Senin, 20 April 2009

KETAHANAN PANGAN DAN REFORMA AGRARIA


Jakarta - Sebuah publikasi dari Badan PBB untuk Urusan Pangan dan Pertanian (FAO) menyebut bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang terancam rawan pangan. Ini adalah peringatan dan pemerintah harus mengambil kebijakan-kebijakan strategis di bidang pangan dan pertanian. Ironisnya, sektor pertanian di Indonesia seperti anak tiri. Petani tidak lagi menjadi salah satu pilar dalam pemberdayaan ekonomi. Sektor tersebut mulai ditinggalkan karena kemampuan produksinya yang menurun.

Pada saat ini, pangan dan energi semakin menjadi komoditas strategis dunia. Jumlah penduduk yang besar dan usaha meningkatkan gizi yang maksimal di setiap negara semakin tinggi. Saat yang sama, kegiatan ekonomi semakin intensif sehingga memerlukan energi yang banyak.

Celakanya, pangan dan energi bukan bersifat komplementer, melainkan saling substitusi. Karena sifatnya yang saling bersubstitusi itu, permintaan konsumen energi dan konsumen pangan menyebabkan tekanan terhadap harga.

Dalam beberapa tahun terakhir, masalah ketahanan pangan menjadi isu penting di Indonesia, lebih-lebih bila dikaitkan dengan bencana alam. Bencana alam merupakan salah satu sumber kerentanan pangan. Ancaman ketahanan pangan inilah yang kembali menyeruak saat persawahan petani diramalkan puso akibat banjir Bengawan Solo.

Malasah pangan, kekeringan, masalah konversi minyak tanah ke gas, dan berbagai bencana yang melanda tanah air seolah melengkapi penderitaan masyarakat miskin yang jumlahnya relatif stagnan, sekitar 37 juta orang menurut versi Badan Pusat Statistik (BPS) atau lebih dari 90 juta orang versi Bank Dunia.

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki banyak jumlah penduduk miskin sekaligus dihadapkan dengan dua masalah ketahanan pangan, yaitu ketahanan pangan wilayah dan ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan wilayah digambarkan dari aspek produksi, sedangkan aspek ketahanan pangan rumah tangga diwujudkan oleh kemampuan penduduknya mengakses dan mengonsumsi makanan sesuai syarat gizi untuk mencapai derajat hidup sehat.

Bencana Bengawan Solo adalah bencana alam masif yang terjadi secara serentak di beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Secara langsung, bencana ini berdampak pada ketahanan pangan wilayah, yang ujungnya menurunkan kualitas hidup masyarakat. Dalam pada itu, pemerintah dipandang gagal dengan membiarkan petani tradisional berhadapan langsung dengan pemain dan pasar global. Akibat sistem kebijakan liberal itu, pertahanan produksi pertanian nasional terjungkal dan hancur.

Ini memilukan, karena potensi Indonesia sebagai negara agraris sangat besar. Namun, kebutuhan bahan baku pangan, seperti beras dan kedelai, sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari importir.

Tanah/lahan merupakan aset terpenting bagi kegiatan pertanian. Sayangnya, pemerintah lalai dalam hal ini. Kepemilikan tanah sebagai pilar terpenting kegiatan produksi semakin lama kian tidak ramah dengan kebutuhan sektor pertanian. Rata-rata lahan kepemilikan rumah tangga petani semakin menciut, bahkan kini di Jawa rata-rata kepemilikan lahan itu hanya 0,25 hektar. Penciutan kepemilikan lahan itu bisa bersumber dari pola warisan yang membuat lahan terfragmentasi, infiltrasi sektor industri atau jasa yang lapar lahan, dan kebijakan pemerintah yang meninggalkan sektor pertanian.

Menurut BPS dan BPN (Badan Pertanahan Nasional), setiap lima tahun konversi lahan pertanian untuk pemanfaatan lain (industri, jasa, permukiman) mencapai 106 ribu hektar. Akumulasi atas soal itu mengakibatkan produksi komoditas pertanian merosot. Lebih payah lagi, infrastruktur yang difungsikan untuk mendistribusikan produk-produk pertanian jauh dari memadai. Di salah satu kabupaten di Jawa ditemukan, 60 persen saluran irigasi dibangun pada zaman Belanda. Malang nian nasib petani di Indonesia.

Tak jauh berbeda, menurut Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, ancaman kekurangan air juga bakal terjadi di Pulau Jawa. Sekarang ini, jumlah penduduk di Jawa adalah 65 persen penduduk Indonesia. Sementara, cadangan air di Jawa hanya 4 persen cadangan stok nasional akibat wilayah tangkapan air yang kian menyempit.

WALHI mencatat, kecamatan yang terkena banjir pun semakin meluas. Tahun 2006 ada 124 kecamatan, sedangkan tahun 2007 menjadi 260 kecamatan. Lima tahun belakangan ini banjir di Pulau Jawa pun meningkat tiga kali lipat.

Menilik fakta-fakta di atas, WALHI mendesak pemerintah untuk menetapkan kebijakan pengaturan perdagangan dengan jalan melindungi petani lokal melalui kebijakan tarif dan non-tarif yang dinamis. Selain itu, diperlukan dukungan pemerintah untuk memperkuat keterampilan petani lokal dalam teknik bercocok tanam, teknologi, benih, pengairan, penyuluhan, kredit, dan sistem keuangan yang memihak petani.

Kedua, dibutuhkan kesiapan infrastruktur yang mumpuni guna pemerataan hasil-hasil pertanian ke seluruh wilayah di Indonesia. Olehnya, WALHI meminta pemerintah untuk segera membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian. Pembangunan infrastruktur pertanian menjadi syarat penting guna mendukung pertanian yang maju. Di Jepang, survei infrastruktur selalu dilakukan untuk menjamin kelancaran distribusi produk pertanian. Perbaikan infrastruktur terus dilakukan sehingga tidak menjadi kendala dalam menyalurkan produk-produk pertanian.

Ancaman rawan pangan akan terus mendera negeri agraris ini, jika pemerintah tak kunjung bekerja cerdas. Lalai atau menganggap remeh, sama halnya dengan menurunkan derajat hidup sehat kebanyakan penduduk Indonesia. Indonesia butuh lebih dari sekadar respons, melainkan reforma agraria di sektor pertanian dan pangan. Dengan reformasi agraria ini, petani memiliki akses perseorangan, memiliki lebih banyak pilihan dan kebebasan. Hal ini mendorong gairah bekerja, iklim kompetisi, dan memacu produktivitas.

Sumber: http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/080225_kthnan_pangan_cu/
25 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar