Senin, 20 April 2009

HANTU LIBERALISME PERTANAHAN



Menyusul kesepakatan pemerintah dan parlemen (29 Januari 2007) untuk mempertahankan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), kini pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI sedang menggodok RUU tentang Pertanahan. Inisiatif penyusunan RUU Pertanahan perlu dicermati dalam dua konteks yang paradoksal.

Pertama, sebagai upaya lebih lanjut pemerintah dalam menyiapkan dasar hukum baru bagi pelaksanaan reforma agraria, sebagaimana dijanjikan Presiden Yudhoyono mulai tahun 2007. Yang kedua, bagian dari grand design liberalisasi pertanahan lewat produk legislasi yang justru menghambat realisasi reforma agraria. Keduanya seperti air dan minyak, namun keduanya potensial.

Di koran ini, penulis pernah mengingatkan jika pemerintah konsisten ingin melaksanakan reforma agraria, memang dibutuhkan legislasi (setingkat UU) yang secara operasional mengatur apa dan bagaimana reforma agraria dijalankan (Sinar Harapan, 15/02/07). Eksistensi UUPA, terutama menyangkut pasal-pasal prinsipilnya tetap relevan dijadikan rambu-rambu dasar bagi reforma agraria (Sinar Harapan, 15/06/04).

Yang patut diwaspadai ialah substansi legislasi pertanahan jangan sampai jadi produk politik yang mengganjal reforma agraria. Harus dicegah, pertanahan jadi urusan sektoral yang lepas konteks dari keagrariaan utuh yang menyangkut semua bidang kehidupan, dan hindari pengarusutamaan kepentingan invetasi skala besar melalui liberalisasi pertanahan yang selama ini memicu massifnya konflik agraria yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Harapan akan lahirnya produk-produk legislasi pertanahan/keagrariaan yang holistik dan populistik, kini bertarung dalam arus deras neo-liberalisme. Arus ini dengan hebatnya merambah ke relung pikiran elit politik sehingga mengarahkan kebijakan publik ke arah neo-imperialisme alias penjajahan baru yang membiaskan makna kemerdekaan republik ini.

Perlu Diwaspadai
Untuk itu, sektoralisme dan liberalisme yang menghantui politik agraria nasional selama ini, dan mungkin kelak menjangkiti RUU Pertanahan perlu dicegah sedini mungkin. Ini penting, jika pemerintah serius mau reforma agraria, dengan meletakkan UU Pertanahan sebagai dasar hukum efektif bagi reforma agraria, bukan sebaliknya.

Lebih jauh, RUU Pertanahan hendaknya mengandung semangat dan substansi yang menjadikan pertanahan sebagai urusan mendasar yang menuntut perhatian dan tanggungjawab semua pihak di pemerintahan maupun publik luas. Kepentingan pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah bagi rakyat yang termasuk golongan ekonomi lemah/miskin haruslah diprioritaskan.
Dalam pidato memperingati Hari Agraria Nasional 24 September 2007, Joyo Winoto (Kepala BPN RI) menggariskan: "Reforma agraria membutuhkan proses politik dan hukum. Jalan membangun konsensus. Jalan untuk menata politik dan hukum pertanahan dan keagrariaan kita -untuk tujuan ke depan, secara taat asas kepada Pancasila, UUD 1945, dan UUPA. Itu komitmen awal yang didapat. Itulah langkah awal yang tersepakati dengan DPR-RI. Kita berproses menyusun undang-undang pertanahan di bawah payung UUPA".

Jika disimak, tampak jelas arah penyusunan RUU Pertanahan akan konsisten dan konsekuen dengan UUPA sebagai payung politik-hukum agraria nasional. Namun pertanyaannya, ke arah mana arus utama kecenderungan ideologis elit politik dan konstalasi kekuatan politik penyusun legislasi yang kini duduk di eksekutif maupun di legislatif saat ini?

Kalau kita cermati sejumlah undang-undang baru terkait agraria yang dihasilkan eksekutif-legislatif periode 2004-2009, tampak kita tak bisa terlalu berharap akan lahirnya produk legislasi yang memenuhi dua semangat dasar sebagaimana penulis singgung di atas -anti-sektoralisme dan anti-liberalisme, sehingga lebih pro-integralisme agraria dan pro-populisme kerakyatan.

Sekadar contoh, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal telah secara telanjang menunjukkan komitmen ideologis-politik elite di eksekutif/legislatif yang mengutamakan kepentingan modal besar tanpa membedakan asing atau domestik. Hak atas penggunaan dan pemakaian tanah untuk investor diberikan nyaris setengah abad.

Inkonsistensi UU Penanaman Modal dengan UUPA, dan bahkan UUD 1945, telah menyeret UU ini ke meja Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi-kini sedang menunggu putusan.

Konteks Politik
Belum lagi kita lihat UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, dan UU Sumberdaya Air juga kontroversial karena sektoralisme dan liberalismenya yang begitu ketal. Liberalisme yang membuka ruang lebar bagi berkuasanya kekuatan kapital akan menggerogoti kewibawaan dan kewenangan negara dalam mengatur urusan agraria kita.

Berbagai produk legislasi yang liberalistik ini disimpulkan bukan solusi atas akar soal agraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentingan lintas tataran yang menempatkan rakyat/bangsa sebagai korban.

Mumpung masih cukup waktu, agar legislasi pertanahan melalui RUU Pertanahan terhindar dari jebakan sektoralisme dan liberalisme, disarankan beberapa langkah strategis.
Pertama, perlu dibentuk Panitia Negara yang terdiri dari unsur pemerintah, parlemen, akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat yang bertugas khusus;
(a) mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria atau tanah dan kekayaan alam lainnya (hutan, tambang, kebun, pertanian, kelautan, dlsb), dan
(b) Merekomendasikan grand desain rancangan pembaruan hukum agraria secara menyeluruh agar konsisten dengan semangat dan isi UUD 1945 dan UUPA 1960.

Kedua, mendesak dilakukan konsultasi publik secara luas, sehingga aspek partisipasi publik terakomodir dalam proses penyusunan RUU Pertanahan. Konsultasi bukan hanya terhadap "kalangan atas" di hotel-hotel berbintang, tapi juga dilakukan di kampus-kampus yang melibatkan cerdik cendekia, hingga kampung-kampung yang merangkul rakyat kecil yang tergantung pada tanah.

Ketiga, dari segi waktu, periode 2008-2009 tampaknya terlalu sempit untuk melahirkan produk legislasi sestrategis UU Pertanahan. Untuk itu, RUU Pertanahan yang tengah digodok pemerintah, pembahasan dan pengesahannya lebih tepat dilakukan setelah Pemilu 2009. Pemerintah dan legislatif baru produk Pemilu 2009 akan memiliki legitimasi politik lebih kuat untuk mengarahkan politik-hukum agraria nasional melalui berbagai produk legislasinya.

Agar dongkrak politik reforma agraria kian kuat, maka partai-partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 kita dorong untuk mengadopsi agenda reforma agraria ke dalam plattform dan program politiknya. Peran partai politik dalam sistem demokrasi amat vital, sehingga memungkinkan reforma agraria dapat digiring ke jantung kekuasaan negara untuk kemudian dilaksanakan secara teguh.

Sinar Harapan, 19 Feb 2008

Oleh Usep Setiawan
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar