Oleh : Maferdy Yulius
Disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, telah memunculkan berbagai macam tanggapan, baik yang datang dari kalangan Notaris sendiri, maupun dari pihak lain yang merasa Undang-Undang tersebut telah “memangkas” kewenangan yang selama ini merupakan kewenangannya.
Seperti biasa, setiap diberlakukannya Undang-Undang baru, tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Untuk Undang-Undang Jabatan Notaris ini, polemik terus bergulir, khususnya mengenai beberapa pasal yang dapat menjadi sumber keragu-raguan dalam pelaksanaannnya, pada hal seperti dinyatakan dalam pembukaannya, Undang-Undang ini dibuat untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan.
Didalam Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa, Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, sementara itu, menurut Pasal 1 (14) Menteri yang dimaksud adalah “Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan”. Penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang tersebut, menyatakan kedua pasal tersebut, cukup jelas.
Pasal ini tidak langsung menyebutkan bahwa Menteri yang dimaksud adalah Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, sehingga ada kesan pembuat Undang-Undang, “malu-malu” untuk mengakui bahwa pada akhirnya, Notaris harus diangkat “hanya” oleh Menteri, seperti yang selama ini sudah berlangsung. Pengangkatan Notaris oleh Menteri Kehakiman dimulai sesudah tahun 1954, namun apa yang menjadi dasar kewenangan Menteri Kehakiman untuk dapat mengangkat para Notaris, tidak pernah jelas (GHS. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hal. 58).
Lebih lanjut dikatakannya, bahwa menurut ketentuan pasal 3 PJN, para Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Didalam pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan dengan tegas, bahwa segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Pasal 3 PJN Stbl. 1860 Nomor 3 masih tetap berlaku,karena belum pernah dirubah atau dicabut. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara, hanya Pasal 2 ayat 3, pasal 62,62a dan Pasal 63, yang dicabut. Dengan demikian, pengangkatan Notaris seharusnya tetap dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara, sebagaimana halnya dilakukan sebelumnya, sampai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004.
Pengangkatan para Notaris oleh Gubernur Jenderal(baca: Kepala Negara)adalah dengan alasan; inti dari tugas Notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak, yang secara mufakat meminta jasa-jasa Notaris, yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas Hakim yang memberi putusan tentang keadilan antara para pihak yang bersengketa. Baik Hakim maupun Notaris dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, harus bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutif, oleh karena itu seyogyanya pengangkatan Notaris itu tidak dilakukan oleh Badan Eksekutif, melainkan oleh Kepala Negara (Ibid).
Dengan melihat alasan tersebut diatas, tentunya menimbulkan pertanyaan, apa yang melatarbelakangi pembuat Undang-Undang mengajukan pengangkatan Notaris harus dilakukan oleh Menteri, mengapa ketentuan Pasal 3 PJN yang menentukan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Kepala Negara tidak dipertahankan ?, sementara di beberapa Negara lain, seperti, Belanda, Belgia, Italia para Notaris diangkat oleh Kepala Negara. Mengapa pembuat Undang-Undang justru “menurunkan derajat” Notaris? atau apabila tidak mungkin dilakukan oleh Kepala Negara, mengapa tidak dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, yang sekaligus bertindak selaku pengawas dan pembina para Notaris.
Didalam Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN dinyatakan bahwa; Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan. Selama ini, pembuatan akta Pertanahan, adalah wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)yang penangkatan, pengawasan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Munculnya ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut, tentu saja menimbulkan interprestasi yang berbeda diantara pihak-pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan Notaris sendiri, DPR, Departemen Hukum Dan HAM, serta Badan Pertanahan Nasional.
Departemen Hukum dan HAM melalui Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan menafsirkan, dengan adanya Ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut, maka seorang Notaris tidak perlu lagi mengikuti ujian khusus untuk dapat diangkat sebagai PPAT, karena sudah inheren didalam diri Notaris, maka pembinaan, mengangkat Notaris itu otomatis mengangkat PPAT. Lebih lanjut menurutnya, UUJN mengesampingkan produk hukum lain dibawah Undang-Undang yang mengatur soal PPAT.(Jurnal Renvoi, Ed.No.7, 13-12-2004,hal.21). Demikian pula halnya menurut Akhil Muchtar, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, yang menyatakan bahwa; dari sudut pandang Legislatif, Pasal 15 (f) ini sudah jelas, jadi tidak perlu dijelaskan. Kesimpulannya Notaris diberi wewenang untuk membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan itu didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh undang-undang (Jurnal Renvoi, Ed.No.8, 3-01-2005, hal.8).
Bagaimana dengan Badan Pertanahan Nasional(BPN)?, sebagai pihak yang “hajat dan kewenangannya” dipangkas, tentu saja BPN tidak bisa menerima hal itu, karena keberadaan PPAT tersebut menurut Achmad Rony, juga merupakan perintah undang-undang, yaitu sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUPA, yang kemudian dijabarkan oleh Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961. Lebih lanjut, mengenai PPAT juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1998 tentang Rumah Susun, Undang-Undnag Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Dengan demikian keberadaan PPAT seperti yang dikenal selama ini masih relevan, sementara ketentuan UUJN tidak memberikan ketegasan batas wilayah kerja Notaris selaku Pejabat Umum yang memiliki kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan(Jurnal Renvoi, ibid, hal. 14).
Apabila kita menelaah UUJN itu sendiri, maka sesungguhnya Pasal 15 ayat 1 UUJN dengan tegas telah menyebutkan, bahwa,Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan , perjanjian, dan Ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dengan demikian sepanjang pembuatan akta itu telah ditugaskan kepada kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang(yang dalam hal ini adalah PPAT), maka Notaris, seharusnya tidak lagi berwenang untuk membuatnya. Namun demikian, ketentuan tersebut justru dimentahkan oleh ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f, yang memperbolehkan Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan.
Pada sisi lain, Pasal 17 huruf g UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak secara otomatis juga menjadi PPAT, karena pasal ini mengakui adanya pemisahan kewenangan Notaris dengan PPAT, dimana pasal 17 huruf g tersebut berbunyi; Notaris dilarang; merangkap jabatan sebagai PPAT.
Akibat yang ditimbulkan oleh ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut, ditambah dengan pernyataan-pernyataan dari Pejabat Depertemen Hukum Dan HAM, para Notaris serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, menimbulkan reaksi balik yang keras dari Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Arie Sukanti Hutagalung(Guru Besar Pertanahan FHUI), Badan Pertanahan Nasional sudah sepakat kalau ada Notaris yang membuat akta itu tidak dalam jabatan sebagai PPAT, tidak akan dilakukan balik nama dan tidak akan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan (Ibid, hal: 27).
Bila hal ini benar, maka yang akan dirugikan tidak hanya Notaris yang bersangkutan, melainkan juga masyarakat banyak yang justru menginginkan adanya kepastian hukum. Adalah tepat apa yang dikatakannya, bahwa subtansi UUJN tersebut, bertentangan dengan 3 Undan-Undang dibidang pertanahan, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 dan Undang-Undang No. 4 tahun 1996. Dua undang-Undang terakhir dengan tegas menyebutkan adanya Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jadi UUJN tidak saja menabrak ketiga Undang-Undang tersebut diats, melainkan telah “membypass” ketiga Udang-Undang tersebut.
Pasal lain yang patut dicermati dalam UUJN ini adalah Pasal 20 ayat 1, yang memperbolehkan Notaris untuk membentuk Persekutuan Perdata dalam menjalankan jabatannya. Menurut penjelasannya, yang dimaksud dengan Perserikatan Perdata dalam ketentuan Pasal 20 tersebut, adalah “kantor bersama Notaris”. Di dalam Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 Nomor 3, Pasal 12, Notaris dilarang keras untuk mengadakan persekutuan dalam menjalankan jabatannya, dengan ancaman akan kehilangan jabatannya apabila ketentuan tersebut dilanggar.
Persekutuan, menurut ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata, adalah bermaksud untuk membagi keuntungan yang didapat karenanya. Melihat maksudnya, maka tujuan persekutuan tentunya adalah mencari keuntungan secara bersama-sama. Dengan demikian, apabila kita bandingkan dengan kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana akta otentik itu ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindunagn hukum, seperti yang dijelaskan dalam penjelasan umum UUJN, maka keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut menjadi kontradiktif, karena dengan keberadaan Notaris secara bersama-sama dalam satu kantor bersama, akan sangat sulit untuk menjalankan ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf e UUJN, yang mewajibakan Notaris untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal itu, menurut pasal 85 UUJN, mulai dengan teguran lisan sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat.
Perlu diingat bahwa, bahwa bidang keahlian para Notaris adalah sama. Hal ini berbeda dengan dokter misalnya, yang membuka praktek bersama, namun dengan bidang keahlian dan spesialisasi yang berbeda-beda, karena ada dokter spesialis kandungan, spesialis anak atau spesialis THT, yang sepakat untuk membuka praktek bersama, berupa klinik kesehatan, agar masyarakat mudah mencari dokter yang dibutuhkan, sesuai dengan penyakit yang diidapnya. Demikian pula halnya dengan Advokat, karena Advokat ada yang spesialisasinya adalah pidana dan ada pula yang spesialisasinya dalam bidang hukum perdata ataupun Tana Negara, sehingga untuk memudahkan penanganan perkara, meraka sepakat untuk membuka kantor bersama.
Oleh karena itu, mengingat sifat dan bidang pekerjaan Notaris seperti diuraikan diatas, serta kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, maka seharusnya ketentuan Pasal 12 Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 No. 3 tetap dipertahankan.
Pada sisi lain, keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut, akan sangat menguntungkan bagi Notaris-Notaris yang telah mempunyai “nama” (baca; senior) dan Klien/langganan yang banyak, karena dengan keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut, mereka tetap dapat mempertahankan dominasinya, tanpa perlu khawatir akan diambil alih oleh Notaris lain, terutama Notaris pemula (baca; yunior ), sebab sudah dapat diperkirakan, dengan segala kelebihan yang dimilikinya, baik dari jumlah klien/langganan maupun modal dalam kerjasama itu, mereka akan tampil sebagai pimpinan dari kantor bersama tersebut, bahkan mungkin setelah pensiun sebagai Notarispun, mereka akan tetap menjadi pengatur laku dari belakang layar. Maka yang akan terjadi kemudian adalah dominasi yang tidak terputus.
Ketentuan lainnya dalam UUJN ini yang dapat menimbulkan masalah adalah ketentuan Pasal 82 ayat 1, yang menentukan bahwa, Notaris berhimpun dalam wadah Organisasi Notaris. Penjelasan Pasal 82 ayat 1 menyatakan, “cukup jelas”. Namun bernarkah demikian?. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan, Organisasi Notaris satu-satunya yang diakui oleh Pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI).
Ketentuan Pasal 82 ayat 1 UUJN tersebut adalah bersifat memaksa, yang mengharuskan Notaris untuk berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris. Akan tetapi, walaupun berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003, INI adalah satu-satunya Organisasi Notaris yang diakui oleh Pemerintah, tidak satu katapun dalam UUJN , baik dalam pasal-pasal maupun dalam penjelasannya yang menyebutkan bahwa wadah Organisasi Notaris yang dimaksud oleh UUJN itu adalah INI.
Pengakuan dari Departemen Hukum dan HAM, bahwa INI adalah sebagai “wadah tunggal” Notaris, akhirnya kembali ditegaskan melalui, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004, tertanggal 7 Desember 2004, tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Pengakuan tersebut, ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 1 huruf b dan diulangi dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa selain INI masih terdapat beberapa organisasi Notaris lain, yang suka atau tidak suka, hingga saat ini ada, yaitu antara lain adalah Himpunan Notaris Indonesia (HNI) dan Asosiasi Notaris Indonesia (ANI), serta Persatuan Notaris Reformasi Indonesia (Pernori). Sebagai sebuah organisasi profesi jabatan yang berbentuk perkumpulan, HNI telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri, seperti juga halnya dengan INI. Paling tidak, ia telah memenuhi unsur untuk dapat dianggap sebagai organisasi profesi jabatan sebagaimana dinyatakan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 (2) Peraturan Meneteri Hukum dan HAM tersebut diatas.
Dengan adanya kenyataan tersebut, ketentuan Pasal 82 ayat 1 UUJN, ternyata belum menyelesaikan masalah organisasi Notaris. Bahkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM tertanggal 7 Desember 2004, mengenai pembentukan Majelis Pengawas Notaris, yang menyatakan bahwa unsur dari organisasi Notaris adalah dari Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, akan semakin menimbulkan ketidak jelasan, karena bagaimana melakukan pengawasan terhadap para Notaris yang tidak bernaung dibawah INI? Apakah akan dilakukan langsung oleh Menteri atau seperti yang ditentukan oleh ketentuan peralihan Pasal 40 Peraturan Menteri tersebut, bahwa semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang berkaitan dengan pengawasan Notaris, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Meneteri ini. Artinya, sampai dengan selesainya masalah “wadah tunggal” organisasi Notaris, maka pengawasan terhadap Notaris-Notaris yang tidak bernaung dibawah INI, akan tetap dilakukan oleh Pengadilan Negeri diwilayah Jabatan Notaris yang bersangkutan. Apabila demikian halnya, jelas sekali bahwa Peraturan Menteri itu, dibuat secara tergesa-gesa, tanpa memperhatikan keadaan yang sesungguhnya, sekaligus menunjukan kembalinya Arogansi kekuasaan untuk memaksakan kehendak.
Menyikapi diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka kita semua perlu memiliki jiwa besar untuk dapat menerima perbaikan-perbaikan terhadap Undang-Undang tersebut, karena Undang-Undang yang semula diharapkan akan dapat menjadi pegangan untuk kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi para Notaris dalam menjalankan jabatannya, ternyata justru menjadi sumber keragu-raguan dan ketidak pastian. Oleh karena itu, Pemerintah, Organisasi-organisasi Notaris, Dewan Perwakilan Rakyat serta para Akademisi, perlu melakukan telaah ulang terhadap UUJN tersebut.
Dengan demikian, akan didapat suatu penyelesaian untuk melakukan perbaikan terhadap UUJN tersebut, paling tidak untuk menghilangkan kontroversi yang ditimbulkan setelah diberlakukannya UUJN.