BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah dan Rumusannya
Dalam rangka pembangunan ekonomi diperlukan tersedianya dana, salah satu perolehan dana yang dapat digunakan masyarakat adalah mengajukan permohonan kredit yang diberikan perbankan nasional. Peranan bank seperti yang tersurat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) yaitu sebagai penyalur dana untuk masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dapat digunakan sebagai tambahan dana yang diperlukan bagi kegiatan usaha para nasabah debitur, tambahan dana tersebut sangat menunjang kegiatan bisnis pada khususnya dan kegiatan ekonomi pada umumnya.
Penyaluran kredit kepada masyarakat sebagai pelaku usaha, selaku debitor, penuh dengan resiko kemacetan dalam pelunasannya. Agar dapat mengurangi risiko kemacetan dalam penyaluran kredit diperlukan adanya lembaga jaminan sebagai sarana pengaman. Di dalam pasal 8 UU Perbankan telah ditegaskan bahwa dalam menyalurkan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor mengembalikan hutang (kredit) sebagaimana yang dijanjikan.
Dalam peraturan perundang-undangan telah memberikan pengaman kepada kreditor dalam menyalurkan kredit kepada debitor, yakni dengan memberikan jaminan umum menurut Pasal 1131 dan 1132 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW), yang menentukan bahwa semua harta kekayaan (kebendaan) debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan atas seluruh perikatannya dengan kreditor. Apabila terjadi wanprestasi maka seluruh harta benda debitor dijual lelang dan dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor . Namun perlindungan yang berasal dari jaminan umum tersebut dirasakan belum memberikan rasa aman bagi kreditor, sehingga dalam praktik penyaluran kredit, bank memandang perlu untuk meminta jaminan khusus terutama yang bersifat kebendaan.
Permintaan jaminan khusus oleh bank dalam penyaluran kredit tersebut merupakan realisasi dari prinsip kehati-hatian bank sebagaimana ditentukan UU Perbankan . Jaminan kebendaan mempunyai posisi paling dominan dan dianggap strategis dalam penyaluran kredit bank. Jaminan kebendaan yang paling banyak diminta oleh bank adalah berupa tanah karena secara ekonomis tanah mempunyai prospek yang menguntungkan.
Kelahiran Hak Tanggungan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) dan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya cukup disebut UUHT) dapat mengakomodasi kebutuhan lembaga perbankan sebagai upaya mengamankan kredit yang disalurkan kepada masyarakat. UUHT memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, didalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, sebagai berikut :
“Hak Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor yang lain”
Unsur pokok hak tanggungan yang terkandung definisi tersebut diatas adalah:
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanah tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.
Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana yang dikemukakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Kreditor tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.
Mengenai apa yang dimaksud dengan pengertian “kedudukan yang diutamakan kepada kreditor-kreditor lain” tidak dijumpai di dalam penjelasan Pasal 1 tersebut, tetapi dijumpai di bagian lain dalam UUHT, yaitu di dalam Angka 4 Penjelasan Umum UUHT.
Dijelaskan dalam Penjelasan Umum itu bahwa yang dimaksud dengan “memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain” ialah : “bahwa jika kreditor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.
Hal itu juga dapat diketahui dari ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT yang intuisi dinyatakan bahwa apabila debitor cidera janji, maka :
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.
Pasal 8 ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan (memberikan Hak Tanggungan) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat dilakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Sehubungan dengan ketentuan tersebut, Hak tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yag telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan .
Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Begitu juga tidak mungkin untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada dikemudian hari.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut adalah yang dimaksudkan oleh UUHT sebagai “benda-benda yang berkaitan dengan tanah”.
Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat dibebani pula dengan Hak Tanggungan tidak terbatas kepada benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (4) UUHT), tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat (5) UUHT).
Meskipun Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah ada, sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah, ternyata Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada dikemudian hari.
Pengertian “yang baru akan ada” yang dimaksud dalam pasal tersebut diatas ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang dibebani Hak Tanggungan tersebut.
Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah) tersebut.
Pasal 18 UUHT menetapkan bahwa peristiwa-peristiwa apa saja yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. Dari cara penyebutannya, orang bisa menyimpulkan, bahwa yang menjadi maksud dari pembuat Undang-undang untuk menentukan secara limitatif peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.
Salah satu peristiwa yang menghapuskan Hak Tanggungan disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1d) UUHT, bahwa sebagai dasar yang disebutkan terakhir untuk hapusnya Hak Tanggungan adalah hapusnya hak atas tanah. Hapusnya hak atas tanah dapat ditafsirkan fisik tanah/persilnya yang hapus maupun “hak” atas tanahnya. Hapusnya tanah dalam arti fisik jarang sekali terjadi dan hanya bisa terjadi karena tanah tersebut tertimbun total, misalnya oleh tanah lain sebagai akibat letusan gunung berapi atau tertutup air, atau karena gerusan air sungai sebagai akibat berpindahnya alur air, sehingga merendam tanah yang bersangkutan, atau terkena tsunami seperti bencana yang terjadi di Aceh atau dapat pula yang terjadi karena perbuatan yang disengaja seperti pada perendaman desa untuk pembuatan waduk.
Hapusnya hak atas tanah banyak terjadi karena lewatnya waktu, untuk mana hak itu diberikan. Hak-hak yang lebih rendah tingkatannya daripada hak milik seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai terbatas waktu berlakunya, sekalipun secara fisik masih tetap ada. Dengan berakhirnya hak atas tanah yang bersangkutan, maka hak atas tanah yang bersangkutan kembali kepada yang bersangkutan kembali atau pemiliknya dan kalau hak tersebut diberikan oleh negara, maka tanah tersebut kembali kepada kekuasaan negara.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dimunculkan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
a. Upaya apa yang dapat dilakukan kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan ?
b. Apa akibat hukumnya bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila hak atas tanah yang diagunkan menjadi hapus ?
2. Tujuan Penelitian
a. Upaya yang dapat dilakukan kreditor pemegang hak tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan;
b. Akibat hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila hak atas tanah yang diagunkan menjadi hapus.
3. Manfaat Penelitian
a. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini masyarakat semakin paham bahwa kedudukan bank sebagai penyalur dana untuk masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dapat digunakan sebagai tambahan dana yang diperlukan bagi kegiatan usaha para nasabah debitur.
b. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini masyarakat semakin paham bahwa pihak bank ketika akan menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit sangat memerlukan adanya jaminan sebagai upaya untuk mengantisipasi adanya kemacetan dalam pelunasan kredit tersebut.
4. Kajian Pustaka
Pengertian hukum jaminan tidak pernah ditemukan dalam perundang-undangan maupun literatur. Didalam literatur memang sering ditemukan istilah zekerheidsrechten, yang memang bisa diterjemahkan menjadi hukum jaminan. Akan tetapi hendaknya diingat bahwa kata recht di dalam bahasa Belanda dan Jerman bisa mempunyai arti yang bermacam-macam.
Pertama recht bisa berarti hukum (law), tetapi juga hak (right) atau keadilan (just).
Pitlo memberikan perumusan tentang zekerheidsrechten sebagai hak (een recht) yang memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik daripada kreditor-kreditor lain. Dari apa yang dikemukakan Pitlo tersebut diatas, maka dapat disimpulkan, bahwa kata “recht” dalam istilah “zekerheidsrechten” berarti “hak”, sehingga zekerheidsrechten adalah hak-hak jaminan, bukan “bukan hukum jaminan”, maka mungkin dapat diartikan sebagai : peraturaan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitor.
Prof. Subekti dalam karangannya yang berjudul “Suatu Tinjauan tentang Sistem Hukum Jaminan Nasional”, juga mengatakan “Kalau kita ingin mencari sistem Hukum Jaminan Nasional”, maka yang dimaksudkan adalah mencari kerangka dari seluruh perangkat “peraturan” yang mengatur tentang jaminan dalam hukum nasional kita dikemudian hari”.
“Kedudukan yang lebih baik” disini sebagaimana disebutkan perumusan Pitlo tersebut diatas adalah lebih baik di dalam usahanya mendapatkan pemenuhan (pelunasan) piutangnya dibanding dengan para kreditor yang tidak mempunyai hak jaminan. Atau dengan perkataan lain pemenuhan piutangnya menjadi lebih terjamin, tetapi bukan berarti pasti terjamin. Jadi, perbandingannya adalah antara kreditor yang mempunyai hak jaminan dengan kreditor yang tidak mempunyainya. Kelebihannya adalah dipunyainya kedudukan yang lebih baik dalam upayanya untuk memperoleh pemenuhan.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya “Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Perbankan “dalam hal-hal tertentu adakalanya seorang kreditor menginginkan untuk tidak sama dengan kreditor-kreditor lain, karena kedudukan yang sama dengan kreditor-kreditor lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan kreditor-kreditor lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitor, apabila debitor cidara janji”.
Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditor yang bersangkutan tidak akan pernah tahu yang mungkin muncul dikemudian hari.
Makin banyak kreditor dari debitor yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitor menjadi berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar utang-utangnya).
Akibatnya ada, kemungkinan dinyatakan pailit dan harta kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh Undang-undang seperti Hipotik dan Gadai, adalah untuk memberikan kedudukan bagi seorang kreditor tertentu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain. Hal tersebut juga menjadi tujuan dari eksistensi Hak Tanggungan yang diatur UUHT. Kreditor-kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain, disebut kreditor konkuren. Sedangkan kreditor yang mempunyai hak untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain, disebut kreditor preferen.
Dengan demikian, asas persamaan kedudukan kreditor terdapat pengecualian-pengecualian yaitu : dalam hal seorang kreditor mempunyai hak-hak jaminan khusus ialah hak yang memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik dibanding kreditor lain dalam pelunasan tagihannya.
Hak jaminan khusus, seperti jaminan umum, tidak memberikan jaminan bahwa tagihannya pasti dilunasi, tetapi hanya memberikan kepada kreditor kedudukan yang lebih baik dalam penagihan, lebih baik daripada kreditor konkuren yang tidak memegang hak jaminan khusus atau dengan perkataan lain kreditor preferen relatif lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya. “Kedudukan yang lebih baik” diantara para kreditor yang mempunyai hak jaminan khusus, tidak sama, bergantung dari macam hak jaminan khusus yang dipunyai olehnya.
Hak Jaminan khusus atau kedudukan yang lebih baik adanya dapat karena :
1. Diberikan oleh undang-undang,
2. Diperjanjikan.
Selain dari pembedaan hak-hak jaminan khusus ke dalam hak-hak jaminan yang seperti tersebut di atas, doktrin masih mengenal pembagian lain :
1. Hak jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidscrechten)
2. Hak jaminan perorangan (persoonlijke zekerheidscrechten)
Selain hak jaminan khusus seperti tersebut di atas, masih ada yang dinamakan hak istimewa (privilege) dan sesuai perkembangan zaman, dalam praktik adanya jaminan lain yang tidak dapat dimasukan ke dalam salah satu kelompok tersebut, yaitu jaminan dalam wujud surat pensiun, slip gaji, dan lain-lain yang berupa jaminan benda tertentu/sekelompok benda tertentu, tetapi tidak mempunyai sifat jaminan kebendaan. Hak-hak jaminan yang diatur dalam Buku II dan Buku III BW adalah hak-hak kekayaan, hak-hak yang mempunyai nilai ekonomis dan bisa laku jika diperjualbelikan, sedang surat pensiun dan slip gaji bersifat sangat pribadi, sehingga sulit untuk dimasukkan dalam kelompok jaminan kebendaan. Dengan demikian benda-benda tersebut mempunyai ciri yang berbeda dari ciri jaminan kebendaan pada umumnya, yaitu sifat yang dapat dieksekusi, sifat yang memungkinkan benda itu untuk dijual dan mendapatkan pembeli.
Dengan demikian pembagiannya, ditambah menjadi :
“Hak jaminan kebendaan”
“Hak jaminan perorangan”
”Hak jaminan lain” .
Dengan perumusan jaminan khusus seperti tersebut diatas, maka pembahasan hak jaminan khusus dapat mencakup bidang yang lebih luas lagi dan sesuai dengan kenyataan praktik sekarang ini dimana orang dapat memperoleh kredit dengan jaminan benda-benda, yang tidak dapat dialihkan kepada dan tidak mempunyai nilai ekonomis bagi pihak ketiga dan karenanya dikatakan jaminan yang mempunyai nilai uang. Walaupun ijazah berkaitan erat sekali dengan pemiliknya, sehingga bagi orang lain tidak mempunyai arti ekonomis, namun harus diakui bahwa kreditor yang memegang ijazah sebagai jaminan mempunyai kedudukan yang lebih baik daripada kreditor biasa tanpa jaminan khusus seperti itu karena kreditor preferen tersebut mempunyai sarana penekan secara psikologis yang memberikan kepadanya kemingkinan lebih besar untuk mendapat pelunasan dengan lebih mudah dan lebih dahulu daripada kreditor konkuren yang lain.
5. Metode Penelitian
a. Pendekatan Masalah
Penelitian ini merupakan penelitian hukum, karena ilmu hukum memiliki karakter yang khusus (merupakan suatu sui generis discipline) . Penelitian ini menggunakan statute approach dan conceptual approach. Statute approach dalam artian permasalahan tersebut akan ditinjau secara khusus sesuai hukum positif yang berlaku dan berkaitan dengan pokok masalah yang penulis bahas. Sedangkan conceptual approach didasarkan pada pendapat para sarjana yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
b. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas yaitu BW, UUHT, UU Perbankan, UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (Untuk selanjutnya cukup disebut PP No.40 Tahun 1996).
Bahan hukum sekunder berupa buku-buku literatur, catatan kuliah, karya ilmiah dan berbagai media cetak yang ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.
c. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum
Cara pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat pengumpul data yaitu studi kepustakaan atau dokumentasi.
Studi kepustakaan atau dokumentasi
Studi kepustakaan atau dokumentasi tersebut dilakukan untuk memperoleh bahan hukum sekunder yang meliputi :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, yakni : BW, UUHT, UU Perbankan, Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Fidusia (untuk selanjutnya cukup disebut UU Fidusia), dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai;
b. Bahan hukum sekunder, adalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : hasil penelitian, karya dari kalangan hukum, teori para sarjana yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas, jurnal, majalah, surat kabar dan lain-lain.
Dari hasil penelitian yang diperoleh dari studi kepustakaan, disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai asas-asas hukum, norma-norma hukum mengenai hukum.
6. Pertanggungjawaban Sistematika
Sistematika pada penulisan tesis ini dibagi dalam empat bab. Bab I memaparkan secara singkat masalah yang merupakan pokok batasan dalam bab berikutnya. Penulis menempatkan pendahuluan pada awal bab I yang berisi penulisan tesis ini secara garis besar. Pendahuluan berisi tentang latar belakang dan rumusan masalah yang terdiri dari asumsi dan alasan kuat bahwa suatu permasalahan layak untuk dikaji. Pada bab ini dapat diketahui uraian mengenai tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber bahan hukum dan prosedur pengumpulan dan pengolahan bahan hukum. Kemudian diakhiri dengan pertanggungjawaban sistematika.
Pada bab II, penulis akan menguraikan upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang hak tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan. Untuk menjawab hal tersebut maka penulis membahas Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagai Perjanjian Kebendaan, janji-janji dalam Pasal 11 UUHT, lembaga kuasa sebagai penangkal risiko, pengansuransian, pemeliharaan nilai obyek Hak Tanggungan dan jaminan tambahan.
Pada bab III, penulis akan membahas akibat hukum bagi kreditor pemegang hak tanggungan apabila hak atas tanah yang diagunkan menjadi hapus. Menjawab permasalahan tersebut, penulis akan membahas hak atas tanah sebagai obyek Hak Tanggungan, batas waktu hak atas tanah dan hapusnya hak atas tanah objek Hak Tanggungan dan akibat hukumnya..
Pada bab IV, penulis akan menguraikan penutup dari keseluruhan penulisan tesis ini yang berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan sekaligus merupakan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan pada rumusan masalah. Pada akhir bab IV penulis mengemukakan saran-saran yang relevan dengan permasalahan yang penulis kemukakan pada bab I.
BAB II
UPAYA HUKUM KREDITOR SEBAGAI PENANGKAL RISIKO
1. Akta Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Perjanjian Kebendaan
Hak harta kekayaan secara traditioneel dipisahkan dalam hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dan hak-hak pribadi (persoonlijke rechten). Hak kebendaan kerapkali diberi defenisi sebagai suatu hak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda tertentu, sedangkan hak pribadi didefinisikan sebagai suatu hak atas seseorang tertentu. Singkatnya : suatu hak atas tanah suatu benda berhadapan dengan suatu hak terhadap sesorang . Setiap hubungan hukum (rechtsrelatie) menurut sifatnya adalah hubungan antara orang-perorang (personen). Juga suatu hak kebendaan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang yang berhak dengan orang-orang lain. Suatu kenyataan bahwa suatu hak kebendaan yang mempunyai hubungan atas suatu benda, tidaklah menentukan pembedaan antara hak-hak pribadi dan hak kebendaan. Ini adalah kejadian dalam hubungannya untuk pembatasan dari hak-hak kebendaan atas yang lain, yaitu hak-hak absolute yang bukan kebendaan. Hak pengarang (auteurecht), hak cipta (octrooirecht) dan lain-lain yang sama, adalah mutlak, akan tetapi bukanlah hak-hak kebendaan, oleh karena yang menjadi sasarannya bukanlah benda, akan tetapi suatu hasil karya kesusasteraan, ilmu pengetahuan atau seni dan suatu penemuan cara kerja baru atau produk baru. Kebendaan hanyalah hak-hak dimana yang menjadi sasarannya itu suatu benda. Benda disini ialah dalam pengertian luas dari bagian harta kekayaan (benda-benda yang bertubuh) dan hak-hak harta kekayaan. Jadi hak-hak kebendaan misalnya eigendom dari suatu sepeda, tetapi juga hypotheek atas suatu hak guna usaha (erpachtsrecht) dan guna hasil (vruchtgebruik) dari suatu hak tagihan (vorderingsrecht). Yang tidak kebendaan sebagai kebalikannya adalah suatu hak cipta (octrooirecht), karena ini bukan suatu benda bertubuh, juga bukan suatu hak atas suatu object (tidak punya object) .
Hak-hak pribadi adalah relatif artinya hak-hak itu hanya mengikat seseorang atau beberapa orang-orang tertentu. Asas ini dinyatakan dalam pasal 1340 BW :
“ suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya “.
Bilamana B meminjam Rp. 100.000,- dari A dan berjanji untuk mengembalikan jumlah tersebut pada tanggal 5 Juni, maka hanya B lah yang terikat atas janji ini dan A hanya dapat melakukan haknya ini terhadap B. Sedangkan sifat kemutlakan dari suatu hak kebendaan menjadi jelas apabila dilihat dari sudut pasifnya. Secara negatif setiap orang terikat pada suatu hak kebendaan, jadi setiap orang dilarang melakukan pelanggaran atas suatu hak kebendaan. Hak milik A atas suatu sepeda ditinjau dari sudut A sebagai suatu hak ekslusif sebagai gambaran menunjukan, bahwa setiap orang diwajibkan untuk tidak melanggar hak tersebut. Sementara sifat kemutlakan itu mempunyai aspek rangkap (een dubbel aspect) :
a. Orang yang berhak atas kebendaan ( de zakelijk gerechtidge) dengan suatu gugat kebendaan (een zakelijke actie) dapat bertindak terhadap siapapun yang mengganggu hak itu. Pada waktu A tidak ada dirumah, X, Y, Z, menempati rumah A tersebut. Terhadap pelanggaran atas hak eigendomnya, yang dilakukan oleh X, Y, Z, A dapat memaksa ketiga tersebut untuk mengosongkan rumah itu ( lihat pasal 574 BW ).
b. Suatu hak kebendaan tetap melekat pada benda itu, juga apabila benda itu berada di tangan orang lain ( zaaksgevog).
Dari toko A telah dicuri oleh X suatu partai tekstil. A tetap menjadi pemilik, walaupun barang-barang tersebut terdapat ditangan X.
A adalah pemilik dari suatu perceel tanah peladangan ( akkerland ), yang hak guna usahanya (erfpacht) dia berikan kepada B. A menjual dan menyerahkan tanah tersebut kepada X. Hak guna usaha milik B adalah suatu hak kebendaan, karenanya tetap melekat pada tanah itu juga, meskipun hak miliknya telah berpindah ke tangan orang lain. X harus menghormati hak guna usaha B.
Kebalikan daripada ini, hak-hak pribadi (persoonlijke rechten) pada umumnya kehilangannya droit de suite-nya (zaaksgevog) : A adalah pemilik satu perceel tanah peladangan (akkerland) yang dipinjamkan kepada B. A menjual dan menyerahkan tanah itu kepada X. Hak pribadi B timbul dari pinjam meminjam hanya berlaku terhadap A. Artinya, hak tersebut tidak mempunyai droit de suite. Jadi, dengan demikian X tidak terikat pada B .
Perjanjian perorangan tidak banyak digunakan oleh kalangan perbankan, disebabkan hanya melahirkan hak perseorangan yang bersifat relatif dan kedudukan kreditor sekedar sebagai kreditor konkuren. Hak ini jelas tidak memberikan banyak keistimewaan bagi kedudukan seorang kreditor, sebab dalam hak relatif ini hanya berlaku asas kesamaan, maksudnya bank selaku kreditor mempunyai posisi yang sederajat dengan kreditor lainnya . Pola seperti ini tentu saja kurang berkenan bagi para pelaku ekonomi yang menginginkan rambu pengaman.
Penyediaan atas benda obyek jaminan dalam perjanjian kebendaan adalah untuk kepentingan dan keuntungan kreditor tertentu yang telah memintanya, sehingga memberikan hak atau kedudukan istimewa bagi kreditor tersebut . Pada hakekatnya, jaminan kebendaan ialah membebani suatu benda tertentu dengan lembaga jaminan tertentu, sehingga apabila seorang debitor tidak melunasi utangnya kepada kreditor, maka sang kreditor dapat menuntut pelunasan piutangnya, dari hasil perolehan dari penjualan didepan umum (lelang/eksekusi) atas benda tertentu tadi , maka dapat dikatakan bahwa jaminan kebendaan sebagai salah satu perlindungan hukum bagi kreditor, manakal debitor cidera janji, sebagai kepastian akan pelunasan piutang, maka benda tertentu yang dijaminkan tersebut dapat dijual di depan umum untuk diuangkan, agar hasil perolehan penjualan tersebut diserahkan kepada kreditor sesuai hak tagihnya. Perjanjian jaminan kebendaan selalu merupakan perbuatan memisahkan suatu bagian dari kekayaan seseorang yang bertujuan untuk menjaminkan dan menyediakan bagi pemenuhan kewajiban seorang debitor. Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak (absolut) atas suatu benda tertentu yang menjadi obyek jaminan suatu utang, yang suatu waktu dapat diuangkan bagi pelunasan utang debitor apabila debitor cidera janji. Subekti memberikan pengertian jaminan kebendaan sebagai berikut : “Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan, dan meyediakannya guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) seorang debitor”. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, kekayaan tersebut dapat merupakan kekayaan debitor sendiri atau kekayaan orang ketiga.
“kekayaan tersebut dapat berupa kekayaan si debitor sendiri atau kekayaan seorang ketiga. Penyendirian atau penyediaan secara khusus itu diperuntukan bagi seorang kreditor tertentu yang telah memintanya, karena bila tidak ada penyendirian atau penyediaan secara khusus itu, bagian dari kekayaan tadi, seperti halnya seluruh kekayaan si debitor. Dengan demikian maka pemberian jaminan kebendaan kepada seorang kreditor tertentu memberikan kepada kreditor tersebut suatu privilege atau kedudukan istimewa terhadap para kreditor lainnya”.
Keberadaan perjanjian kebendaan ini merupakan perjanjian tambahan yang dimaksudkan untuk mendukung secara khusus perjanjian terdahulu telah disepakati oleh para pihak, namun hanya memiliki sifat relatif. Pada umumnya diakui bahwa segala sesuatu yang memperoleh dukungan akan menjadi lebih kokoh ketimbang saat sebelumnya ketika tidak ada pendukungnya, maksudnya perjanjian utang piutang kedudukannya akan semakin kokoh manakala didukung oleh perjanjian jaminan terutama adanya perjanjian kebendaan. Begitu pula kalau perjanjian obligatoir termasuk perjanjian kredit yang bermula sekedar memiliki sifat relatif, sehingga kreditornya hanya berposisi sebagai kreditor konkuren, kalau kemudian didukung oleh perjanjian jaminan yang memiliki sifat kebendaan, mengakibatkan kreditor yang bersangkutan berubah posisi menjadi kreditor preferen dengan hak-hak yang lebih istimewa . Lahirnya jaminan kebendaan ini yang adalah gadai dan hipotek, baru ada kalau diperjanjikan oleh para pihak. Kalau para pihak membuat perjanjian gadai, maka lahirlah hak gadai bagi kreditornya. Begitu pula kalau para pihak membuat jaminan hipotek, maka kreditor akan memiliki hak hipotek. Hak jaminan yang dimiliki oleh kreditor ini adalah hak gadai dan hak hipotek yang bersifat sebagai kebendaan, karena lahir bukan dari perjanjian obligatoir Buku II BW, tetapi lahir dari perjanjian kebendaan. Karena berkedudukan sebagai hak kebendaan, maka ia dilekati sifat mutlak dalam arti dapat ditegakan terhadap siapapun, tidak seperti hak relatif yang hanya dapat ditegakkan pada pihak tertentu saja. Pada perjanjian kebendaan, perjanjian ini tidaklah lahir dari hak dan kewajiban sebagaimana dalam perjanjian obligatoir yang diatur oleh Buku III BW, dari perjanjian jaminan ini hanyalah lahir hak kebendaan bagi salah satu pihak, yakni mereka yang berposisi sebagai penerima jaminan. Pada sisi lain justru melahirkan kewajiban yang sifatnya lebih menyebar, tidak saja mengikat kontrak, tetapi juga pihak-pihak lain yang bukan merupakan suatu keistimewaan yang melekat pada jenis perjanjian kebendaan . Hak kebendaan yang terlahir dari perjanjian kebendaan adalah hak preferen yang dikandung dalam jaminan kebendaan memberikan kedudukan istimewa bagi para kreditor. Sebagai kreditor preferen, mereka memiliki pengambilan pelunasan piutang dari benda obyek jaminan. Bahkan apabila debitor pailit para kreditor ini dapat bertindak terhadap benda obyek jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan, benda obyek jaminan tidak dimasukan kedalam harta kepailitan (boedel pailit), kreditor preferen disini merupakan kreditor separatis . Keistimewaan jaminan kebendaan tidak saja memberikan preferensi melainkan terkandung sifat absolute, droit de suite, dan asas prioritas. Sifat-sifat hak kebendaan tersebut dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi penyedia dana (kreditor) .
Lembaga Hak Tanggungan yang diatur oleh UUHT adalah dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut Hipotik) sebagaimana diatur dalam Buku II BW sepanjang mengenai tanah dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staasblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 57 UUPA, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya UUHT tersebut. Di dalam Penjelasan Umum UUHT, ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai Hipotik dan Credietverband berasal dari zaman colonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum dalam UUPA dan dimaksudkan untuk diberlakukan hanya sementara waktu, yaitu sambil menunggu terbentuknya undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 51 UUPA. Ketentuan tentang Hipotik dan Credietverband itu tidak sesuai dengan asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya, ialah timbul perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbgai masalah dalam pelaksanaan hukum jaminan atas tanah. Misalnya, mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan eksekusi dan lain sebagainya, sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan (Penjelasan Umum UUHT) . Hak Tanggungan merupakan salah satu jenis dari hak jaminan disamping Hipotik, Gadai dan Fidusia. Hak jaminan dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak utama kepada seorang kreditor tertentu, yaitu pemegang hak jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditor-kreditor lain apabila debitor cidera janji. Hak Tanggungan hanya menggantikan Hipotik sepanjang yang menyangkut tanah saja. Hipotik atas kapal laut dan Hipotik atas pesawat udara juga berlaku Gadai dan jaminan sebagai hak jaminan. Dengan demikian, ada beberapa jenis hak jaminan dengan nama yang berbeda-beda, tetapi asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokoknya boleh dikatakan sama. Hal ini akan sangat membingungkan bagi mereka, lebih-lebih bagi orang asing yang ingin atau harus mempelajari hukum Indonesia mengenai hak-hak jaminan tersebut .
Ada beberapa prinsip yang berlaku bagi Hak Jaminan, seperti pada Gadai, Hipotik, Hak Tanggungan dan Fidusia. Hak Tanggungan adalah pengganti Hipotik yang khususnya mengatur tentang hak atas tanah dan Credietverband yang dimungkinkan ada persamaan prinsip-prinsip yang mendasari Hak Tanggungan tersebut. Hukum jaminan merupakan bagian dari hukum benda yang juga mengacu pada hak kebendaan sebagai asas organik yang bersifat umum konkrit, terdiri atas asas publisitas, asas spesialis, asas totalitas, asas asensi perlekatan, asas konsisitensi, asas pemisahan horizontal dan asas perlindungan hukum . Oleh karena itu perlu adanya pembahasan terhadap prinsip-prinsip Hak Tanggungan tersebut mendasarkan pada prinsip hukum jaminan.
1. Prinsip Absolut/Mutlak
Jaminan yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia secara garis besar mempunyai sejumlah asas yang antara lain mempunyai sifat kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 528 BW. Dimaksud dengan hak kebendaan (zakelijkrecht), ialah hak mutlak atas sesuatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga . Menurut Sri Soedewi Sofwan, hak kebendaan ini adalah absolut. Artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang, Pemegang hak itu berhak menuntut (vorderen) setiap orang yang menggangu haknya. Dilihat secara pasif, setiap orang wajib menghormati hak itu . Berbeda dengan hak perorangan yang adalah relatif, artinya hak itu hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu, dan hanya dapat dipertahankan melakukan tuntutan (vordering) terhadap debitor tertentu wajib melakukan prestasi terhadap pemilik hak (Persoonlijk gerechtgide) . Pada kenyataannya bahwa suatu hak kebendaan yang mempunyai hubungan atas suatu benda, tidak menentukan pembedaan antara hak pribadi dengan hak kebendaan. Seperti halnya dalam hubungannya untuk pembatasan dari hak-hak kebendaan yang merupakan hak yang bersifat absolut yang bukan kebendaan.
Berkaitan dengan UUHT, apakah tergolong sebagai hak kebendaan yang mempunyai sifat absolut atau bukan, maka perlu mengetahui apa yang dimaksudkan dengan Hak Tanggungan. Pada Pasal 1 ayat (1) UUHT yang menyebutkan :
“ Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutmakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”.
Singkatnya yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 tersebut, terdapat unsur-unsur esensial, yang merupakan sifat dan ciri-ciri dari Hak Tanggungan, yaitu :
Lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu;
Pembebanannya pada hak atas tanah;
Berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah;
Memberikan kedudukan yang preferent kepada kreditornya.
Bahwa dari pasal tersebut ternyata tidak secara tegas menyebutkan adanya hak kebendaan. Hal ini dapat dipahami karena UUPA dijiwai oleh hukum adat yang tidak mengenal adanya pembedaan antara hak kebendaan dan hak perorangan . Namun Boedi Harsono berpendapat bahwa meskipun UUPA tidak mengenal sifat kebendaan tetapi sifat kebendaan itu dapat diberikan kepada hak-hak atas tanah yang terdapat di dalam UUPA. Sedangkan Gouw Giok Siong menyatakan bahwa sifat kebendaan itu ada karena pemilik hak-hak tersebut mempunyai wewenang untuk mengalihkan atau mengasingkan. Mariam Darus Badrulzaman menambahkan, bahwa UUPA mengenal hak kebendaan bukan hanya pemilik mempunyai untuk mengalihkan atau mengasingkan tetapi hak-hak juga itu tunduk pada pendaftaran. Lembaga pendaftaran inilah yang menjadi ukuran lahirnya hak kebendaan. Pendaftaran tanah dalam UUPA menunjukan sifat kebendaan itu merupakan bawaan lahir dari UUPA dan bukan sifat yang diberikan. Selanjutnya dikatakan bahwa sifat kebendaan dalam UUPA mengakibatkan tidak ada masalah kalau hak Hipotik sesudah berlakunya UUPA merupakan hak kebendaan, sebab baik UUPA maupun Hipotik, kedua-duanya mengenal sifat kebendaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan sifat-sifat umum Hipotik dapat diambil alih sebagai sifat-sifat umum sesudah UUPA . Pendapat Mariam Darus Badrulzaman didasarkan pada Pasal 528 BW yang menyatakan “atas sesuatu kebendaan, seseorang dapat mempunyai kedudukan berkuasa hak milik, hak waris, hak pakai hasil, hak pengalihan tanah, hak gadai tanah, hak gadai atau hipotik”. Untuk itulah Hak Tanggungan dapat dikatakan mempunyai ciri-ciri/sifat hak kebendaan pada Hak Tanggunagan memang sengaja diberikan oleh pembentuk UUHT. Hal tersebut dapat diketahui manakala diperbandingkan antara Hipotik dengan Hak Tanggungan. Bahwa dari beberapa pendapat ahli hukum tersebut dapat dipahami meskipun kebendaannya dapat diberikan pada hak-hak atas tanah . Meskipun tanpa menyebutkan sifat-sifat kebendaan, tetapi pemilik hak-hak atas tanah tersebut diberi wewenang untuk mengalihkan, menjaminkan dan bahkan mendaftarkan terhadap hak-hak atas tanah tersebut, sehingga hak-hak atas tanah tersebut bersifat hak kebendaan. Oleh karena itu UUHT merupakan hak kebendaan, maka mempunyai sifat absolut .
2. Prinsip Droit de Suite
Hak Kebendaan itu mempunyai zaaksgevolg atau droit de suite (hak yang mengikuti). Artinya : hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya . Droit de Suite merupakan salah satu prinsip dari hak kebendaan yang memang pada dasarnya dikenal oleh BW, dan sebaliknya tidak kenal oleh Hukum Adat. Bahwasannya sistem Hukum Adat tidak mengenal hak kebendaan antara lain dapat disimak dari pendapat Mahadi yang menyatakan bahwa hak kebendaan seperti yang dimaksud BW itu tidak ada dalam sistem Hukum Adat. Lalu ciri Hak Tanggungan sebagai suatu hak jaminan yang mempunyai preferensi dan berasas droit de suite, berakar dari mana, selayaknya pantas dipertanyakan. Atau sifat yang ditetapkan demikian itu semata dilandaskan pada soal kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk undang-undang. Sesungguhnya problema dasar ini memerlukan kajian obyektif yang sehat . Pendapat tersebut sangatlah beralasan sebab UUPA yang dijiwai oleh hukum adat tidak mengenal asas-asas yang mencerminkan sifat hak kebendaan. Sedangkan UUPA sebagai landasan lahirnya UUHT tidak secara tegas menyebutkan adanya hak kebendaan . Namun prinsip droit de suite nampak jelas dalam Pasal 7 UUHT, yang menyatakan : sifat Hak Tanggungan itu tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada (droit de suite). Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan itu sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji dalam berprestasi. Oleh sebab itu, walaupun obyek Hak Tanggungan itu sudah berpindah tangan dan menjadi milik orang lain, namun Hak Tanggungan itu selalu mengikuti di dalam tangan siapapun obyek Hak Tanggungan berpindah, yang berarti prinsip droit de suite tersebut terdapat dalam UUHT .
3. Prinsip Droit de Preference
Pada prinsipnya hak jaminan kebendaan memberikan kedudukan didahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan terhadap kreditor lainnya. Dalam menganalisis prinsip droit de preference selain mendasarkan pada Buku II BW yang mengatur tentang jaminan juga mendasarkan pada UUHT. Mengenai perihal kedudukan yang diutamakan dalam BW dapat dilihat pada Pasal 1133 ayat (1) BW yang menyatakan bahwa : ”Hak untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik”. Selanjutnya menurut Pasal 1134 BW, Hak Istimewa adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang kreditor sehingga tingkatan kreditor tersebut lebih tinggi daripada kreditor lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang kreditor tersebut. Perlindungan istimewa tersebut dapat diberikan apabila kreditor pemegang hak jaminan atas benda tertentu milik debitor, dalam perkembangan hukum Indonesia selain Gadai dan Hipotik, Hak Istimewa tersebut berlaku bagi Hak Tanggungan dan Fidusia jaminan tersebut merupakan jaminan kebendaan. Kedudukan hak jaminan terhadap Hak Istimewa, menurut Pasal 1134 BW lebih tinggi dari Hak Istimewa kecuali hal-hal dimana undang-undang ditentukan sebaliknya. Hak Istimewa yang lebih tinggi daripada hak jaminan, termasuk biaya perkara yang semata-mata disebabkan karena suatu penghukuman untuk melelang baik untuk benda bergerak maupun benda tak bergerak. Biaya tersebut dibayar dari hasil penjualan benda tersebut sebelum dibayarkan kepada kreditor lainnya, termasuk kepada para kreditor pemegang hak jaminan.
Dalam UUHT tentang kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain, semula ditentukan pada Pasal 1 ayat (1) UUHT yang antara lain menyebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lainnya. Penjabaran lebih lanjut tentang kedudukan yang diutamakan tidak dijumpai dalam Penjelasan Pasal 1 UUHT, melainkan dijumpai dalam Penjelasan Umum Angka 4 alinea 2 UUHT, yang menyatakan :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreitor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika debitor cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku”.
Yang dimaksudkan dengan memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain, adalah : “Bahwa jika debitor cidera janji, maka kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain”. Jadi hak mendahulu dimaksudkan adalah bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku . Kedudukan preferen berkaitan dengan hasil eksekusi, hal ini nampak jelas bila dihubungkan dengan Pasal 1132 BW yang pada asasnya para kreditor berbagi pond’s-pond’s atas hasil eksekusi harta benda milik debitor. Dengan adanya pembebanan Hak Tanggungan tersebut maka kreditor menjadi preferen atas hasil penjualan benda tertentu milik debitor, dan ia berhak mengambil lebih dahulu uang hasil eksekusi Hak Tanggungan. Meskipun pada Penjelasan Umum UUHT tersebut tidak disebutkan apakah piutang-piutang Negara yang berkaitan dengan obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan saja, ataukah mengenai semua piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitor yang bersangkutan. Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya. Berdasarkan Penjelasan Umum UUHT dapat diketahui bahwa hak kreditor yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut, sekalipun diutamakan terhadap hak tagihan kreditor-kreditor lain, tetapi harus mengalah terhadap piutang-piutang Negara lebih utama daripada kreditor pemegang Hak Tanggungan . Piutang-piutang Negara yang didahulukan dari kreditor pemegang hak jaminan, dapat dilihat dalam Pasal 1137 ayat (1) BW yang menyatakan : “Hak daripada Kas Negara, Kantor Lelang, dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh Pemerintah untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu, dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus mengenai hal itu”. Dengan demikian jenis piutang Negara mana saja yang harus didahulukan dari Gadai, Hipotik dan Hak Tanggungan dalam suatu undang-undang tertentu sebagaimana yang diisyaratkan oleh pasal tersebut.
4. Prinsip Spesialitas
Asas ini menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik. Asas ini dalam Hipotik diatur dalam ketentuan Pasal 1174 BW. Dianutnya asas spesialitas dalam Hak Tanggungan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT. Pasal 8 UUHT menentukan bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (1) UUHT) dan kewenangan tersebut harus ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan (Pasal 8 ayat (2) UUHT), ketentuan tersebut hanya dapat terpenuhi apabila obyek Hak Tanggungan ada dan telah tertentu pula tanah itu tanah yang mana. Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) huruf e menentukan bahwa di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya. Kata-kata “uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e menunjukan, bahwa obyek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukan dalam APHT yang bersangkutan . Walaupun demikian, sepanjang dibebankan atas “benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut” yang baru akan ada, sepanjang hal itu telah diperjanjikan secara tegas. Karena belum dapat diketahui apa wujud dari benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu, juga karena baru akan ada dikemudian hari, hal itu berarti asas spesialis tidak berlaku sepanjang mengenai “benda-benda yang berkaita dengan tanah” .
Berdasarkan UUHT, proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) tahap kegiatan, yaitu : tahap pemberian Hak Tanggungan dan tahap pendaftaran Tanggungan. Pada Pasal 10 ayat (2) UUHT menyebutkan pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. PPAT adalah pejabat yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Dalam kedudukan demikian, maka akta-akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta otentik . Seperti halnya pembebanan Hipotik menurut Pasal 1171 BW, harus dilakukan dengan suatu akta otentik. Dulu akta pembebanan Hipotik dan Credietverband dibuat oleh dan dihadapan PPAT yang berwenang, yakni : notaris, wedana/camat dan beberapa pejabat lainnya yang telah diangkat oleh Menteri Agraria, yang daerah kerjanya meliputi daerah tempat letak tanah yang bersangkutan. Jika Hipotik dibebankan atas lebih dari satu bidang tanah, yang tidak semuanya terletak di daerah kerja seorang PPAT, maka dengan persetujuan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan, pejabat tersebut berwenang pula untuk membuat akta mengenai tanah-tanah yang terletak di luar daerah kerjanya itu.
e. Prinsip Publisitas
Di dalam Hak Tanggungan berlaku asas publisitas atau asas keterbukaan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 UUHT. Menurut Pasal 13 UUHT itu, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga (lihat Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT). Tidak adil bagi pihak ketiga yang terkait dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan apabila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum maka memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. Asas publisitas juga merupakan asas Hipotik sebagaimana ternyata dalam Pasal 1179 BW. Menurut pasal tersebut, pembukuan Hipotik harus dilakukan dalam register-register umum yang memang khusus disediakan untuk itu. Jika pembukuan demikian tidak dilakukan, Hipotik yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan terhadap kreditor-kreditor preferen (yang tidak dijamin dengan Hipotik) .
Demi tercapainya tujuan kepastian hukum, maka dalam UUPA berlaku prinsip pendaftaran semua hak-hak atas tanah. Untuk itu di kantor pertanahan setempat disediakan buku tanah yang mencatat tanah-tanah yang didaftar. Karena pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang sangat besar, maka pelaksanaannya dilakukan dengan cara bertahap. Selanjutnya dilakukan tata usaha pendaftaran tanah, sehingga perkembangan dari tanah-tanah yang sudah didaftar akan dipantau terus dalam buku tanah yang bersangkutan. Setiap perubahan yang penting mengenai tanah yang bersangkutan akan dicatat dalam buku tanah, maka dengan melihat buku tanah, diharapkan orang dapat mengetahui riwayat tanah yang bersangkutan. Selanjutnya perlu dikemukakan, bahwa pendaftaran tanah menurut UUPA menganut asas publisitas dan spesialitas . Lembaga pendaftaran pertama kali dikenal di Mesir dan kemudian berkembang ke Negara Barat (perancis tahun 1790, Nederland tahun 1811). Istilah kadaster berasal dari bahasa latin “Catastis”, yang dalam bahasa Perancis disebut “Cadaster”. Kadaster berarti suatu daftar yang melukiskan semua persil tanah yang ada dalam suatu daerah berdasarkan pemetaan dan pengukuran yang cermat. Semula tujuan pendaftaran adalah untuk kepentingan pajak (fiskale kadaster) akan tetapi kemudian ditujukan pula untuk kepastian hak-hak atas tanah (rechtskadaster). Oleh karena syarat-syarat yang diperlukan untuk rechtskadaster berbeda dengan fiskale kadaster, maka pendaftaran terhadap dua jenis kebutuhan ini lalu dipisahkan. Untuk menjamin kepastian hukum maka Pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 19 ayat (1) UUPA). Pendaftaran tersebut meliputi : Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah; Pemberian surat-surat tanda buku hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Didalam PP No. 10/1961 diuraikan lebih lanjut bahwa yang didaftar itu adalah hak, peralihan hak dan penghapusannya serta pencatatan beban-beban atas hak dalam daftar buku tanah . Sekarang PP No. 10/1961 telah diganti dengan PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kadaster merupakan suatu rekaman yang menunjukan letak, luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah. Kadaster merupakan alat yang tepat yang memberikan uraian dan identifikasi dari lahan tersebut dan sebagai rekaman yang berkesinambungan dari hak atas tanah. Disebabkan oleh perkembangan perekonomian yang pesat dan banyaknya tanah yang tersangkut dalam kegiatan ekonomi, misalnya jual beli, sewa menyewa, pembebanan hipotik atas tanah yang dijadikan jaminan karena adanya pemberian kredit, maka oleh pembuat UUPA dianggap perlu adanya jaminan kepastian hukum dan kepastian hak dalam bidang agraria. Oleh karena itu fungsi pendaftaran tanah sangat penting demi dan untuk kepastian hukum, terhadap hak-hak atas tanah, peralihan hak ataupun untuk menguatkan status tanah sebagai hak kebendaan yang dapat dibebani tanah-tanah tersebut. Kepastian tentang obyek tanah apabila telah didaftarkan akan sangat berguna bagi masyarakat pengguna khususnya yang berkaitan dengan kepemilikan ataupun manakala tanah tersebut akan dijaminkan. Pendaftaran hak-hak atas tanah dilakukan dengan mencatat dengan rinci identitas subyek pemilik dan obyek haknya, termasuk cara perolehannya, riwayat peralihan dan pembebanan haknya serta royanya. Kemudian obyeknya juga disebutkan jenis haknya, lamanya/umur haknya dan dalam daftar surat ukur digambarkan secara rinci luas dan batas-batasnya. Kesemuanya itu tidak dapat dilepaskan dari upaya UUPA untuk memberikan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah. Prinsip seperti itu mestinya mempunyai efeknya pada pelaksanaan pendaftaran Hak Tanggungan . Bahkan menurut UUPA jo PP No. 10/1961 fungsi pendaftaran tanah, yaitu : menciptakan alat untuk bukti hak (Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA); Menciptakan alat bukti yang kuat (Pasal 19, 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (3) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA . Sedangkan PP No. 10 Tahun 1961 telah diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997 yang dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran tanah, secara jelas menyebutkan bahwa pendaftaran tanah bertujuan :
“(1)untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas tanah suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
(2)untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
(3) untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.”
Salah satu perwujudan pemberian kepastian hukum, sebagaimana yang disebutkan dalam bagian menimbang pada pembukaan UUHT, adalah adanya kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan sebagai pewujudan dari asas publisitas, walaupun prinsip yang sama juga sudah diterapkan dalam Hipotik . Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikat Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada kreditor, pada saat itu Hak Tanggungan yang bersangkutan belumlah lahir, Hak Tanggungan baru lahir pada saat dibukukannya dalam daftar umum di Kantor Pertanahan. Saat tersebut bukan saja menentukan kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor-kreditor lain yang juga pemegang Hak Tanggungan, dengan tanah yang sama sebagai jaminannya. Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut adalah sangat penting bagi kreditor. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan pemberian kepastian hukum, sebagaimana yang disebutkan dalam bagian menimbang dalam pembukaan UUHT, yakni adanya kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan sebagai perwujudan dari asas publisitas. Walaupun prinsip tersebut juga diterapkan pada Hipotik, namun ada perbedaannya dengan Hak Tanggungan. Perbedaannya dalam UUHT ditetapkan batas waktu pelaksanaan pendaftaran tersebut, yakni paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penandatanganan APHT. Kewajiban pendaftaran pada PPAT, yang apabila dilanggar menimbulkan akibat hukum administratif sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 23 UUHT. Pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 UUHT menegaskan pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan merupakan syarat mutlak untuk adanya Hak Tanggungan yang memberi kedudukan yang diutamakan bagi kreditor tadi, maka ditentukan pula bahwa APHT pemegang Hak Tanggungan sekaligus mengikatnya Hak Tanggungan tersebut terhadap pihak ketiga. Untuk memperoleh kepastian mengenai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor tadi, maka ditentukan pula bahwa APHT yang bersangkutan beserta warkah lain yang diperlukan bagi pendaftarannya, wajib dikirimkan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penendatanganan APHTnya. Dengan pengiriman oleh PPAT, berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. Untuk itu PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuan untuk didaftarkannya Hak Tanggungan itu secepat mungkin. PPAT wajib melaksanakan kewajiban ini karena jabatannya. Sanksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT. Ketentuan tersebut menuntut kesigapan setiap PPAT agar jangan lalai memenuhi ketentuan tersebut . Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud diatas, dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum, maka UUHT menetapkan satu tanggal yang pasti sebagai tanggal buku tanah itu, yaitu tanggal hari ketujuh di hitung dari hari dipenuhinya persyaratan berupa surat-surat untuk pendaftarannya secara lengkap dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Dengan demikian Kantor Pertanahan berkewajiban untuk memeriksa dan memberitahukan mengenai kekurangan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah penerimaan.
Pada Pasal 13 ayat (4) UUHT dengan jelas mengatakan, bahwa Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan, dan syarat kewenangan mengambil tindakan pemilikan atas persil jaminan harus ada pada saat pendaftaran. Namun sekali lagi, berdasarkan prinsip UUHT, yang mau memberikan perlindungan hukum kepada para pihak – i.c. kreditor pemegang Hak Tanggungan – demi memberikan kedudukan yang kuat dan kepastian hukum akan hak-hak para pihak, maka kiranya dapat menerima penafsiran luas tindakan “membebankan” seperti tersebut diatas . Menurut A.P. Parlindungan , barangkali yang dapat menunda pendaftaran Hak Tanggungan tersebut kalau ada sanggahan dari pihak ketiga, ataupun dijatuhkan sita sebelum pendaftaran ataupun ditarik kembali oleh kreditor. Dengan sendirinya Hak Tanggungan itu lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan dibuat oleh Kantor Pertanahan. Sesuai dengan ketentuan itu, jangkauan asas droit de suite, hak privilise (a peculiar right) dan hak preferen terhadap pihak ketiga diperoleh pada saat didaftarkannya APHT itu dalam buku tanah di Kantor Pertanahan, bukan pada saat pembuatan APHT oleh PPAT. Dalam hal ada lebih satu Hak Tanggungan yang didaftarkan pada hari yang sama, maka tingkat Hak Tanggungan ditentukan oleh tanggal pemberian Hak Tanggungan, yang mempunyai tanggal lebih muda didahulukan pendaftarannya daripada yang lebih tua tanggalnya (Pasal 5 ayat (3) UUHT). Dengan demikian pemberian tingkatan-tingkatan Hak Tanggungan yang dikaitkan dengan saat pendaftarannya, merupakan konsekuensi logis daripada sifat hak kebendaan, yang mengatakan, bahwa hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian , oleh sebab itu menurut Herowati Poesoko , fungsi pendaftaran Hak Tanggungan sebagai berikut :
1. untuk membuktikan saat lahirnya dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap para pihak dan pihak ketiga;
2. untuk menciptakan alat bukti adanya hak bagi yang berhak/berwenang, bahwa tanah tersebut telah dibebankan oleh Hak Tanggungan;
3. Hak Tanggungan yang lahir lebih dahulu merupakan kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian;
4. untuk menciptakan kepastian hukum bagi kreditor bahwa manakala debitor cidera janji, maka kreditor mendapatkan hak preferen sehingga mendahului dari kreditor-kreditor lain;
5. untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditor terhadap gangguan pihak ketiga; dan
6. apabila Akta Pembebanan Hak Tanggungan itu didaftarkan dalam register umum, maka janji yang terdapat dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan mempunyai daya berlaku kebendaan dan juga berkekuatan terhadap seorang pemegang/pemilik baru.
Melihat fungsi pendaftaran Hak Tanggungan tersebut diatas melambangkan bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan mendapatkan perlindungan serta kepastian hukum bahwa tanah yang dijaminkan oleh pemberi jaminan kepada pemegang jaminan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak dan pihak ketiga, serta merupakan alat bukti bagi pemegang hak bahwa tanah yang telah dibebankan dengan hak Tanggungan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Sehingga pemegang Hak Tanggungan dijamin dan terjamin oleh hukum. Mengingat UUHT merupakan peraturan yang mengatur tentang jaminan kebendaan khususnya jaminan atas tanah, yang di dalamnya terkandung prinsip-prinsip hukum jaminan, yang adalah : prinsip absolute/mutlak, prinsip droit de suite, prinsip droit de preference, prinsip prioritas, dan prinsip publisitas, maka secara yuridis UUHT dapat memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan .
2. Janji-Janji Dalam Pasal 11 UUHT
UUHT menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya APHT. Dengan tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut dalam APHT, maka mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum. Dalam UUHT pada Pasal 11 ayat (1) disebutkan hal-hal yang wajib dicantumkan dalam APHT itu :
a. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan. Apabila Hak Tanggungannya dibebankan pula benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang perseorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak Tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pemilik benda tersebut;
b. domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai domisili yang dipilih;
c. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dan meliputi juga nama dan identitas debitor yang bersangkutan;
d. nilai tanggungan; dan
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan, yakni meliputi rincian mengenai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas dan luas tanahnya.
Selain itu dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT. Dengan dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, yaitu :
a. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
b. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau susunan obyek Hak Tanggungan kecuali dengan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
c. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
d. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau hak untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
e. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;
f. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
g. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
h. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
i. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;
j. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; dan
k. janji bahwa sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada ditangan kreditor sampai seluruh kewajiban debitor dipenuhi sebagaimana mestinya.
Mengenai janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Janji mengenai pembatasan kewenangan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan
Janji ini dalam ketentuan Hipotik dikenal sebagai huurbeding . Menurut Pasal 1185 BW, pemegang Hipotik dapat meminta agar di dalam akta perjanjian Hipotik ditetapkan suatu janji yang membatasi pemberi Hipotik apabila pembeli Hipotik akan menyewakan benda yang akan dibebani itu. Misalnya pemberi Hipotik harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pemegang hipotik bila akan menyewakan objek Hipotik, atau hanya dapat menyewakan itu selama waktu tertentu, atau dibatasi besarnya pembayaran uang muka, karena hal-hal itu semua akan dapat merugikan pemegang Hipotik (kreditor), jika nantinya objek Hipotik itu harus dilelang mengingat berlakunya ketentuan Pasal 1576 BW. Pasal 1576 BW menentukan suatu ketentuan yang merupakan perwujudan dari suatu asas hukum yang menentukan bahwa “perjanjian jual beli tidak mengakhiri perjanjian sewa” atau dalam bahasa Belanda “Koop breekt geen huur”. Artinya, suatu benda yang terikat perjanjian sewa menyewa, bila benda itu dijual oleh pemiliknya kepada pihak ketiga, perjanjian sewa menyewa itu tidak berakhir karena jual beli itu. Pembeli dari benda yang terikat perjanjian sewa menyewa itu terikat untuk mengambil alih kedudukan sebagai pemberi sewa (lessor) dalam kaitannya dengan penyewa (lessee) dan mengambil alih serta tetap terikat dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan perjanjian sewa menyewa semula. Menurut Pasal 1185 BW, apabila janji tentang sewa itu dilanggar oleh pemilik agunan, pemegang Hipotik dapat menuntut agar perjanjian sewa menyewa itu dibatalkan. Janji tentang sewa ini bukan hanya dapat dibuat oleh pemegang Hipotik pertama saja, tetapi juga oleh pemegang Hipotik kedua dan seterusnya. Didalam praktik perbankan, sering dialami eksekusi Hipotik sulit memperoleh pembeli apabila objek Hipotik terikat oleh perjanjian sewa dengan pihak ketiga, lebih-lebih lagi apabila jangka waktu sewa sangat panjang. Sehubungan dengan itu, UUHT menganggap perlu bahwa janji yang memberikan batasan kewenangan kepada pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan itu dapat dimasukan dalam APHT yang bersangkutan.
2. Janji untuk tidak mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan
Janji mengenai pembatasan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan diperlukan pula oleh kreditor untuk mencegah nilai objek Hak Tanggungan menurun sebagai akibat dilakukan perubahan itu. Namun, dapat diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan masih diperbolehkan melaksanakan kewenangannya itu sepanjang memperoleh persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan.
3. Janji untuk dapat mengelola objek Hak Tanggungan
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan dapat diadakan untuk kepentingan pemberi Hak Tanggungan. Adanya kewenangan bagi pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola Hak Tanggungan, dapat merugikan pemberi Hak Tanggungan. Apabila hal itu diperjanjikan di dalam APHT, hal itu hanya dapat dilakukan apabila disertai persyaratan bahwa pelaksanaannya masih memerlukan penetapan Ketua Pengadilan. Di dalam penjelasan Pasal 11 ayat (2) huruf c UUHT, dikemukakan bahwa sebelum mengeluarkan penetapan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri perlu memanggil dan mendengar pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu pemegang Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan, serta debitor apabila pemberi Hak Tanggungan bukan debitor. UUHT tidak mengatur secara tegas, bagaimana apabila dalam klausul perjanjian itu tidak dimuat syarat, bahwa kewenangan mengelola itu harus berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri. Hukum perjanjian di Indonesia mengakui adanya kebebasan berkontrak, bila para pihak sepakat tidaklah dilarang untuk tidak mensyaratkan keharusan adanya penetapan Ketua Pengadilan Negeri tersebut.
4. Janji untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan
Kejadian-kejadian tertentu terhadap objek Hak Tanggungan, dapat menyebabkan nilai Hak Tanggungan menurun bahkan hapusnya Hak Tanggungan tersebut. Apabila kejadian-kejadian seperti itu terjadi, sudah tentu akan merugikan pemegang Hak Tanggungan. Apabila pihak yang menguasai objek Hak Tanggungan itu mempunyai kepedulian agar kejadian-kejadian tertentu terhadap Hak Tanggungan tidak terjadi, tindakan-tindakan pencegahan atau penyelamatan atas terjadinya kejadian-kejadian tertentu yang tidak diinginkan itu tidak perlu merugikan pemegang Hak Tanggungan. Kejadian-kejadian yang dimaksud dapat berupa usaha-usaha pihak-pihak tertentu untuk menguasai objek Hak Tanggungan itu atau objek Hak Tanggungan dibiarkan tidak terurus atau tidak terawat. Namun, adakalanya pihak di tangan siapa objek Hak Tanggungan objek Hak Tanggungan itu berada di dalam kekuasaannya, tidak mempunyai kepedulian yang dimaksud atau kurang melakukan tindakan-tindakan pencegahan atau penyelamatan yang diperlukan, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya nilai Hak Tanggungan itu. Pihak-pihak yang menguasai objek Hak Tanggungan itu dapat saja adalah pemberi Hak Tanggungan itu sendiri, pihak pengelola yang diberi tugas oleh pemberi Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan itu, penyewa obyek Hak Tanggungan yang menyewa obyek Hak Tanggungan itu dari pemberi Hak Tanggungan (pemilik obyek Hak Tanggungan), atau pemilik Hak Tanggungan yang baru karena telah dilakukan pengalihan pemilikan yang terjadi karena atas hak apapun juga (hibah, waris, jual beli, dll.). Kejadian hapusnya hak atas tanah yang dijadikan obyek Hak Tanggungan karena lewatnya waktu hak atas tanah tersebut atau dibatalkannya hak atas tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan dapat pula mengakhiri Hak Tanggungan tersebut, sebagaimana menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT. Dalam hal ini, akan sangat merugikan pemegang Hak Tanggungan apabila pemberi Hak Tanggungan tidak melakukan tindakan-tindakan penyelamatan yang diperlukan untuk dapat tetap memiliki atau memperoleh kembali pemilikan dari hak-hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu. Untuk mengantisipasi atau menyelamatkan hapusnya hak atas tanah yang agunkan karena habisnya masa berlaku hak atas tanah yang diagunkan karena tidak diperpanjangnya masa berlaku hak atas tanah tersebut maka di dalam APHTnya dapat dicantumkan kuasa dari pemberi Hak Tanggungan kepada penerima Hak Tanggungan (pemegang Hak Tanggungan) untuk memperpanjang jangka waktu hak atas tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi pada HGU, HGB, dan Hak Pakai atas tanah Negara karena hak-hak atas tanah tersebut mempunyai masa berlaku atau jangka waktu tertentu. Pasal 11 ayat (2) UUHT memberikan kemungkinan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan di dalam APHT suatu janji yang memberikan kewenangan untuk dapat memperpanjang atau menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan itu.
5. Janji bagi pemegang Hak Tanggungan untuk dapat menjual objek hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
Dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, menyebutkan pula tentang dimungkinkannya pencantuman janji di dalam APHT berupa janji yang memberikan kekuasaan kepada pemegang Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji. Hak yang demikian disebut hak untuk melakukan parate eksekusi . Menurut Sutan Remy Sjahdeini, pencantuman janji di dalam APHT yang memberikan kekuasaan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, adalah berlebihan. Karena Pasal 6 UUHT telah menentukan sebagai ketentuan yang mengikat bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dengan kata lain, baik kekuasaan pemegang Hak Tanggungan pertama tersebut dicantumkan atau tidak dicantumkan di dalam APHT yang bersangkutan, tetap saja pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk dapat melakukan tindakan demikian itu. Pencantuman janji demikian di dalam APHT yang bersangkutan hanya akan lebih memberikan rasa mantap (sekadar bersifat psikologis bukan yuridis) kepada pemegang Hak Tanggungan pertama daripada tidak dicantumkan.
6. Janji agar obyek Hak Tanggungan tidak dibersihakn oleh pembeli
Berdasarkan pada Pasal 1210 ayat (2) BW bahwa pemakai Hipotik pertama dapat meminta diperjanjikan dalam perjanjian Hipotik bahwa Hipotiknya tidak akan dibersihkan (ditiadakan) apabila agunan dijual oleh pemilik. Pasal 1210 ayat (1) BW menentukan, apabila agunan yang dibebani Hipotik dijual baik oleh pemegang Hipotik untuk memenuhi piutangnya maupun oleh pemberi Hipotik, pembeli dapat meminta agar Hipotik ditiadakan dari beban yang melebihi harga pembelian Hipotik itu. Tentunya hal tersebut akan merugikan pemegang Hipotik, karena sisa piutangnya menjadi tidak dijamin lagi dengan Hipotik itu. Agar menghindarkan dirugikannya pemegang Hipotik dari kerugian tersebut, maka peminta Hipotik dapat meminta diperjanjikan di dalam akta hipotik agar Hipotik itu tidak dibersihkan (ditiadakan) dalam hal terjadi penjualan atas agunan itu. Janji ini disebut beding van niet zuivering . UUHT bermaksud untuk memungkinkan ketentuan dalam Pasal 1210 ayat (2) BW yang berlaku untuk Hipotik dapat pula diperjanjikan bagi Hak Tanggungan. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT. Namun, menurut Sutan Remy Sjahdeini bunyi Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT telah keliru oleh pembuat UUHT. Rumusan Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT itu adalah:
Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain :
a. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.
Beding van niet zuivering adalah suatu janji yang diberikan oleh pemberi jaminan (dalam hal ini adalah Hak Tanggungan) kepada pemegang jaminan bahwa objek jaminan tidak akan dibersihkan oleh pemberi jaminan apabila jaminan itu dijual dalam rangka eksekusi jaminan tersebut karena debitor cidera janji. Tetapi Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT itu telah dirumuskan sebaliknya, yaitu bahasa yang memberikan janji adalah pemegang Hak Tanggungan pertama. Seharusnya yang memberikan janji adalah pemberi Hak Tanggungan. Selanjutnya menurut Sutan Remy Sjahdeini, seharusnya rumusan yang tepat dari Pasal 11 ayat (2) UUHT itu adalah :
“janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan”.
Olehnya apabila PPAT dalam mencantumkan rumusan atau redaksi beding van niet zuivering di dalam APHT tidak mengutip redaksi Pasal 11 ayat (2) huruf f tersebut tetapi dapat dirumuskan sebagaimana tersebut diatas.
g. Janji agar pemberi Hak Tanggungan tidak melepaskan haknya atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan
Sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu. Hapusnya hak atas tanah dapat terjadi antara lain karena pemberi Hak Tanggungan setelah dibebankannya Hak Tanggungan itu kemudian melepaskan secara sukarela hak atas tanah itu. Untuk dapat memberikan perlindungan kepada pemegang Hak Tanggungan agar pemberi Hak Tanggungan tidak melepaskan hak atas tanahnya secara sukarela sehingga dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan. Maka oleh sebab itu didalam Pasal 11 ayat (2) huruf g UUHT memberikan kemungkinan bagi pemegang Hak Tanggungan agar dapat diperjanjikan di dalam APHT bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan memperoleh ganti kerugian bila pemberi Hak Tanggungan melepaskan hak atas tanahnya atau dicabut hak atas tanahnya
Hal ini dapat terjadi bahwa pelepasan hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan justru bertujuan untuk mendapatkan ganti kerugian guna pelunasan kredit yang diterima oleh debitor dan dijamin oleh pemberi Hak Tanggungan. Dalam hal demikian, adalah tidak beralasan bagi pemegang Hak Tanggungan untuk tidak memberikan persetujuan kecuali apabila pelunasan kredit yang lebih dini dari tanggal pelunasan kredit itu akan dapat merugikan kreditor. Dalam dunia perbankan acapkali bank mengalami pelunasan kredit sebelum jangka waktunya akan sangat mengganggu profitabilitas bank tersebut. Profitabilitas bank tersebut karena angsuran kredit itu akan menyebabkan bank mengalami kelebihan dana yang karena sementara kelebihan dana tersebut belum dapat disalurkan dalam bentuk kredit ke objek pembiayaan lain, bank tersebut harus memikul beban pembayaran biaya bunga dana (bunga dana simpanan yang antara lain berupa deposito) menjadi beban yang dapat mengurangi keuntungan bank. Apabila pelepasan hak secara sukarela itu terjadi atas persertujuan pemegang Hak Tanggungan, hal demikian dimungkinkan oleh Pasal 11 ayat (2) huruf k UUHT bagi pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan pula di dalam APHT bahwa ganti kerugian yang menjadi hak dari pemberi Hak Tanggungan harus disetorkan seluruh atau sebagian oleh pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Demikian pula halnya apabila hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu dicabut haknya untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kemudian pemberi Hak Tanggungan memperoleh ganti kerugian sebagai kompensasi atas pencabutan haknya itu. Dalam hal ini, juga pemegang Hak Tanggungan dapat memperjanjikan untuk memperoleh seluruh atau sebagian dari kerugian yang diterima oleh pemberi Hak Tanggungan tersebut pelunasan piutangnya.
i. Janji untuk pemegang Hak Tanggungan dapat menerima langsung pembayaran ganti kerugian dari perusahaan asuransi
Janji tentang asuransi ini di dalam Hipotik dimungkinkan berdasarkan Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (untuk selanjutnya disebut KUH Dagang). Menurut Pasal 279 KUH Dagang, apabila dalam suatu Hipotik antara debitor dan kreditor telah diperjanjikan bahwa jika timbul suatu kerugian yang menimpa benda yang diasuransikan atau yang akan diasuransikan, bahwa uang asuransi atau uang ganti kerugian sampai jumlah piutangnya ditambah bunga yang terutang menjadi pelunasan bagi piutang tersebut, penanggung (perusahaan asuransi) berkewajiban untuk membayar ganti kerugian harus dibayarkan itu kepada kreditor. Janji tersebut juga dapat dimungkinkan dalam Hak Tanggungan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 11 ayat (2). Pencantuman janji yang bersangkutan dengan perolehan ganti kerugian dari perusahaan asuransi tersebut sangat dibutuhkan oleh perbankan. Di dalam praktik perbankan klausul itu juga dicantumkan di dalam polis asuransi atas agunan yang ditutup asuransinya yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi yang bersangkutan. Klausul tersebut dikenal sebagai banker’s clause.
j. Janji untuk mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi
Di dalam praktik perbankan, sering dialami objek Hipotik, baik berupa tanah maupun bangunan yang berada diatas tanah yang terikut pula dibebani Hipotik bersama tanahnya, dalam keadaan dihuni. Penghuni tersebut dapat penghuni liar, pengelola, penyewa atau pemberi Hipotik itu dalam keadaan dihuni, sudah tentu harganya akan sangat turun. Bahkan dapat terjadi tidak aka nada peminatnya yang akan membeli. Apabila akhirnya objek Hipotik itu berhasil dijual lelang dalam keadaan tidak kosong seperti itu akhirnya akan dialami oleh pembeli bahwa untuk mengosongkannya memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang lama. Tidak mustahil pelaksanaan pengosongan akhirnya tidak kunjung terpecahkan. Sehubungan dengan pengalaman demikian, Pasal 11 ayat (2) huruf j UUHT memberikan kemungkinan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan sejak awal bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan.
k. Janji untuk pemegang Hak Tanggungan dapat menyimpan sertipikat tanahnya
Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (4) UUHT, sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan harus dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan Pasal ini sangat tidak diinginkan oleh pihak perbankan. Bank selalu menginginkan agar supaya bukan saja sertipikat Hak Tanggungan, yang menurut Pasal 14 ayat (1) UUHT merupakan tanda bukti adanya Hak Tanggungan bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan, tetapi menghendaki agar sertipikat hak atas tanah juga disimpan oleh bank. Keinginan bank yang demikian, adalah untuk menjaga agar pemegang hak atas tanah yang bersangkutan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan bank selaku kreditor pemegang Hak Tanggungan diluar pengetahuan dan persetujuan bank. Hanya juga dengan menguasai sertipikat hak atas tanah disamping sertipikat Hak Tanggungan, hal-hal lain yang tidak diinginkan itu dapat dikurangi. Agar keinginan tersebut dapat diakomodir oleh pihak bank maka keinginan perbankan seperti itu, didalam Pasal 11 ayat (2) huruf k jo. Pasal 14 ayat (4) UUHT memberikan kemungkinan kepada bank sebagai pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan dalam APHT bahwa sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tidak dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, tetapi disimpan oleh pemegang Hak Tanggungan.
Didalam Pasal 12 UUHT menyatakan bahwa janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, batal demi hukum. Sedang dalam penjelasannya menyatakan ketentuan ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitor dari pemberi Hak Tanggungan Hak Tanggungan lainnya, terutama jika nilai obyek Hak Tanggungan melebihi besarnya utang yang dijamin. Pemegang Hak Tanggungan dilarang secara sertamerta menjadi pemilik obyek Hak Tanggungan, karena debitor cidera janji. Walaupun demikian tidaklah dilarang bagi pemegang Hak Tanggungan untuk menjadi pembeli obyek Hak Tanggungan tetapi harus melalui prosedur yang diatur dalam UUHT. Setelah mengetahui ciri-ciri Hak Tanggungan, fungsi pendaftaran Hak Tanggungan serta janji-janji yang tersurat dalam APHT, menunjukan bahwa Hak Tanggungan merupakan hak kebendaan. Sebagai lembaga jaminan yang mempunyai cirri-ciri yang menunjukan sifat hak kebendaan, maka Hak Tanggungan diharapkan sebagai lembaga jaminan yang mampu melindungi para pihak dan lembaga tersebut sehingga diharapkan kedudukan dana perkreditan yang didukung oleh lembaga jaminan Hak Tanggungan sebagaimana yang diatur dalam UUHT, dapat mewujudkan perkembangan pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional.
3. Lembaga Kuasa Sebagai Penangkal Risiko
Berdasarkan uraian dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, diketahui bahwa janji-janji dalam pasal tersebut terdapat klausul-klausul tentang pemberian kuasa dari pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan. Janji-janji tersebut antara lain dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan atas biaya pemberi Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang. Misalnya mengurus perpanjangan hak atas tanah (obyek Hak Tanggungan) dan mencegah hapusnya Hak Tanggungan, karena tidak diperpanjangnya hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan. Misalnya HGB yang dipertanggungkan, tentunya hak atas tanah ini perlu diperpanjang untuk mencegah tanah yang bersangkutan menjadi Tanah Negara. Dengan adanya klausula seperti dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT tersebut yang telah dicetak dalam blangko APHT, maka sekarang dengan sendirinya, selama tidak diperjanjikan lain, kuasa untuk memohon perpanjangan dan pembaharuan atas objek Hak Tanggungan sudah tercakup dalam APHT. Memperpanjang atau memperbaharui hak atas tanah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Meskipun dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT tidak disebutkan siapa yang menanggung biaya yang diperlukan, tetapi sepatutnya biaya perpanjangan dan pembaharuan ditanggung oleh pemberi Hak Tanggungan, karena kewajiban pembayaran perpanjangan hak atas tanah pada asasnya menjadi tanggungan pemilik tanah yang bersangkutan.
Hal lain yang perlu diperhatikan, misalnya perlunya dilakukan pekerjaan untuk menghindarkan berkurangnya nilai obyek yang dipertanggungkan. Jika nilai objek Hak Tanggungan berkurang, dikhawatirkan kelak bisa menjadi tidak akan mencukupi untuk melunasi hutang debitor bersangkutan. Lembaga kuasa juga diperlukan sebagai penangkal risiko yang dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan selaku kreditor dalam hal terjadinya perubahan HGB atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Untuk Rumah Tinggal. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT, Hak Tanggungan akan hapus apabila hak atas tanah obyek Hak Tanggungan itu hapus. Dengan demikian Hak Tanggungan yang membebani HGB atau Hak Pakai tersebut akan gugur/hapus dengan hapusnya HGB atau Hak Pakai tersebut yang telah menjadi Hak Milik. Oleh karena itu tentunya kreditor pemegang Hak Tanggungan akan berkeberatan untuk memberikan persetujuan untuk diubahnya HGB atau Hak Pakai yang menjadi obyek Hak Tanggungan tersebut menjadi Hak Milik. Dengan demikian pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik HGB atau Hak Pakai tersebut tidak dapat mendaftarkan perubahan HGB atau Hak Pakainya menjadi Hak Milik apabila tidak melunasi terlebih dahulu kreditnya atau tidak dapat menyediakan jaminan dalam bentuk lain. Sehubungan dengan itu perlu diberikan jalan keluar kepada para pemegang Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut, terutama yang berasal dari golongan ekonomi lemah, agar mereka dapat mendaftarkan Hak Milik atas tanahnya tanpa terlebih dahulu harus melunasi kreditnya atau menyediakan jaminan lain, dan di lain pihak tetap memberi kepastian kepada pemegang Hak Tanggungan akan kelangsungan jaminan pelunasan kreditnya. Jalan keluar itu adalah dengan membuat kuasa atau yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT) atas Hak Milik yang diperoleh yang bersangkutan. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997, Nomor 2 Tahun 1998 atau Nomor 6 Tahun 1998 sebelum hak tersebut didaftar, yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT setelah Hak Milik tersebut didaftar apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan sebagai berikut :
1. Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan;
2. Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan tersebut dihapus;
3. Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani HGB atau Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan;
4. Untuk melindungi kepentingan kreditor/bank yang semula dijamin dengan Hak Tanggungan atas HGB atau Hak Pakai yang menjadi hapus, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT dengan obyek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari HGB atau Hak Pakai tersebut;
5. Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat APHT atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.
Berdasarkan ketentuan tersebut, saat hapusnya Hak Tanggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftarkan, pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan obyek Hak Milik yang diperolehnya, karena setelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditor menjadi kreditor konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditor dapat membuat APHT berdasarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
Terhadap ketentuan PMNA/KBPN terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Jangka waktu SKMHT. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMNA/KBPN tersebut, jangka waktu SKMHT terbatas, sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan (5) UUHT, yaitu 3 (tiga) bulan setelah diberikan;
2. Peringkat SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah HGB atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan kreditornya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat SKMHT, seyogyanya disesuaikan dengan peringkat yang termuat dalam sertipikat yang termuat dalam sertipikat Hak Tanggungan yang semula membebani tanah HGB atau Hak Pakai. Kreditor pemegang SKMHT dalam hal ini haruslah kreditor yang semula pemegang Hak Tanggungan, sebab ketentuan PMNA/KBPN ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah;
3. Atas perubahan hak, bagi kreditor perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditor tidak lagi menjadi kreditor preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.
4. Ketentuan PMNA/KBPN tersebut hanya berlaku khusus untuk tanah HGB atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.
Oleh karena itu perubahan HGB atau Hak Pakai atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik selain memberi kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan juga menguntungkan pemegang Hak Tanggungan. Dengan tidak adanya batas waktu berlakunya Hak Milik pelunasan kredit akan lebih terjamin. Disamping itu perubahan hak tersebut memberi peluang kepada pemberi kredit untuk menyesuaikan jangka waktu pelunasan kredit dengan kemampuan debitornya tanpa khawatir Hak Tanggungannya hapus karena jangka waktu hak atas tanah yang dibebaninya terbatas. Oleh karena itu diharapkan dalam proses perubahan hak ini semua pihak dapat saling membantu. Selain hal-hal tersebut diatas perubahan hak ini juga untuk kepentingan Kantor Pertanahan, karena merupakan pelaksanaan kebijaksanaan Pemerintah dalam memberi kepastian kelangsungan hak atas tanah untuk rumah tinggal bagi perseorangan warganegara Indonesia, dan sekaligus juga membuat pelaksanaan tugas Pemerintah, khususnya Badan Pertanahan Nasional, menjadi lebih efisien, yaitu dengan tidak perlunya lagi pemegang hak datang ke Kantor Pertanahan untuk memperpanjang atau memperbaharui haknya di waktu yang akan datang. PPAT pun sebagai pejabat yang bertugas di bidang pertanahan juga perlu memahami tugas pembuatan akta-akta dalam proses ini sebagai pelaksanaan tugas pelayanan yang menjadi tanggungjawabnya. Dalam hubungan ini PPAT diharapkan dapat menyumbangkan peranannya dengan meringankan biaya pelayanannya, khususnya untuk golongan ekonomi lemah. Demikian, lembaga kuasa sangat berperan sebagai penangkal risiko yang mungkin dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan karena peristiwa-peristiwa diatas.
4. Pengansuransian Obyek Hak Tanggungan
Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT menentukan, bahwa pemegang Hak Tanggungan dapat memperjanjikan :
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan.
Ketentuan tersebut merupakan salah satu wujud perlindungan kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk menjaga agar nilai Hak Tanggungan sedapat mungkin untuk tetap bernilai tinggi. Salah satu kemungkinan sebab turunnya nilai objek Hak Tanggungan adalah kalau terjadi musibah kebakaran atau bencana alam lain atas objek Hak Tanggungan, yang berupa benda-benda yang bersatu dengan tanah di atas mana benda-benda itu berada. Biasanya bahaya yang dikhawatirkan adalah bahaya kebakaran dan gempa bumi. Janji dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT lebih luwes dan luas, karena tidak ditentukan dasar kerugian dan hanya dikatakan tentang “uang asuransi”. Dalam penerapannya dalam Pasal 2 blangko APHT, sekalipun disebut tentang “kerugian karena kebakaran”, tetapi di belakangnya langsung ditambahkan kata-kata “atau malapetaka lain”. Malapetaka lain disini adalah keadaan yang tidak diperkirakan sebelumnya salah satu satunya terjadi bencana alam.
Penerapan Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT dalam Pasal 2 blangko APHT, sama sekali tidak menyinggung masalah ganti rugi sebagai pengganti Hak Tanggungan. Dalam klausula Pasal 2 APHT kreditor memperjanjikan kewenangan untuk menerima uang ganti rugi asuransi atas objek Hak Tanggungan, namun sebenarnya janji seperti itu saja tidak cukup, karena pada prinsipnya uang ganti rugi diberikan kepada pemilik objek Hak Tanggungan. Tidak ada larangan bagi pihak perusahaan untuk membayarkan uang ganti rugi kepada pemilik objek asuransi. Itulah sebabnya dalam prakteknya kreditor melengkapi diri dengan janji-janji kewenangan yang lebih dari itu. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT dan penerapannya dalam Pasal 2 blangko APHT berangkat dari pemikiran, bahwa pemberi Hak Tanggungan telah mengasuransikan objek Hak Tanggungan atau antara kreditor dan pemberi Hak Tanggungan, pada perusahaan asuransi yang disepakati/ditunjuk oleh kreditor. Dalam UUHT tidak ditentukan, bahwa janji asuransi harus dimuat dalam APHT, sekalipun dalam praktiknya janji seperti itu sudah termuat dalam blangko APHT dan karenanya dapat dikatakan, bahwa dalam praktiknya janji asuransi selalu diperjanjikan di dalam APHT dan didaftarkan. Kalau pemberi jaminan ternyata tidak pernah melaksanakan penutupan asuransi, maka semua klausula itu tidak ada artinya. Sekalipun di dalam APHT ada ketentuan yang mewajibkan pemberi Hak Tanggungan mengasuransikan objek Hak Tanggungan, tetapi belum berarti, bahwa pemberi Hak Tanggungan benar-benar melaksanakannya. Oleh karena itu biasanya dalam perjanjian kredit diperjanjikan, bahwa debitor/pemberi Hak Tanggungan akan mengasuransikan objek Hak Tanggungan dan untuk itu untuk mengantisipasi kemungkinan kelalaian debitor/pemberi Hak Tanggungan, sekaligus memperjanjikan kuasa agar kreditor dapat atas nama pemberi jaminan menutup perjanjian asuransi, untuk suatu jumlah dan pada perusahaan asuransi yang dipandang baik oleh kreditor. Kuasa tersebut akan sangat bermanfaat bagi kreditor untuk menuntut dan menerima uang ganti rugi, tidak lupa disebutkan dengan rinci di sana. Itupun dalam pasal berikut selalu disertai dengan ketentuan, bahwa semua kuasa yang disebutkan dalam akta yang bersangkutan tidak bisa ditarik kembali dan tidak akan berakhir oleh sebab-sebab yang disebutkan dalam Pasal 1813 BW, kecuali hutang debitor telah dilunasi .
Selanjutnya tidak lupa juga diperjanjikan, bahwa uang premi asuransi menjadi tanggungan debitor/pemberi jaminan, dengan disertai janji, bahwa jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian oleh pihak asuransi, maka uang ganti rugi tersebut akan diterima oleh kreditor, untuk diperhitungkan sebagai cicilan atau pelunasan hutang debitor untuk mana diberikan jaminan dengan benda yang mengalami kerugian itu. Sebagai yang tampak, pihak kreditor tidak hanya perlu memperjanjikan kewajiban asuransi kepada debitor/pemberi jaminan, tetapi juga menetapkan sampai berapa besar benda itu harus dipertanggungkan. Tidak jarang terjadi, bahwa kreditor melengkapinya dengan janji, bahwa kreditor diberi kuasa oleh debitor untuk, apabila dipandang perlu olehnya, atas nama debitor mempertanggungkannya pada perusahaan asuransi tertentu yang dipandang baik, dan untuk sejumlah uang yang dipandang cukup olehnya. Tidak cukup, bahwa debitor/pemberi jaminan telah mengasuransikan objek jaminan; kalau jumlahnya tidak cukup untuk mengcover kreditnya dan kalau pemberi jaminan telah memilih perusahaan yang asal murah, tanpa memperhitungkan bonafiditasnya, maka kepentingan kreditor belum cukup terlindungi .
5. Pemeliharaan Obyek Hak Tanggungan
Dimuatnya janji-janji dalam Pasal 11 UUHT tersebut diatas dalam APHT, yang kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Janji-janji sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, bukan berarti bahwa janji seperti itu boleh diperjanjikan oleh kreditor karena undang-undang menyatakan demikian (atau memberikan kesempatan seperti itu). Undang-undang dalam hal ini hanya mengingatkan saja kepada kreditor akan kemungkinan untuk memperjanjikan janji-janji seperti itu, karena pada asasnya, orang dapat memperjanjikan apa saja, asal tidak bertentangan dengan undang-undang yang bersifat memaksa, tata karma (kesusilaan) dan ketertiban umum . Dalam praktik janji-janji seperti yang disebutkan disana hampir dapat dikatakan selalu diperjanjikan oleh kreditor, oleh karenanya demi untuk memudahkan para pihak janji-janji itu sudah dicetak dalam blanko formulir APHT. Maka atas dasar apa yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, sudah dicetak dalam blanko formulir APHT, klausula itu atas sepakat para pihak boleh dihapus dari blanko yang bersangkutan . Oleh karena Hak Tanggungan harus diperjanjikan, maka prinsipnya harus ada kesepakatan diantara kedua belah pihak, artinya jika pemberi jaminan setuju atau menolak diperjanjikan seperti itu. Apabila antara kreditor dan debitor sepakat dengan menandatangani APHT, maka janji-janji yang dimaksudkan merupakan perwujudan keseriusan dan itikad baik dari debitor, dengan janji-janji tersebut maka apabila debitor wanprestasi, kreditor diberi hak atau kewenangan sebagaimana yang diperjanjikan. Hal tersebut demi dan untuk melindungi kepentingan kreditor manakala debitor wanprestasi dan tidak segera melunasi piutang kreditor. Kewajiban melakukan pemeliharaan terhadap pemeliharaan obyek Hak Tanggungan, seperti dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dan b UUHT, merupakan klusul yang dapat memberikan perlindungan kepada pemegang Hak Tanggungan. Dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a, merupakan janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan kembali atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa, menerima uang sewa dimuka, kecuali kreditor pemegang Hak Tanggungan menyetujuinya. Karena apabila dilakukan tanpa sepengetahuan atau persetujuannya, nanti bila tiba saatnya untuk eksekusi, nilai dari obyek Hak Tanggungan akan berkurang. Dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b, merupakan janji yang membatasi pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. Perubahan bentuk dari obyek yang dibebankan Hak Tanggungan ini, jelas dapat mengurangi pula nilai dari benda ini. Oleh karena itu, merupakan kewajiban pemberi Hak Tanggungan untuk melakukan pemeliharaan atas obyek Hak Tanggungan demi perlindungan kepada pemegang Hak Tanggungan. Janji demikian itu dimungkinkan untuk melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Perubahan terhadap nilai obyek Hak Tanggungan berupa bangunan bergantung pada design bangunan dan pengaturan tata susunan (ruangan-ruangan) suatu bangunan. Dapat dibayangkan, bahwa perbuatan pemberi Hak Tanggungan yang meskipun dilakukan dengan itikad baik (tidak ada maksud untuk merugikan), dapat mempengaruhi nilai bangunan yang bersangkutan, atas mana kreditor mempunyai kepentingan. Perubahan demikian itu, dapat dilakukan bilamana pemberi Hak Tanggungan telah memperoleh persetujuan dari kreditor pemegang Hak Tanggungan. Jadi besar kemungkinannya bahwa bentuk dan tata susunan bangunan yang menjadi objek Hak Tanggungan tetap seperti apa adanya, paling tidak, hanya berubah dengan persetujuannya. Perubahan bentuk dan tata susunan bangunan jaminan tetap diluar persetujuannya, kemungkinan akan dapat merugikan dirinya dan hal ini harus dihindari. Memang ada kemungkinan, bahwa pemegang Hak Tanggungan dapat menuntut ganti rugi atas dasar perbuatan melawan hukum dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi masih menjadi pertanyaan, apakah kekayaan lain dari pemberi Hak Tanggungan masih cukup untuk menjamin ganti rugi ? dan disamping itu, pemegang Hak Tanggungan tidak mempunyai jaminan khusus, sehingga berkedudukan sebagai kreditor konkuren. Bagi kreditor, lebih baik tetap dalam keadaan semula, daripada mendapat ganti rugi karena perubahan obyek jaminan yang dapat merugikan dirinya.
6. Jaminan Tambahan
Di dalam praktik perbankan, dalam hal menghadapi kemungkinan hapusnya obyek jaminan dalam hal ini hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan yang jangka waktunya akan habis sebelum jangka waktu kredit yang diberikan, maka bank akan meminta jaminan tambahan selain hak atas tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan. Di Indonesia dikenal beberapa bentuk hak jaminan selain Hak Tanggungan, yaitu :
1. Gadai, diatur dalam Pasal 1150-1160 BW;
2. Hipotik, terdapat dalam BW Buku II, yaitu dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1170, Pasal 1173 sampai dengan Pasal 1185, Pasal 1189 sampai dengan Pasal 1194 dan Pasal 1198 sampai dengan Pasal 1232 BW. Dalam Pasal 314 KUHD, UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Pelayaran beserta PP No. 23 Tahun 1985 bagi Hipotik Kapal, dan Pasal 12 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan bagi Hipotik Pesawat;
3. Fidusia, diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia; dan
4. Jaminan Pribadi (borgtocht/Personal Guarantee), diatur dalam Pasal 1820-1850 BW.
Demikian pula dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal, diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan pemberian kredit. Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit. Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham. Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi atau akuisisi. Berdasarkan ketentuan tersebut, bank juga diperbolehkan memberikan kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar di bursa efek. Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham. Jika saham yang diagunkan termasuk saham yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai nominal pada saat akad kredit ditandatangani. Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimum sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang bersangkutan. Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan. Dari uraian diatas, diketahui bahwa untuk mengamankan kredit yang diberikan, kreditor dapat meminta jaminan tambahan, mengingat obyek Hak Tanggungan yang berupa HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah Negara merupakan hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas sehingga ada kemungkinan hapusnya Hak Tanggungan bersangkutan.
BAB III
HAPUSNYA HAK ATAS TANAH OBYEK HAK TANGGUNGAN
1. Hak Atas Tanah Sebagai Obyek Hak Tanggungan
Menurutketentuan di dalam UUPA, yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, HGU dan HGB, demikian menurut Pasal 25, 33, dan 39 UUPA. Kebutuhan praktik menghendaki agar Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hipotik (pada saat ini Hak Tanggungan), kebutuhan ini ternyata telah diakomodir oleh UUHT. Akan tetapi, hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UUHT) . Dalam Penjelasan Umum UUHT dikemukakan, bahwa terhadap Hak Pakai atas tanah Negara, yang walaupun wajib didaftar, karena sifatnya tidak dapat dipindahtangankan bukan merupakan objek Hak Tanggungan. Hak Pakai seperti tersebut diatas contoh-contohnya adalah Hak Pakai atas nama Pemerintah, Hak Pakai atas nama Badan Keagamaan dan sosial, dan Hak Pakai atas nama Perwakilan Negara Asing . Demikian pula Hak Milik yang sudah diwakafkan, dan tanah-tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya, walaupun didaftar, karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindahtangankan, maka tidak dapat dibebani Hak Tanggungan (Penjelasan Umum UUHT). Maka obyek-obyek Hak Tanggungan adalah :
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
e. Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).
Diketahui bahwa BW menganut asas perlekatan, sedangkan UUHT menganut asas pemisahan horizontal. UUHT menganut asas pemisahan horizontal karena UUHT merupakan derifatif dari UUPA yang berdasarkan hukum adat. Sebagaimana diketahui hukum tanah berdasarkan hukum adat menganut asas pemisahan horizontal . Asas perlekatan yang dianut oleh BW itu tercermin dari ketentuan Pasal 1165 BW yang menentukan bahwa setiap Hipotik meliputi juga segala apa yang menjadi satu dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan. Dengan kata lain, tanpa harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada dikemudian hari demi hukum terbebani pula dengan Hipotik yang telah dibebankan sebelumnya di atas hak atas tanah yang menjadi obyek Hipotik. Pasal 1165 BW juga menegaskan bahwa Hipotik meliputi pula segala perbaikan dikemudian hari dari benda yang dibebani Hipotik tersebut. Sebagaimana diketahui hukum adat nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Oleh karena itu segala benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu tidak dengan sendirinya (tidak demi hukum) terbebani pula dengan Hak Tanggungan yang dibebankan atas tanah tersebut. Sehubungan dengan itu seperti yang dijelaskan di dalam Angka 6 Penjelasan Umum UUHT dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut, menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut . Namun, UUHT mengambil sikap bahwa penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, dalam UUHT dinyatakan bahwa pembebanan Hak Tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana dimaksud diatas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktik, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya untuk dijadikan jaminan itu, dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan di dalam APHTnya. Asas tersebut tertuang didalam Pasal 4 ayat (4) UUHT. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut, Hak Tanggungan tidak hanya dapat dibebankan pada hak atas tanahnya saja, tetapi dapat pula berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, atau yang di dalam UUHT disebut “benda-benda yang berkaitan dengan tanah”. Bahkan, bukan hanya bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada saja, tetapi juga yang baru akan ada dikemudian hari. Pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah hanya terjadi bila secara tegas dinyatakan dalam APHT yang bersangkutan. Bila hal itu tidak dinyatakan dengan tegas (secara eksplisit), Hak Tanggungan hanya terjadi atas tanahnya saja. Hal ini adalah sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh hukum tanah nasional . Dari Pasal 4 ayat (5) UUHT dapat diketahui bahwa benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu tidak terbatas hanya pada benda-benda yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan saja, melainkan dapat juga meliputi benda-benda meliputi benda-benda yang dimiliki oleh pihak lain. Namun, pembebanannya hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa oleh pemilik pada APHT yang bersangkutan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (5) UUHT, dalam hal pemberian Hak Tanggungan atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh kuasa pemiliknya, pemberian kuasanya harus dilakukan dengan akta otentik. Menurut Sutan Remy Sjahdeini , di dalam UUHT sengaja bukan dipakai istilah “bangunan yang berada diatas tanah tersebut” tetapi dengan istilah “bangunan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut”. Hal ini dimaksudkan agar supaya yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah juga bangunan-bangunan yang berada di bawah permukaan tanah yang pada saat ini telah banyak dilakukan pembangunannya di Indonesia. Diberikan contoh dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (4) UUHT adalah basement, yaitu lantai di bawah tanah dari gedung-gedung bertingkat. Dari membaca Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) UUHT, ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan bagi sahnya Hak Tanggungan agar Hak Tanggungannya dapat berikut bangunan tanaman dan hasil karya diatas tanah itu. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Bangunan, tanaman, dan hasil karya harus merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut;
2. Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut merupakan milik pemegang hak atas tanah, agar Hak Tanggungan yang dibebankan atas hak atas tanah tersebut terbebankan pula pada bangunan, tanaman dan hasil karya di atas tanah itu, haruslah pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam APHT yang bersangkutan;
3. Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, haruslah pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut dilakukan dengan adanya penandatanganan serta pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.
2. Batas Waktu Hak Atas Tanah
Sebagaimana diuraikan diatas, diketahui obyek Hak Tanggungan yaitu :
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha (HGU);
c. Hak Guna Bangunan (HGB);
d. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
e. Hak Pakai atas Hak Milik (masih akan diatur dengan Peraturan Pemerintah).
Berikut diuraikan mengenai batas waktu hak atas tanah tersebut diatas :
a. Hak Milik
Ketentuan mengenai Hak Milik, disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Milik diatur dalam undang-undang. Undang-undang yang diperintahkan itu sampai sekarang belum terbentuk. Oleh karena itu maka diberlakukan Pasal 56 UUPA, yaitu selama undang-undang tentang Hak Milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA. Hak Milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Turun-temurun, artinya Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka Hak Miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik. Terkuat, artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh, artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain . Hak Milik atas tanah dapat dipunyai oleh perseorangan warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah.
b. Hak Guna Usaha (HGU)
Ketentuan mengenai HGU, disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai HGU diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan yang dimaksudkan disini adalah PP No. 40/1996, HGU secara khusus diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18. Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. PP No. 40/1996, menambahkan guna perusahaan perkebunan. HGU mempunyai jangka waktu pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Pasal 8 PP No. 40/1996 mengatur jangka waktu HGU adalah pertama kalinya paling lama 35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan diperbarui paling lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaruan HGU diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU tersebut.
c. Hak Guna Bangunan (HGB)
Ketentuan mengenai HGB disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) huruf c UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai HGB diatur dengan peratran perundangan. Peraturan yang dimaksud adalah PP No. 40/1996. Secara khusus diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 38. Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa HGB terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Sedangkan Pasal 21 PP No. 40/1996 menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan HGB adalah tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut HPL) dan tanah Hak Milik. Jangka waktu HGB diatur dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 29 PP No. 40/1996. Jangka waktu HGB berbeda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :
1. HGB atas tanah Negara
HGB ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
2. HGB atas tanah HPL
HGB ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun
3. HGB atas tanah Hak Milik
HGB ini berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka waktu, namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HGB dapat diperbarui dengan pemberian HGB baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
d. Hak Pakai
Ketentuan mengenai Hak Pakai disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang dimaksud yaitu PP No. 40/1996, secara khusus diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 38. Menurut Pasal 41 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Perkataan “menggunakan” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “memungut hasil” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan . Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara tegas berapa lama jangka waktu Hak Pakai. Pasal ini hanya menentukan bahwa Hak Pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Dalam PP No. 40/1996, jangka waktu Hak Pakai diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49. Jangka waktu Hak Pakai ini berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :
1. Hak Pakai atas tanah Negara
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu 25 tahun. Khusus Hak Pakai yang dipunyai Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan Negara asing, dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2. Hak Pakai atas tanah HPL
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Perpanjangan jangka waktu atau pembaruan Hak Pakai ini dapat dilakukan dengan usul pemegang HPL.
3. Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang, namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat diperbarui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah.
Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUHT, menentukan yang menjadi obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah yang terdaftar dan dapat dipindahtangankan, tetapi disamping itu, sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) UUHT, juga dimungkinkan, bahwa pemberi Hak Tanggungan dapat pula menjaminkan pula bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ada atau yang akan ada, yang bersatu dengan tanah yang bersangkutan. Hal ini merupakan konsekuensi atas dianutnya asas pemisahan horisontal dalam UUHT sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Jadi pemilik tanah dengan pemilik bangunan (dan/atau tanaman dan/atau hasil karya) bisa sama, bisa pula berlainan. Kalau pemilik tanah adalah debitor atau pihak ketiga pemberi Hak Tanggungan, maka benda-benda yang bersatu dengan tanah itu bisa milik debitor sendiri atau milik pihak ketiga pemberi Hak Tanggungan sendiri atau milik orang lain. Dalam hal benda-benda lain tersebut milik orang daripda pemilik tanah yang bersangkutan, maka untuk pembebanan oleh pemiliknya, tindakan tersebut harus diwujudkan dalam bentuk penandatanganan serta APHT oleh pemilik benda-benda tersebut atau kuasanya (Pasal 4 ayat (5) UUHT, yang bertindak untuk dan atas tanah nama pemilik yang bersangkutan. Dengan demikian tidak cukup bahwa pemilik benda-benda yang bersatu dengan tanah menyetujui pembebanan Hak Tanggungan atas anah, dengan mana benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembebanan Hak Tanggungan baru bisa meliputi benda-benda yang bersatu dengan tanah yang bersangkutan, kalau tanahnya itu juga dijaminkan. Dalam Pasal 4 ayat (4) UUHT menentukan ”Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut…”, jadi yang pokok adalah pembebanan hak atas tanahnya. Namun hal ini tidak berarti, bahwa benda-benda yang bersatu dengan tanah tidak bisa dijaminkan secara terpisah dari tanah tidak bisa dijaminkan secara terpisah dari tanahnya, asal melalui lembaga jaminan lain. Sepanjang mengenai tanahnya memang sekarang hanya tersedia satu lembaga jaminan saja, yaitu Hak Tanggungan, tetapi untuk benda-benda yang bersatu dengan tanah, bisa dijaminkan dengan memakai lembaga jaminan lain misalnya Fidusia.
Mengenai hapusnya benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut misalnya bangunan, tentunya berkaitan dengan jangka waktu hak atas tanah dimana letak bangunan tersebut. Sehingga bilamana hak atas tanah tersebut menjadi hapus dalam hal ini HGB yang telah habis jangka waktunya yang mengakibatkan jatuhnya tanah HGB tersebut menjadi tanah Negara maka tentunya bangunan tersebut turut pula jatuh pada negara. Pasal 37 dan Pasal 38 PP No. 40/1996 mengatur konsekuensi bagi bekas pemegang HGB atas hapusnya HGB, yaitu :
1. Apabila HGB atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang HGB wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak hapusnya HGB;
2. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan, maka bekas pemegang HGB diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;
3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya bekas pemegang HGB;
4. Jika bekas pemegang HGB lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas HGB itu dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang HGB;
5. Apabila HGB atas tanah HPL atau atas tanah Hak Milik hapus, maka bekas pemegang HGB wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang HPL atau pemegang Hak Milik dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian pemberian HGB atas tanah Hak Milik.
Mengingat konsekuensi tersebut diatas maka diharapkan, kreditor pemegang Hak Tanggungan yang mana hak atas tanah yang diagunkan adalah HGB yang turut pula meliputi bangunan dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut lebih berhati-hati dan memperhatikan jangka waktu HGB tersebut, karena bilamana HGB yang merupakan hak atas tanah yang mempunyai jangka waktu yang terbatas menjadi hapus maka akan sangat merugikan kreditor pemegang Hak Tanggungan karena disamping hak atas tanah (dalam hal ini HGB) menjadi hapus, bangunan dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut turut pula hapus. Hal ini tentunya sangat dihindari oleh kreditor, sebab Hak Tanggungan merupakan jaminan kebendaan yang berfungsi sebagai sarana pengaman terhadap penyaluran dana oleh kreditor kepada debitor.
3. Hapusnya Hak Atas Tanah Obyek Hak Tanggungan dan Akibat Hukumnya
Perjanjian kredit merupakan perjanjian secara khusus baik oleh bank selaku kreditor maupun nasabah selaku debitor, maksudnya perjanjian kredit merupakan perjanjian obligatoir . Pada asasnya janji menimbulkan perikatan . Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan, sekalipun Buku III BW mengatur tentang perikatan, tetapi tidak ada satu pasal pun yang menguraikan apa yang dinamakan perikatan. Demikian pula code civil Perancis maupun BW Belanda yang merupakan konkordansi berlakunya BW di Indonesia tidak juga menjelaskan hal tersebut. Menurut sejarahnya “verbintenis” berasal dari bahasa Perancis “obligation” yang terdapat dalam code civil Perancis, yang selanjutnya merupakan pula terjemahan dari perkataan “obligation” yang terdapat dalam hukum Romawi Corpus Iuris Civilis, dimana penjelasannya dalam Institutiones Justianus . Dalam perkembangannya pengertian tersebut, telah mengalami perubahan dan dapat dilihat dari definisi Hofmann . Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitor atau para debitor) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Menurut Pitlo , perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditor) dan pihak lain berkewajiban (debitor) atas sesuatu prestasi . Dari pendapat para ahli tersebut dapat dipahami bahwa suatu perjanjian dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan, tergantung daripada jenis perjanjian yang diadakan oleh para pihak tersebut. Meskipun BW tidak memberikan rumusan, defenisi, maupun arti istilah “perikatan”, namun diawali dengan ketentuan Pasal 1233 BW menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian baik karena undang-undang”. Ketentuan tersebut dipertegas oleh rumusan ketentuan Pasal 1313 BW, yang menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”. Dengan demikian jelaslah perjanjian melahirkan perikatan . Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 1233 BW yang merumuskan bahwa BW hendak menyatakan diluar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan, berarti perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Maksudnya pembuat perjanjian atau pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Sifat sukarela perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian . Hubungan hukum yang dimaksudkan, adalah hubungan hukum dibidang hukum harta kekayaan. Rumusan tersebut memberikan arti bahwa dalam setiap perikatan terlibat dua macam hal. Pertama, menunjuk pada keadaan wajib yang harus dipenuhi oleh pihak yang berkewajiban. Kedua, berhubungan dengan pemenuhan kewajiban tersebut, yang dijamin dengan harta kekayaan pihak yang berkewajiban tersebut. Dalam perspektif ini, maka setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan. Sebagai contoh, kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan . Selanjutnya pernyataan “dalam lapangan harta kekayaan”, dimaksudkan untuk membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan disini adalah perjanjian yang berkaitan dengan harta kekayaan seseorang sebagaimana dijamin dengan ketentuan Pasal 1131 BW yang berbunyi sebagai berikut :
“Segala kebendaan pihak yang berutang (debitor), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”
Ketentuan Pasal 1131 BW ini merupakan jaminan secara umum atau jaminan yang lahir dari undang-undang. Disini undang-undang memberikan perlindungan bagi semua kreditor dalam kedudukan yang sama. Setiap kreditor menikmati hak jaminan umum seperti itu, dari Pasal 1131 tersimpul asas-asas hubungan ekstern kreditor sebagai berikut :
a. seorang kreditor boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harya kekayaan debitor.
b. setiap bagian kekayaan debitor dapat dijual guna pelunasan tagihan kreditor, dan
c. hak tagihan kreditor hanya dijamin dengan harta benda debitor saja, tidak dengan “person debitor”.
Asas bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun tetap jika perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas schuld dan haftung). Menurut Mariam Darus Badrulzaman asas ini sangat adil, sesuai dengan asas kepercayaan di dalam hukum perikatan, dimana setiap orang yang memberikan hutang kepada seseorang, percaya bahwa debitor akan memenuhi prestasinya kemudian hari. Setiap orang wajib memenuhi janjinya merupakan asas moral yang oleh pembentuk undang-undang dikuatkan sebagai norma hukum . Sehubungan posisi perjanjian kredit sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1131 BW hanyalah sebagai jaminan umum yang hak kreditor bentuk prestasinya sebagai kewajiban debitor dalam menyerahkan pengembalian uang beserta bunganya kepada kreditor, masih menunggu realisasinya dikemudian hari sesuai waktu yang disepakati. Seandainya debitor tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi hutangnya, maka posisi kreditor menjadi rawan akan kerugian yang diderita. Terlebih lagi perjanjian kredit hanya sebagai suatu perikatan yang hanya melahirkan hak perseorangan, yang sifatnya relatif dan kedudukan kreditor sekedar sebagai kreditor konkuren. Sarana perlindungan selanjutnya kepada kreditor juga ditentukan dalam Pasal 1132 BW menyebutkan bahwa benda tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menguntungkan padanya; pendapatan penjualan dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara yang berpiutang itu ada alasan yang sah untuk didahulukan. Ketentuan ini merupakan jaminan umum yang timbul dari undang-undang yang berlaku umum bagi semua kreditor, sifat umum dari hak jaminan diartikan tidak ada perbedaan atau prioritas bagi kreditor tertentu berlaku asas paritas creditorum, dimana pembayaran atau pelunasan hutang kepada para kreditor dilakukan secara berimbang. Maksudnya dalam hal seorang debitor mempunyai beberapa kreditor, maka kedudukan para kreditor ini adalah sama, namun jika kekayaan debitor tidak mampu untuk dipergunakan melunasi hutang debitor dengan sempurna, maka para kreditor ini dibayar berdasarkan asas keseimbangan, yang masing-masing memperoleh piutangnya seimbang dengan piutang lain (asas non-pondgewijs) . Adapun dimaksud perkecualian dalam Pasal 1132 BW adalah bahwa undang-undang mengadakan penyimpangan terhadap asas keseimbangan ini, jika ada perjanjian kebendaan, sedangkan penyimpangan karena undang-undang dinamakan privilege yang hanya merupakan hak untuk lebih mendahulukan dalam pelunasan/pembayaran piutang, tetapi privilege itu bukan merupakan hak kebendaan. Sehubungan jaminan umum yang tercantum dalam Pasal 1131 BW ada kelemahannya, bilamana debitor cidera janji dan tidak memenuhi pembayaran kembali pinjamannya, kemudian atas permintaan para kreditor kepada yang berwenang untuk menjual lelang harta benda debitor, ternyata hasil lelang tidak mencukupi untuk membayar kembali jumlah pinjamannya kepada kreditor yang memperebutkan hasil lelang, hal tersebut tentunya sangat merugikan kreditor. Posisi kreditor dalam perjanjian yang bersifat umum tersebut hanya menduduki sebagai kreditor konkuren yang tidak memiliki preferensi, sehingga apabila debitor cidera janji, para kreditor akan bersaing satu sama lain untuk memperoleh pembayaran dari hasil lelang harta benda debitor. Untuk mengatasi persaingan tersebut, maka didalam BW pun terdapat ketentuan yang memungkinkan adanya kreditor yang mendapat hak didahulukan daripada kreditor lainnya. Hak didahulukan ini dapat diperoleh dengan adanya perjanjian khusus antara debitor dan kreditor, yang akan dijadikan landasan bagi sahnya hak didahulukan dari kreditor lainnya. Dilakukannya ketentuan yang mengatur hak didahulukan bagi kreditor, karena menyadari kelemahan jaminan umum yang ada dalam Pasal 1131 BW tersebut, maka pembentuk undang-undang menyiapkan alternatif perangkat jaminan lainnya yang lebih mantap, yakni jaminan khusus yang obyeknya juga harta kekayaan milik debitor, hanya saja sudah ditunjuk secara tertentu dan diperuntukan bagi kreditor tertentu pula. Karena obyeknya benda, maka ketentuan khusus ini, maka ketentuan khusus ini dikelompokan ke dalam hukum benda yang diataur dalam Buku II BW. Dengan disediakannya ketentuan jaminan ini, sebenarnya pembentuk undang-undang berpesan kepada para pelaku ekonomi, bahwa kalau memberikan kredit, janganlah hanya didasarkan pada kepercayaan belaka. Sebab secara faktual untuk mengetahui jumlah harta benda debitor itu tidak gampang, begitu pula teramat sulit untuk melacak fluktuasi harta debitor pada masa-masa mendatang. Didorong alasan itu, para pelaku ekonomi disarankan untuk dapat menggunakan ketentuan-ketentuan jaminan kebendaan yang disediakan, demi menangkal risiko yang muncul dikemudian hari pada saat sedini mungkin . Mengingat BW ini mengenal bermacam-macam pembagian benda, dan yang terpenting adalah pembagian jenis benda bergerak, benda tidak bergerak, maka untuk lembaga jaminan khusus inipun digantungkan ada jenis pembagian benda tersebut .
Perjanjian kredit merupakan perjanjian secara khusus baik oleh bank selaku kreditor maupun nasabah selaku debitor, maksudnya perjanjian kreditor merupakan perjanjian obligatoir lazimnya selalu dilengkapi dengan perjanjian kebendaan, kedudukan bank selaku kreditor akan lebih unggul dari kreditor yang lain, karena pelunasan pinjaman yang telah dikucurkan, harus lebih didahulukan dari pembayaran lainnya. Pola semacam ini jelas dapat mengamankan dana pinjaman yang telah disalurkan oleh pihak bank, karena dapat diharapkan kembali utuh beserta bunganya, dan sejalan pula dengan prinsip kehati-hatian yang diacu dunia perbankan sebagai landasan hidupnya . Apabila oleh para pihak kemudian melengkapi dengan mengadakan perjanjian pemberian Hak Tanggungan, berarti pada sisi ini perjanjiannya merupakan jenis perjanjian kebendaan yang melahirkan hak kebendaan. Dari pola ini akhirnya yang bersangkutan, hak tagih yang dimilikinya dan persoonlijk, segera memperoleh dukungan hak kebendaan dari perjanjian jaminan Hak Tanggungan yang telah dibuatnya. Hak tagih kreditor yang telah memperoleh dukungan Hak Tanggungan seperti itu, mengakibatkan kreditor tersebut memiliki posisi kreditor preferen atau memperoleh kedudukan yang diutamakan dalam hal pelunasan piutangnya. Tentunya bank (kreditor) sebagai pelaku ekonomi bertindak hati-hati dan menghindari kedudukan selaku kreditor konkuren, perlu mendayagunakan ketentuan-ketentuan lembaga jaminan, guna mengantisipasi risiko manakala debitor tidak memenuhi prestasinya.
Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan . Lembaga jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditor guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat asesoir dari perjanjian pokok (perjanjian kredit atau pembiayaan) oleh debitor dengan kreditor . Apabila didefinisikan yang dimaksud dengan perjanjian khusus, adalah perjanjian yang dibuat kreditor atau bank dengan debitor atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok . Penyebutan jaminan yang diikat dengan benda tertentu yang diperjanjikan antara kreditor dan debitor dan atau pihak ketiga, dapat dipahami sebagai konsekuensi logis atas pembagian benda yakni benda bergerak dan tidak bergerak .
Dalam praktik perbankan perjanjian jaminan dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir dari suatu perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit. Menurut UU Perbankan, memberikan rumusan mengenai pengertian kredit. Kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan (Pasal 1 butir 12). Dari pengertian kredit tersebut, maka elemen-elemen kredit adalah :
1. Kredit mempunyai arti khusus yaitu meminjamkan uang;
2. Penyedia/pemberi pinjaman khusus terjadi di dunia perbankan;
3. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit;
4. Dalam jangka waktu tertentu;
5. Adanya prestasi dari pihak peminjam untuk mengembalikan utang disertai dengan jumlah bunga atau imbalan. Bagi bank syariah atau bank muamalat pengembalian utang disertai imbalan atau adanya pembagian keuntungan tetapi bukan bunga.
Walaupun dalam BW dan juga dalam UU Perbankan tidak diwajibkan pemberian kredit dengan jaminan, namun dalam praktik pemberian kredit hampir tidak ada bank yang berani memberikan kredit tanpa jaminan. Hal itu dilakukan untuk menjamin keamanan agar terhindari dari risiko kehilangan dana yang telah disalurkan, yang disebabkan oleh debitor tidak membayar utangnya, dengan adanya jaminan dalam usaha perbankan merupakan salah satu upaya agar pinjaman yang diberikan kepada debitor dibayarkan kembali sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dengan mendapatkan hasil berupa laba dari usaha tersebut, diharapkan sebagai pengaman dan pendukung penyaluran kredit bank, terlebih lagi secara yuridis diharapkan adanya kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan perundangan di samping aspek keadilan dan aspek manfaat, yang memiliki kaitan erat dengan pelaku ekonomi, bahkan sebagai acuan baginya yang seringkali menggunakan jasa hukum dalam pelbagai transaksinya.
Perjanjian jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan atau ikutan (accessoir). Artinya keberadaan perjanjian jaminan tidak dapat dilepaskan dari adanya perjanjian pokok atau jaminan yang timbul karena adanya perjanjian pokok. Perjanjian jaminan mengabdi kepada perjanjian pokok dan diadakan untuk kepentingan perjanjian pokok dan memberikan kedudukan kuat dan aman bagi para kreditor. Perjanjian pokok yang mendahului lahirnya perjanjian jaminan umunya berupa perjanjian kredit, perjanjian pinjam-meminjam, atau perjanjian hutang piutang . Berkaitan dengan sifat accessoir dari perjanjian jaminan, A. S. v Nierop mengatakan bahwa tanpa ada hak tagih maka tidak ada hak jaminan. Peralihan hak jaminan, apabila perjanjian pokoknya beralih, tidak perlu dipenuhi syarat peralihan pada umumnya seperti yang ditentukan dalam undang-undang . Jadi suatu perjanjian jaminan tidak mungkin ada apabila tidak ada perjanjian pokoknya, karena perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri. Selanjutnya apabila para pihak sepakat bahwa pinjaman itu dijamin dengan hak atas tanah, berarti mereka harus mengadakan perjanjian jaminan untuk membebani hak atas tanah dengan Hak Tanggungan. Penegasan perjanjian pemberian Hak Tanggungan merupakan suatu perjanjian yang bersifat accessoir secara lengkap diatur dalam Penjelasan Umum UUHT butir 8 disebutkan :
“Oleh karena Hak Tanggungan yang menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut beralih kepada kreditor lain, maka Hak Tanggungan yang menjaminnya – karena hukum – ikut beralih pula kepada kreditor tersebut. Demikian pula jika Hak Tanggungan hapus karena hukum – karena pelunasan atau sebab-sebab lain – maka piutang yang dijaminnya menjadi hapus”.
Kedudukan perjanjian yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir itu menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditor. Konsekuensi perjanjian yang bersifat accessoir sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Umum Butir 8 UUHT mempunyai akibat-akibat hukum yakni : (1) adanya tergantung pada perjanjian pokok; (2) ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok; (3) hapusnya tergantung pada perjanjian pokok .
Sifat accessoir dari Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Butir 8 UUHT tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menentukan bahwa :
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut”.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUHT, bahwa timbulnya Hak Tanggungan hanyalah dimungkinkan, apabila sebelumnya akan diberikannya Hak Tanggungan itu telah diperjanjikan di dalam perjanjian hutang-piutang (perjanjian kredit) yang menjadi dasar pemberian hutang (kredit) yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Sedangkan pemberian Hak Tanggungan itu sendiri nantinya dilakukan dengan pembuatan perjanjian tersendiri oleh PPAT yang disebut Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 10 ayat (2) UUHT). Ketentuan ini tidak ada sebelumnya di dalam hipotik. Pemberian hipotik tidak perlu didahului dengan janji dalam perjanjian hutang-piutangnya bahwa untuk menjamin pelunasan hutang dari debitor itu akan diberikan jaminan berupa hipotik . Sebagai konsekuensi dari perjanjian jaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, maka keberadaan perjanjian jaminan mempunyai akibat-akibat hukum sebagai berikut, pertama, adanya (lahirnya) bergantung pada perjanjian pokok. Kedua, hapusnya juga bergantung pada perjanjian pokok. Ketiga, jika perjanjian pokoknya batal, maka perjanjian ikutannya juga batal. Keempat, apabila perjanjian pokoknya beralih, maka perjanjian ikutannya juga beralih . Perjanjian jaminan, termasuk Hak Tanggungan, akan melahirkan hak-hak istimewa yang nyaris unggul untuk dimiliki kreditor, sehingga posisinya menjadi relatif aman dalam transaksi yang dibuatnya dengan pihak debitor. Hasil seperti itu maka dapat dipahami bahwa perjanjian jaminan dalam bidang perekonomian dapat memberikan rambu pengaman yang memadai bagi pelaku-pelaku bisnis .
Disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d, salah satu penyebab hapusnya Hak Tanggungan yaitu hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Dalam pelaksanaan ketentuan di bidang pertanahan sering kali hak atas tanah menjadi hapus. Misalnya, Pemerintah tidak memperpanjang HGB yang sudah lewat waktu 30 tahun. Alasan Pemerintah tidak memperpanjang HGB tersebut misalnya karena rencana tata ruang kota telah berubah sehingga peruntukkannya tidak sesuai dengan tata ruang kota yang baru. Dalam hal ini apabila tidak diperpanjang maka HGB tersebut menjadi hapus. Jika tanah HGB itu diletakkan Hak Tanggungan demi kepentingan kreditor, maka Hak Tanggungan tersebut ikut menjadi hapus. Hapusnya Hak Tanggungan sebagai perjanjian kebendaan mempunyai akibat hukum, yaitu berubahnya posisi kreditor, yang semula berkedudukan sebagai kreditor preferen yang mempunyai hak kebendaan kemudian berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang mempunyai hak perseorangan. Hak perseorangan merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang lahir dari undang-undang, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 BW. Oleh karena itu kreditor mempunyai persamaan hak dan persamaan kedudukan dengan kreditor lainnya terhadap harta seorang debitor sehingga dalam pemenuhan piutangnya tidak dapat didahulukan pembayarannya sekalipun di antara mereka ada yang mempunyai tagihan yang lahir terlebih dulu daripada yang lain. Kongkretnya seorang kreditor tidak berhak menuntut pelunasan lebih dulu dari kreditor yang lain. Jaminan umum seperti itu diberikan kepada setiap kreditor yang berhak atas seluruh harta kekayaan debitor sebagaimana telah dijelaskan diatas.
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
a. Upaya yang dapat dilakukan oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk mengantisipasi hapusnya hak atas tanah yang diagunkan yaitu pencantuman kuasa dalam APHT atas tanah yang bersangkutan, dimana hal tersebut telah dimungkinkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT. Ketentuan tersebut memungkinkan untuk dapat mencantumkan suatu janji untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan. Menyelamatkan objek Hak Tanggungan disini termasuk untuk mengantisipasi atau menyelamatkan hapusnya hak atas tanah yang diagunkan karena habisnya waktu hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan akibat tidak diperpanjangnya masa berlaku hak atas tanah tersebut. Dengan demikian dalam APHT atas tanah tersebut dapat dicantumkan kuasa dari pemberi Hak Tanggungan kepada penerima Hak Tanggungan (pemegang Hak Tanggungan) untuk memperpanjang jangka waktu hak atas tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi pada HGU, HGB, dan Hak Pakai atas tanah Negara karena hak-hak atas tanah tersebut mempunyai masa berlaku atau jangka waktu tertentu. Pasal 11 ayat (2) UUHT memberikan kemungkinan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan di dalam APHT suatu janji yang memberikan kewenangan untuk dapat menyelamatkan atau memperpanjang objek Hak Tanggungan, jika hal tersebut diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan itu.
b. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT, salah satu penyebab hapusnya Hak Tanggungan yaitu hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Apabila Hak Tanggungan menjadi hapus akan mempunyai akibat hukum terhadap kreditor pemegang Hak Tanggungan, yaitu yang awalnya berposisi sebagai kreditor preferen sebagai pemegang jaminan kebendaan karena APHT sebagai perjanjian jaminan kebendaan mempunyai prinsip absolut/mutlak, droit de suite, droit de preference, spesialitas dan publisitas, maka dengan hapusnya Hak Tanggungan berubah menjadi kreditor konkuren yang mempunyai hak perseorangan yang merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang timbul dari undang-undang sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 BW.
2. Saran
a. Penerima Hak Tanggungan sebaiknya lebih berhati-hati untuk menerima hak atas tanah yang mempunyai jangka waktu (dalam hal ini HGU, HGB, Hak Pakai atas tanah Negara) untuk lebih memperhatikan jangka waktu hak atas tanah tersebut yang akan dibebani Hak Tanggungan. Hal ini mengingat dengan hapusnya hak atas tanah tersebut akan berakibat pula hapusnya Hak Tanggungan, dengan demikian akan dapat merugikan kreditor tersebut.
b. Apabila kreditor setuju untuk menerima hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas sebaiknya juga disertai jaminan tambahan lainnya, baik berupa jaminan kebendaan secara Fidusia, Gadai, maupun Hipotik. Hal ini untuk melindungi kepentingan kreditor bilamana hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
thanks buat tambahan ilmunya..
BalasHapus:)
saya sangat terbantu.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
HapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut