Senin, 20 April 2009

REFORMA AGRARIA DAN PEMBELAAN TERHADAP PETANI KECIL



Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sebagian besar mata pencaharian rakyat adalah bertani. Jumlah petani Indonesia saat itu bahkan mencapai kurang lebih 70% penduduk. Jumlah petani yang demikian besar ini tentu saja menggantungkan hidupnya dari proses pengolahan tanah untuk berproduksi. Tetapi ternyata banyak dari para petani itu harus menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan tanah sebagai sumber penghidupan mereka. Permasalahan itu bukan hanya timbul dari hubungannya dengan tanah itu, melainkan juga dari hubungannya dengan orang-orang kaya pemilik tanah luas.
Sekelompok kecil rakyat Indonesia menguasai sejumlah besar tanah, sementara para petani yang hidupnya bergangung pada penggarapan tanah justru hanya menguasai sejumlah kecil prosentase tanah di Indonesia. Situasi inilah yang antara lain mendorong Presiden Soekarno untuk mengamanatkan disusunnya Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang di dalamnya termasuk Reforma Agraria.

Hal itu dikatakan oleh Darwin Awat dalam diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik) USD Sabtu, 14 Februari 2009. Hadir dalam diskusi itu Dr. Ronnie Hatley, salah seorang anggota staff PUSdEP dari Amerika Serikat, serta sejumlah mahasiswa USD.

Selanjutnya Darwin mengatakan bahwa bagi Presiden Soekarno, Reforma Agraria merupakan landasan bagi pembangunan semesta di Indonesia yang sedang menyusun masyarakat sosialis yang berdasarkan Pancasila. Selain itu, Soekarno yakin bahwa Reforma Agraria akan memberikan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia yang mayoritas adalah petani. Pada tanggal 24 Septermber 1960 ditetapkanlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Meskipun demikian, hal itu tidak banyak mengubah nasib para petani Indonesia. Di pedesaan kaum tani berkembang dan terbagi-bagi dalam golongan-golongan di mana sejumlah kecil tuan tanah dan petani kaya menguasai tanah secara monopoli dan menjalankan berbagai bentuk penghisapan dan penindasan feodal seperti rendahnya upah buruh tani, bagi hasil yang timpang karena hanya menguntungkan pemilik tanah, serta perampasan tanah karena manipulasi surat-surat kepemilikan tanah yang sah dengan memanfaatkan rendahnya pendidikan para petani sedang, petani miskin dan buruh tani. Berbagai upayapun terus dilakukan agar terjadi land reform sebagaimana dicita-citakan oleh UUPA tersebut.

Sayang sekali krisis yang terjadi tahun 1965 berujung pada tumbangnya sebuah rezim populis di bawah kepemimpinan Soekarno yang pro rakyat dan digantikan oleh rezim otoriter di bawah Soeharto yang anti rakyat tetapi pro modal. Perubahan rezim ini secara mendadak membawa akibat pada terjadinya perubahan sistem politik Indonesia selama 32 tahun kemudian. Soeharto mengubah strategi Agraria Soekarno yang populis menjadi politik agraria yang kapitalis melalui ideologi pembangunan yang terkait erat dengan kapitalisme dunia.
Dengan tumbangnya Soekarno harapan petani dan rakyat kecil akan adanya Reforma Agraria ikut terkubur bersama mayat ratusan ribu rakyat Indonesia yang menjadi korban pembantaian massal tahun 1965. Sampai saat inipun masalah agraria masih belum mendapatkan titik terang. Pemerintah seakan-akan tidak berpihak kepada rakyat (petani) kecil, melainkan justru menggunakan hak rakyat untuk melayani kepentingan penguasa dan para pemilik modal. Yang menjadi pertanyaan adalah: sampai kapan rakyat (petani) kecil menanggung penderiataan ini? (PUSdEP)

Sumber: http://www.usd.ac.id/06/news.php?v=w&a=570&fp=l
23 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar