak atas suatu bidang tanah.
Surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/ Pejabat Tata Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara terhadap seorang atau badan hokum atas sebidang tanah yang dikuasainya. Kenapa demikian, karena untuk dapatnya sesorang atau badan hokum memiliki atau mengusai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus memenuhi persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan tersebut. Bila mana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar memperoleh tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar