Senin, 20 April 2009

Haruskah Rakyat Tergusur dari "Kebun Warisan Leluhur


Tragedi Kontu:
Haruskah Rakyat Tergusur dari "Kebun Warisan Leluhur"?


Sejarah Kontu

Menurut sejarah Kontu adalah nama sebuah kawasan pemberian Raja Muna kepada seorang panglima perang bernama La Kundofani si Kino Watuputih di Sulawesi Tenggara yang berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Konon kawasan/lahan ini merupakan pengganti dari tahta raja yang berhak disandangnya, namun demi kesejahteraan rakyatnya si panglima perang ini memilih kawasan sebagai sumber penghidupan rakyatnya. Di sinilah Kontu, Patu-patu, Lasukura, dan Wawesa kemudian menjadi tempat hidup dan berladang komunitas warga Watuputih secara turun temurun.

Bukti bukti sejarah keberadaan kawasan Kontu, Patu-patu, Lasukara dan Wawesa sebagai sebuah kampung adat Watoputeh adalah adanya kuburan tua yang tersebar diberbagai tempat dalam kawasan tersebut, serta tanaman perkebunan seperti mangga, bambu, bulu, dan lain-lain. Keberadaan makam di puncak bukit yang dinamakan La Mendo juga memperkuat sejarah, dimana makam tersebut adalah makam seorang warga masyarakat Watoputih yang berkebun di kawasan tersebut dan meninggal sebelum Belanda masuk di Pulau Muna.

Saat ini Kontu berada di pinggiran Kota Raha, ibukota Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, terdapat sekitar 1.300 KK bermukim di areal ini dan tidak hanya berasal dari komunitas warga Watoputih. Kontu mencuat ke permukaan melalui media masa, baik media cetak maupun elektronik yang mengekspose terjadinya aksi-aksi kekerasan dalam kasus konflik lahan antara warga masyarakat Kontu dengan Pemerintah kabupaten Muna.


Awal Konflik
Konflik berawal ketika pada tahun 1999 diterbitkan SK Menhutbun No. 454/Kpts-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Sulawesi Tenggara, dimana salah satu poin dalam Surat Keputusan tersebut adalah Penunjukan hutan lindung Jompi. Penggusuran dan pengusiran paksa terhadap masyarakat dari tempat hidupnya sehari-hari dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Muna dengan alasan kawasan tersebut adalah hutan lindung. Aksi ini telah dimulai sejak tahun 2003. Masyarakat yang merasa berada dalam areal yang menjadi hak mereka secara turun temurun-pun melakukan perlawanan dalam menghadapi penggusuran.

Penetapan status kawasan hutan negara kembali menjadi sumber konflik di lapangan. Ketika masyarakat merasa berhak untuk kembali bercocok tanam di atas tanah mereka (karena sudah tidak ada lagi pohon jati yang mereka tanam, petani kembali berkebun di lahan bekas kebun mereka pada jaman dulu), masyarakat dihadapkan pada satu kenyataan bahwa tanah mereka berada dalam kawasan hutan negara.

Sedikit kembali menengok sejarah, bahwa rakyat telah dipaksa menanam pohon jati di lahannya pada jaman pemerintahan Swapraja, namun setelah pohon jati itu tumbuh besar kemudian mereka diusir dari lahannya yang diklaim sebagai milik pemerintah. Lalu masyarakat kembali menduduki lahan ini setelah tegakan jati habis ditebang oleh pengusaha kayu yang mendapatkan ijin dari Bupati Muna sejak awal tahun 90-an dan juga setelah adanya kewenangan Bupati memberikan ijin pemanfaataan kayu (IPK) pasca terbitnya UU Kehutanan No.41 Tahun 1999.

Penggusuran disertai dengan penangkapan terhadap beberapa warga masyarakat dilakukan dengan tuduhan perambahan lahan hutan negara. Fenomena menarik muncul pada saat persidangan di Pengadilan Negeri Raha Kabupaten Muna pada tahun 2003 terhadap masyarakat sebagai terdakwa yang dituduh melakukan perambahan hutan. Saksi mantan Kepala BPN Kabupaten Muna menegaskan, bahwa kawasan Kontu dan sekitarnya bukan hutan lindung. Dan pada persidangan ini masyarakat (terdakwa) kemudian dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menduduki kawasan hutan lindung.

Rupanya di penghujung tahun 2005 penggusuran dan pengusiran masyarakat Kontu terjadi kembali, dan seperti pada kejadian sebelumnya masyarakat pun tidak menyerah serta memberikan perlawanan atas tindakan aparat pemerintah daerah. Kemudian pada Februari 2006, terjadi penangkapan sejumlah warga Kontu dengan tuduhan yang sama yaitu perusakan atau perambahan hutan. Kasus ini pun dimeja hijaukan oleh Pemerintah Daerah yang menghasilkan keputusan bahwa warga Kontu sebagai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah "mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah", yang kemudian diganjar dengan hukuman penjara.

WG Tenure mulai terlibat dan "memantau" kasus Kontu ini pada awal tahun 2007 atas prakarsa dari HUMA, anggota WG-Tenure yang sekaligus aktif memberikan layanan advokasi bagi masyarakat korban. Sebagai langkah awal, WG-Tenure mengkomunikasikan permasalahan ini kepada PUSDALBANGHUT Regional IV, Departemen Kehutanan RI. Ir. Banjar Julianto Laban, MM., sebagai Kepala Pusdalbanghut Regional IV yang wilayah tugasnya meliputi Sulawesi, Maluku dan Papua menanggapi secara positif untuk peluang mediasi penanganan kasus ini. Bahkan Pak Banjar Yulianto Laban telah bersedia menyempatkan diri berdialog langsung dengan masyarakat korban pada sebuah panel diskusi di Jakarta yang digagas oleh HuMa dan WG-Tenure bersama mitra kerja lainnya.

Disamping itu, WG-Tenure bersama HUMA juga mengkomunikasikan kasus ini kepada Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Langkah awal yang dilakukan oleh DKN untuk "meredam" kasus konflik ini melalui pengiriman Surat Himbauan yang ditujukan kepada para pihak, yaitu Kepala Kepolisian RI, Pemerintah Daerah Kabupaten Muna dan Organisasi Rakyat Kontu. Surat DKN bernomor: 41/DKN/OM/03/07 tanggal 12 Maret 2007 tersebut menghimbau agar;
(1) Penyelesaian kasus ini hendaknya merujuk pada perspektif, semangat dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Tap MPR nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;
(2) Hindari penyelesaian konflik sepihak dengan cara kekerasan dan penggusuran masyarakat dari kawasan hutan. Konon kabarnya Surat DKN ini telah berhasil "meredam" konflik, minimal tidak terjadi lagi aksi-aksi kekerasan. Bahkan DKN juga telah melakukan langkah-langkah lanjutan dalam penanganan kasus tersebut bersama-sama dengan para pihak terkait.

Mengakhiri tulisan singkat ini, patut kita simak satu ungkapan dari Warga Kontu yang menggambarkan kegundahan dan keresahan hati mereka atas ketidakadilan yang dihadapinya. Ungkapan ini terlontar pada saat WG-Tenure mengundang Organisasi Rakyat Kontu sebagai salah satu narasumber dalam Roundtable discussion pada Bulan November 2007 yang lalu. Ibu Aisyah, Ketua Organisasi Rakyat Kontu menuturkan;
"Jika perusahaan-perusahaan besar itu diberikan konsesi pertambangan di kawasan hutan lindung, kenapa kami tidak bisa mencari hidup (bertani) di kawasan hutan, padahal hutan itu adalah warisan leluhur kami........mana keadilan bagi kami?" ***

__________
Sumber Tulisan:
1. Firdaus AY. 2007. Mengelola Hutan dengan Memenjarakan Manusia. Jakarta: HuMa
2. Aisyah. 2007. Makalah Organisasi Rakyat Kontu, disampaikan pada Roundtable Discussion Working Group Tenure. Bogor, 29 November 2007.


*) Oleh: Emila dan Suwito

Tidak ada komentar:

Posting Komentar