Senin, 20 April 2009

PEMBARUAN AGRARIA DAN HAK ASASI PETANI


Setiap 24 September diperingati sebagai Hari Pertanahan (Agraria) atau Hari Petani. Hal yang perlu mendapat perhatian di sini adalah keterkaitan antara pembaruan agraria dan hak asasi petani, sejauh ini kurang mendapat perhatian para pemerhati hak asasi manusia (HAM). Bahkan, keduanya sering dipahami sebagai dua hal yang terpisah. Dalam rangka pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi petani, cara pandang demikian perlu direvisi.

Upaya ke arah itu mulai dirintis beberapa organisasi nonpemerintah bersama Komnas HAM dengan menggelar konferensi nasional. Setidaknya, ada tiga permasalahan hubungan HAM dengan pembaruan agraria. Pertama, kebijakan agraria, program agraria, dan praktik sosial di bidang agraria, apa saja yang mengakibatkan pelanggaran HAM.

Dalam hal yang pertama ini dicermati, antara lain produk perundang-undangan di bidang agraris yang tidak mendukung upaya perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan HAM. Dapat dilihat beberapa produk perundang-undangan yang bertentangan dengan upaya perlindungan, pemajuan, dan pemenuhan hak asasi petani, yaitu UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU Penanaman Modal Dalam Negeri/Asing,UU Tata Ruang atau UU Transmigrasi.

Sayangnya, hingga kini undang-undang itu belum diteliti secara komprehensif untuk menguji apakah berhasil meningkatkan hak asasi petani. Meski UU No 22/1999 misalnya, telah direvisi menjadi UU No 32/2004, gejala konflik pertanahan tidak kunjung terpecahkan. Hal itu karena undang-undang yang baru tidak mengatur secara tegas siapa yang berwenang ''mengurus" pertanahan, apakah pusat atau daerah, sehingga yang muncul adalah keragu-raguan kedua pihak menangani masalah pertanahan.

Di samping itu, dicermati sejauh mana program agraria mampu menangani ribuan kasus sengketa tanah, kasus absentee land, kasus konversi lahan pertanian ke nonpertanian, dan kasus reclaiming versus ''penjarahan" sebagai warisan Orde Baru. Kedua, pelanggaran HAM apa saja yang mengakibatkan memburuknya kondisi agraria petani. Dalam hal ini perlu dicermati pola pelanggaran hak asasi petani, termasuk terampasnya hak-hak petani, antara lain hak milik, hak untuk memperoleh pekerjaan dan taraf hidup yang layak, hak untuk mengelola lingkungan hidupnya sendiri yang baik dan sehat.

Selain itu, hak untuk mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, hingga pada haknya untuk mendapatkan pemulihan guna mengompensasi kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran hak-haknya yang paling asasi. Hak-hak tersebut dijamin dalam instrumen HAM internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang sampai sekarang belum diratifikasi pemerintah Indonesia.

Padahal, Kovenan tersebut merupakan salah satu hukum dasar hukum HAM mendasar. Jika petani berhasil meningkatkan produksi pertaniannya (dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi), peningkatan itu tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan petani. Banyak faktor yang ikut menentukan persentase yang dapat dinikmati petani.

Bahkan, sering sebagian besar persentase ini malah dinikmati petani lain yang posisinya lebih kuat. Ketiga, pembaruan agraria macam apa yang menjamin perlindungan dan pemajuan HAM dan sebaliknya agenda perlindungan dan pemajuan HAM yang melancarkan pembaruan agraria. Setidaknya, agenda itu mencakup agenda legislasi, penguatan organisasi, dan kampanye.

Merujuk pada tiga permasalahan di atas, masalah terbesar agraria saat ini dapat diringkaskan sebagai berikut:
1) Ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alamnya antarkelompok sosial ekonomi yang menggantungkan hidup atasnya.
2) Ketidakadilan penggunaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan di atas tanah.
3) ketidakadilan dalam pengambilan putusan perkara dengan penguasa, penggunaan dan pemanfaatan tanah, serta kekayaan alam.

Ketidakadilan itu merupakan faktor penyebab konflik sosial dan atau pelanggaran HAM di berbagai daerah konflik sosial di beberapa daerah. Seharusnya, hak petani diakui sebagai HAM, baik oleh pemerintah maupun pemerhati HAM. Sayangnya, hal itu sama sekali belum tercermin dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanahan sedang disusun Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5/1960 yang kini genap berusia 47 tahun.

Upaya BPN merevisi UUPA 1960 itu diperkirakan hanya melanggengkan ketidakadilan sosial di atas. Bukan saja karena BPN cenderung tidak mengefektifkan hukum agraria nasional sebagai landasan pelaksanaan pembaruan agraria secara komprehensif, lebih dari itu BPN cenderung menyederhanakan tiga masalah ketidakadilan sosial itu sebagai masalah pertanahan semata, bukan sebagai masalah agraria (yang cakupan telaahnya jauh lebih luas).

Ada beberapa kelemahan dalam UUPA yang meliputi:
a) Hak menguasai sumber daya alam (SDA) yang berada di tangan negara harus direvisi agar tidak ditafsirkan bersifat mutlak, tapi lebih ditafsirkan sebagai ''negara mempunyai wewenang untuk mengatur" kepentingan dan pengabdian pada masyarakat.
b) Masyarakat adat atau komunitas desa mempunyai wewenang untuk memecahkan masalah agraria.

Di samping itu, disadari pula ada perubahan peta masalah tanah sejalan dinamika pembangunan. Perubahan itu dapat dilihat pada permasalahan dan pihak-pihak yang terlibat dalam permasalahan tanah. Dari segi masalahnya, konflik pertanahan pada 1960-an berbeda dengan yang terjadi beberapa tahun terakhir. (*)

Joko Riyanto SH
Alumnus Fakultas Hukum UNS-Solo


http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=49298&Itemid=57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar